Share

Bab 5

Author: Skavivi
last update Last Updated: 2022-01-23 23:53:13

Nawangsih berkeliling untuk mencari pekerjaan yang bisa dia lakukan setelah melayani Rinjani keesokan harinya.

"Nawang, sini." Citra melambaikan tangan dari ujung lorong.

Nawangsih gegas menghampirinya. "Ada apa, Cit? Mau gosip?" tanyanya dengan nada bercanda seraya mengikutinya pergi ke ruang serbaguna.

Citra mengambil gunting bunga dan seember penuh bunga mawar segar agar Nawangsih membantunya menyusun bunga untuk acara nanti malam.

Ngeteh ala bangsawan dalam acara formal kekeluargaan.

"Duduk dulu baru tanya." Citra tersenyum canggung.

"Ada apa, kenapa wajahmu serius begitu?" Nawangsih heran, tetapi dia meraih gunting bunga seraya mencampakkan daun-daun tua dan durinya.

Citra—seorang penari klasik sekaligus pelayan cadangan Ibunya itu membisikkan sesuatu di telinga Nawangsih.

Nawangsih refleks menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin, itu tidak mungkin terjadi."

"Kabarnya memang begitu, Nawang. Nanti malam akan diadakan jamuan makan malam dengan trah keluarga Tirtodiningratan. Kabarnya lagi, kakakmu itu mau dijodohkan."

"Nggak, aku nggak percaya." Nawangsih menggeleng kuat-kuat sementara detak jantungnya berpacu dengan cepat. Dia tidak menyangka jika desas-desus yang selama ini dia anggap sebagai angin lalu menjadi badai seketika.

"Pasti bercanda, ya? Keluarga tidak ada yang memberitahuku."

Citra merangkul bahunya sembari menggelengkan kepala. "Semua yang ada di depanmu ini nyata, Nawang. Nggak ada yang bercanda dan tidak ada yang mau memberitahumu jauh-jauh hari karena untuk menjaga perasaanmu. Jangan nangis."

Nawangsih menaruh gunting dan menyelipkan mawar merah ke dalam vas. Matanya yang menghangatkan membuatnya perlu mengusap wajah sesaat.

"Ternyata waktu nggak bisa menghentikan gejolak itu tapi kenapa secepat ini Ayahanda? Kenapa Ayahanda tidak melihat ketulusan cintaku untuk Mas Suryawijaya? Kenapa, Ayahanda?"

Nawangsih mengusap wajahnya sebelum air mata menetes lagi di pipinya dan menatap Citra.

"Yang ikhlas, Nawangsih!" Citra memeluk Nawangsih, menguatkannya. "Kamu ini orang pilihan, dan menjadi anak angkat keluarga besar ini adalah keistimewaan tersendiri. Kamu harus bersyukur. Ayo, jangan sedih. Biar Mas Suryawijaya tidak ikut sedih melihatmu begini." hiburnya sembari mengelus-elus punggungnya.

Nawangsih menghela napas. "Tapi aku mau Mas Surya juga sedih, Citra! Dia mencintaiku. Dia tidak bisa bersama orang yang tidak dia cintai, kamu tahu kan Mas Surya gimana?"

Citra meringis. Barang siapa yang ingin berurusan dengan Mas Suryawijaya harus siap dengan segala risikonya. Dicueki dan nyaris tidak dianggap apalagi jika lawan bicaranya perempuan. Naas bagi perempuan itu, pulang-pulang langsung kecewa.

Dia pernah merasakannya, jadi dia bisa membayangkan bagaimana perempuan yang akan dijodohkan dengan Suryawijaya nanti. Makan hati setiap hari!

Citra jadi meringis. "Jadi apa yang kamu takutkan, Nawangsih. Bagus kan? Nanti perang mulu, cerai dan kembali kepadamu."

"Hush!" sergah pelayan sepuh, "jaga bicaramu cah ayu!" katanya dengan tegas.

Nawangsih dan Citra menunduk sambil tersenyum formal. Beruntung yang diintrupsi hanya tawa mereka, bukan apa yang mereka bicarakan.

