"Silakan. Kita bisa langsung adu banding di sini. Kalau ibu mampu bawa bukti konkret tentang calon istri saya seperti yang Anda tuduhkan, mungkin saya bisa terima. Kalau tidak ... silakan tunggu undangan dari pihak kepolisian," tegas Candra. Wanita paruh baya itu mematung. Dia mundur selangkah saat melihat tatapan tajam yang Candra layangkan. Harus diakui tuduhannya memang tak berdasar, setelah mengetahui pesan bernada provokatif dari nomor tak dikenal, juga keterangan suaminya yang ketakutan, dia memang langsung menyimpulkan tentang sosok Melisa yang sebenarnya. "Ng, itu ...." Si ibu gelagapan. Diintimidasi seperti itu jelas dia tak bisa menjawab, mengingat tak ada bukti yang bisa memperkuat tuduhan yang dengan mudah Candra patahkan. Melisa menatap takjub. Entah apa yang membuat perihnya tamparan dan sesaknya dada melihat tatapan datar yang Danita layangkan, tiba-tiba berubah menjadi perasaan hangat yang sulit diartikan. Memang terlalu dini untuk menilai sosok Candra sebagai pri
"Candra!" Pak Indra menatap murka. "Nggak apa-apa, Pa." Wanita paruh baya yang terlihat begitu anggun itu hanya bisa tersenyum getir sembari menenangkan suaminya. "Udah lama banget sejak pulang dari Inggris. Akhirnya Candra sudi duduk lagi semeja sama kita, bawa kabar bahagia lagi. Kasih dia waktu.""Mau berapa lama lagi, Sayang? Ini udah lebih dari dua puluh lima tahun. Seharusnya dia ngerti keadaan kita," rintih Pak Indra. "Justru karena aku ngerti keadaan kalian. Makanya sudi ada di sini. Aku cuma belum bisa menerima. Itu aja," potong Candra. "Candra! Seharusnya pulang dari Eropa kamu bisa belajar banyak tentang attitude. Percuma ilmu tinggi, tapi adabnya nol." Pak Indra mulai habis kesabaran melihat sikap keras kepala Candra, padahal baru beberapa jam lalu mereka terlihat begitu harmonis saat Candra bercerita tentang Melinda. "I don't care. Yang penting aku udah ikutin semua kemauan Papa. Aku cuma minta satu. Yaitu kebebasan berekspresi. Kenapa yang ini juga harus dikekang!""
Perempuan itu berdiri di depan wastafel. Sebuah benda mungil berbentuk memanjang yang menunjukkan dua garis merah tersemat di antara kedua jarinya. Hasil yang tertera tetap sama meski dia sudah mencoba lebih dari lima kali dengan merk berbeda.Niat hati hanya ingin mempermainkan, tapi sayangnya malah dia sendiri yang terjebak. Terjebak dalam permainan gila yang dia buat sendiri. Ketika obsesi dan ambisi mengalahkan apa yang disebut akal sehat. Berbagai risiko pun berani dia labrak. Hingga tak lagi peduli akan mimpi yang tenggelam oleh hasrat dan kepentingan diri. "Dani! Danita! Kamu masih di dalam, kan?"Suara ketukan pintu diiringi panggilan suara berat itu terdengar. Buru-buru Danita memasukan beberapa tespek yang semula tercecer ke dalam tas, dan membuang air seni yang tadi dia sisihkan untuk keperluan tes kehamilan, lalu menyiram closetnya. "Iya, Pak!" Setelah memastikan tak ada jejak yang tertinggal, perempuan berlesung dengan blues dan rok pas badan itu bergegas keluar. Men
