"Bagaimana bisa, aku sampai di titik ini? Nafsu dalam kesalahan fatal benar-benar telah menjadi temanku, kenapa aku bisa begitunya?" Tanya Anna dalam hati, sambil memandang foto pernikahan siri dirinya dan Ivander.
Anna merasakan penyesalan yang mendalam karena langkah-langkahnya yang kelam. Jatuh hati pada Ivander, suami orang, membawa Anna ke dalam pusaran emosi yang rumit. Obsesinya untuk merebut Ivander dari Samantha membawanya ke jalur yang tak terduga, di mana cinta terlarang tumbuh dengan subur.Pandangan mata Anna padanya menjadi mantra berbahaya yang menghancurkan batasan-batasan moral. Keinginan untuk menjadi prioritas utama dalam hidup Ivander membutakan Anna terhadap konsekuensi yang akan datang. Namun, saat perselingkuhan terjadi, realitas pahit mulai merayap masuk.Ivander, suami yang awalnya menjadi incaran Anna, tiba-tiba berubah arah dan sikap. Anna terkejut menyadari bahwa dia tidak bisa mengendalikan hati Ivander sebagaimana yang dia kirAnna merasa kehilangan. Ivander, yang dulu penuh perhatian dan kelembutan, kini menjadi bayang-bayang dari sosok yang dulu dikenalnya. Setiap hari, sikap dingin dan tajam Ivander semakin memperlebar jurang di antara mereka. Anna mencoba memahami perubahan ini, mencari jawaban dalam setiap kenangan yang mereka miliki.Suatu hari, di bawah cahaya bulan yang redup, di halaman rumah Ivander yang luas. Anna mengajak bicara Ivander."Ivander, apa yang terjadi padamu? Kita dulu begitu bahagia dan menciptakan banyak momen romantis, sekarang kenapa kau jadi seperti ini? Kita dulu selalu bahagia walaupun hanya hidup berdua," tanyanya dengan suara lembut."Anna, kau tahu betapa sulitnya melupakan kesalahan, dan kesalahan yang telah kita lakukan sangatlah fatal. Aku sendiri tidak bisa melupakan bahwa aku pernah menjadi orang jahat pada istriku, kau sendiri juga telah berusaha untuk menjadi seorang penghancur dalam hubungan pernikahan kami," tukas Ivander menatapnya ta
Ivander membawa Anna ke butik mewah dengan harapan menemukan pakaian yang sesuai untuk acara pesta yang akan datang. Mereka berdua memasuki butik yang dipenuhi dengan gaun-gaun elegan dan setelan malam."Anna, bagaimana kalau kita mencoba memakai pakaian yang senada untuk acara pesta nanti? Itu akan membuat kita terlihat seperti sepasang teman yang kompak," ucap Ivander sambil tersenyum."Sepasang teman? Kamu yang benar saja, Ivander. Aku adalah istrimu, mengapa kamu tidak mengakui aku sebagai istrimu?" Tanya Anna tidan terima."Anna, kau harus sadari semua perjalanan hidup ini. Semua rekan bisnisku dan orang-orang yang mengenalku, hanya tau istriku adalah Samantha. Sedangkan kau dan aku, hanya sebatas pernikahan yang tidak sah, Anna," Ivander menjelaskan dengan sangat gemas.Anna menghela nafas kesal, dirinya tidak berani menyatakan perlakuan lebih lanjut soal status mereka."Oke, baiklah. Aku percaya padamu, kita bisa mencari pakaian yang cocok sekarang."Mereka mulai memilih gaun da
Malam telah menyapa kesunyian, semilir angin berhembus menyelimuti keadaan. Anna terdiam santai tengah sibuk dengan dunianya."Anna, bisakah kamu tolong bantu aku untuk menyiapkan pakaian meeting pentingku besok di kantor?" Ivander menghampiri Anna yang tengah duduk di pinggir kolam renang.Ivander memandangi punggung tubuh Anna yang tengah bermain ponsel."Kenapa tidak meminta tolong pacarmu yang lain saja, saat di pesta kemarin?" Jawab Anna dengan nada sinis."Pacarku yang mana? Anna, aku sedang serius. Ini penting, dan aku butuh dukunganmu.""Aku sungguh heran denganmu, Ivander. Kau masih sempat-sempatnya berani untuk meminta bantuanku, setelah perlakuanmu beberapa hari yang lalu begitu menghina diriku, sejak kepulangan dari pesta penting itu. Apa, kamu pikir aku akan lupa begitu saja?" Sungut Anna dengan marah tanpa mengubah posisi.Ivander memandang punggung tubuh Anna dengan kesal, ia mendengus."Anna, karena kau m
