Keesokan hari, di dalam kamar, sejak tadi Nawangsih hanya termenung di pinggir dipan sembari memeluk bantal. Dia bingung harus bersikap bagaimana saat calon Suryawijaya nanti datang berkunjung.
Bersikap seolah-olah tidak cemburu?Wajahnya sudah terlihat menyiratkan kekecewaan mendalam. Mustahil ia bisa melakukannya, karena baginya untuk tidak cemberut, mecucu, ngedumel, atau sehat walafiat sangat susah karena sejak tadi malam ia sudah kepikiran.Mencoba berlagak utuh?Nawangsih mendesah. Ia beranjak, mencari cara agar ia terlihat baik-baik saja di hadapan semua anggota keluarga apalagi di hadapan Suryawijaya, laki-laki yang menoreh rasa kecewa dibenaknya tadi malam. Nihil, wajahnya sudah carut marut.Pura-pura tidak peduli?Nawangsih mendesah panjang. "Aku kan anak manis."Kesal dengan keadaan dan dirinya sendiri, Nawangsih menghempaskan bokongnya di depan meja rias."Yang penting tetap cantik, berbudi baik dan santun! Itu penting biar Ayahanda tahu betapa aku masih setegar karang, sekuat baja, dan setangguh benteng kerajaan!" ucapnya penuh tekad seraya berdandan.Ketukan pintu membuat Nawangsih menoleh, ia menutup wadah bedak seraya menyemprotkan kolonye dan membuka pintu."Rara Nawangsih.""Nggih."Nawangsih membungkuk hormat kepada Eyang Ningrum, pinisepuh sekaligus guru yang membantunya belajar menjadi ningrat yang bermartabat.•••Di ruang keluarga. Suryawijaya menunggu kedatangan dua putri Tirtodiningratan tanpa ekspresi menggebu-gebu atau penasaran. Ia terlihat biasa saja, nyaris boring dan tak berselera."Bagaimana, Nawangsih?" tanyanya kepada Iwan.Iwan membungkuk hormat. "Rara Nawangsih sedang belajar bersama Eyang Ningrum." jawabnya sopan."Bagaimana keadaannya?" ulangnya lagi.Iwan kontan menatap sang pangeran."Bagaimana keadaannya?" Iwan membeo, Suryawijaya mengangguk tegas."Keadaannya patah hati!"Plengeh. Iwan memberi hormat. Mohon ampun, nyaris nyembah-nyembah saat Suryawijaya berdehem galak."Apa dia masih menangis?" tanyanya dengan suara yang dipaksa untuk terdengar gagah.Sekali lagi Iwan mendongkak, haruskah ia mengatakan semua yang dialami Nawangsih tadi malam.Bagaimanapun Iwan juga tidak tahu pasti, ia hanya mendapatkan informasi tentang Nawangsih dari Citra jika gadis itu semalam menangis di kamar sambil curhat."Sudah pasti, lha wong namanya patah hati, Raden! Rara Nawangsih pasti menangis, semalaman!" tegasnya di akhir kalimat yang kontan membuat riuh suasana hati Suryawijaya."Pastikan dia tetap berada di dalam keputren sampai kedua perempuan nanti pergi!" titah Suryawijaya. Iwan patuh. Tapi, dia tahu urusannya tidak semudah itu, ia harus mencari Citra, membujuknya untuk mengunci Nawangsih di kamar dan segera bergegas bersamaan dengan pintu yang terbuka.Keneswari Syalindri dan Dyah Kinasih memberi hormat kepada Suryawijaya di ambang pintu.Suryawijaya mengangguk, ia mempersilahkan kedua tamunya duduk."Raden, ini ada titipan dari Ayah. Mohon maaf beliau tidak bisa ikut hadir pagi ini." Keneswari tersenyum rikuh seraya menyerahkan kotak kayu jati berukuran tiga puluh centimeter."Tidak masalah, kalian bukan anak-anak yang harus di jaga oleh orang tua!"Suryawijaya membuka kotak yang berisi keris pusaka, salah satu keris kesayangan Adhiwiryo. Ia membolak-balik kerisnya, meneliti dengan saksama, menyentuh ukirannya dan