"Pantas semalam aku mimpi buruk, Cit! Mas tidak memberitahu apa-apa soal itu. Dia juga sudah pergi ke kampus pagi-pagi sekali. Dia pasti sengaja menghindar!" tukas Nawangsih dengan suara serak.

Citra mengangguk. "Kalau begitu kamu nanti dandan yang cantik, biar kakak kesayanganmu itu tidak berpaling. Oke? Aku bantu dandan nanti!"

Nawangsih mengiyakan karena patah hati butuh teman, apalagi Citra teman seperjuangannya.

•••

Beberapa jam menyendiri dan melahirkan sejuta pikiran yang membuatnya sakit hati. Nawangsih pergi ke ruang tamu, dia ikut merapikan ruangan yang akan menjadi saksi patah hatinya nanti malam.

Citra yang membawa bunga-bunga bermekaran dan tersusun rapi di dalam vas klasik menyapa Nawangsih.

"Istirahat saja Nawang atau luluran dulu biar shining bright like diamond." guraunya sambil menaruh vas di meja. "Aku ke belakang lagi, masih banyak yang harus di bawa."

Nawangsih mengiyakan sebelum seseorang memanggilnya.

"Nawangsih, di cari Ibu, di suruh segera menemui beliau di ruangannya."

Nawangsih mengangguk, dia bergegas ke ruang kerja Rinjani.

Dari ambang pintu yang dibiarkan terbuka, dia menyapa dengan santun. "Selamat siang, Ibunda. Ibu memanggilku?"

Rinjani tersenyum hangat. "Kemarilah, cah ayu."

"Ibunda sudah pulang sejak tadi?" Nawangsih mencium punggung tangan ibunya seraya duduk di sebelahnya.

"Baru saja, cah ayu. Kebetulan memang ibu sudah selesai kerja." Rinjani meraih tas belanja berisi kebaya modern dari desainer langganannya. "Pakailah ini untuk nanti malam."

Mendadak, Nawangsih merasa lemas. Betapa kecewanya dia padahal baru kemarin dia merasa memiliki Suryawijaya.

Nawangsih menyandarkan kepala di lengan ibunya. Ternyata, beliau pun sudah menyiapkan kebaya untuk acara Royal Highness Tea and Talk nanti malam, kebaya putih yang akan membuat Nawangsih cantik dan elegan.

"Temani ibu, ya." pinta Rinjani.

Nawangsih mengerucutkan bibir seraya menatap ibunya dengan sendu bagai anak ayam yang takut kehilangan induknya.

Rinjani tersenyum geli sembari merapikan anak rambut Nawangsih sebelum mengecup keningnya.

"Mana bisa putraku jauh-jauh darimu, Nawangsih. Dia amat mencintaimu, tapi cobalah memahami situasi sekarang, ini berat bagi Suryawijaya, bagi keluarga kita juga."

Nawangsih tersenyum kecil saat menerima cubitan gemas di hidungnya.

"Apa ada masalah yang tidak Nawangsih ketahui, Ibu?" tanya gadis itu sebab tak dipungkiri bahwa ia tahu beberapa konflik internal yang disembunyikan oleh orang tuanya dari khayalak umum. Dia tidak yakin apa itu istilahnya, yang dia tahu, masalahnya cukup besar sampai-sampai bernapas pun terasa sukar.

"Bisa jadi nanti malam akan menjadi jawabannya, Nawangsih. Tapi semoga saja Ayahanda berubah pikiran dan tidak perlu melestarikan tradisi kolot ini. Iya to?"

Nawangsih mengangguk setuju. Perjodohan itu sudah kuno, sudah ditinggalkan sejak era kepemimpinan ayahnya saat ini. Lagipula, ia tidak mau menjadi Anarkali di dunia modern, cukup Anarkali dari dinasti Mughal yang menjadi budak dan pelacur untuk sang putra mahkota hingga akhirnya berakhir tragis. Aku jangan, batin Nawangsih.

"Ibunda ada di pihak siapa?" tanya Nawangsih polos.

Ibunya yang masih memakai kebaya lengkap tertawa kecil, lengannya memeluk Nawangsih erat-erat.

