Melisa tersenyum tipis. Dia menarik napas sejenak saat sosok lelaki dari masa lalu tiba-tiba mengusik pikirannya. Lelaki ini jelas sangat berbeda dengan Cakra meskipun keduanya memiliki paras yang identik. Sikapnya tegas, to the point, dan sedikit menuntut. Berbeda dengan Cakra yang lembut, berputar-putar dalam komunikasi,dan pengertian.Mengingat itu membuat Melisa merutuki diri. Lagi pula untuk apa membandingkan mereka? Sudah jelas Candra dan Cakra adalah dua orang yang berbeda."Oke. Tunggu sebentar, saya siap-siap dulu.""Boleh aku nunggu di dalam?" pinta Candra yang membuat Melisa terdiam cukup lama. Perempuan itu terlihat ragu, sebelum mengangguk pelan."Masuk, Mas!" Melisa melangkah lebih dulu, lalu mempersilakan Candra yang terlihat berjalan pelan sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling unit Melisa yang baru pertama kali disinggahinya. Mereka memang biasa bertemu di unit Candra, dia yang memanggilnya. "Silakan duduk, biar saya siapkan mi--"Candra menarik tangan Mel
"Gosah diliat, Ndut. Pura-pura nggak kenal aja!" cetus David cepat, sembari menarik tangan Dini agar berbalik membelakangi Melinda dan Candra yang baru saja tiba. Dini menggaruk rambut. "Why? Kenapa nggak disamperin aja? Kita bisa jalan sama-sama, makan bareng. Kan seru!" sahut Dini. David menggeleng cepat. "Seru dengkul lo. Nggak. Pokoknya kita jalan masing-masing," tolak David keras. "Lo kenapa, sih, Bang? Kayak lagi kepergok mantan yang jalan sama pasangan barunya. Padahal itu cuma si Meli! Your bestie!" Dini terlihat mulai kesal dengan kelakuan random David. Bagaimana bisa hanya bertemu dengan Melisa dan Candra, menjadi masalah besar baginya? "Nggak. Pokoknya nggak. Kasian ati sama perasaan gue, Ndut. Kesiksa entar," aku David memelas. Mendengar itu sontak Dini mengejapkan mata, lalu membelalak setelahnya. "Jadi cewek itu Meli--hmppt." Buru-buru David membekap mulut Dini, sebelum sempat gadis itu berteriak histeris. "Pelan-pelan, Maemunah. Lo mau kita ketauan!" bisik David
Perempuan berlesung pipit itu terjaga dalam tidurnya. Dengan posisi menyamping dia menatap sang suami yang terlelap di balik cahaya temaram. Jemari lentiknya terulur menelusuri struktur wajah rupawan yang dipahat Tuhan sedemikian sempurna. Rahang yang kokoh, hidung bertulang tinggi, dahi tegas, bibir sedang, dan bulu mata nan lebat.Dia rela melakukan apa pun untuk mempertahankan lelaki ini tetap di sisinya. Tak ada yang tak mungkin. Seiring berjalannya waktu, batu yang keras saja bisa terkikis tetesan air. Begitu pun hati Cakra. Dia percaya lelaki ini akan melunak. Setelah kelahiran bayi mereka, setelah dia berhasil menggantikan tahta wanita dari masa lalunya. Danita yakin. Ikatan mereka lebih kuat daripada kenangan masa lalu keduanya.Sebisa mungkin Danita akan menyingkirkan segala hal yang menghalangi mereka. Termasuk orang-orang terdekatnya. Perempuan itu beranjak dari ranjang setelah mendaratkan kecupan lembut di dahi Cakra. "Aku mencintaimu, Mas. Sangat. Jadi, tolong ... lupa