"Maaf, kalau aku mendadak memberi tahu hal penting ini. Karena satu bulan belakangan, semua aksesku dibatasi." Candra menangkup wajah Danita, dan mengelus kulit halusnya. "Sebenarnya aku memintamu datang ke sini agar kita bisa mengakhiri hubungan. Papa memintaku untuk fokus pada karir dan melupakan segala hal yang menghambatnya," ungkap Candra semampainya Danita di terminal dua bandara ibu kota, sebelum keberangkatan lelaki itu ke Eropa untuk melanjutkan S2.Deg!Tubuh Danita menegang sekejap. Dia mengangkat kepala setelahnya. Menatap manik mata sama yang dimiliki lelaki yang beberapa saat lalu berhasil mematahkan hatinya. "Setidaknya beri aku satu alasan." Suara Candra mulai bergetar. "Alasan kuat agar aku mampu bertahan. Di sini, di sisi--""Aku hamil!" potong Danita dengan wajah datar. "Jangan pergi! Nikahi aku!"Terserempak Candra menarik diri. Melepaskan tangkupan tangannya di wajah Danita. Kaget. Sudah pasti. Sebenarnya bukan ini jawaban yang dia inginkan. "Danita, bukannya ak
Setelah berhasil mengelabui Melisa dengan air mata buaya, hingga membuat adiknya menunda pernikahan. Danita kembali melancarkan aksinya dengan berpura-pura tak berdaya dan mengurung diri di kamar. Dia juga sengaja memasang wajah Cakra sebagai wallpaper ponselnya, lalu mengganti nama Candra di kontak WA-nya menjadi Cakra. Akibatnya. Melisa yang tak tahu bahwa Candra dan Cakra adalah saudara kembar, tak sengaja melihat wallpaper dan lockscreen ponsel Danita yang sengaja tak disandi maupun dipola. Dia juga membaca pesan-pesan mesra kekasih dan kakaknya yang sebenarnya berasal dari Candra.Sampai hari itu akhirnya tiba. Keputusan Melisa yang sudah lama ditunggu-tunggu Danita. Saat perempuan itu datang dengan putus asa. Melepas pujaan hatinya untuk kakak yang selama ini dia anggap lemah dan tak berdaya. Harapan bersanding dengan Cakra bukan lagi impian semata. Dengan mengorbankan perasaan adik yang begitu menghormatinya dia hidup bahagia di atas penderitaan Melisa. Sifat aslinya tertutu
Perpisahan paling menyakitkan memang selalu menyisakan kenangan yang sulit dilupakan. Ketika takdir mengatur kembali pertemuan dua insan hanya untuk sekadar saling melempar lirikkan. Bak orang asing yang tak pernah terikat hubungan, waktu memang bisa meleburkan rindu. Akibatnya sesuatu yang seharusnya sudah berlalu, justru berakhir pilu. Candra tak pernah berpikir bahwa tali kasih yang dia rajut bersama Danita selama dua tahun lamanya harus terputus karena ego masing-masing. Dia juga tak menyangka bahwa mereka akan dipertemukan kembali sebagai orang asing setelah tiga tahun perpisahan. Tak ada senyum manis yang ditunjukkan, atau sapaan basa-basi hanya untuk memastikan bahwa benar, perempuan itu pernah menjadi sosok pendamping yang dia harapkan. Yang lebih mirisnya saat itu Danita bahkan tak mengindahkannya."Lo bisa ngomong sesantai ini seolah-olah udah bener-bener bisa lepas aja dari masa lalu. Padahal gue tahu gimana bucinnya lo sama Danita dulu.""Sial," pekik Candra saat kata-ka
"Dani ...." Suara Cakra terdengar parau saat keluar dari kamar. Dia terlihat masih sempoyongan sisa mabuk semalam. Diliatnya sang istri tengah menyiapkan makan siang karena sarapan telah terlewatkan.Danita beranjak dari tempatnya, lalu menghampiri Cakra dan memapahnya menuju meja makan. "Kenapa kamu nggak bangunin aku? Padahal hari ini ada meeting penting," ujarnya setelah duduk di salah satu kursi. "Aku udah bilang sama Mama kalau hari ini Mas nggak enak badan. Jadi beliau yang wakilkan. Kebetulan di sana ada Bi Siti yang bantuin jaga Arka sebelum dianterin sore nanti."Cakra tak menjawab. Dia hanya terdiam memperhatikan Danita setelah menenggak habis air putih yang sudah disediakan istrinya. "Danita!" Cakra menggenggam pergelangan tangan perempuan itu saat dia hendak berlalu kembali. "Semalam aku nggak macam-macam, kan?"Danita terdiam. Matanya menyorot tak bersahabat, tapi rekah senyum bibir itu menunjukkan respons sebaliknya. "Nggak, kok. Sesampainya di rumah mas langsung tid