"Ibunda tidak bisa memihak siapapun, Nawangsih. Karena kamu mengerti, perempuan di sini hanya seperti pelengkap. Opininya kadang di dengarkan, kadang tidak. Tidak masalah, wanita akan slalu menjadi yang terbelakang soal ini, tapi wanita jauh lebih kuat daripada pria sebab mereka lemah karena cinta, dan wanita kuat karena cinta! Mengerti sayang?"

"Aku mengerti, Ibu." Nawangsih menyunggingkan senyum, membalas pelukan ibunya yang sehangat sinar matahari.

"Temui Suryawijaya, sepertinya dia sudah pulang dari kampus."

"Ayahanda?"

"Ayahanda sedang kunjungan diplomatik. Tenanglah."

Nawangsih mencium punggung tangan ibunya seraya membawa tas belanjanya tadi. "Terima kasih, Ibu." ucapnya sembari membungkuk hormat. Entah sudah berapa kali dalam sehari ia mengucapkan kalimat itu. Karena hanya itulah yang mampu Nawangsih ucapkan untuk membalas semua kebaikan yang dia peroleh dari keluarga itu. Begitupun sembah baktinya yang mungkin akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri suatu saat nanti.

•••

"Mas Surya."

Suryawijaya menaikkan pandangannya dari layar laptop, bibirnya tersenyum melihat Nawangsih membawa kopi hitam dan cemilan kesukaannya.

"Ada apa, Nawangsih? Mau ngomel-ngomel soal nanti malam?" tebak Suryawijaya.

Nawangsih berdehem sebelum tersenyum hangat.

"Di minum, Mas. Ini spesial buatan Nawangsih. Tidak ada duanya." ucapnya percaya diri meski sebenarnya dia merasa akan terintimidasi oleh putri-putri dari keluarga Tirtodiningratan.

Sepanjang hari ini saja Nawangsih sudah cemas, belum acara nanti malam, makin tak karuan hatinya. Makin banyak pikirannya. Stress jadinya.

"Terima kasih, adikku. Kamu tahu keinginanku sekarang." Suryawijaya berkata serius.

Nawangsih ternganga. Baru juga kemarin saling berbagi cerita dan menghabiskan waktu berdua selayaknya muda-mudi yang sedang kencan pertama. Sekarang, laki-laki ini menganggapnya adik di saat yang tidak tepat pula.

Nawangsih cemberut. "Jangan anggapku adik, Mas!" protesnya.

"Lalu apa? Kakak? Mbak Lilah akan marah kalau posisi kamu ambil alih!" goda Suryawijaya.

"Soulmate gitu, masa adik!" Nawangsih mendesah kesal, tapi justru terdengar manja di telinga Suryawijaya.

"Iya, iya. Terserah apa mau kamu, Nia. Asal jangan menjadikan aku orang lain di hatimu. Setuju?"

Comments (11)
goodnovel comment avatar
Cut Siti Nuryani
Ibunda Ratu bisa merasakan perasaan Nawangsih, karena ia pernah merasakan berada diposisi seperti itu...
goodnovel comment avatar
Ismimuji 3
lahh piye iki.... ayahanda kaysan ...mbok ya inget dlu perjuangan nya dapetin kanjeng ratu... jangan mempersulit mas surya tho...
goodnovel comment avatar
meisssoegijono
dejavu ayahanda.. ibunda...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 6

    Nawangsih terdiam sejenak untuk memandangi Suryawijaya, laki-laki itu memiliki rambut lurus dengan potongan model taper fade, alis tebal, hidung bangir dan bibir tipis kehitaman khas seorang perokok aktif. Ia benar-benar mewarisi semua yang dimiliki oleh Ayahanda Kaysan, termasuk mewarisi keangkuhan, kewibawaan dan kesetiaannya kepada seorang wanita."Ndomas iseng, aku ngambek."Suryawijaya menggigit cemilan gurih bertekstur lembut dan lunak sembari mengerutkan kening saat Nawangsih hanya berdiri di sebrang meja."Tidak pegal? Atau memang hanya ingin berdiri sambil melihatku seperti itu?" goda Suryawijaya.Ah, Nawangsih menutup wajahnya dengan nampan, salah tingkah.Suryawijaya mempertimbangkan untuk menegur Nawangsih karena membantahnya, namun ia urungkan karena gadis itu menghampirinya seraya duduk dengan keanggunan yang sangat terlatih.Suryawijaya manaruh garpunya, ia menghabiskan kopi terenak di dunia. Tentu dunianya sendiri yang penuh dengan nama Nawangsih seorang.Suryawijaya me