Saat pagi yang cerah, Anna memasuki ruang makan rumah tersebut dengan senyum ceria. Namun, keceriaan itu berubah menjadi kegelapan saat Anna melihat Ivander, suaminya, sedang berbincang akrab dengan Noreen, seorang pelayan di rumah mereka.Dengan hati yang penuh kecurigaan, Anna mengamati setiap interaksi antara Ivander dan Noreen. Setiap tawa, setiap tatapan, semuanya membuat hati Anna semakin penuh dengan rasa cemburu yang tak terkendali. Tanpa memberikan kesempatan bagi logika untuk menenangkan pikirannya, Anna segera melangkah menuju Noreen dengan pandangan tajam. "Ivander, kenapa kau begitu akrab dengan pelayan ini?" Tanya Anna dengan nada tajam.Ivander dan Noreen menoleh pada Anna, sambil senyum hangat."Noreen hanya membantu dengan pekerjaan rumah tangga, Anna. Jangan salah paham.""Aku tidak suka melihatmu begitu dekat dengannya. Apa kau tidak menyadari? Tidak sepantasnya seorang majikan berbincang hangat dengan seorang pelayan,
Anna tiba di kampung halamannya dengan hati yang penuh nelangsa, sepanjang perjalan di dalam bus Anna sesekali menghapus air matanya yang tiada henti meluncur. Anna telah resmi bercerai, karena memang dengan mudahnya Ivander menceraikan Anna yang hanya dinikahi secara siri. Dan tanpa sepeserpun harta warisan yang ia peroleh dari Ivander, karena memang dirinya tidak memiliki hak apapun.Anna terlihat memasuki kampung halamannya dengan hati yang berat. Anna berjalan seraya menarik dua buah koper besar dan ransel yang ia kenakan."Eh, Anna? Lama tidak berjumpa," ucap seseorang yang kenal dengan Anna, seraya memandang Anna dengan semua barang bawaannya."Iya, sudah lama tidak berjumpa, ya," balas Anna tersenyum kikuk."Bagaimana kabarmu, Anna? Apakah baik-baik saja?" Tanyanya kembali denhan detail."Ah, kabar baik kok. Hanya saja, aku memutuskan ingin kembali ke kampung halaman."Sosok tersebut tersenyum dengan tidak puas. Tiba-tiba
Dalam keheningan subuh yang masih gelap, Samantha menyusup keluar dari rumahnya meninggalkan sebuah surat yang telah ia persiapkan. Elizabeth Blossom sebagai sahabat, telah menunggu di luar dengan mobilnya, mata mereka bertemu sejenak, dan Samantha naik ke mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Kau yakin ini keputusan yang tepat, Samantha?" Tanya Elizabeth dengan hati-hati.Samantha menatap jauh ke depan, mencoba menyembunyikan rasa kebingungan dan sakit hati."Sudah saatnya, Elizabeth. Aku tak bisa lagi bertahan dalam bayang-bayang pengkhianatan, lagi pula rumah tanggaku dengan Ivander, sudah benar-benar tidak bisa diselamatkan lagi," Samantha menjawab dengan menyembunyikan semburat kesedihannya.Mobil meluncur melalui jalanan sepi, menuju bandara yang masih sunyi di pagi yang gelap. Elizabeth menggigit bibirnya sejenak sebelum akhirnya bertanya kembali dengan lembut."Apakah kau benar-benar siap melepaskan Ivander?" Elizabeth bertan