berlagak menilai kerisnya, padahal ia hanya menguji kedua gadis ini apakah sabar atau tidak menghadapi keanehannya.Keneswari dan Dyah saling melempar pandang. Mereka mengernyit, Suryawijaya tidak mengatakan apapun. Laki-laki itu asyik dengan kerisnya. Hanya napas yang terdengar darinya sebagai tanda laki-laki itu bukan patung gupolo."Jika bukan karena Ayah, aku enggan menghadapi pangeran ini. Tidak tersentuh dan harga dirinya kelewat besar!"Keneswari mengubah posisinya duduk."Mau sampai kapan dia akan seperti itu!" cibirnya dalam hati.Keneswari yang menjadi kandidat nomer satu putri persembahan menghela napas, profesinya sebagai model dan influencer seharusnya tidak perlu melakoni perjodohan terkutuk ini, apalagi menjadi pengemis cinta. Keneswari mahir mencari pria yang akan mengagungkannya sebagai seorang putri. Tapi demi Adhiwiryo dan trah Tirtodiningratan yang sedang mengalami krisis keuangan mengharuskannya membuat keputusan besar.Suryawijaya tersenyum. "Keris asli dan sangat berisi." ucapnya seraya mengembalikan keris tersebut ke dalam kotak kayu. "Ucapkan terima kasih kepada Romo Adhiwiryo atas keris ini, saya menyukainya!"Senyum hangat yang sempat Dyah lihat membuatnya tersipu. "Raden." ucapnya keceplosan."Ya! Siapa namamu?" balas Suryawijaya lembut."Dyah Kinasih, Raden!"Suryawijaya mengangguk. Meneliti dua gadis di depannya yang memiliki paras yang berbeda. Yang satu ayu dan pandai merawat diri. Yang satu polos dan manis, mirip Nawangsih."Apa bakat kalian? Selain menari atau apapun yang berkaitan dengan tradisi kerajaan." tegas Suryawijaya bertanya.Bakat diperlukan sebagai bentuk harga diri wanitanya nanti terlepas dari gelar kebangsawanan mereka.Keneswari dan Dyah bertatapan."Saya seorang model, Raden!" jawab Keneswari, tak perlu ada kebohongan karena percuma laki-laki itu akan mencari informasi sedetail mungkin dari orang suruhannya. Iwan. Pria yang sudah mengabdikan diri kepada Suryawijaya selama satu dekade."Baik. Lalu bagaimana dengan Dyah?"Dyah gelagapan, masih salah tingkah dengan pesona Suryawijaya. Lagi, dan lagi pipinya bersemu merah."Jawab, Dy!" sahut Keneswari.Dyah menatap Suryawijaya, seperti terhipnotis gadis ini justru diam, kehabisan kata-kata.Suryawijaya menghirup napas dalam-dalam. Dipandangnya gadis itu sekejap saja. "Saya pastikan kamu masih kuliah, benar?"Dyah mengangguk cepat. "Jurusan arsitektur, Raden. Susah banget gambarnya, saya sampai pusing bikin skripsinya! Ditolak terus." urai Dyah dengan polos hingga Suryawijaya tersenyum lebar."Selesaikan skripsimu jika ingin menikah, tapi tidak perlu buru-buru karena saya juga harus menyelesaikan S2 saya."Dyah mengangguk cepat. Mulutnya yang hendak menjawab lagi kontan terkatup rapat saat Suryawijaya kembali berkata dengan nada lugas."Perjodohan ini tidak akan terjadi begitu saja. Kalian bisa menikmati waktu kalian seperti biasanya."Keneswari mendengus dingin."Perjodohan ini tidak akan membuahkan hasil maksimal jika kita tidak saling mengenal, Raden! Lagipula ini bukan soal perjodohan saja, ini soal tanggung jawab sesama abdi budaya!"Suryawijaya tergelak dengan penuturan gadis itu. "Tanggung jawab bersama? Bagaimana dengan masalah internal keluarga Tirtodiningratan? Kenapa harus menagih janjinya sekarang? Kenapa? Sudah diperbaiki apa hanya