Ada begitu banyak kebetulan yang terjadi di dunia. Namun, bila kebetulan datang berulang-ulang dan tak terkendalikan. Peristiwa tersebut tak bisa lagi disebut kebetulan, melainkan sebagian dari ketetapan takdir kehidupan. "Tau gitu tadi kita pake lift sebelah aja, Ndut!" gumam David beberapa saat setelah Candra dan Melisa masuk ke dalam. "Lift sebelah lagi dalam perbaikan, Bang," sahut Dini. Rupanya yang mulai tak nyaman di sini bukan hanya David, melainkan Dini juga. Apalagi mereka bisa merasakan atmosfer di dalam ruangan berjalan ini tiba-tiba berubah tegang. Meskipun tak ada percakapan, tapi jelas masing-masing dari mereka saling memperhatikan, bertanya-tanya, bahkan kesal tanpa alasan. Memori yang sudah terkubur selama tiga tahun lamanya, mulai muncul ke permukaan. Bertebaran di sekeliling hingga menciptakan suasana hening yang menjengkelkan. Ingin rasanya menampik, tapi kenyataan lebih dulu menampar. Sekuat apa pun dilupakan kenangan mereka berempat tak akan pernah bisa ter
Tiba di lantai dua. Mereka langsung memisahkan diri dan membentuk koloninya sendiri. Danita dan Cakra memilih mengambil tempat di sisi selatan, sementara David dan Dini ke sisi barat. Sedangkan Candra dan Melisa ke sisi utara. Menghampiri orangtua Candra. Pak Indra dan Bu Nara--Mami David. Sepanjang perjalanan menuju tempat keramaian, pikirkan Melisa masih saja dihantui dengan kejadian tadi. Kalau saja tak ada David yang menengahi. Lift tersebut akan berubah menjadi arena tarung saudara. Dan mereka terpaksa harus menyaksikan pertumpahan darah di sana. Beruntung tak ada Arka di sana. Kebetulan bocah itu memang dititipkan pada Bu Nina yang jelas tak bersedia menghadiri undangan mantan suaminya. "Maaf, kamu pasti kaget," ujar Candra di tengah perjalanan. Lelaki itu mengetatkan genggaman tangan mereka. Melisa menoleh. Perempuan itu tersenyum kecil. "Iya, aku cuma sedikit kaget. Nggak nyangka aja ternyata kalian saudara kembar yang udah terpisah lama."Candra mengalihkan pandangannya da
Indra Bagaskara terlihat begitu terkejut sekaligus senang saat melihat putranya yang jarang pulang tiba-tiba datang membawakan kado spesial di hari ulang tahunnya. Seorang calon menantu yang selama ini dia harapkan dari Candra. Meskipun hubungan mereka memang tak terlalu baik, setelah kepulangan Candra dari Inggris dengan gelar doktornya setahun lalu. Namun, dia selalu berharap putranya menemukan kebahagiaan dan bisa melupakan masa lalu mereka. Tak peduli dari mana calon istri anaknya berasal. Selama dia memiliki latar belakang yang baik dia bisa menerimanya. "Selamat malam para tamu undangan yang terhormat. Pertama-tama saya mau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk kehadiran hadirin sekalian." Pak Indra memulai pidatonya. Terlihat berderet di bangku paling depan. Mau tak mau Cakra-Danita, David-Dini, dan Melinda-Candra yang semula duduk terpencar, terpaksa ditempat di posisi yang berdampingan dan sejajar. Ekspresi kesal sama sekali tak bisa Cakra sembunyikan. Lai
"Silakan. Kita bisa langsung adu banding di sini. Kalau ibu mampu bawa bukti konkret tentang calon istri saya seperti yang Anda tuduhkan, mungkin saya bisa terima. Kalau tidak ... silakan tunggu undangan dari pihak kepolisian," tegas Candra. Wanita paruh baya itu mematung. Dia mundur selangkah saat melihat tatapan tajam yang Candra layangkan. Harus diakui tuduhannya memang tak berdasar, setelah mengetahui pesan bernada provokatif dari nomor tak dikenal, juga keterangan suaminya yang ketakutan, dia memang langsung menyimpulkan tentang sosok Melisa yang sebenarnya. "Ng, itu ...." Si ibu gelagapan. Diintimidasi seperti itu jelas dia tak bisa menjawab, mengingat tak ada bukti yang bisa memperkuat tuduhan yang dengan mudah Candra patahkan. Melisa menatap takjub. Entah apa yang membuat perihnya tamparan dan sesaknya dada melihat tatapan datar yang Danita layangkan, tiba-tiba berubah menjadi perasaan hangat yang sulit diartikan. Memang terlalu dini untuk menilai sosok Candra sebagai pri