    Last Updated : 2022-01-25
  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 7

    Di hari yang panjang dan melelahkan untuk bersikap baik-baik saja, Nawangsih tersenyum ayu di belakang orang tua mereka yang berjalan beriringan.Disampingnya, Suryawijaya mengangkat dagu tinggi-tinggi, menyatakan ketidaksukaannya terhadap acara penuh makna malam ini. Suryawijaya memang gusar dan marah kepada siapapun karena nasib memperlakukannya dengan tidak adil. Sementara yang ia lakukan sekarang hanya demi kesopanan, martabat dan harga diri.Suryawijaya akan dengan senang hati mengabdikan diri sebagai baktinya kepada Ayahanda Kaysan dan kerajaan. Namun ia tidak mau dipaksa menikah dengan gadis lain yang tidak ia sukai. Cukup sekali sudah cukup untuk mengikuti acara Royal Highness Tea and Talk yang diadakan ayahnya demi tradisi kolot ini. Tapi baginya, mengalahkan kecerdikan pria yang memakai beskap putih itu adalah urusan harga diri. Perlu taktik yang mumpuni dan uang yang banyak sebelum melakukan pemberontakan yang terencana.Memasuki ruang tamu yang di peruntukan untuk menampung

    Last Updated : 2022-01-26
  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 8

    Keesokan hari, di dalam kamar, sejak tadi Nawangsih hanya termenung di pinggir dipan sembari memeluk bantal. Dia bingung harus bersikap bagaimana saat calon Suryawijaya nanti datang berkunjung.Bersikap seolah-olah tidak cemburu?Wajahnya sudah terlihat menyiratkan kekecewaan mendalam. Mustahil ia bisa melakukannya, karena baginya untuk tidak cemberut, mecucu, ngedumel, atau sehat walafiat sangat susah karena sejak tadi malam ia sudah kepikiran.Mencoba berlagak utuh?Nawangsih mendesah. Ia beranjak, mencari cara agar ia terlihat baik-baik saja di hadapan semua anggota keluarga apalagi di hadapan Suryawijaya, laki-laki yang menoreh rasa kecewa dibenaknya tadi malam. Nihil, wajahnya sudah carut marut.Pura-pura tidak peduli?Nawangsih mendesah panjang. "Aku kan anak manis."Kesal dengan keadaan dan dirinya sendiri, Nawangsih menghempaskan bokongnya di depan meja rias."Yang penting tetap cantik, berbudi baik dan santun! Itu penting biar Ayahanda tahu betapa aku masih setegar karang, sek

    Last Updated : 2022-01-27
  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 9

    Brak, Brak, Brak. Bunyi itu terus terdengar di bangsal keputren, menjadi kegaduhan langka di senyapnya bangunan itu. "Buka pintunya, Cit! Buka! Tolooong." Nawangsih memukul-mukul pintu kamar dengan lelah, ia kaget saat dirinya di suruh tinggal di kamarnya tanpa alasan yang tidak jelas. Dan yang membuatnya lebih tercengang ia dikunci dari luar oleh Citra. "Citra, tolonggg." ucapnya serak. Tenggorokannya kering, sialnya lagi, ia lupa menaruh cadangan air putih di dalam kamar."Cit, tolong buka pintunya! Aku salah apa sampai di kurung begini? Apa Ayahanda marah? Cit... Tolong jelaskan baik-baik saja, aku bakal mengerti. Jangan begini, Ibunda butuh aku!" Citra yang menjadi kambing hitam tersudut di pojokan dengan rasa bersalah, merasa tidak ada daya untuk melawan Iwan dan titah sang Pangeran. "Duh, Gusti! Piye iki." gumam Citra. Nawangsih mematung, tak ada suara yang menyaut ucapannya. Sekarang kamarnya berubah menjadi penjara cinta yang akan menawanny