dibiarkan berlarut-larut?" Alis Suryawijaya terangkat tinggi-tinggi.Keneswari merasa tersudut, untuk urusan internal keluarganya yang seabrek tidak ia ketahui pasti akar masalahnya, jelas gadis ini harus pandai bersilat lidah, ia harus mencari alasan yang pas agar mudah meluluhkan hati Suryawijaya. Dan yang paling penting adalah mendapatkan gelar Kanjeng Ratu dan memiliki bagian tertinggi dari kerajaan ini."Kita lihat nanti, Raden. Bagaimana cinta akan bekerja karena saya rasa hutang tetaplah hutang yang harus di lunasi dengan sungguh-sungguh." jawab Keneswari.Suryawijaya menegakkan tubuhnya dengan jumawa."Hutang memanglah tetap hutang, Keneswari. Tapi jangan lupakan satu hal ini, hutang bisa di bayar dengan cara lain dan jika semesta ikut andil dalam urusan ini. Hutang bisa lunas dengan cara itu!" urainya dengan percaya diri sembari tersenyum lebar.Pasti bisa lunas, pasti. Ibunda dan Ayahanda tidak akan tinggal diam.Brak, Brak, Brak. Bunyi itu terus terdengar di bangsal keputren, menjadi kegaduhan langka di senyapnya bangunan itu. "Buka pintunya, Cit! Buka! Tolooong." Nawangsih memukul-mukul pintu kamar dengan lelah, ia kaget saat dirinya di suruh tinggal di kamarnya tanpa alasan yang tidak jelas. Dan yang membuatnya lebih tercengang ia dikunci dari luar oleh Citra. "Citra, tolonggg." ucapnya serak. Tenggorokannya kering, sialnya lagi, ia lupa menaruh cadangan air putih di dalam kamar."Cit, tolong buka pintunya! Aku salah apa sampai di kurung begini? Apa Ayahanda marah? Cit... Tolong jelaskan baik-baik saja, aku bakal mengerti. Jangan begini, Ibunda butuh aku!" Citra yang menjadi kambing hitam tersudut di pojokan dengan rasa bersalah, merasa tidak ada daya untuk melawan Iwan dan titah sang Pangeran. "Duh, Gusti! Piye iki." gumam Citra. Nawangsih mematung, tak ada suara yang menyaut ucapannya. Sekarang kamarnya berubah menjadi penjara cinta yang akan menawanny
Sepasang mata Suryawijaya menajam. Lagi-lagi berusaha untuk menyabarkan hati ketika Nawangsih justru memunggunginya tanpa sepatah kata setelah meneriakkan nama Citra. "Ndomas kenapa ada disini, malu ih dilihatin terus!" batin Nawangsih, ia menyerukkan wajahnya yang merah padam di bawah guling. Suryawijaya duduk gelisah di kursinya, menarik napas panjang. Ia bukan jengkel dengan Nawangsih, tapi waktu dan tempat tidak mempersilahkannya untuk berlama-lama di kamar gadis itu. "Bangun, perlihatkan wajahmu!" Nawangsih mengangguk lalu mengerjapkan mata."Tapi ndomas merem dulu. Wajahku jelek, kusut, pokoknya ambyar!" Suryawijaya kontan ternganga. Tapi hanya sesaat, setelah itu dia tersenyum samar. Iwan yang menjadi saksi hidup kisah cinta Suryawijaya dan Nawangsih membalikkan badan. "Drama di mulai." Banyak yang ia tahu sejak Nawangsih menginjakkan kaki ke dalam benteng istana. Gadis yang membawa sederet kisah hidup anak kampung yang tidak mujur, gadis ya