"Candra!" Pak Indra menatap murka. "Nggak apa-apa, Pa." Wanita paruh baya yang terlihat begitu anggun itu hanya bisa tersenyum getir sembari menenangkan suaminya. "Udah lama banget sejak pulang dari Inggris. Akhirnya Candra sudi duduk lagi semeja sama kita, bawa kabar bahagia lagi. Kasih dia waktu.""Mau berapa lama lagi, Sayang? Ini udah lebih dari dua puluh lima tahun. Seharusnya dia ngerti keadaan kita," rintih Pak Indra. "Justru karena aku ngerti keadaan kalian. Makanya sudi ada di sini. Aku cuma belum bisa menerima. Itu aja," potong Candra. "Candra! Seharusnya pulang dari Eropa kamu bisa belajar banyak tentang attitude. Percuma ilmu tinggi, tapi adabnya nol." Pak Indra mulai habis kesabaran melihat sikap keras kepala Candra, padahal baru beberapa jam lalu mereka terlihat begitu harmonis saat Candra bercerita tentang Melinda. "I don't care. Yang penting aku udah ikutin semua kemauan Papa. Aku cuma minta satu. Yaitu kebebasan berekspresi. Kenapa yang ini juga harus dikekang!""
Acara Baby Shower perayaan tujuh bulanan Melisa dilaksanakan di sebuah vila milik keluarga yang ada di pusat kota. Semua anggota keluarga dan kerabat dekat hadir tanpa terkecuali, bahkan para pasien dekat Meli. Konsep acara out door. Di luar ruangan dengan nuansa biru dan merah muda khas perayaan menyambut anggota keluarga baru. Pak Indra dan Bu Nara bahkan ikut menghadiri. Kebetulan hubungan mereka dan Bu Nina sudah membaik sejak tragedi empat tahun lalu. Kini semuanya berkumpul dan mempererat hubungan sebagai teman dan kerabat dekat, tanpa mengungkit masa lalu yang sudah berlalu. Tiga bersaudara, Candra, Cakra, dan David duduk sejajar di kursi paling depan. Menatap Melisa yang baru saja keluar dituntun oma dan Danita.Perempuan itu terlihat begitu anggun dengan gaun gradasi warna soft pink, biru, juga tosca. Bandana bunga yang menghiasi kepala menambah manis penampilannya. “Semenjak hamil aura si Meli makin aur-auran, ya? Pantas aja lu makin lengket, Bang!” David menyikut leng
Dalamnya laut masih bisa diukur, tetapi dalamnya hati manusia siapa yang tahu? Sama halnya dengan luas samudera yang tak bisa dibandingkan dengan luasnya hati seseorang yang dengan mudah memaafkan, meskipun sudah disakiti teramat dalam.Empat tahun telah berlalu sejak hari itu. Sejak Candra dan Danita pergi dengan membawa serta kenangan masa lalu mereka. Keduanya sama-sama belajar dari kesalahan, dan bangkit menjadi seseorang dengan pribadi dan identitas yang baru. 2021, tahun di mana kakak beradik yang sempat terlibat konflik kembali bersatu. Merajut tali kasih yang nyaris rapuh, menata kembali hubungan yang nyaris tak terselamatkan.Waktu selalu punya cara untuk menentukan akhir yang tak terduga. Jodoh pasti bertemu, dan jodoh pasti bersatu. Tak akan ada yang bisa mengusik itu. ***Perempuan dalam balutan gaun putih selutut itu duduk di tepi ranjang. Membaca ulang lembar demi lembar surat yang Danita tinggalkan sebelum dia memutuskan untuk hijrah ke luar negeri empat tahun si