    Last Updated : 2022-01-29
  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 10

    Sepasang mata Suryawijaya menajam. Lagi-lagi berusaha untuk menyabarkan hati ketika Nawangsih justru memunggunginya tanpa sepatah kata setelah meneriakkan nama Citra. "Ndomas kenapa ada disini, malu ih dilihatin terus!" batin Nawangsih, ia menyerukkan wajahnya yang merah padam di bawah guling. Suryawijaya duduk gelisah di kursinya, menarik napas panjang. Ia bukan jengkel dengan Nawangsih, tapi waktu dan tempat tidak mempersilahkannya untuk berlama-lama di kamar gadis itu. "Bangun, perlihatkan wajahmu!" Nawangsih mengangguk lalu mengerjapkan mata."Tapi ndomas merem dulu. Wajahku jelek, kusut, pokoknya ambyar!" Suryawijaya kontan ternganga. Tapi hanya sesaat, setelah itu dia tersenyum samar. Iwan yang menjadi saksi hidup kisah cinta Suryawijaya dan Nawangsih membalikkan badan. "Drama di mulai." Banyak yang ia tahu sejak Nawangsih menginjakkan kaki ke dalam benteng istana. Gadis yang membawa sederet kisah hidup anak kampung yang tidak mujur, gadis ya

    Last Updated : 2022-01-31
  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 11

    Iwan menggeram seraya ingin memukul kepalanya sendiri. Kenapa harus begini, kenapa harus ada mata-mata di sarang penyamun? Toh ini bukan zaman peperangan lagi, yang harus membutuhkan mata-mata di sarang musuh. Ini zaman modern dan penuh toleransi, tapi kenapa harus begini! Iwan membatin sembari menghela napas. Ia mendatangi Citra setelah mendapat wangsit yang membuatnya senang."Puasa mutihan dulu mas, laku tirakat jangan lupa biar afdol, jangan lupa juga ruwatan kalau perlu. Tapi aku ada teman disana, sesama penari juga." ucap Citra santai, tangannya dengan lihai meronce bunga melati untuk menari nanti malam dalam acara pagelaran wayang orang.Iwan menyeringai lebar. "Siapa namanya? Bisa jadi anak buahku itu cah ayu. Wah...." Aih, Citra menggeleng cepat. "Cukup aku aja mas yang jadi anak buahmu, dia gak usah, ribet, lagipula mempercayai orang yang mengabdikan diri kepada Rajanya sendiri kan gawat. Nanti buntutnya panjang, makin runyam. Sudah to, rakyat biasa seperti k

    Last Updated : 2022-02-01
  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 12

    "Raden." Iwan memberi hormat dengan napas yang ngos-ngosan."Bagaimana?" Suryawijaya membuang putung rokoknya ke tanah dan menggilasnya dengan sandal, ia sudah mengira jika Iwan akan segera bertindak sesuai keinginannya. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan kepada Iwan, tapi ia menahan diri saat di lihatnya sang Raja berjalan menuju tempatnya bersantai-santai di taman. Sang Raja ikut bergabung, menikmati bunyi air kolam dan burung hias yang bercicit riang."Bagaimana? Sudah kamu tentukan siapa calon istrimu?" tanya sang Raja.Dengan tenang Suryawijaya mengangguk seraya meminta Iwan agar tetap ditempat. Iwan membungkuk hormat seraya bersila di atas konblok, ia diam saja sambil terus mendengarkan kalimat-kalimat yang ia duga hanya bualan saja dari Suryawijaya dengan khidmat. Sang Raja pun tersenyum samar, sesaat wajahnya terlihat berseri namun juga tersirat dalam sesuatu yang tidak bisa Suryawijaya mengerti. Ayahnya terlihat was-was. "Bagus. Siapa ya

    Last Updated : 2022-02-03
  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 13