Pada sebuah siang yang cerah sejak kepulangan dari bandara, Elizabeth duduk di teras rumahnya, berfikir tentang rencana balas dendamnya terhadap Anna. Dengan hati yang sesak, dia mengambil ponselnya dan memutuskan untuk memanggil Mr. Orlando Parker, seorang penguntit handal yang dikenalnya."Halo, Mr. Parker. Ini Elizabeth. Saya membutuhkan bantuan Anda lagi. Seperti biasa, saya akan memberikan uang yang pantas untuk Anda," ucap Elizabeth seraya meremas lengannya dengan kesal."Tentu, Elizabeth. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda hari ini?" Tanya sosok di seberang sana sambil memainkan janggutnya."Saya ingin Anda mengikuti setiap langkah Anna. Saya ingin tahu setiap tempat yang dia kunjungi, setiap orang yang dia temui, hari ini. Bisakah, kau membantuku untuk menggiring Anna ke sebuah tempat?""Tentu saja, Elizabeth. Saya akan memantau dia dengan cermat dan menggiringnya dengan segala cara. Apakah ada sesuatu yang lebih spesifik yang perlu say
Samantha, tiba di pedesaan Lapland, Finlandia, untuk menghabiskan waktu hidupnya dan menenangkan diri. Bobby, pengawal yang dipercayakan oleh Ayah Samantha, membimbingnya menuju sebuah rumah besar dan artistik di tengah keindahan alam Lapland. "Selamat datang di Lapland, Samantha. Ayahmu memberikan perintah, atas rumah ini untuk menjadi tempat tinggalmu, dan saya yang akan menjagamu dengan baik selama di sini," ucap Bobby seraya membuka pintu gerbang rumah tersebut dan tersenyum lebar.Samantha memandang halaman luas area sekitar yang begitu indah. Kemudian menoleh pada Bobby dengan tersenyum senang."Terima kasih, Bobby. Tempat ini benar-benar sangat indah. Rumah besar ini, juga terlihat begitu artistik. Apakah rumah ini di desain dengan sangat khusus, Bobby?" Tanya Samantha seraya memandang rumah tersebut dengan penuh rasa ingin tahu.Bobby tersenyum melihatnya."Ya, rumah ini memang di desain khusus oleh para arsitektur dan desainer i
Samantha kembali dari petualangan di Finlandia, membawa kabar bahagia untuk keluarga besar bahwa setelah beberapa bulan di Lapland, ia kini mengandung. Berita tersebut disambut dengan suka cita dan rasa syukur oleh keluarga besar, mengukuhkan perasaan bahagia Ivander dan Samantha yang akhirnya meraih kebahagiaan menjadi orang tua.Kehamilan Samantha telah mencapai usia lima bulan, menandai perjalanan mereka menuju kehidupan keluarga yang penuh keceriaan dan harapan."Semuanya, ada sesuatu yang ingin kami bagikan. Aku sangat bersyukur karena pada akhirnya, Tuhan telah mempercayakan seorang janin yang tengah hidup dalam rahimku," ungkap Samantha dengan sangat bahagia.Keluarga besar dari kedua belah pihak bersorak dan bahagia."Akhirnya, terima kasih, Tuhan. Selamat, Ivander dan Samantha!" Ucap Neneknya Samantha dengan penuh haru."Kami benar-benar sangat bersyukur atas berkah ini," ucap Ivander tersenyum bahagia, seraya mengelus perut Samantha yang sudah buncit."Kami tidak sabar menan
Dengan hati yang galau, Kevin melangkah mendekati Rose di bawah sinar senja, di tengah suasana hening kolam renang. Kehilangan komunikasi selama ini membuatnya ragu bagaimana menyapa, namun didorong oleh desiran untuk memulihkan kehangatan yang terputus. Orang tua Rose menyambutnya dengan senyuman, memberikan izin untuk memperbaiki keputusan itu."Rose... " Panggil Kevin dengan lembut.Rose menoleh dan wajahnya mendadak murung ketika mendapati Kevin."Rose, tolong beri aku kesempatan. Aku minta maaf Rose, aku merindukan kamu. Tolong jangan jauhi aku dan jangan terus bersikap dingin seperti ini," oceh Kevin panjang lebar tanpa jeda agar bisa segera memberikan penjelasan."Bukankah, sudah pernah ku bilang, bahwa jangan pernah hubungi aku lagi. Dan jangan pernah temui aku lagi," balas Rose seraya bangkit berdiri."Rose, ku mohon, tolonglah. Aku benar-benar merasa sangat kehilangan dirimu, aku menyesal Rose.""Aku tidak akan pernah percaya lagi atas semua ucapan yang keluar dari mulutmu!"