Iwan menggeram seraya ingin memukul kepalanya sendiri. Kenapa harus begini, kenapa harus ada mata-mata di sarang penyamun? Toh ini bukan zaman peperangan lagi, yang harus membutuhkan mata-mata di sarang musuh. Ini zaman modern dan penuh toleransi, tapi kenapa harus begini! Iwan membatin sembari menghela napas. Ia mendatangi Citra setelah mendapat wangsit yang membuatnya senang."Puasa mutihan dulu mas, laku tirakat jangan lupa biar afdol, jangan lupa juga ruwatan kalau perlu. Tapi aku ada teman disana, sesama penari juga." ucap Citra santai, tangannya dengan lihai meronce bunga melati untuk menari nanti malam dalam acara pagelaran wayang orang.Iwan menyeringai lebar. "Siapa namanya? Bisa jadi anak buahku itu cah ayu. Wah...." Aih, Citra menggeleng cepat. "Cukup aku aja mas yang jadi anak buahmu, dia gak usah, ribet, lagipula mempercayai orang yang mengabdikan diri kepada Rajanya sendiri kan gawat. Nanti buntutnya panjang, makin runyam. Sudah to, rakyat biasa seperti k
"Raden." Iwan memberi hormat dengan napas yang ngos-ngosan."Bagaimana?" Suryawijaya membuang putung rokoknya ke tanah dan menggilasnya dengan sandal, ia sudah mengira jika Iwan akan segera bertindak sesuai keinginannya. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan kepada Iwan, tapi ia menahan diri saat di lihatnya sang Raja berjalan menuju tempatnya bersantai-santai di taman. Sang Raja ikut bergabung, menikmati bunyi air kolam dan burung hias yang bercicit riang."Bagaimana? Sudah kamu tentukan siapa calon istrimu?" tanya sang Raja.Dengan tenang Suryawijaya mengangguk seraya meminta Iwan agar tetap ditempat. Iwan membungkuk hormat seraya bersila di atas konblok, ia diam saja sambil terus mendengarkan kalimat-kalimat yang ia duga hanya bualan saja dari Suryawijaya dengan khidmat. Sang Raja pun tersenyum samar, sesaat wajahnya terlihat berseri namun juga tersirat dalam sesuatu yang tidak bisa Suryawijaya mengerti. Ayahnya terlihat was-was. "Bagus. Siapa ya
Napas Nawangsih terengah selepas pertunjukan tari selesai. Peluh terlihat membasahi badan keempat penari yang berjalan keluar melewati jalan setapak menuju ruang tata rias."Nyi Mas. Habis beres-beres makan dulu yuk. Aku laper!" ajak Citra sembari melepas pernak-pernik pentas yang melekat di tubuhnya. Nawangsih terlalu lelah menjawab, mengingat banyak kejadian yang ia lalui hari ini. Dan tak dapat ia pungkiri kalau tatapan Suryawijaya tadi menyita atensinya untuk segera pergi ke kamar. "Tidur aja gimana, Cit? Aku capek, mau bobok." Nawangsih meringis, sungguh-sungguh ia lelah, apalagi setelah menari otot-otot kakinya pegal-pegal. "Bilang aja mau video call sama Raden dikamar." tukas Citra, menirukan gaya Nawangsih jika membicarakan Suryawijaya. Nawangsih lagi-lagi hanya meringis sembari terus melepas semua pernak-pernik dan busana menarinya. Citra merapikan pernak-pernik menarinya ke dalam rak kaca dengan bibir cemberut. "Gak asyik ah, padahal aku---!" Citra m
"Karena kamu ngeyel, Tania! Coba kalau tidak." Suryawijaya menghentikan tawanya. "Kalau tidak kamu pasti tambah ayu." imbuhnya lagi dengan senang.Nawangsih mendengus seraya menghabiskan wedang rondenya, begitu pun Suryawijaya meski matanya terus-terusan memperhatikan wajah Nawangsih.Hanya denganmu aku bisa bercanda.Selesai membayar wedang ronde, mereka masih duduk berdampingan di trotoar jalan. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah kendaraan yang berlalu lalang dengan jarang dan suara malam.Setelah beberapa saat keheningan berjeda pembicaraan mereka. Suryawijaya bangkit seraya menatap sekeliling. Suasana yang sepi dan cenderung remang-remang."Ayo pulang."Nawangsih mengangguk. Mereka kembali menekuri trotoar jalan. Meresapi keheningan sambil terus memikirkan bagaimana besok.Mereka tahu upaya terbaik dalam waktu dekat ini adalah pasrah dan sabar. Namun Suryawijaya tak akan tinggal diam, ia akan mengulur waktu untuk membuat rencana dan menyusun taktik.Dan yang ia bisa mereka