    Napas Nawangsih terengah selepas pertunjukan tari selesai. Peluh terlihat membasahi badan keempat penari yang berjalan keluar melewati jalan setapak menuju ruang tata rias."Nyi Mas. Habis beres-beres makan dulu yuk. Aku laper!" ajak Citra sembari melepas pernak-pernik pentas yang melekat di tubuhnya. Nawangsih terlalu lelah menjawab, mengingat banyak kejadian yang ia lalui hari ini. Dan tak dapat ia pungkiri kalau tatapan Suryawijaya tadi menyita atensinya untuk segera pergi ke kamar. "Tidur aja gimana, Cit? Aku capek, mau bobok." Nawangsih meringis, sungguh-sungguh ia lelah, apalagi setelah menari otot-otot kakinya pegal-pegal. "Bilang aja mau video call sama Raden dikamar." tukas Citra, menirukan gaya Nawangsih jika membicarakan Suryawijaya. Nawangsih lagi-lagi hanya meringis sembari terus melepas semua pernak-pernik dan busana menarinya. Citra merapikan pernak-pernik menarinya ke dalam rak kaca dengan bibir cemberut. "Gak asyik ah, padahal aku---!" Citra m

    Last Updated : 2022-02-03

Latest chapter

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 120

    Tetapi, sedikit tenang itu tidak ada dalam kamus besar Suryawijaya. Setelah urusan mual dan mengidam di trimester pertama berangsur-angsur surut dan Pandu memanggil Nawangsih dengan panggilan Adik. Nawangsih kembali bekerja sebagai anggota legislatif dan melupakannya sebab kesibukan menelannya saban hari setelah cuti panjang yang di lakukan."Aku harus lembur lagi hari ini, Mas. Di rumah Pak Abdul, kerjaanku kemarin yang handle dia jadi harus ke rumahnya untuk kroscek dan ngobrol." pamit Nawangsih lewat telepon.Suryawijaya tahu Abdul adalah rekan kerja paling nyaman bagi Nawangsih selama hamil karena wanginya mirip wangi Ayahanda. Tetapi bagi Suryawijaya tentu itu hanya omong kosong. Dia tidak percaya wangi ayahnya yang khas timbul dari tubuh seorang Abdul, pria berusia empat lima tahun."Hidung kamu itu pasti tidak beres, tidak ada wangi yang mengalahkan wangi Ayahanda." katanya dengan intonasi tidak kalem."Aku jemput terus aku antar ke tempat Abdul, kamu nggak usah bonceng dia. Di

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 119

    Suryawijaya menunggu dengan sabar prosesi pelantikan yang sedang berlangsung. Hampir dua jam waktu melaju, akhirnya harapannya menemui Pandu terwujudkan. Suryawijaya memberi hormat seraya tersenyum penuh arti."Berikan aku kemudahan untuk menemani kehamilan Tania. Dia begitu memintamu memanggilnya adik, adik kecil seperti dulu." kata Suryawijaya dengan natural."Sebulan sebelum ayahanda mangkat, ayahanda berpesan agar saya belajar untuk tegas, Mas. Jadi sekali tidak tetap tidak." Pandu tersenyum, "Aku sedang belajar dari yang mudah-mudah, Mas. Contohnya permintaan Mbakyu."Suryawijaya menarik napas. "Tidak ada yang mudah dalam menuruti keinginan istri yang hamil muda, adik!!!"Suryawijaya menghela napas panjang dan jika keadaan Nawangsih semakin parah, dia benar-benar akan menjadi tulang lunak. Berharap tanpa malu dan tanpa jeda."Lagian tegas menurut Ayahanda bukan begitu, adikku. Ayahanda tegas untuk tetap menjaga semuanya agar tetap tertata dengan baik, bahkan juga untuk memperbaiki