Cakra tertegun menatap Melisa yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan gaun sepekat malam. Rambut cokelat keemasannya terurai panjang menyentuh punggung, wajah cantik itu dibubuhi make up tipis nan manis, hingga tak menutup kecantikan alami yang terpancar dari dalam. Kaki jenjangnya melangkah perlahan menghampiri suaminya yang sudah menunggu di bibir ranjang. Cakra berdiri. Menyambut sang permaisuri yang akan menemaninya terjaga malam ini. Cahaya yang temaram dan lilin aroma terapi menambah syahdu suasana di dalam ruang kamar itu. Melisa mengangkat kepala. Menatap lelaki yang sudah lebih dari tiga tahun dia nanti. Kekasih hati yang mengantarkan sampai di titik ini. Cakra mengulurkan tangan, kemudian menangkup kedua sisi wajah Melisa. Dikecupnya lama kening perempuan itu, lalu turun ke pucuk hidung, dan berakhir memangut bibirnya. Malam semakin larut, keduanya pun kian terhanyut. Perbuatan terlarang yang kala itu hampir mereka lakukan, sekarang sudah sah untuk ditunaikan.Dal
Beberapa kali Melisa mengucek matanya saat menatap nisan di hadapan. Namun, nama itu tak berubah meski beberapa kali dia berusaha memastikan. Dua nisan yang sebelumnya tertera Danita dan Cakra kini berubah menjadi Faizah dan Danu!Sejak kapan nama di nisan ini berubah? Melisa bangkit dengan kebingungan luar biasa. Dia berlarian di sekitar pemakaman demi menemukan jawaban akan pertanyaan yang berputar di kepalanya. Akhirnya dia menemukan seorang penjaga makam. Lelaki tua yang tengah duduk di sebuah pos penjaga."Pak, maaf mau tanya. Makam pasangan suami istri korban Elang Air kurang lebih dua bulan lalu kapan diganti, ya?"Lelaki tua berseragam itu mengernyitkan dahi. "Kalau tak salah seminggu lalu. Katanya pihak medis salah mengidentifikasi." Deg! "Bapak yakin?""Yakin, Mbak. Orang saya juga ikut menguburkan. Kalau ndak salah namanya Bu Faizah dan Pak Danu, kan?"Melisa benar-benar hampir kehilangan kata. Kepalanya mendadak pusing dan berdenyut nyeri. "Kok, bisa, ya?""Saya jug
Terjebak masa lalu mungkin adalah hal yang paling ditakuti beberapa individu. Terpaku pada satu kejadian yang membuat seseorang tak mampu melangkah maju, meskipun peristiwa itu sudah lama berlalu. Tak peduli berapa tahun telah terlewati, dunianya hanya berputar di satu waktu. Itulah yang sedang Melisa alami. Genggaman tangan Cakra yang dia lepaskan tiga tahun lalu, tak urung membuatnya jemu. Tiga tahun dia menderita dalam kubangan pilu, tersiksa rindu menggebu, dan mengharapkan sebuah temu di antara kukungan sang waktu. Sebenarnya Melisa benci menyaksikan Cakra mulai berdamai dengan keadaan dan melupakan masa lalu. Karena pada kenyataannya, dia masih terjaga di sini, mengharap suatu saat lelaki itu kembali.Namun, saat takdir merencanakan sebuah temu. Kehadiran yang tak diinginkan malah membuat hatinya terasa semakin ngilu. "Aku memang mengharapkanmu kembali, Mas, selalu, sepanjang waktu, sampai tak terasa tiga tahun berlalu. Tapi bukan begini caranya," lirih kalimat itu terlontar
"Karena tak kunjung ada kemajuan untuk melahirkan normal juga alasan penyakit ginjal yang diderita istri Bapak, kami sarankan untuk melakukan tindakan operasi sesar. Silakan tanda tangan di sini, Pak!"Candra dibuat kelimpungan saat mengetahui proses persalinan Danita tak berjalan lancar. Apalagi di tengah-tengah dia tiba-tiba kehilangan kesadaran. Dalam resah dan gelisah lelaki itu hanya bisa termangu sendirian. Saat ini Candra bahkan tak bisa menghubungi ibunya atau Melisa mengingat kesalahan fatal yang sudah Danita buat dua bulan ke belakang. Rasa sesak dan pilu berkecamuk menjadi satu. Tak menyangka dia nasib perempuan yang dicinta sedemikian malangnya. Seandainya waktu bisa diputar. Sebagai manusia Candra hanya bisa berharap. Semoga pendosa seperti dia dan Danita masih diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya, lalu bahagia. Setelah menghela napas panjang, akhirnya Candra memutuskan. "Lakukan, Dok. Dan tolong selamatkan istri dan anak yang sangat saya cintai."***Candra m
