Raja Verdansk menatap Lucas dengan ekspresi sulit dibaca. Darah mengalir dari sudut bibirnya, jubahnya robek di beberapa bagian, dan tubuhnya jelas menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Namun, yang terdengar dari mulutnya justru tawa. "Hahaha..." Lucas menyipitkan mata, masih dalam posisi bertahan. "Kamu masih bisa tertawa?" Raja Verdansk mengangkat kepalanya, menatap Lucas dengan mata yang masih menyala dengan api. "Aku akui, kamu cukup hebat. Seranganmu tadi ... luar biasa,” kata Raja Verdansk. Dia meludah ke lantai, darahnya bercampur dengan debu dan serpihan reruntuhan. "Tapi ..." Lucas mengangkat satu jarinya. "jangan senang dulu." Lucas tidak bereaksi, hanya mengamati setiap gerakan Raja Verdansk. "Aku sudah melihat banyak orang sepertimu, Lucas." Suara Raja Verdansk merendah, namun penuh tekanan. "orang-orang yang berpikir bahwa mereka sudah menang ... padahal mereka hanya diberi ilusi kemenangan." Lucas tetap diam, tapi telinganya menangkap suara-suara di sekitarnya. Cr
Asap mengepul, bercampur dengan debu yang beterbangan saat reruntuhan perlahan berhenti bergerak. Potongan kayu, baja, dan batu bata berserakan, menutupi tubuh Raja Verdansk yang terkubur di bawahnya.Lucas berdiri beberapa langkah dari tempat itu, napasnya berat, tapi matanya tetap tajam. Perlahan, dia mengepalkan tangannya, merasakan energi cakra bumi yang mengalir di tubuhnya, lalu menutupnya dengan perlahan.Tidak ada lagi perlawanan. Tidak ada lagi ancaman.Dia telah menang.Lucas menatap puing-puing di depannya, lalu berkata, "Dengan ini, aku resmi menjadi Raja Verdansk yang baru."Di bawah reruntuhan, Raja Verdansk tergeletak tak berdaya. Matanya setengah terbuka, tetapi sinarnya telah redup. Pukulan terakhir Lucas menghancurkan jaringan vitalnya. Tubuhnya terasa mati rasa, seperti tidak lagi miliknya sendiri. Nafasnya tersengal, dan di batas kesadarannya, bayangan kematian mulai menari-nari di pelupuk matanya.Di kejauhan, suara gemuruh kembali terdengar. Struktur bangunan yan
Angeline duduk di kursi ruang rapat dengan ekspresi dingin, kedua tangannya terlipat di atas meja. Anak buah Matteo sudah berbicara panjang lebar, menjelaskan situasi yang terjadi dengan detail yang bertele-tele. Namun, di mata Angeline, kata-kata pria itu hanya seperti gema kosong yang berulang-ulang. "Aku mengerti," ujar Angeline akhirnya, suaranya datar, nyaris tanpa emosi. Pria itu tampak lega, seolah kalimat itu adalah tanda bahwa Angeline akan mengambil keputusan sesuai keinginannya. Tapi sebelum ia sempat bicara lagi, Angeline menambahkan dengan nada lebih tegas, "Aku akan mempelajari lebih lanjut." Kerutan halus muncul di dahi pria itu. "Tapi, Nona Angeline, aku pikir lebih baik jika kita membahas ini lebih dalam sekarang. Ada beberapa detail yang —" "Cukup." Suara Angeline memotong dengan ketegasan yang tidak bisa dibantah. Tatapannya tajam seperti pisau yang menghunus ke dalam hati pria itu. "Aku akan membicarakannya langsung dengan Jack Will. Setelah itu, aku a
Ponsel di tangan Angeline masih bergetar halus, tapi itu tidak bisa meredam kemarahannya. Ia menghela napas tajam sebelum akhirnya menekan tombol panggil.Di sisi lain, Lucas baru saja turun dari mobil ketika ponselnya berdering. Nama Angeline tertera di layar, dan ia segera mengangkatnya. Namun, sebelum sempat mengeluarkan satu kata pun, suara Angeline sudah menghantamnya.‘Lucas! Kenapa kamu selalu membuat masalah?’ geram Angeline.Lucas mengerutkan kening. Nada suara Angeline tajam, penuh kemarahan. Ia menempelkan ponsel ke telinganya dan berusaha memahami situasi.‘Masalah? Apa yang kamu maksud?’ tanya Lucas, bingung.Angeline mendengus kesal. Lalu dia berkata, ‘Jangan pura-pura bodoh! Aku sedang bicara tentang pertengkaranmu di perusahaan Bellucci! Kamu bertengkar dengan satpam dan seorang direktur, dan sekarang namaku ikut terseret dalam berita ini!’Lucas menghela napas dalam. ‘Aku hanya —’‘Jangan bilang kamu punya alasan!’ Angeline langsung menyela. ‘apapun alasanmu, kamu tet