Dengan lekat-lekat Suryawijaya memandangi Nawangsih dari kejauhan. Setelah yakin, gadis itukembali ke kamarnya dengan aman. Ia berbalik, menuju rumah utama dengan perasaan senang akan hal-hal yang membuatnya terus tersenyum selama menapaki tanah dan konblok di bawah cahaya rembulan."Masih menanti restu semesta untuk meminang Nawangsih sambil doa dan laku prihatin!" gumam Suryawijaya, menaruh sendal rumahan ke atas rak seraya menuju kamar mandi.Dalam keheningan yang dingin dan manis, ia dikejutkan dengan suara deheman dari ayahnya yang menunggunya di ruang makan.Suryawijaya menyunggingkan senyum, "Ayahanda belum tidur?" tanyanya tenang, tidak terkejut karena aroma rokok kesukaan ayahnya sudah terendusnya sejak memasuki lorong remang-remang yang menuju dapur dan kamar mandi."Darimana, putraku?" ekspresi Ayahanda kaysan juga tenang karena menghadapi putranya yang satu itu butuh ketenangan yang maskulin."Jalan-jalan diluar rumah, Ayahanda. Apa ada masalah?" Suryawijaya membawa dua ge
"Hampir saja kita dimarahin kalau sampai ndomas berdusta!" sungut Nawangsih panik. Suryawijaya masih bisa tersenyum sebelum senyuman itu surut digantikan dengan raut wajah serius. Pagi ini ia harus menemui Iwan dan jajaran pengikutnya untuk membicarakan taktik yang sudah ia susun semalam, namun di sisi lain ia juga harus menemui Keneswari."Kamu pikir untuk apa berdandan seperti itu? Apa Ayahanda akan tertipu? Kamu ini masih saja, kurang pintar!""Astaga, ndomas!" pekik Nawangsih, "ini hanya antisipasi dadakan untuk mengurangi hukuman, bukan berarti aku tidak pintar. Udah ah, ndomas juga tidak peka, tidak bilang kalau Ayahanda sudah tau kalau semalam kita mencuri kebebasan!" Nawangsih merapikan rambutnya."Jadi tadi malam kalian pergi berdua, Raden, Nawangsih?" sahut eyang Ningrum yang berjalan di belakang mereka.Nawangsih mengangguk pelan. Siap-siap mendengar wejangan panjang dari eyang untuk tidak berlaku liar tanpa aturan."Benar eyang, tapi itu sepenuhnya salahku." ucap Suryawijay
Tetapi, sedikit tenang itu tidak ada dalam kamus besar Suryawijaya. Setelah urusan mual dan mengidam di trimester pertama berangsur-angsur surut dan Pandu memanggil Nawangsih dengan panggilan Adik. Nawangsih kembali bekerja sebagai anggota legislatif dan melupakannya sebab kesibukan menelannya saban hari setelah cuti panjang yang di lakukan."Aku harus lembur lagi hari ini, Mas. Di rumah Pak Abdul, kerjaanku kemarin yang handle dia jadi harus ke rumahnya untuk kroscek dan ngobrol." pamit Nawangsih lewat telepon.Suryawijaya tahu Abdul adalah rekan kerja paling nyaman bagi Nawangsih selama hamil karena wanginya mirip wangi Ayahanda. Tetapi bagi Suryawijaya tentu itu hanya omong kosong. Dia tidak percaya wangi ayahnya yang khas timbul dari tubuh seorang Abdul, pria berusia empat lima tahun."Hidung kamu itu pasti tidak beres, tidak ada wangi yang mengalahkan wangi Ayahanda." katanya dengan intonasi tidak kalem."Aku jemput terus aku antar ke tempat Abdul, kamu nggak usah bonceng dia. Di