"Nggak usah diambil hati ucapan mbak tadi. Orang awam juga bakal paham apa maksudnya. Mbak pulang dulu, ya."Langkah Candra terhenti saat melihat Danita baru saja keluar dari unit Melinda. Perempuan berlesung pipit itu terlihat mengelus lembut pundak adiknya yang hanya berdiri geming tanpa mengucapkan sepatah pun kata. Dia mulai menyadari kehadiran Candra, tapi sama sekali tak mengindahkannya. Pandangan perempuan itu berpaling. Seolah tak sudi menatap sosok lelaki dari masa lalunya tersebut. Candra yang sempat menahan napas sejenak, lantas mengembuskannya dengan gusar. Matanya terpejam sebelum melanjutkan langkah menghampiri Melinda yang masih terjaga di ambang pintu. Tak menyadari kehadirannya."Mel ...." Guncangan pelan di bahu mungil itu berhasil menarik Melinda dari lamunan. Lamunan kelam tentang kata-kata kejam yang beberapa saat lalu Danita lontarkan.Jauh dari perkiraan. Ternyata ini adalah respons terburuk yang pernah dia dapatkan dari sosok yang selama dua puluh lima tahun
Acara Baby Shower perayaan tujuh bulanan Melisa dilaksanakan di sebuah vila milik keluarga yang ada di pusat kota. Semua anggota keluarga dan kerabat dekat hadir tanpa terkecuali, bahkan para pasien dekat Meli. Konsep acara out door. Di luar ruangan dengan nuansa biru dan merah muda khas perayaan menyambut anggota keluarga baru. Pak Indra dan Bu Nara bahkan ikut menghadiri. Kebetulan hubungan mereka dan Bu Nina sudah membaik sejak tragedi empat tahun lalu. Kini semuanya berkumpul dan mempererat hubungan sebagai teman dan kerabat dekat, tanpa mengungkit masa lalu yang sudah berlalu. Tiga bersaudara, Candra, Cakra, dan David duduk sejajar di kursi paling depan. Menatap Melisa yang baru saja keluar dituntun oma dan Danita.Perempuan itu terlihat begitu anggun dengan gaun gradasi warna soft pink, biru, juga tosca. Bandana bunga yang menghiasi kepala menambah manis penampilannya. “Semenjak hamil aura si Meli makin aur-auran, ya? Pantas aja lu makin lengket, Bang!” David menyikut leng
Dalamnya laut masih bisa diukur, tetapi dalamnya hati manusia siapa yang tahu? Sama halnya dengan luas samudera yang tak bisa dibandingkan dengan luasnya hati seseorang yang dengan mudah memaafkan, meskipun sudah disakiti teramat dalam.Empat tahun telah berlalu sejak hari itu. Sejak Candra dan Danita pergi dengan membawa serta kenangan masa lalu mereka. Keduanya sama-sama belajar dari kesalahan, dan bangkit menjadi seseorang dengan pribadi dan identitas yang baru. 2021, tahun di mana kakak beradik yang sempat terlibat konflik kembali bersatu. Merajut tali kasih yang nyaris rapuh, menata kembali hubungan yang nyaris tak terselamatkan.Waktu selalu punya cara untuk menentukan akhir yang tak terduga. Jodoh pasti bertemu, dan jodoh pasti bersatu. Tak akan ada yang bisa mengusik itu. ***Perempuan dalam balutan gaun putih selutut itu duduk di tepi ranjang. Membaca ulang lembar demi lembar surat yang Danita tinggalkan sebelum dia memutuskan untuk hijrah ke luar negeri empat tahun si