Julian melangkah dengan tenang di antara barisan anak buahnya. Dua puluh pria terbaiknya, mengiringi dalam formasi yang rapi, masing-masing membawa aura dingin yang mengintimidasi.Di tengah mereka, tergeletak sebuah peti mati usang. Mayat Matteo Bellucci ada di dalamnya, terbungkus kain hitam, dingin, tak bernyawa.Mereka tiba di halaman besar kediaman keluarga Bellucci, sebuah mansion megah dengan lampu-lampu kristal yang berpendar di dalamnya.Namun, keindahan itu tak bisa menyamarkan hawa ketegangan yang mulai memenuhi udara saat beberapa anggota keluarga Bellucci keluar dari dalam rumah.Suara langkah kaki terdengar tergesa-gesa. Beberapa pria berjas hitam muncul, ekspresi mereka dipenuhi amarah. Salah satu dari mereka, pria bertubuh kekar dengan wajah penuh bekas luka, melangkah paling depan.Mereka sudah mendengar tentang kematian pemimpin keluarga mereka beberapa saat sebelumnya. Jadi, mereka tahu yang di dalam peti mati itu adalah jenazah Matteo."Apa maksudmu membawa mayat M
Lisa duduk tegak di atas sofa mewah berlapis beludru, matanya yang tajam menatap lurus ke arah Angeline. Kemarahannya tak terbendung lagi.Kali ini, Lisa benar-benar akan memisahkan cucunya dari pria itu."Sudah cukup," kata Lisa dengan suara dingin. "kali ini, kamu akan meninggalkan Lucas."Angeline tetap diam, ekspresinya netral, tetapi dalam hatinya, amarah mulai bergejolak.Lisa menatap Cecilia, putrinya sendiri, dengan tajam. "Aku tahu kamu telah mencoba memisahkan mereka, tetapi kamu gagal."Cecilia menghela napas, ekspresi lelah tergambar di wajahnya. "Aku sudah mencoba, Mama. Tapi cinta mereka terlalu besar. Mereka tidak bisa dipisahkan."Lisa mengibaskan tangan dengan kesal."Omong kosong!" dengusnya. "cinta? Itu hanya alasan bodoh untuk menutupi kelemahan!"Lisa kini menoleh ke Ryan, putranya, yang duduk dengan tenang di seberang ruangan. Tatapannya menusuk seperti belati."Dan kamu!" kata Lisa, suaranya semakin merendahkan. "kamu tidak pernah bisa diandalkan. Sejak kecil, k
Ashton dan Luki membeku. Pertanyaan Lucas menggantung di udara, tajam seperti pisau yang siap menembus tenggorokan mereka.Lucas menyandarkan punggungnya, menatap mereka dengan mata dingin. “Kenapa kalian tidak mau mati, tapi bisa dengan mudah membunuh orang?”Luki menelan ludah, mencoba meredakan ketakutan yang mencekiknya. Akhirnya, dia menjawab, suaranya terdengar serak, “Kami ... kami tidak punya pilihan. Kami melakukan itu untuk menyelamatkan diri dan keluarga.”Lucas tersenyum samar. “Jadi kalian terpaksa?” Dia mengangguk pelan, membiarkan kata-kata itu meresap. “Menarik.”Ashton mengangguk cepat, berharap Lucas memahami posisi mereka. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.Lucas mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya menembus mereka. “Kalau begitu, alasan yang sama juga berlaku untukku,” kata Lucas.Ashton dan Luki saling pandang, kebingungan.Lucas melanjutkan, “Aku tidak ingin kalian menjadi batu ganjalan. Dan yang lebih penting, aku tidak bisa percaya kalian seratus pers
