Bab 159) Jodoh itu Cerminan DiriSudah tak ada lagi rasa cinta sedikitpun di dalam hati Ilham untuk Mila. Padahal dulu dia menyukai Mila karena sikapnya yang terlihat santun, bahkan keluarganya pun mendukung. Hanya saja sejak kejadian di hotel saat mereka menginap setelah pulang dari suatu tempat wisata, pandangan Ilham kepada Mila berubah drastis.Dia benci kepada Mila. Bahkan dia bermaksud untuk memutuskan hubungan dengan gadis itu, tetapi Mila tidak mau. Mila selalu memohon kepadanya agar mereka tetap berhubungan, tentu dengan imbalan tubuhnya sendiri. Mereka memang melakukan adegan layak sensor itu berkali-kali hingga akhirnya sebuah tespek diperlihatkan oleh Mila kepadanya. Mira hamil. Dan dia mau tidak mau harus bertanggung jawab meskipun di hatinya ragu janin yang dikandung gadis itu sebenarnya milik siapa."Biarkan aku pergi. Biarkan aku kembali ke pelukan Dinda. Setelah nanti kamu melahirkan, beri kabar padaku agar aku segera melakukan tes DNA dengan anak itu. Jika nanti set
Bab 160) Jodoh Itu Cerminan Diri (2)Setelah Hanum mempersilahkannya masuk, kedua lelaki itu duduk berhadapan. Wajah Faiz pun tak kalah keruh. Kulit wajah berwarna coklat gelap itu tampak semakin gelap lantaran masalah yang tiba-tiba saja menimpa keluarga mereka.Rasanya bagaikan mimpi. Baru saja mereka menggelar pesta pernikahan adik bungsunya, tiba-tiba harus dihadapkan oleh hutang yang harus dibayar. Tak cukup itu. Terbongkarnya semua aib yang selama ini di sembunyikan oleh Mila dan Ilham membuatnya terguncang. Faiz pun tidak menyangka jika ternyata Mila berani melakukan itu. Padahal selama ini ia merasa sudah memenuhi keperluan Mila. Dia, Fahri dan Diana tak pernah sekalipun absen membantu ibu dan adik mereka. Alih-alih Zainab yang selama ini paling dekat dengan ibu mereka."Pikiranku rasanya buntu. Kamu punya ide, Fahri?" keluhnya. Faiz sengaja datang sendiri, karena Husna lebih memilih pulang ke rumahnya sendiri setelah ketahuan Mila hamil. Husna tak mau ikut campur yang justru
Bab 161) Jodoh Itu Cerminan Diri (3)Lelaki tua itu menatap wanita muda lawan bicaranya ini. Sekilas penampilannya terlihat tidak meyakinkan. Hanum hanya mengenakan gamis dan kerudung yang sangat sederhana. Bahkan haji Badrudin pun sempat menyangka jika wanita itu hanya bermaksud untuk menemani suaminya. Tak disangka justru dialah yang berani berbicara terang-terangan."Lalu kalian mau Ilham itu seperti apa? Kalian minta Ilham berlaku seperti suami normal, seperti orang-orang, begitu?" Lelaki tua itu tiba-tiba berdiri dan berkacak pinggang."Berkacalah yang benar. Tahu diri dan tahu bagaimana menempatkan posisi. Kalian cuma keluarga rendahan. Saya akui, Ilham memang tidak hanya tidur dengan Mila seorang, tetapi tetap saja keluarga kami tidak selevel dengan keluarga kalian!" Namun Hanum tidak gentar. Dia mendongakkan wajah serta menyentuh dadanya pelan. Ini adalah sebuah kesombongan! Bukankah setiap kesombongan harus dibalas dengan kesombongan pula?"Kata siapa tidak level? Adina Kam
Bab 162) Penyambutan Untuk Mila"Akan kita lihat nanti siapa sebenarnya yang akan menjadi pemenang. Kalian jangan merasa menang dulu. Keluarga Haji Badrudin bukan keluarga biasa. Kami punya 1000 cara untuk menolak wanita jalang itu menjadi menantu kami," ucap perempuan setengah baya itu dalam hati saat melihat putranya digiring oleh Fahri dan Faiz menuju ke mobil.Meskipun dengan wajah ditekuk, Ilham bersedia untuk ikut pulang. Sebuah kode berupa kedipan mata dari kedua orang tuanya membuatnya sedikit lebih tenang dan yakin bahwa kedua orang tuanya berada di pihaknya.Mobil meluncur di jalan raya. Sesekali Fahri melirik sang istri yang sibuk bermain ponsel, mungkin sedang mengecek perkembangan Najmi Store. Kesibukan rutin yang dimiliki istrinya di manapun ia berada.Kedatangan mereka disambut oleh Ismah dan Mila dengan wajah bahagia. Merasa tidak lagi ada yang bisa ia lakukan, Hanum bergegas ke rumah Faiz untuk menjemput Adzkar yang ia titipkan kepada Husna. Biarkan saja Fahri dan Fa
