Anna tiba di kampung halamannya dengan hati yang penuh nelangsa, sepanjang perjalan di dalam bus Anna sesekali menghapus air matanya yang tiada henti meluncur. Anna telah resmi bercerai, karena memang dengan mudahnya Ivander menceraikan Anna yang hanya dinikahi secara siri. Dan tanpa sepeserpun harta warisan yang ia peroleh dari Ivander, karena memang dirinya tidak memiliki hak apapun.
Anna terlihat memasuki kampung halamannya dengan hati yang berat. Anna berjalan seraya menarik dua buah koper besar dan ransel yang ia kenakan."Eh, Anna? Lama tidak berjumpa," ucap seseorang yang kenal dengan Anna, seraya memandang Anna dengan semua barang bawaannya."Iya, sudah lama tidak berjumpa, ya," balas Anna tersenyum kikuk."Bagaimana kabarmu, Anna? Apakah baik-baik saja?" Tanyanya kembali denhan detail."Ah, kabar baik kok. Hanya saja, aku memutuskan ingin kembali ke kampung halaman."Sosok tersebut tersenyum dengan tidak puas. Tiba-tibaDalam keheningan subuh yang masih gelap, Samantha menyusup keluar dari rumahnya meninggalkan sebuah surat yang telah ia persiapkan. Elizabeth Blossom sebagai sahabat, telah menunggu di luar dengan mobilnya, mata mereka bertemu sejenak, dan Samantha naik ke mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Kau yakin ini keputusan yang tepat, Samantha?" Tanya Elizabeth dengan hati-hati.Samantha menatap jauh ke depan, mencoba menyembunyikan rasa kebingungan dan sakit hati."Sudah saatnya, Elizabeth. Aku tak bisa lagi bertahan dalam bayang-bayang pengkhianatan, lagi pula rumah tanggaku dengan Ivander, sudah benar-benar tidak bisa diselamatkan lagi," Samantha menjawab dengan menyembunyikan semburat kesedihannya.Mobil meluncur melalui jalanan sepi, menuju bandara yang masih sunyi di pagi yang gelap. Elizabeth menggigit bibirnya sejenak sebelum akhirnya bertanya kembali dengan lembut."Apakah kau benar-benar siap melepaskan Ivander?" Elizabeth bertan
Pada sebuah siang yang cerah sejak kepulangan dari bandara, Elizabeth duduk di teras rumahnya, berfikir tentang rencana balas dendamnya terhadap Anna. Dengan hati yang sesak, dia mengambil ponselnya dan memutuskan untuk memanggil Mr. Orlando Parker, seorang penguntit handal yang dikenalnya."Halo, Mr. Parker. Ini Elizabeth. Saya membutuhkan bantuan Anda lagi. Seperti biasa, saya akan memberikan uang yang pantas untuk Anda," ucap Elizabeth seraya meremas lengannya dengan kesal."Tentu, Elizabeth. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda hari ini?" Tanya sosok di seberang sana sambil memainkan janggutnya."Saya ingin Anda mengikuti setiap langkah Anna. Saya ingin tahu setiap tempat yang dia kunjungi, setiap orang yang dia temui, hari ini. Bisakah, kau membantuku untuk menggiring Anna ke sebuah tempat?""Tentu saja, Elizabeth. Saya akan memantau dia dengan cermat dan menggiringnya dengan segala cara. Apakah ada sesuatu yang lebih spesifik yang perlu say
Samantha, tiba di pedesaan Lapland, Finlandia, untuk menghabiskan waktu hidupnya dan menenangkan diri. Bobby, pengawal yang dipercayakan oleh Ayah Samantha, membimbingnya menuju sebuah rumah besar dan artistik di tengah keindahan alam Lapland. "Selamat datang di Lapland, Samantha. Ayahmu memberikan perintah, atas rumah ini untuk menjadi tempat tinggalmu, dan saya yang akan menjagamu dengan baik selama di sini," ucap Bobby seraya membuka pintu gerbang rumah tersebut dan tersenyum lebar.Samantha memandang halaman luas area sekitar yang begitu indah. Kemudian menoleh pada Bobby dengan tersenyum senang."Terima kasih, Bobby. Tempat ini benar-benar sangat indah. Rumah besar ini, juga terlihat begitu artistik. Apakah rumah ini di desain dengan sangat khusus, Bobby?" Tanya Samantha seraya memandang rumah tersebut dengan penuh rasa ingin tahu.Bobby tersenyum melihatnya."Ya, rumah ini memang di desain khusus oleh para arsitektur dan desainer i