Dua bulan lalu ...."Aku nggak peduli. Aku benar-benar nggak peduli tentang masa lalumu. Apa pun yang sudah terjadi. Sama sekali nggak akan mengubah keputusanku untuk menikahimu." Candra merendahkan tubuhnya. Lalu mengecup lama kening Melisa. Sebelum mendekapnya. (ket : read bab 'Guncangan')Dari sudut mata Candra memang sudah menyadari kehadiran Cakra. Namun, dia sengaja mendekap tubuh Melisa lebih lama dan membuat saudara kembarnya semakin terbakar api cemburu yang membara sebelum pergi meninggalkan mereka.Setelah memastikan Melisa terlelap bersama rasa sakitnya, barulah Candra beranjak untuk mengejar Cakra yang dia rasa belum pergi terlalu jauh dari ruang rawat Melisa. Dan benar saja, dia menemukan saudaranya itu masih duduk termangu di ruang tunggu yang sepi dalam koridor lantai VIP. Bersama ransel besar yang dia letakkan di sampingnya. Perlahan Candra mendaratkan bokong di samping Cakra yang belum menyadari kehadiranya, karena wajah yang dia benamkan di antara kedua telapak ta
Setelah sepuluh hari tim sar bersama gabungan angkatan udara dan laut dikerahkan untuk melakukan pencarian korban puing-puing pesawat Elang Air di perairan Seratus. Media memberitakan bahwa tak ada satu pun korban selamat dalam tragedi nahas tersebut. Sejauh ini sudah sembilan puluh delapan mayat berhasil diidentifikasi, salah duanya adalah Cakra dan Danita. Penantian penuh harap seorang ibu dalam sepuluh hari terakhir berbuntut duka, kala sirine ambulans terdengar memasuki pelataran rumah Bu Nina. Membawa serta jasad anak dan menantunya yang sudah tak bernyawa. Tak ada yang menyangka, perpisahan mereka hari itu adalah yang terakhir kalinya. Bu Nina benar-benar menyesal, karena saat berpamitan dia bahkan tidak sudi menatap wajah putranya, karena menyayangkan keputusan Cakra yang lebih memilih pergi daripada menceraikan Danita. Dengan berat hati Bu Nina melepas Cakra dan Danita pergi, asal keduanya bersedia meninggalkan bayi yang baru dilahirkan Danita untuk dirawat Bu Nina bersama
Malam merangkak menenggelamkan petang yang perlahan mengilang. Di atas pembaringan berhias bunga mawar, Melisa duduk termangu. Menatap ponsel di genggaman tangan. Potret-potret sanak-saudara dan orang-orang tersayang ada di dalamnya. Tersenyum lebar mengiringi kebahagiaan kedua mempelai. Hanya Cakra dan Danita yang tak ada. Setelah mendengar kabar bahwa kakak tirinya itu sudah melahirkan, Melisa juga tak sempat menjenguknya karena sibuk dengan rencana pernikahan. Tadi pagi dia juga baru diberi kabar kalau hari ini mereka akan melakukan penerbangan menuju Eropa. Tanpa pamit atau ucapan selamat tinggal. Memang tak guna menangisi kepergian kedua orang yang sudah menorehkan noda hitam di hati bersihnya. Kepercayaan yang sudah kandas bersama kekecewaan yang terpaksa ditelan tetap saja meninggalkan kenangan menyakitkan yang tak bisa sembuh dalam waktu singkat. Tugasnya sekarang hanya menjalani hidup yang tersisa. Membahagiakan lelaki yang sudah menyandang status sebagai suaminya. Dan men