Cakra tertegun menatap Melisa yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan gaun sepekat malam. Rambut cokelat keemasannya terurai panjang menyentuh punggung, wajah cantik itu dibubuhi make up tipis nan manis, hingga tak menutup kecantikan alami yang terpancar dari dalam. Kaki jenjangnya melangkah perlahan menghampiri suaminya yang sudah menunggu di bibir ranjang. Cakra berdiri. Menyambut sang permaisuri yang akan menemaninya terjaga malam ini. Cahaya yang temaram dan lilin aroma terapi menambah syahdu suasana di dalam ruang kamar itu. Melisa mengangkat kepala. Menatap lelaki yang sudah lebih dari tiga tahun dia nanti. Kekasih hati yang mengantarkan sampai di titik ini. Cakra mengulurkan tangan, kemudian menangkup kedua sisi wajah Melisa. Dikecupnya lama kening perempuan itu, lalu turun ke pucuk hidung, dan berakhir memangut bibirnya. Malam semakin larut, keduanya pun kian terhanyut. Perbuatan terlarang yang kala itu hampir mereka lakukan, sekarang sudah sah untuk ditunaikan.Dal
Beberapa kali Melisa mengucek matanya saat menatap nisan di hadapan. Namun, nama itu tak berubah meski beberapa kali dia berusaha memastikan. Dua nisan yang sebelumnya tertera Danita dan Cakra kini berubah menjadi Faizah dan Danu!Sejak kapan nama di nisan ini berubah? Melisa bangkit dengan kebingungan luar biasa. Dia berlarian di sekitar pemakaman demi menemukan jawaban akan pertanyaan yang berputar di kepalanya. Akhirnya dia menemukan seorang penjaga makam. Lelaki tua yang tengah duduk di sebuah pos penjaga."Pak, maaf mau tanya. Makam pasangan suami istri korban Elang Air kurang lebih dua bulan lalu kapan diganti, ya?"Lelaki tua berseragam itu mengernyitkan dahi. "Kalau tak salah seminggu lalu. Katanya pihak medis salah mengidentifikasi." Deg! "Bapak yakin?""Yakin, Mbak. Orang saya juga ikut menguburkan. Kalau ndak salah namanya Bu Faizah dan Pak Danu, kan?"Melisa benar-benar hampir kehilangan kata. Kepalanya mendadak pusing dan berdenyut nyeri. "Kok, bisa, ya?""Saya jug
Terjebak masa lalu mungkin adalah hal yang paling ditakuti beberapa individu. Terpaku pada satu kejadian yang membuat seseorang tak mampu melangkah maju, meskipun peristiwa itu sudah lama berlalu. Tak peduli berapa tahun telah terlewati, dunianya hanya berputar di satu waktu. Itulah yang sedang Melisa alami. Genggaman tangan Cakra yang dia lepaskan tiga tahun lalu, tak urung membuatnya jemu. Tiga tahun dia menderita dalam kubangan pilu, tersiksa rindu menggebu, dan mengharapkan sebuah temu di antara kukungan sang waktu. Sebenarnya Melisa benci menyaksikan Cakra mulai berdamai dengan keadaan dan melupakan masa lalu. Karena pada kenyataannya, dia masih terjaga di sini, mengharap suatu saat lelaki itu kembali.Namun, saat takdir merencanakan sebuah temu. Kehadiran yang tak diinginkan malah membuat hatinya terasa semakin ngilu. "Aku memang mengharapkanmu kembali, Mas, selalu, sepanjang waktu, sampai tak terasa tiga tahun berlalu. Tapi bukan begini caranya," lirih kalimat itu terlontar
"Karena tak kunjung ada kemajuan untuk melahirkan normal juga alasan penyakit ginjal yang diderita istri Bapak, kami sarankan untuk melakukan tindakan operasi sesar. Silakan tanda tangan di sini, Pak!"Candra dibuat kelimpungan saat mengetahui proses persalinan Danita tak berjalan lancar. Apalagi di tengah-tengah dia tiba-tiba kehilangan kesadaran. Dalam resah dan gelisah lelaki itu hanya bisa termangu sendirian. Saat ini Candra bahkan tak bisa menghubungi ibunya atau Melisa mengingat kesalahan fatal yang sudah Danita buat dua bulan ke belakang. Rasa sesak dan pilu berkecamuk menjadi satu. Tak menyangka dia nasib perempuan yang dicinta sedemikian malangnya. Seandainya waktu bisa diputar. Sebagai manusia Candra hanya bisa berharap. Semoga pendosa seperti dia dan Danita masih diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya, lalu bahagia. Setelah menghela napas panjang, akhirnya Candra memutuskan. "Lakukan, Dok. Dan tolong selamatkan istri dan anak yang sangat saya cintai."***Candra m