Beberapa tetangga dengan ramah menghampiri Samantha yang terlihat berdiri di halaman rumahnya, menyambutnya dengan senyuman hangat. Suasana ramah dan keramahan segera menciptakan ikatan antara Samantha dan tetangga-tetangganya di lingkungan baru."Halo! Saya Samantha, baru saja pindah ke sini," ucap Samantha sambil tersenyum tulus."Hai, Samantha! Saya Chloe Anneli. Senang bertemu denganmu! Bagaimana kesanmu tentang lingkungan ini?" Tanya Chloe pada Samantha menggunakan bahasa internasional, inggris."Sangat menyenangkan dan membuat nyaman. Saya ingin lebih mengenal tempat ini dan tetangga sekitar.""Tentu saja, Samantha. Dan perkenalkan, saya Petra Matias Hakala. Kalau begitu, kamu harus ikut serta dalam festival musim semi kami!" Sahut Petra laki-laki bertubuh tinggi yang tersenyum manis pada Samantha."Festival musim semi? Itu terdengar sangat seru! Apa yang biasanya dilakukan?" Tanya Samantha dengan mata berbinar."Oh, banyak
"Sam-Samantha, Hallo... " Sapa Detektif Xavier yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Samantha terduduk.Samantha menoleh dan langsung menengadah dengan begitu terkejut."Xavier?" Samantha sontak bangkit dan menatap Xavier dengan tidak percaya."Samantha, maafkan aku datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan," ujar Detektif Xavier tanpa basa-basi.Samantha terdiam dan terpaku."Samantha, who is this Xavier guy, sih? Kenapa dia tiba-tiba muncul di sini, dan kenapa dia tampak begitu menganggu?" Tegur Bobby pada Samantha, dengan tidak suka karena merasa terganggu, dirinya ikut bangkit berdiri.Xavier menoleh pada Bobby dengan rasa tidak suka. Sementara Samantha bingung harus berbuat apa."Dia temanku, Bobby. Dan-""Apakah kau sudah mendapatkan ijin dari orang tuamu, jika ada orang asing yang datang menemuimu, Samantha?" Bobby segera memotong ucapan Samantha."B
Samantha, didampingi oleh dua pelayannya yang setia, Ava dan Valerie, juga Bobby, bersiap untuk berbelanja kebutuhan bahan pokok rumah tangga. Dengan daftar belanja yang telah disusun oleh Valerie, mereka akan memasuki toko besar dengan semangat. "Ava, Valeria, kita perlu belanja bahan pokok untuk Minggu ini. Aku minta, kalian wajib teliti membaca deskripsi di setiap kemasan, jangan sampai kita memakan dari bahan yang tak seharusnya," perintah Samantha seraya melihat catatan yang dia bawa."Ya, karena kebetulan di sini, mencari makanan dari bahan yang halal memiliki tantangan tersendiri Samantha," sahut Bobby melirik sekilas."Bagaimana, agar kami tidak salah dalam memilih makanan tersebut, Bobby?""Kamu bisa cek dibagian label setiap kemasan, atau jika kurang paham, kamu bisa langsung bertanya pada bagian staff di sana. Tapi yang paling mudah untuk mendapatkan makanan halal, tentu dengan berbelanja bahan makanan pokok universal, seperti beras, s
Samantha baru saja tiba di rumahnya bersama dua pelayannya dan Bobby, setelah berbelanja di supermarket dengan sejumlah barang besar. Kehadiran mereka disusul oleh sebuah mobil yang tiba-tiba berhenti di depan gerbang rumah Samantha, di mana Xavier, sosok tak diundang, muncul.Langkah kedatangan Xavier membuat Samantha terkejut saat melihatnya."Xavier, apa yang hendak kamu lakukan di sini?" Tanya Samantha dengan raut wajah terkejut."Kita perlu bicara, Samantha. Ikutlah denganku," ucap Xavier tersenyum sinis dan sege menarik lengan Samantha."Xavier, lepaskan!" Pekik Samantha.Bobby yang menyadari segera beranjak berusaha untuk melepas tangan Xavier dari Samantha."Dia tidak akan pergi ke mana-mana bersamamu, Xavier! Lepaskan tangan Samantha, kau tidak bisa seenaknya bawa pergi orang lain! Samantha akan bisa pergi, atas ijinku!" Tegas Bobby menatap tajam Xavier."Kau siapa? Samantha itu milikku!" Hadang Xavier dengan ti
"Hai, semuanya! Saya sangat bersemangat untuk festival pendakian kali ini, ke Gunung Saana!" Ujar Petra bersemangat pada beberapa kawanan di sana.Mereka semua menoleh pada kehadiran Petra."Halo Petra! Kami juga sangat bersemangat. Tapi, apa yang kali ini bisa membuatmu begitu bersemangat dan bergembira, Petra?" Tanya sosok yang disebelahnya sambil mengikat tali sepatu, namanya Jukka."Iya, tentu saja! Karena cuaca kali ini terlihat sangat bersahabat untuk kita melaksanakan perjalanan," ucap Petra tersenyum dan berkilah."Mungkinkah, karena sosok perempuan baru itu? Wajah asia dengan campuran Kanada, terlihat sangat menarik sekali, penuh pesona," sahut sosok lain yang bernama Niklas, sambil menunjuk sosok Samantha yang dimaksud dengan pandangannya.Pertra tersenyum manis melihat kehadiran Samantha yang tengah menghampiri perempuan di sana."Yang aku dengar, dia sudah pernah menikah," timpal Jukka yang sudah selesai memperbaiki t
Samantha kembali dari petualangan di Finlandia, membawa kabar bahagia untuk keluarga besar bahwa setelah beberapa bulan di Lapland, ia kini mengandung. Berita tersebut disambut dengan suka cita dan rasa syukur oleh keluarga besar, mengukuhkan perasaan bahagia Ivander dan Samantha yang akhirnya meraih kebahagiaan menjadi orang tua.Kehamilan Samantha telah mencapai usia lima bulan, menandai perjalanan mereka menuju kehidupan keluarga yang penuh keceriaan dan harapan."Semuanya, ada sesuatu yang ingin kami bagikan. Aku sangat bersyukur karena pada akhirnya, Tuhan telah mempercayakan seorang janin yang tengah hidup dalam rahimku," ungkap Samantha dengan sangat bahagia.Keluarga besar dari kedua belah pihak bersorak dan bahagia."Akhirnya, terima kasih, Tuhan. Selamat, Ivander dan Samantha!" Ucap Neneknya Samantha dengan penuh haru."Kami benar-benar sangat bersyukur atas berkah ini," ucap Ivander tersenyum bahagia, seraya mengelus perut Samantha yang sudah buncit."Kami tidak sabar menan
Dengan hati yang galau, Kevin melangkah mendekati Rose di bawah sinar senja, di tengah suasana hening kolam renang. Kehilangan komunikasi selama ini membuatnya ragu bagaimana menyapa, namun didorong oleh desiran untuk memulihkan kehangatan yang terputus. Orang tua Rose menyambutnya dengan senyuman, memberikan izin untuk memperbaiki keputusan itu."Rose... " Panggil Kevin dengan lembut.Rose menoleh dan wajahnya mendadak murung ketika mendapati Kevin."Rose, tolong beri aku kesempatan. Aku minta maaf Rose, aku merindukan kamu. Tolong jangan jauhi aku dan jangan terus bersikap dingin seperti ini," oceh Kevin panjang lebar tanpa jeda agar bisa segera memberikan penjelasan."Bukankah, sudah pernah ku bilang, bahwa jangan pernah hubungi aku lagi. Dan jangan pernah temui aku lagi," balas Rose seraya bangkit berdiri."Rose, ku mohon, tolonglah. Aku benar-benar merasa sangat kehilangan dirimu, aku menyesal Rose.""Aku tidak akan pernah percaya lagi atas semua ucapan yang keluar dari mulutmu!"
Malvin dan Ling-Ling dengan cepat mendekati Leona dan Kevin begitu mereka sampai di pintu kelas."Maaf ya, Leona, Kevin. Kami tahu kami salah kemarin," ucap Malvin sambil tersenyum penuh penyesalan."Kami ingin memulai ulang hubungan kita semua, aku juga turut meminta maaf," Ling-Ling menambahkan, meskipun dalam hati sangat muak.Mereka harus bisa memainkan peran yang sudah diatur."Apa yang membuat kalian berubah pikiran?" Leona memandang mereka dengan rasa heran."Dan kenapa tiba-tiba kalian baik pada kami?" Kevin menyela."Kami menyadari, kita seharusnya tidak bersikap seperti itu. Kami ingin menjadi teman kalian lagi," Malvin menjelaskan, meskipun dalam hati malas."Kami merasa bersalah dan ingin memperbaiki semuanya," Ling-Ling menimpali."Aku senang akhirnya kalian berdua sadar. Aku maafkan kalian, tapi... aku juga ingin sekali berbaikan dengan Rose dan Debora," Leona tersenyum dan mengangguk. Kemudian merenung."Ya, kita harus memperbaiki semuanya bersama-sama," Kevin setuju.K
"Jadi, untuk apa kalian ke sini?" Tanya Samantha menatap secara bergantian pada para sosok remaja yang terduduk di hadapannya."Ehm, kami... Kami, mau.. " ucap Malvino dengan bingung dan terbata-bata.Ketakutan sebenarnya menyelimuti mereka, telapak tangan mereka mendadak terasa dingin karenanya."Mau apa?" Tanya Ivander dengan tajam dan dengan nada galak."Ayo, cepat katakan!" Ujar Ling-Ling berbisik dan mendesak Malvino."Kau saja!" Balas Malvino juga sama berbisik dan merasa terdesak."Kami bingung hendak menjelaskan bagaimana Nyonya Samantha, Tuan Ivander," ucap Debora segera."Ehm, kami... Kamu datang ke sini hendak berbicara sesuatu," sahut Rose dengan ragu.Ling-Ling segera menyenggol kaki Rose untuk segera mengatakannya, Rose malah kembali mendesak Malvino."Ayo, bicaralah. Waktuku tidak banyak," ucap Ivander mendesak bocah-bocah kecil di hadapannya."Mm, Tuan dan Nyonya. Kami hendak minta maaf," ujar Malvino tapi tidak sanggup berkata lebih lanjut."Minta maaf untuk apa?" Tan
Leona duduk di bangku taman, wajahnya dipenuhi raut kesedihan. Kevin, yang selalu setia berada di sisinya, mencoba menghiburnya."Leona, aku tahu semua orang menjauh, tapi aku di sini untukmu," ucap Kevin terduduk di sebelahnya sambil menatap Leona dari samping."Terima kasih, Kevin. Kau selalu ada untukku," balas Leona menoleh pada Kevin dan berusaha tersenyum.Suasana taman sangat sepi dan keadaan seolah kelabu menyelimuti hati Leona."Kevin, apakah benar yang mereka semua katakan padaku? Apakah aku benar-benar seegois itu? Bukankah hal yang wajar, jika aku sebagai seorang sahabat meminta bantuan kalian?" Ucap Leona membela dirinya secara halus."Aku paham, dan aku tidak masalah soal semua itu. Hanya saja, tidak juga berlebihan Leona," jawab Kevin mengangguk, kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan rasa tidak enak."Berarti aku salah?""Oh, tidak juga, hehe.""Kevin, kenapa Rose, orang yang paling aku percayai selama ini, tega berbuat seperti itu padaku?" Ucap Leona mer
"Dona! Kamu tidak bisa pergi begitu saja! Dona!" Teriak Baba Hong mengejar Dona ke gerbang pintu.Dona terus saja berlari sampai berhasil keluar rumah tersebut, dengan beberapa pelayan dan penjaga heran menatap keduanya. Baba Hong berhasil meraih Dona, dan memeluknya dari belakang."Lepaskan! Aku tidak akan menuntut apapun dirimu! Lepaskan aku!" Pekik Dona seraya berusaha melepaskan diri."Tidak! Jangan pergi, kau akan tetap menjadi istriku, Dona.""Buat apa? Kau sudah ada Livia. Aku cukup sadar diri, kau akan menua bersama Livia.""Aku tahu, Livia hanya mengincar uangku saja. Aku hanya ingin membeli harga dirinya, aku tidak benar-benar mencintainya."Dona berhasil melepaskan pelukannya dari Baba Hong.Plak!Dona menampar Baba Hong dengan sangat kencang, Baba Hong kemudian merasakan pipinya sangat perih dan memerah. Meskipun sudah tua, wajahnya masih terlihat tua dan segar. Sedangkan, Dona sebenarnya cantik. Namun, dia sadar bahwa hati Baba Hong selama ini bukan untuknya. Baba Hong ti
Leona berjalan dengan percaya diri menuju rumah Baba Hong, menyadari ketertarikan yang dimiliki pengusaha tua tersebut pada kakaknya, Livia. Baba Hong sangat tergila-gila dengan kecantikan yang dimiliki oleh Livia Kakaknya sejak muncul di sebuha majalah.Leona melangkah dengan anggun menuju pintu masuk yang megah. Pintu terbuka luas, mengungkapkan kemegahan rumah Baba Hong. Segera, sekelompok pelayan berdiri dengan sikap hormat."Selamat datang, Nyonya Leona," sapa kepala pelayan dengan ramah."Terima kasih. Saya harap tidak merepotkan. Saya ingin bertemu dengan Baba Hong," jawab Leona sambil tersenyum."Tentu saja, Nyonya. Ikuti saya," kata kepala pelayan sambil memimpin Leona melewati lorong-lorong yang dihiasi dengan lukisan dan hiasan seni yang mahal.Sesampainya di ruang tamu utama, Baba Hong sudah menunggu dengan senyuman hangat."Leona, selamat datang di rumahku yang sederhana ini," kata Baba Hong sambil memberikan salam."Salam, Baba Hong. Terima kasih atas sambutanmu, rumah i
Ivander duduk di samping Samantha di ruang tamu mereka yang nyaman, kegembiraan terpancar dari suaranya."Samantha, Ayahmu memberikan tiket ke Finlandia untuk berbulan madu kita.""Tapi, tanpa tiket pun, kita bisa pergi sendiri, kan?" Samantha tertawa kecil menatap Ivander."Tentu saja. Tapi, apakah di sana kamu punya rumah?""Ayahku telah membelikan rumah di Lapland saat aku pergi dari sini."Ivander mengangguk paham."Kalau bosan dengan suasana di rumahmu, kita juga punya tiket hotel dari Tuan Jackson.""Bagus, Ivander. Aku ingin merasakan suasana baru. Setelah itu, kita pulang ke rumah di Lapland.""Tuan Jackson sangat berharap kita segera memiliki buah hati di rahimmu, sayang. Kita harus berhasil sebelum kembali ke Indonesia," ujar Ivander seraya merapihkan rambut Samantha ke telinganya."Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Kapan kita bisa berangkat?" Tanya Samantha."Aku akan kembali bekerja setelah luka kamu sembuh, satu mingguan, dan kemudian kita bebas pergi ke mana saja.""
Samantha melangkah pelan di antara lorong-lorong toko yang penuh dengan berbagai kebutuhan rumah tangga. Troli besarnya ditarik dengan cermat, sementara matanya sibuk memilah produk-produk yang akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Saat itulah, tiba-tiba saja, seorang laki-laki asing dengan langkah ringan muncul di sebelahnya. Dengan senyum ramah, laki-laki itu menyapa Samantha."Perlu bantuan? Saya bisa membantu Anda mengambil barang yang sulit dijangkau."Samantha terkejut sejenak, namun senyum lelaki tersebut mampu meredakan ketegangannya."Oh, terima kasih banyak! Saya sebenarnya kesulitan mengambil beberapa barang di rak yang tinggi."Tanpa ragu, lelaki tersebut dengan sigap membantu Samantha mengambil barang-barang yang sulit dijangkaunya. Mereka bekerja sama, dan Samantha merasa bersyukur atas pertolongan yang diberikan."Saya benar-benar berterima kasih, Anda sungguh membantu," ucap Samantha dengan tulus."Tidak masalah, saya senang bisa membantu. Nama saya Ryan, si