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 118

    Resmi menjadi sepasang suami istri yang telah membuat segala urusan panggil memanggil menjadi ruwet, Suryawijaya tak henti-hentinya meminta Pandu untuk memanggil istrinya dengan panggilan adik saja seperti waktu dulu.Pandu menggelengkan kepala dengan sikap tegas."Tidak bisa begitu, Mas. Bagaimana pun adikku menikah dengan kakakku. Aku tidak mentolerir panggilan adik untuknya sekalipun dia ngidam. Tolong bersikap tegas dan realistis."Dada Suryawijaya bergemuruh. Adiknya yang waktu kecil sering membuat ulah, dan bertindak di luar kepatutan anak bangsawan sekarang berubah drastis. Pandu Mahendra berusaha bijak seperti Ayahanda mereka dan sering mengeluh sakit punggung karena harus duduk dengan waktu yang cukup lama meski akhirnya Suryawijaya hanya bisa mengalah dan pergi."Gayanya bikin aku tidak tahan ingin mengajak Pandu main badminton terus nyemes dia, susah sekali merayunya." Suryawijaya menghela napas sambil geleng-geleng kepala seraya meneruskan langkah ke kamarnya. Tempat Nawang

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 117

    Malam pertama? Terang saja Suryawijaya menyukai tali silaturahmi yang lebih kental dari pada hanya sebatas kakak dan adik. Dan iapun bisa membuat hubungan mereka lebih kental dari darah."Sejak dulu aku sulit membedakan kamu menjadi adikku atau kekasih hati. Tapi sekarang, ya..., Kamu tetap bisa aku panggil adik dengan rasa yang berbeda.""Biasa saja!" sela Pandu dengan nada bijak bahkan gayanya seperti simbah-simbah yang menautkan kedua tangan dibelakang punggung ketika hendak memberi petuah bijak pada anak muda. "Kalian itu bisa menikah karena perjuanganku juga, jadi kalian itu hutang sama aku. Mana bayar hutangnya."Suryawijaya dan Nawangsih tersenyum lebar, tergoda untuk menjura dalam-dalam kepadanya."Terima kasih pewaris tahta kerajaan bisnis Ayahanda. Kami memujamu." kata Suryawijaya sembari mencium punggung tangannya. Pandu menghela napas, merasa bukan itu yang dia mau."Kalian mau honeymoon?" tanyanya sembari berjalan menuju ruang keluarga karena akhir dari pesta pernikahan

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 116

    Manisnya sabar dalam setiap penantian dan pengharapan kini Suryawijaya dan Nawangsih petik dalam bentuk pernikahan. Proses pengikatan janji suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu akan berlangsung dengan adat Jawa klasik dengan prosesi dan ritual yang lengkap dan khidmat.Pernikahan mereka akan terjadi besok lusa, tapi kesibukan demi kesibukan sudah terjadi sejak kemarin. Dapur umum di luar ruangan mulai mengepulkan asap dari tungku api untuk memasak hidangan dan bancakan yang tidak sedikit karena pernikahan Suryawijaya diadakan berbarengan dengan pernikahan Bimo dan Citra, Pandu dan Dewi Laya Bajramaya. Pendopo dan pelataran rumah mulai di tata rapi dengan kursi-kursi dan bunga-bunga yang bermekaran indah berseri.Rinjani tersenyum lega sambil memandang kesibukan yang ada. Dia lega, apa yang terjadi hari ini melebihi harapannya bersama suaminya dulu. Beliau bersyukur, putra-putrinya belajar untuk menjadi orang-orang yang lebih sabar terus-menerus tanpa pantang menyerah

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 115

    Suryawijaya dan Nawangsih tidak menyangka kesibukan mereka sampai membuat mereka lupa menjenguk kondisi Ayah mereka, walau mereka yakin kondisinya akan membaik setelah pengobatan yang terus dilakukan ayahnya tanpa henti. Tapi hari itu ketika Ibunya menuju kamar ayahnya untuk mengambil dokumen. Mereka menemukan lelaki yang teramat mereka cintai mengalami batuk berkepanjangan yang tidak berhenti-henti hingga mengeluarkan darah dan tidak tertolong.Nawangsih menutup mulutnya dengan bibir ternganga. Dengan teramat pelan seakan kehilangan tenaga, dia mendekati Ibunya yang meraung tidak percaya. Air matanya bahkan mengalir deras dan begitu menyayat hati."Ibu." Nawangsih memeluk ibunya yang menjatuhkan diri ke pelukannya."Ayahanda, wafat. Ayahanda pergi ninggalin kita semua." Ibunya sesenggukan. "Maafkan kesalahan Ayahanda, maafkan kesalahannya, Nduk."Nawangsih menggeleng cepat dengan air mata yang ikut tumpah. "Ibunda tidak perlu minta maaf, Ayahanda tidak perlu meminta maaf sama aku, aku

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 114

    Hari-hari kembali melaju meninggalkan jejak, menjadi momen yang terus menguatkan beragam kegundahan Nawangsih dan Suryawijaya selama berpisah. Meski begitu segalanya terasa seperti angin lalu. Rasa rindu itu tidak lagi menjadi beban, rasa khawatir itu tetap ada walau terkesan biasa saja. Suryawijaya tenang Nawangsih di rumah bersama keluarganya, sementara dia tinggal bersama keluarga kakeknya seolah keadilan tetap di tegakkan oleh orang tua mereka. Keduanya memiliki pengawasan hingga tak perlu risau berjauhan.Suryawijaya yang memiliki jiwa seni dan petualang tinggi mulai mendedikasikan diri pada dua hal-hal itu dalam prespektif yang positif.Lelaki itu mulai membuka workshop dan enterpreneur di Australia sekaligus mengembangkan bakat melukisnya dengan pelukis-pelukis handal maupun jalanan. Sementara pekerjaan tetapnya masih memantau sapi-sapi yang menghasilkan susu berkualitas tinggi entah sampai kapan hukuman itu berlanjut, dia hanya perlu pasrah dan menunggu karena ituNawangsih pun

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 113

    Nawangsih menghela napas setelah keluar dari kamar ayahnya, meninggalkan Suryawijaya dan Ayahnya yang kembali membahas pekerjaan.Di dapur, tak ada siapapun kecuali dia dan cicak di atas plafon."Ya Tuhan, di saat aku ingin menjauh dan melupakan semuanya. Restu itu hadir tanpa aku duga. Tapi aku merasa tidak mengerti harus memilih jalan mana. Menikah atau tetap menjadi sahabat selamanya."Gadis itu termenung, membiarkan benaknya bicara dan berdebat. Begitupun Suryawijaya, ruang kerja ayahnya adalah tempatnya menepi setelah pembicaraan dengan ayahnya selesai."Tak ada yang lebih menentramkan hati ketimbang utuhnya sebuah keluarga. Terlebih setelah Ayahanda sakit, keluargaku masih terus di sorot media. Sekarang mungkin benar apa yang di katakan Keneswari dulu, jika apa yang terjadi antara aku dan Nawangsih adalah sesuatu yang justru akan menodai harkat dan martabat keluarga ini."Suryawijaya menghembuskan napas sambil meraba kebenaran dalam setiap kata Keneswari. Dia mengangguk samar dan

  • Pelayan Hati Sang Pangeran   Bab 112

    "Aku tidak mengganggu, Nawangsih. Ibu. Aku bersumpah. Kita hanya bercanda-canda." Suryawijaya mengaku di hadapan Ibunya yang meminta penjelasan. Tetapi penjelasanya tidak mempengaruhi rasa curiga Ibunya."Kamu memangnya bisa bercanda?""Bisa saja... Aku ini juga punya darah pelawak kok." Suryawijaya menghela napas. Baiklah, tiada gunanya bercanda dengan Ibunya, wanita itu terlalu peka akan batin anaknya.Suryawijaya menatap Ibunya. "Kami bersahabat sekarang, dan kami ingin memulai perubahan itu dengan berteman baik.""Berteman baik?"Suryawijaya mengamati Ibunya melihat sekeliling. "Ada apa, Ibu? Mau membicarakan sesuatu yang rahasia dan penting?"Ibunya mengangguk. "Kamu ikut ke kantor sekarang, Ayahanda sudah ada yang jaga."Suryawijaya mengikuti Ibunya dengan tidak tenang. Persoalan cinta dengan adik angkat pun tidak ada habisnya bahkan ketika dia sudah menyerah bagaimana nasibnya sendiri kelak. Mungkin dialah yang akan menjadi jomblo abadi.Suryawijaya menghidupkan steker lampu kar

DMCA.com Protection Status