Dua bulan lalu ...."Aku nggak peduli. Aku benar-benar nggak peduli tentang masa lalumu. Apa pun yang sudah terjadi. Sama sekali nggak akan mengubah keputusanku untuk menikahimu." Candra merendahkan tubuhnya. Lalu mengecup lama kening Melisa. Sebelum mendekapnya. (ket : read bab 'Guncangan')Dari sudut mata Candra memang sudah menyadari kehadiran Cakra. Namun, dia sengaja mendekap tubuh Melisa lebih lama dan membuat saudara kembarnya semakin terbakar api cemburu yang membara sebelum pergi meninggalkan mereka.Setelah memastikan Melisa terlelap bersama rasa sakitnya, barulah Candra beranjak untuk mengejar Cakra yang dia rasa belum pergi terlalu jauh dari ruang rawat Melisa. Dan benar saja, dia menemukan saudaranya itu masih duduk termangu di ruang tunggu yang sepi dalam koridor lantai VIP. Bersama ransel besar yang dia letakkan di sampingnya. Perlahan Candra mendaratkan bokong di samping Cakra yang belum menyadari kehadiranya, karena wajah yang dia benamkan di antara kedua telapak ta
Setelah sepuluh hari tim sar bersama gabungan angkatan udara dan laut dikerahkan untuk melakukan pencarian korban puing-puing pesawat Elang Air di perairan Seratus. Media memberitakan bahwa tak ada satu pun korban selamat dalam tragedi nahas tersebut. Sejauh ini sudah sembilan puluh delapan mayat berhasil diidentifikasi, salah duanya adalah Cakra dan Danita. Penantian penuh harap seorang ibu dalam sepuluh hari terakhir berbuntut duka, kala sirine ambulans terdengar memasuki pelataran rumah Bu Nina. Membawa serta jasad anak dan menantunya yang sudah tak bernyawa. Tak ada yang menyangka, perpisahan mereka hari itu adalah yang terakhir kalinya. Bu Nina benar-benar menyesal, karena saat berpamitan dia bahkan tidak sudi menatap wajah putranya, karena menyayangkan keputusan Cakra yang lebih memilih pergi daripada menceraikan Danita. Dengan berat hati Bu Nina melepas Cakra dan Danita pergi, asal keduanya bersedia meninggalkan bayi yang baru dilahirkan Danita untuk dirawat Bu Nina bersama
Malam merangkak menenggelamkan petang yang perlahan mengilang. Di atas pembaringan berhias bunga mawar, Melisa duduk termangu. Menatap ponsel di genggaman tangan. Potret-potret sanak-saudara dan orang-orang tersayang ada di dalamnya. Tersenyum lebar mengiringi kebahagiaan kedua mempelai. Hanya Cakra dan Danita yang tak ada. Setelah mendengar kabar bahwa kakak tirinya itu sudah melahirkan, Melisa juga tak sempat menjenguknya karena sibuk dengan rencana pernikahan. Tadi pagi dia juga baru diberi kabar kalau hari ini mereka akan melakukan penerbangan menuju Eropa. Tanpa pamit atau ucapan selamat tinggal. Memang tak guna menangisi kepergian kedua orang yang sudah menorehkan noda hitam di hati bersihnya. Kepercayaan yang sudah kandas bersama kekecewaan yang terpaksa ditelan tetap saja meninggalkan kenangan menyakitkan yang tak bisa sembuh dalam waktu singkat. Tugasnya sekarang hanya menjalani hidup yang tersisa. Membahagiakan lelaki yang sudah menyandang status sebagai suaminya. Dan men