Lobby hotel dipenuhi ketegangan. Udara terasa berat, seperti dihimpit oleh sesuatu yang tak kasatmata.Lorenzo Bellucci berdiri di tengah ruangan, rahangnya mengeras, menunggu jawaban dari pria yang kini memegang nasibnya di tangan.Lucas duduk dengan tenang, bersandar pada kursinya, ekspresinya tak terbaca. Seakan menikmati momen di mana seseorang dari keluarga Bellucci, keluarga yang selama ini mendominasi dunia bisnis dengan tangan besi, kini harus merendahkan diri di hadapannya.Seluruh ruangan menahan napas.Lucas akhirnya berbicara."Aku menerimanya."Lorenzo mengembuskan napas lega, sebelum Lucas melanjutkan."Tapi dengan satu syarat."Lorenzo menegakkan tubuhnya lagi, mendengar setiap kata dengan saksama."Kamu dan seluruh keluarga Bellucci harus menjadi pengikutku," kata Lucas, suaranya begitu tenang, tapi menusuk. "tidak ada pengecualian. Semua anggota keluargamu tunduk kepadaku. Tidak ada kemandirian. Tidak ada permainan di belakang. Jika ada satu saja yang berkhianat, kamu
Lucas membuka matanya. Masih gelap. Jam dinding di kamar menunjukkan pukul lima pagi.Dia diam sejenak, mendengarkan keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara napas lembut istrinya yang masih tertidur pulas di sampingnya.Namun di dadanya, ada sesuatu yang bergetar. Sebuah firasat buruk. Bukan ketakutan biasa. Ini adalah naluri bertahan hidup yang hanya muncul di ambang bahaya besar.Lucas duduk di pinggir ranjang. Ia menatap Angeline sejenak, memastikan istrinya baik-baik saja.Kemudian dia berbisik pada dirinya sendiri, "Ini sama seperti dulu, sebelum aku bertarung melawan raja mafia di Utara."Saat itu, Lucas hampir mati. Namun justru dari pertarungan itu, dia bangkit dan menjadi salah satu figur yang paling ditakuti di dunia bawah tanah.Lucas berdiri perlahan, mengenakan kaos dan celana training, lalu melangkah ke jendela.Langit di luar masih gelap. Kabut tipis menggantung di atas jalanan perumahan Montclair Manor.“Akan ada sesuatu yang datang … sebentar lagi,” pikirnya.Luca
Dario berdiri di pendopo, matanya menyala penuh amarah. Setelah mendengar penjelasan dari Xena, dadanya serasa terbakar."Aku akan membuat Lucas merasakan apa itu neraka di dunia ini," gumam Dario dengan suara serak.Dia tidak peduli siapa pun yang akan menghalangi. Bahkan kalau keluarga Lucas ikut terseret, itu bukan masalah. Satu-satunya tujuan yang ada di pikirannya hanyalah membalas dendam.Ruben menatap sahabatnya itu dengan cemas. Perlahan, ia bertanya, "Dario, kau yakin bisa menghadapi dia?"Dario menoleh tajam.Ruben melanjutkan, "Aku dengar, Lucas bukan petarung biasa. Bahkan para pemimpin cabang organisasi besar di Verdansk kalah di tangannya."Dario mengepalkan tinjunya. "Aku tidak peduli."Ruben menghela napas berat. Ia sadar, Dario punya semangat, tapi dalam dunia nyata, semangat saja tidak cukup. Apalagi Dario baru berguru kepada Xena kurang lebih satu bulan. Waktu itu terlalu singkat untuk mengasah kemampuan tingkat tinggi.Xena yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya
Angeline melipat lengannya, bersandar di kepala ranjang sambil menatap langit-langit kamar yang temaram. Lucas masih memegang ponsel yang tadi bergetar.Kini nama Jeremy sudah tidak lagi terlihat di layar, tapi bayangannya masih menggantung di kepala mereka.“Dia makin lama makin mengganggu,” ucap Angeline dengan nada tidak suka.Lucas menoleh ke arahnya. “Dia melakukan apa lagi?”“Dua hari ini dia datang menemuiku,” jawab Angeline, suaranya tenang namun mengandung penekanan emosi. “dia bilang ingin membantuku menyelesaikan masalah dengan Carlos dan teman-temannya.”Lucas mengernyit. “Membantu? Dengan cara apa?”Angeline menghela napas, menatap Lucas sebentar lalu menunduk. “Katanya, dia bisa menghentikan Carlos agar tidak memviralkan kasus itu. Tapi dengan satu syarat.”Lucas menyandarkan punggung, tangannya terlipat di dada. “Syarat?”“Dia minta aku membantu menyelamatkan perusahaan Liquid,” jawab Angeline pelan. “dia bilang perusahaan di ambang kebangkrutan dan membutuhkan proyek b
Ponsel Jeremy bergetar di tengah hingar bingar musik klub malam. Lampu disko menyinari wajahnya dengan warna-warni menyilaukan, tapi ia tetap bisa membaca nama yang muncul di layar.Carlos.Dengan senyum kecil, Jeremy menerima panggilan itu dan menempelkan ponsel ke telinganya. Dia sudah menduga jika Carlos menghubungi karena dia setuju untuk menyerahkan masalah mereka kepadanya.‘Akhirnya kamu menghubungiku juga,’ kata Jeremy dengan ringan.‘Aku ingin bertemu denganmu. Kalau bisa sih, sekarang,’ jawab Carlos tegas.Jeremy melirik sekeliling. Musik EDM masih menggelegar.‘Hmmm … aku sedang di Imperial Room, klub malam di pusat kota. Kalau kamu mau bicara, datang saja ke sini,’ kata Jeremy.‘Baiklah, kalau begitu aku akan segera ke sana,’ kata Carlos.Setelah itu dia pun mengakhiri panggilan suara.Jeremy menaruh ponselnya ke atas meja dengan tawa lepas. “Aku tidak pernah gagal. Aku adalah seorang pemenang!” ucap Jeremy, berbangga diri. Dia pun memeluk seorang teman wanitanya, tapi bu
Langkah kaki Lucas menyusuri jalan yang sepi, meninggalkan jejak di rumput. Panggilan dari Angeline beberapa menit lalu masih membekas di benaknya. Nada suaranya terdengar tenang, tapi Lucas tahu, terlalu tenang justru menyembunyikan sesuatu.Rajendra m kembali ke rumah ibunya dan langsung menuju ke ruang keluarga. Di sana, ibunya sedang duduk santai di sofa sambil menonton tayangan ulang sinetron klasik. Volume televisi tak terlalu keras, namun cukup untuk mengisi kesunyian rumah mewah itu.Rose menoleh begitu melihat Lucas masuk. “Dari mana saja kamu, Nak?”Lucas menyandarkan tubuh di sandaran sofa. “Dari danau. Sekadar jalan-jalan.”Rose memiringkan kepala. “Ah, kamu benar. Udara di dekat danau, memang sangat bagus.”Lucas menoleh. “Ibu ingin ikut jalan-jalan?”Wajah Rose langsung berubah berseri. “Kalau boleh, aku ingin. Badanku rasanya kaku sekali. Dulu waktu kita masih tinggal di gang kecil, aku bolak-balik ke pasar. Masak buat dijual. Bergerak terus. Tapi sejak tinggal di sini,
“Apakah musuhmu itu bernamaLucas?” bisik Emilio lagi, kali ini lebih pelan, nyaris seperti gumaman yang tercampur rasa tidak percaya.Xena hanya menjawab dengan anggukan kecil.Tatapan Emilio mengeras. Dia bersandar ke sofa, memandangi Xena dalam diam. Beberapa detik kemudian, dia berkata, “Kalau benar kita punya musuh yang sama, artinya pria itu memang tidak biasa.”Hector melirik Emilio. “Don Emilio, apa kau yakin?”Emilio mengangguk pelan, meski sorot matanya tidak menunjukkan keyakinan yang sepenuhnya bulat. “Dia membunuh dua ketua cabang organisasi kami di kota Verdansk. Dalam waktu yang berdekatan.”Xena menatap Emilio tajam. Lalu dia berkata, “Dia juga telah membunuh keponakanku. Dan itulah kenapa aku menganggap dia sebagai musuhku.”Ruangan itu kembali sunyi. Emilio mencoba mengingat siapa saja keponakan Xena yang diketahui dalam lingkaran dunia bela diri. Tak banyak. Dan jika salah satunya tewas di tangan Lucas…“Apa? Dia membunuh keponakanmu?” tanya Emilio.Xena menatapnya.
Langkah kaki ringan namun tegas terdengar mendekati aula utama markas organisasi Dominus Noctis. Aroma wewangian bunga magnolia mengalir lebih dulu, seolah menandakan kehadiran sosok luar biasa.Pintu dibuka oleh pengawal, dan masuklah seorang wanita.Tubuhnya tegap namun elegan. Rambut hitam berkilau digulung anggun di atas kepala. Wajahnya tidak muda, namun tiap lekuk dan guratannya memancarkan ketegasan serta keanggunan yang menakjubkan. Sepasang mata tajam menyorot sekeliling dengan rasa percaya diri yang luar biasa.“Xena,” ucap Don Emilio dengan nada hampir tak percaya.Ia langsung berdiri. Tatapannya berubah dari dingin menjadi hangat seketika, seolah beban puluhan tahun menguap begitu melihat wanita itu.Xena tersenyum saat melihat Emilio. “Masih mengenaliku?” tanya Xena.“Mana mungkin tidak mengenalimu?” Emilio melangkah cepat mendekati, lalu memeluk Xena dengan erat. “Tuhan. Ini benar-benar kamu. Sudah berapa lama sejak kita terakhir bertemu?”“Hmmm … dua puluh tahun, mungki
Carlos mengernyit. “Perjanjian kecil macam apa?”Jeremy menepuk lututnya pelan dan tersenyum seolah tengah menawarkan harta karun dengan nominal tak terhingga.“Aku ingin kalian berlima bergabung ke perusahaan Liquid. Perusahaan keluargaku,” ucap Jeremy dengan nada meyakinkan. “kalian akan langsung bekerja, punya jabatan, dan tentu saja, kalian akan mendapatkan uang besar.”Fabian langsung mendecak. “Perusahaan Liquid? Perusahaan kecil itu? Serius?”Jeremy tak tersinggung. Malah tertawa pelan. “Aku tahu kalian akan berkata begitu.”“Kami dipecat dari perusahaan raksasa,” sahut Fabian lagi. “sekarang kamu suruh kami balik ke perusahaan gurem yang bahkan belum pernah kami dengar di berita lokal? Aku tidak mau mengakhiri karirku di lubang sumur.”Jeremy mengangkat tangan sambil berkata, “Tenang dulu. Ini baru awal. Aku belum selesai bicara.”Lucca menyipitkan mata. “Jadi maksudmu bagaimana?”Jeremy menatap ke sekeliling, melihat wajah-wajah yang penasaran. Lalu dia berkata dengan pelan,
Jeremy menelan ludah, pandangannya terombang-ambing antara Lucas dan Gigio. Aura tekanan di sekeliling terasa seperti dinding tak terlihat yang siap menekuk tubuh siapa pun yang berkata salah.“Aku, tentu saja aku tidak memanfaatkan situasi,” kata Jeremy akhirnya dengan suaranya yang bergetar tipis. “aku datang ke sini karena ingin membantu. Tapi aku tidak punya kekuatan apa pun untuk bertindak tanpa persetujuan Angeline. Karena itu, aku datang ke kamu. Kupikir, kalau kamu bicara, dia akan mendengarkan.”Lucas tetap berdiri, menatap Jeremy seolah menilai setiap gerak napasnya.“Lalu apa yang akan kamu lakukan untuk menghentikan Carlos? Apa rencanamu?” tanya Lucas.Jeremy menarik napas panjang. Kali ini dia merasa punya pijakan.“Aku akan bicara dengan Carlos secara langsung. Aku akan memberinya beberapa opsi penawaran damai,” terang Jeremy. “aku akan berusaha membujuknya untuk membatalkan rencananya dan menerima keputusan Angeline yang memecat mereka.”Lucas menyipitkan mata. “Dan kam