Malvin dan Ling-Ling dengan cepat mendekati Leona dan Kevin begitu mereka sampai di pintu kelas."Maaf ya, Leona, Kevin. Kami tahu kami salah kemarin," ucap Malvin sambil tersenyum penuh penyesalan."Kami ingin memulai ulang hubungan kita semua, aku juga turut meminta maaf," Ling-Ling menambahkan, meskipun dalam hati sangat muak.Mereka harus bisa memainkan peran yang sudah diatur."Apa yang membuat kalian berubah pikiran?" Leona memandang mereka dengan rasa heran."Dan kenapa tiba-tiba kalian baik pada kami?" Kevin menyela."Kami menyadari, kita seharusnya tidak bersikap seperti itu. Kami ingin menjadi teman kalian lagi," Malvin menjelaskan, meskipun dalam hati malas."Kami merasa bersalah dan ingin memperbaiki semuanya," Ling-Ling menimpali."Aku senang akhirnya kalian berdua sadar. Aku maafkan kalian, tapi... aku juga ingin sekali berbaikan dengan Rose dan Debora," Leona tersenyum dan mengangguk. Kemudian merenung."Ya, kita harus memperbaiki semuanya bersama-sama," Kevin setuju.K
"Jadi, untuk apa kalian ke sini?" Tanya Samantha menatap secara bergantian pada para sosok remaja yang terduduk di hadapannya."Ehm, kami... Kami, mau.. " ucap Malvino dengan bingung dan terbata-bata.Ketakutan sebenarnya menyelimuti mereka, telapak tangan mereka mendadak terasa dingin karenanya."Mau apa?" Tanya Ivander dengan tajam dan dengan nada galak."Ayo, cepat katakan!" Ujar Ling-Ling berbisik dan mendesak Malvino."Kau saja!" Balas Malvino juga sama berbisik dan merasa terdesak."Kami bingung hendak menjelaskan bagaimana Nyonya Samantha, Tuan Ivander," ucap Debora segera."Ehm, kami... Kamu datang ke sini hendak berbicara sesuatu," sahut Rose dengan ragu.Ling-Ling segera menyenggol kaki Rose untuk segera mengatakannya, Rose malah kembali mendesak Malvino."Ayo, bicaralah. Waktuku tidak banyak," ucap Ivander mendesak bocah-bocah kecil di hadapannya."Mm, Tuan dan Nyonya. Kami hendak minta maaf," ujar Malvino tapi tidak sanggup berkata lebih lanjut."Minta maaf untuk apa?" Tan
Leona duduk di bangku taman, wajahnya dipenuhi raut kesedihan. Kevin, yang selalu setia berada di sisinya, mencoba menghiburnya."Leona, aku tahu semua orang menjauh, tapi aku di sini untukmu," ucap Kevin terduduk di sebelahnya sambil menatap Leona dari samping."Terima kasih, Kevin. Kau selalu ada untukku," balas Leona menoleh pada Kevin dan berusaha tersenyum.Suasana taman sangat sepi dan keadaan seolah kelabu menyelimuti hati Leona."Kevin, apakah benar yang mereka semua katakan padaku? Apakah aku benar-benar seegois itu? Bukankah hal yang wajar, jika aku sebagai seorang sahabat meminta bantuan kalian?" Ucap Leona membela dirinya secara halus."Aku paham, dan aku tidak masalah soal semua itu. Hanya saja, tidak juga berlebihan Leona," jawab Kevin mengangguk, kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan rasa tidak enak."Berarti aku salah?""Oh, tidak juga, hehe.""Kevin, kenapa Rose, orang yang paling aku percayai selama ini, tega berbuat seperti itu padaku?" Ucap Leona mer
"Dona! Kamu tidak bisa pergi begitu saja! Dona!" Teriak Baba Hong mengejar Dona ke gerbang pintu.Dona terus saja berlari sampai berhasil keluar rumah tersebut, dengan beberapa pelayan dan penjaga heran menatap keduanya. Baba Hong berhasil meraih Dona, dan memeluknya dari belakang."Lepaskan! Aku tidak akan menuntut apapun dirimu! Lepaskan aku!" Pekik Dona seraya berusaha melepaskan diri."Tidak! Jangan pergi, kau akan tetap menjadi istriku, Dona.""Buat apa? Kau sudah ada Livia. Aku cukup sadar diri, kau akan menua bersama Livia.""Aku tahu, Livia hanya mengincar uangku saja. Aku hanya ingin membeli harga dirinya, aku tidak benar-benar mencintainya."Dona berhasil melepaskan pelukannya dari Baba Hong.Plak!Dona menampar Baba Hong dengan sangat kencang, Baba Hong kemudian merasakan pipinya sangat perih dan memerah. Meskipun sudah tua, wajahnya masih terlihat tua dan segar. Sedangkan, Dona sebenarnya cantik. Namun, dia sadar bahwa hati Baba Hong selama ini bukan untuknya. Baba Hong ti
Leona berjalan dengan percaya diri menuju rumah Baba Hong, menyadari ketertarikan yang dimiliki pengusaha tua tersebut pada kakaknya, Livia. Baba Hong sangat tergila-gila dengan kecantikan yang dimiliki oleh Livia Kakaknya sejak muncul di sebuha majalah.Leona melangkah dengan anggun menuju pintu masuk yang megah. Pintu terbuka luas, mengungkapkan kemegahan rumah Baba Hong. Segera, sekelompok pelayan berdiri dengan sikap hormat."Selamat datang, Nyonya Leona," sapa kepala pelayan dengan ramah."Terima kasih. Saya harap tidak merepotkan. Saya ingin bertemu dengan Baba Hong," jawab Leona sambil tersenyum."Tentu saja, Nyonya. Ikuti saya," kata kepala pelayan sambil memimpin Leona melewati lorong-lorong yang dihiasi dengan lukisan dan hiasan seni yang mahal.Sesampainya di ruang tamu utama, Baba Hong sudah menunggu dengan senyuman hangat."Leona, selamat datang di rumahku yang sederhana ini," kata Baba Hong sambil memberikan salam."Salam, Baba Hong. Terima kasih atas sambutanmu, rumah i
Ivander duduk di samping Samantha di ruang tamu mereka yang nyaman, kegembiraan terpancar dari suaranya."Samantha, Ayahmu memberikan tiket ke Finlandia untuk berbulan madu kita.""Tapi, tanpa tiket pun, kita bisa pergi sendiri, kan?" Samantha tertawa kecil menatap Ivander."Tentu saja. Tapi, apakah di sana kamu punya rumah?""Ayahku telah membelikan rumah di Lapland saat aku pergi dari sini."Ivander mengangguk paham."Kalau bosan dengan suasana di rumahmu, kita juga punya tiket hotel dari Tuan Jackson.""Bagus, Ivander. Aku ingin merasakan suasana baru. Setelah itu, kita pulang ke rumah di Lapland.""Tuan Jackson sangat berharap kita segera memiliki buah hati di rahimmu, sayang. Kita harus berhasil sebelum kembali ke Indonesia," ujar Ivander seraya merapihkan rambut Samantha ke telinganya."Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Kapan kita bisa berangkat?" Tanya Samantha."Aku akan kembali bekerja setelah luka kamu sembuh, satu mingguan, dan kemudian kita bebas pergi ke mana saja.""
Samantha melangkah pelan di antara lorong-lorong toko yang penuh dengan berbagai kebutuhan rumah tangga. Troli besarnya ditarik dengan cermat, sementara matanya sibuk memilah produk-produk yang akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Saat itulah, tiba-tiba saja, seorang laki-laki asing dengan langkah ringan muncul di sebelahnya. Dengan senyum ramah, laki-laki itu menyapa Samantha."Perlu bantuan? Saya bisa membantu Anda mengambil barang yang sulit dijangkau."Samantha terkejut sejenak, namun senyum lelaki tersebut mampu meredakan ketegangannya."Oh, terima kasih banyak! Saya sebenarnya kesulitan mengambil beberapa barang di rak yang tinggi."Tanpa ragu, lelaki tersebut dengan sigap membantu Samantha mengambil barang-barang yang sulit dijangkaunya. Mereka bekerja sama, dan Samantha merasa bersyukur atas pertolongan yang diberikan."Saya benar-benar berterima kasih, Anda sungguh membantu," ucap Samantha dengan tulus."Tidak masalah, saya senang bisa membantu. Nama saya Ryan, si