Bab 163) Aku Istrimu, Bukan Pembantu! Mereka kembali menuruni tangga dan akhirnya sampai ke dapur. Di samping dapur ada sebuah kamar yang hanya berukuran 2x3 meter. Itulah kamar yang biasa ditempati oleh asisten rumah tangga mereka. "Inilah kamar untukmu. Di sinilah tempatmu dan mulai hari ini juga, jadilah istri yang baik...." "Tapi aku istrimu, Kak, bukan pembantu. Tidak ada keharusan bagiku untuk mengerjakan pekerjaan ini," bantah Mila bersikeras. "Bukankah ibu dan kakakmu selalu mengajarkan agar kamu bisa melayani suami dan mertua dengan baik? Sekarang buktikan itu!" Suara Ilham terdengar sangat mengerikan di telinganya. "Tapi tidak begini juga caranya, Kak. Aku sedang hamil, hamil anak kamu. Kenapa kamu tega padaku?" Air matanya berlinang. "Kalau hamil, ya hamil saja. Jangan manja. Jangan jadikan alasan buat malas bekerja. Sadar diri, Mila. Yang tersisa dan berharga dari dirimu itu hanya satu, yaitu tenagamu. Selebihnya zonk. Jadi gunakanlah itu untuk mengabdi kepada mertua
Bab 164) Minta JatahPenyesalan itu datangnya selalu terlambat. Jika tahu bakal begini, pasti dia akan menuruti keinginan Faiz yang memintanya untuk menjauh sementara dari kampung, sebelum orang-orang kampung geger dengan kehamilannya.Namun dia menginginkan Ilham. Ilham lah orang yang ia harapkan menjadi suaminya sekaligus menopang hidupnya di masa depan. Semula ia pikir Ilham hanya marah sementara kepadanya akibat tertekan dengan tuntutan ibunya soal utang sisa pesta, tetapi ternyata tidak. Bahkan seluruh keluarganya bersikap sama jahatnya. Ini di luar perkiraan.Mila menyusut air matanya saat sosok sang suami datang dan berdiri di depan pintu kamar."Sekarang kamu boleh makan. Jangan lupa bereskan semuanya. Awas saja kalau tidak beres!" ancamnya lalu pergi.Mila bangkit dari pembaringan. Dia memaksakan diri untuk berjalan walaupun pandangannya serasa berkunang-kunang. Sejak ia masuk ke rumah ini, belum ada seteguk makanan dan air pun melewati tenggorokannya. Dia haus dan lapar. Ha
Bab 165) Kehilangan Ponsel Mila bangkit dan memungut pakaiannya satu persatu, kemudian melangkah tertatih keluar dari kamar. Di kamar ini tidak ada kamar mandi khusus, sehingga akhirnya ia harus melintasi dapur menuju kamar mandi di belakang. Setengah jam kemudian akhirnya ia keluar dari kamar mandi. Mila cepat-cepat berjalan masuk ke dalam kamarnya kembali. Suasana di area belakang rumah ini terlihat sepi, sepertinya semua orang sudah tertidur. Malam semakin larut. Mila kembali merebahkan tubuhnya. Pandangannya menerawang menatap langit-langit kamar. Belum sehari ia berada di sini, begitu banyak kejutan yang ia alami. Semakin ia melawan, semakin orang-orang ini menyakitinya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apakah ia pulang saja ke rumah keluarganya? "Kurasa aku harus menghubungi Kak Faiz. Aku harus minta jemput dia. Lama-lama berada di sini, aku takut. Aku takut mereka akan semakin jahat padaku," batin Mila. Dia segera beranjak menuju lemari dan membukanya. "Hah...! Keman
Bab 166) Tawaran Ismah"Kembali?" ucap keduanya hampir berbarengan. Ismah mengangguk. "Mama rasa sudah waktunya kalian untuk pulang. Hanum sudah punya dua petak sawah. Masih ada dua petak sawah lagi kepunyaan Fahri. Itu harus kamu kelola. Rumah kalian disini juga tidak ada yang urus. Tidak mungkin selamanya mengandalkan Husna, kan? Bukannya usaha Husna sekarang semakin maju? Dia tidak akan punya waktu lagi untuk mengurusi rumah kalian," bujuk wanita berwajah keriput itu. Ismah menyeka sisa air matanya.Husna menatap heran ibu mertuanya. Tumben, kali ini wanita itu bersikap lembut dan bijak? Entah apa yang sedang Ismah rencanakan kali ini. Tidak mungkin ibu mertuanya mau berubah sikap secara mendadak."Di sini kalian berdua sangat dibutuhkan. Orang-orang di kampung ini sudah lama merindukan kalian. Mama jamin, jika kalian kembali ke kampung ini, pasti semua orang akan senang dan kegiatan keagamaan akan semangat kembali."Sepasang suami istri itu saling berpandangan."Hanum terlihat sa
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny