"Dia anakku, kan?"Gerakan David yang baru saja hendak memutar hendel pintu terhenti. "Iya."Deg!"Kalau begitu, mari kita menikah!"Tangan besar itu mengepal seketika. Tubuhnya mundur selangkah dengan rahang yang sudah mengeras dan wajah merah padam. Emosi yang baru saja teredam kembali muncul ke permukaan. Panas yang menjalari kepala sampai ke ubun-ubunnya bukan hanya karena perempuan yang dia suka baru saja dilamar kakak tirinya, tapi juga fakta bahwa anak yang dikandung Melinda adalah benih Candra."Bang! Ada apa?" Dini yang baru saja datang dibuat keheranan karena melihat David hanya berdiri mematung di depan ruangan. "Udah samperin Melinya?"Lelaki itu hanya menoleh sekilas, lalu pergi begitu saja tanpa menjawab. "Kenapa, sih tuh orang?" Dini menggerutu. Kemudian mengedikkan bahu. Memilih mengabaika David, dia mengulurkan tangan hendak membuka pintu, tapi seseorang sudah mendahului dari dalam.Bola mata perempuan itu melebar saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya seka
"Ceritain semua tentang Melinda, selain nama aslinya yang adalah Melisa."Dini mengernyitkan dahinya saat Melihat David datang tiba-tiba menemuinya yang baru saja keluar dari ruangan Melinda dan langsung menyeretnya menuju taman. "Anjir mulut lu bau naga, Bang. Habis mabok, ya? Gue yakin bukan semprit yang sekarang mah." Dini menutup hidungnya saat Cakra berbicara tepat di depan wajahnya. "Iya. Gue baru pulang dari club langsung ke sini," jawab David santai, sembari menuntun Dini untuk duduk di kursi taman bersamanya. "Edan emang lu, ye," sungut Dini kesal. "Emang iye. Dari kemarin gue dah kayak orang gila, Ndut. Sakit banget nih kepala. Gue butuh pencerahan sebelum hajar tuh orang," aku David sembari menggaruk rambutnya yang sudah semrawut. Mata Dini langsung melebar mendengarnya. "Minta pencerahan kok mau hajar orang? Sinting juga ada levelnya kali, Bang. Lu mah udah over dosis," ledek Dini sambil melet. "Dahlah. Nggak usah banyak cing-cong, Ndut. Langsung ceritain aja sama g
"Jadi, sekarang rencana lo gimana?" David bertanya tentang keputusan Candra setelah diskusi panjang mereka."Gue bakal tetep nikahin Melinda dan lamar dia di acara ulang tahun papi di aula apartemen akhir pekan ini," pungkasnya."Terus kalau masa lalu lo sama Danita kebongkar gimana?""Setiap tindakan selalu ada resikonya, Dave. Dan gue udah siap untuk itu. Setidaknya gue masih punya itikad baik buat tanggung jawab walaupun kehamilan Melinda bukan sepenuhnya salah gue.""Tapi pernikahan kalian terjalin bukan atas dasar cinta. Lo mau semuanya berakhir kayak papi, Bu Nina, dan mami?""Nggak semua pernikahan yang berawal tanpa cinta itu berakhir dengan perpisahan, David. Selalu ada jalan untuk orang yang mau berusaha. Sebisa mungkin gue akan berusaha mempertahankan pernikahan kita nanti. Gue yakin Cakra pun begitu. Dia cuma perlu dihajar dulu biar sadar.""Lo bisa ngomong sesantai ini seolah-olah udah bener-bener bisa lepas aja dari masa lalu. Padahal gue tahu gimana bucinnya lo sama Dan
Ceklek! Cakra hampir terlonjak dari tempatnya saat melihat Dini dan Melinda tiba. Namun, Danita segera menahan pergerakan lelaki itu beberapa detik sebelum dia beranjak dari sisinya."Ah, maaf kalau aku ganggu," cetus Melinda sungkan setelah beberapa saat terdiam memperhatikan Cakra membelai perut buncit kakaknya. "Nggak apa-apa, kok, Mel. Duduk sini!" sahut Danita dengan senyum lebar seperti biasanya. Melinda dan Dini pun duduk di sofa tepat di tengah-tengah Arka yang sedang asik menonton kartun dalam gadgetnya. Sesekali mereka mengelus dan mencubit pipi gembil bocah tampan itu."Gimana keadaan kamu? Maaf kalau a--saya nggak sempat nengok. Soalnya dari kemarin repot. Mungkin nanti kita akan mempertimbangkan untuk mengambil jasa baby sitter untuk membantu merawat Arka." Cakra memulai percakapan setelah beberapa saat berusaha menata hatinya ketika melihat kehadiran Melinda yang tiba-tiba. "Udah baikan, kok, Mas. Lagian aku cuma demam biasa. Minum antibiotik dan dirawat semalam juga
"Kasih informasi apa Dini sama kamu?" tanya Melinda sepeninggal sahabatnya sembari memencet password pada unit apartemennya."Biasa. Info tentang cewek-cewek seksi di unit ini," jawab David dengan kerlingan.Melinda memutar bola mata, lalu mempersilakan David masuk. "Tumben kamu mau dateng ke sini sampe bela-belain nunggu. Biasa juga nelepon seenak jidatnya buat nyamperin ke sana," cibir perempuan itu sembari merobohkan diri atas sofa. "Mana bisa aku biarin bumil cantik capek-capek jalan ke lantai sepuluh," dalihnya sembari duduk di samping Melinda dan merangkulnya. "Bukannya kata Dini kamu shock karena aku hamil makanya dari kemarin menghindar, hem?""Kata siapa?" David membulatkan matanya. "I am happy for you, Honey.""Nggak usah turut bahagia. Kehamilan ini bukan sesuatu yang patut dibanggakan." "Loh, kenapa? Emang nggak ada bapaknya? Mau aku wakilin?"Melinda mencebik. Kemudian menepis tangan David yang mulai menyelus-elus bahunya. "Nggak usah. Makasih. Ada bapaknya, kok. Dan
Di sebuah kedai jajanan tradisional yang khas dengan wangi kencur itu terlihat David dan Dini tengah duduk di salah satu kursi. Menikmati seblak dalam mangkuk yang sama-sama penuh. Tak lupa es jeruk dalam sebuah mug besar sebagai penghilang dahaga, walaupun jelas komposisi keduanya sangat tak baik untuk kesehatan tenggorokan. Namun, beberapa orang masih saja memesan menu yang sama, mengingat makanan pedas dicampur minuman dingin adalah kombinasi yang sangat nikmat. Begitu pula yang dirasakan oleh dua orang tersebut. "Ternyata gini rasanya ditolak, sebelum nembak." David membuka percakapan setelah lama keduanya hanyut dalam keheningan. Pandangan lelaki tampan itu masih belum beralih dari mangkuk berisi seblak yang dia aduk-aduk di hadapan. "Gue kira laki kalau lagi galau loncatnya cari cewek lain, atau seneng-seneng di luar. Taunya sama-sama lari ke seblak juga." Dini yang sejak tadi memperhatikan gelagat aneh David menanggapi. Dia terlihat heran saat lelaki itu tiba-tiba mengajaknya
Melisa tersenyum tipis. Dia menarik napas sejenak saat sosok lelaki dari masa lalu tiba-tiba mengusik pikirannya. Lelaki ini jelas sangat berbeda dengan Cakra meskipun keduanya memiliki paras yang identik. Sikapnya tegas, to the point, dan sedikit menuntut. Berbeda dengan Cakra yang lembut, berputar-putar dalam komunikasi,dan pengertian.Mengingat itu membuat Melisa merutuki diri. Lagi pula untuk apa membandingkan mereka? Sudah jelas Candra dan Cakra adalah dua orang yang berbeda."Oke. Tunggu sebentar, saya siap-siap dulu.""Boleh aku nunggu di dalam?" pinta Candra yang membuat Melisa terdiam cukup lama. Perempuan itu terlihat ragu, sebelum mengangguk pelan."Masuk, Mas!" Melisa melangkah lebih dulu, lalu mempersilakan Candra yang terlihat berjalan pelan sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling unit Melisa yang baru pertama kali disinggahinya. Mereka memang biasa bertemu di unit Candra, dia yang memanggilnya. "Silakan duduk, biar saya siapkan mi--"Candra menarik tangan Mel
"Gosah diliat, Ndut. Pura-pura nggak kenal aja!" cetus David cepat, sembari menarik tangan Dini agar berbalik membelakangi Melinda dan Candra yang baru saja tiba. Dini menggaruk rambut. "Why? Kenapa nggak disamperin aja? Kita bisa jalan sama-sama, makan bareng. Kan seru!" sahut Dini. David menggeleng cepat. "Seru dengkul lo. Nggak. Pokoknya kita jalan masing-masing," tolak David keras. "Lo kenapa, sih, Bang? Kayak lagi kepergok mantan yang jalan sama pasangan barunya. Padahal itu cuma si Meli! Your bestie!" Dini terlihat mulai kesal dengan kelakuan random David. Bagaimana bisa hanya bertemu dengan Melisa dan Candra, menjadi masalah besar baginya? "Nggak. Pokoknya nggak. Kasian ati sama perasaan gue, Ndut. Kesiksa entar," aku David memelas. Mendengar itu sontak Dini mengejapkan mata, lalu membelalak setelahnya. "Jadi cewek itu Meli--hmppt." Buru-buru David membekap mulut Dini, sebelum sempat gadis itu berteriak histeris. "Pelan-pelan, Maemunah. Lo mau kita ketauan!" bisik David
Acara Baby Shower perayaan tujuh bulanan Melisa dilaksanakan di sebuah vila milik keluarga yang ada di pusat kota. Semua anggota keluarga dan kerabat dekat hadir tanpa terkecuali, bahkan para pasien dekat Meli. Konsep acara out door. Di luar ruangan dengan nuansa biru dan merah muda khas perayaan menyambut anggota keluarga baru. Pak Indra dan Bu Nara bahkan ikut menghadiri. Kebetulan hubungan mereka dan Bu Nina sudah membaik sejak tragedi empat tahun lalu. Kini semuanya berkumpul dan mempererat hubungan sebagai teman dan kerabat dekat, tanpa mengungkit masa lalu yang sudah berlalu. Tiga bersaudara, Candra, Cakra, dan David duduk sejajar di kursi paling depan. Menatap Melisa yang baru saja keluar dituntun oma dan Danita.Perempuan itu terlihat begitu anggun dengan gaun gradasi warna soft pink, biru, juga tosca. Bandana bunga yang menghiasi kepala menambah manis penampilannya. “Semenjak hamil aura si Meli makin aur-auran, ya? Pantas aja lu makin lengket, Bang!” David menyikut leng
Dalamnya laut masih bisa diukur, tetapi dalamnya hati manusia siapa yang tahu? Sama halnya dengan luas samudera yang tak bisa dibandingkan dengan luasnya hati seseorang yang dengan mudah memaafkan, meskipun sudah disakiti teramat dalam.Empat tahun telah berlalu sejak hari itu. Sejak Candra dan Danita pergi dengan membawa serta kenangan masa lalu mereka. Keduanya sama-sama belajar dari kesalahan, dan bangkit menjadi seseorang dengan pribadi dan identitas yang baru. 2021, tahun di mana kakak beradik yang sempat terlibat konflik kembali bersatu. Merajut tali kasih yang nyaris rapuh, menata kembali hubungan yang nyaris tak terselamatkan.Waktu selalu punya cara untuk menentukan akhir yang tak terduga. Jodoh pasti bertemu, dan jodoh pasti bersatu. Tak akan ada yang bisa mengusik itu. ***Perempuan dalam balutan gaun putih selutut itu duduk di tepi ranjang. Membaca ulang lembar demi lembar surat yang Danita tinggalkan sebelum dia memutuskan untuk hijrah ke luar negeri empat tahun si
Cakra tertegun menatap Melisa yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan gaun sepekat malam. Rambut cokelat keemasannya terurai panjang menyentuh punggung, wajah cantik itu dibubuhi make up tipis nan manis, hingga tak menutup kecantikan alami yang terpancar dari dalam. Kaki jenjangnya melangkah perlahan menghampiri suaminya yang sudah menunggu di bibir ranjang. Cakra berdiri. Menyambut sang permaisuri yang akan menemaninya terjaga malam ini. Cahaya yang temaram dan lilin aroma terapi menambah syahdu suasana di dalam ruang kamar itu. Melisa mengangkat kepala. Menatap lelaki yang sudah lebih dari tiga tahun dia nanti. Kekasih hati yang mengantarkan sampai di titik ini. Cakra mengulurkan tangan, kemudian menangkup kedua sisi wajah Melisa. Dikecupnya lama kening perempuan itu, lalu turun ke pucuk hidung, dan berakhir memangut bibirnya. Malam semakin larut, keduanya pun kian terhanyut. Perbuatan terlarang yang kala itu hampir mereka lakukan, sekarang sudah sah untuk ditunaikan.Dal
Beberapa kali Melisa mengucek matanya saat menatap nisan di hadapan. Namun, nama itu tak berubah meski beberapa kali dia berusaha memastikan. Dua nisan yang sebelumnya tertera Danita dan Cakra kini berubah menjadi Faizah dan Danu!Sejak kapan nama di nisan ini berubah? Melisa bangkit dengan kebingungan luar biasa. Dia berlarian di sekitar pemakaman demi menemukan jawaban akan pertanyaan yang berputar di kepalanya. Akhirnya dia menemukan seorang penjaga makam. Lelaki tua yang tengah duduk di sebuah pos penjaga."Pak, maaf mau tanya. Makam pasangan suami istri korban Elang Air kurang lebih dua bulan lalu kapan diganti, ya?"Lelaki tua berseragam itu mengernyitkan dahi. "Kalau tak salah seminggu lalu. Katanya pihak medis salah mengidentifikasi." Deg! "Bapak yakin?""Yakin, Mbak. Orang saya juga ikut menguburkan. Kalau ndak salah namanya Bu Faizah dan Pak Danu, kan?"Melisa benar-benar hampir kehilangan kata. Kepalanya mendadak pusing dan berdenyut nyeri. "Kok, bisa, ya?""Saya jug
Terjebak masa lalu mungkin adalah hal yang paling ditakuti beberapa individu. Terpaku pada satu kejadian yang membuat seseorang tak mampu melangkah maju, meskipun peristiwa itu sudah lama berlalu. Tak peduli berapa tahun telah terlewati, dunianya hanya berputar di satu waktu. Itulah yang sedang Melisa alami. Genggaman tangan Cakra yang dia lepaskan tiga tahun lalu, tak urung membuatnya jemu. Tiga tahun dia menderita dalam kubangan pilu, tersiksa rindu menggebu, dan mengharapkan sebuah temu di antara kukungan sang waktu. Sebenarnya Melisa benci menyaksikan Cakra mulai berdamai dengan keadaan dan melupakan masa lalu. Karena pada kenyataannya, dia masih terjaga di sini, mengharap suatu saat lelaki itu kembali.Namun, saat takdir merencanakan sebuah temu. Kehadiran yang tak diinginkan malah membuat hatinya terasa semakin ngilu. "Aku memang mengharapkanmu kembali, Mas, selalu, sepanjang waktu, sampai tak terasa tiga tahun berlalu. Tapi bukan begini caranya," lirih kalimat itu terlontar
"Karena tak kunjung ada kemajuan untuk melahirkan normal juga alasan penyakit ginjal yang diderita istri Bapak, kami sarankan untuk melakukan tindakan operasi sesar. Silakan tanda tangan di sini, Pak!"Candra dibuat kelimpungan saat mengetahui proses persalinan Danita tak berjalan lancar. Apalagi di tengah-tengah dia tiba-tiba kehilangan kesadaran. Dalam resah dan gelisah lelaki itu hanya bisa termangu sendirian. Saat ini Candra bahkan tak bisa menghubungi ibunya atau Melisa mengingat kesalahan fatal yang sudah Danita buat dua bulan ke belakang. Rasa sesak dan pilu berkecamuk menjadi satu. Tak menyangka dia nasib perempuan yang dicinta sedemikian malangnya. Seandainya waktu bisa diputar. Sebagai manusia Candra hanya bisa berharap. Semoga pendosa seperti dia dan Danita masih diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya, lalu bahagia. Setelah menghela napas panjang, akhirnya Candra memutuskan. "Lakukan, Dok. Dan tolong selamatkan istri dan anak yang sangat saya cintai."***Candra m
Dua bulan lalu ...."Aku nggak peduli. Aku benar-benar nggak peduli tentang masa lalumu. Apa pun yang sudah terjadi. Sama sekali nggak akan mengubah keputusanku untuk menikahimu." Candra merendahkan tubuhnya. Lalu mengecup lama kening Melisa. Sebelum mendekapnya. (ket : read bab 'Guncangan')Dari sudut mata Candra memang sudah menyadari kehadiran Cakra. Namun, dia sengaja mendekap tubuh Melisa lebih lama dan membuat saudara kembarnya semakin terbakar api cemburu yang membara sebelum pergi meninggalkan mereka.Setelah memastikan Melisa terlelap bersama rasa sakitnya, barulah Candra beranjak untuk mengejar Cakra yang dia rasa belum pergi terlalu jauh dari ruang rawat Melisa. Dan benar saja, dia menemukan saudaranya itu masih duduk termangu di ruang tunggu yang sepi dalam koridor lantai VIP. Bersama ransel besar yang dia letakkan di sampingnya. Perlahan Candra mendaratkan bokong di samping Cakra yang belum menyadari kehadiranya, karena wajah yang dia benamkan di antara kedua telapak ta
Setelah sepuluh hari tim sar bersama gabungan angkatan udara dan laut dikerahkan untuk melakukan pencarian korban puing-puing pesawat Elang Air di perairan Seratus. Media memberitakan bahwa tak ada satu pun korban selamat dalam tragedi nahas tersebut. Sejauh ini sudah sembilan puluh delapan mayat berhasil diidentifikasi, salah duanya adalah Cakra dan Danita. Penantian penuh harap seorang ibu dalam sepuluh hari terakhir berbuntut duka, kala sirine ambulans terdengar memasuki pelataran rumah Bu Nina. Membawa serta jasad anak dan menantunya yang sudah tak bernyawa. Tak ada yang menyangka, perpisahan mereka hari itu adalah yang terakhir kalinya. Bu Nina benar-benar menyesal, karena saat berpamitan dia bahkan tidak sudi menatap wajah putranya, karena menyayangkan keputusan Cakra yang lebih memilih pergi daripada menceraikan Danita. Dengan berat hati Bu Nina melepas Cakra dan Danita pergi, asal keduanya bersedia meninggalkan bayi yang baru dilahirkan Danita untuk dirawat Bu Nina bersama
Malam merangkak menenggelamkan petang yang perlahan mengilang. Di atas pembaringan berhias bunga mawar, Melisa duduk termangu. Menatap ponsel di genggaman tangan. Potret-potret sanak-saudara dan orang-orang tersayang ada di dalamnya. Tersenyum lebar mengiringi kebahagiaan kedua mempelai. Hanya Cakra dan Danita yang tak ada. Setelah mendengar kabar bahwa kakak tirinya itu sudah melahirkan, Melisa juga tak sempat menjenguknya karena sibuk dengan rencana pernikahan. Tadi pagi dia juga baru diberi kabar kalau hari ini mereka akan melakukan penerbangan menuju Eropa. Tanpa pamit atau ucapan selamat tinggal. Memang tak guna menangisi kepergian kedua orang yang sudah menorehkan noda hitam di hati bersihnya. Kepercayaan yang sudah kandas bersama kekecewaan yang terpaksa ditelan tetap saja meninggalkan kenangan menyakitkan yang tak bisa sembuh dalam waktu singkat. Tugasnya sekarang hanya menjalani hidup yang tersisa. Membahagiakan lelaki yang sudah menyandang status sebagai suaminya. Dan men