Suryawijaya menunggu dengan sabar prosesi pelantikan yang sedang berlangsung. Hampir dua jam waktu melaju, akhirnya harapannya menemui Pandu terwujudkan. Suryawijaya memberi hormat seraya tersenyum penuh arti."Berikan aku kemudahan untuk menemani kehamilan Tania. Dia begitu memintamu memanggilnya adik, adik kecil seperti dulu." kata Suryawijaya dengan natural."Sebulan sebelum ayahanda mangkat, ayahanda berpesan agar saya belajar untuk tegas, Mas. Jadi sekali tidak tetap tidak." Pandu tersenyum, "Aku sedang belajar dari yang mudah-mudah, Mas. Contohnya permintaan Mbakyu."Suryawijaya menarik napas. "Tidak ada yang mudah dalam menuruti keinginan istri yang hamil muda, adik!!!"Suryawijaya menghela napas panjang dan jika keadaan Nawangsih semakin parah, dia benar-benar akan menjadi tulang lunak. Berharap tanpa malu dan tanpa jeda."Lagian tegas menurut Ayahanda bukan begitu, adikku. Ayahanda tegas untuk tetap menjaga semuanya agar tetap tertata dengan baik, bahkan juga untuk memperbaiki
Resmi menjadi sepasang suami istri yang telah membuat segala urusan panggil memanggil menjadi ruwet, Suryawijaya tak henti-hentinya meminta Pandu untuk memanggil istrinya dengan panggilan adik saja seperti waktu dulu.Pandu menggelengkan kepala dengan sikap tegas."Tidak bisa begitu, Mas. Bagaimana pun adikku menikah dengan kakakku. Aku tidak mentolerir panggilan adik untuknya sekalipun dia ngidam. Tolong bersikap tegas dan realistis."Dada Suryawijaya bergemuruh. Adiknya yang waktu kecil sering membuat ulah, dan bertindak di luar kepatutan anak bangsawan sekarang berubah drastis. Pandu Mahendra berusaha bijak seperti Ayahanda mereka dan sering mengeluh sakit punggung karena harus duduk dengan waktu yang cukup lama meski akhirnya Suryawijaya hanya bisa mengalah dan pergi."Gayanya bikin aku tidak tahan ingin mengajak Pandu main badminton terus nyemes dia, susah sekali merayunya." Suryawijaya menghela napas sambil geleng-geleng kepala seraya meneruskan langkah ke kamarnya. Tempat Nawang
Malam pertama? Terang saja Suryawijaya menyukai tali silaturahmi yang lebih kental dari pada hanya sebatas kakak dan adik. Dan iapun bisa membuat hubungan mereka lebih kental dari darah."Sejak dulu aku sulit membedakan kamu menjadi adikku atau kekasih hati. Tapi sekarang, ya..., Kamu tetap bisa aku panggil adik dengan rasa yang berbeda.""Biasa saja!" sela Pandu dengan nada bijak bahkan gayanya seperti simbah-simbah yang menautkan kedua tangan dibelakang punggung ketika hendak memberi petuah bijak pada anak muda. "Kalian itu bisa menikah karena perjuanganku juga, jadi kalian itu hutang sama aku. Mana bayar hutangnya."Suryawijaya dan Nawangsih tersenyum lebar, tergoda untuk menjura dalam-dalam kepadanya."Terima kasih pewaris tahta kerajaan bisnis Ayahanda. Kami memujamu." kata Suryawijaya sembari mencium punggung tangannya. Pandu menghela napas, merasa bukan itu yang dia mau."Kalian mau honeymoon?" tanyanya sembari berjalan menuju ruang keluarga karena akhir dari pesta pernikahan
Manisnya sabar dalam setiap penantian dan pengharapan kini Suryawijaya dan Nawangsih petik dalam bentuk pernikahan. Proses pengikatan janji suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu akan berlangsung dengan adat Jawa klasik dengan prosesi dan ritual yang lengkap dan khidmat.Pernikahan mereka akan terjadi besok lusa, tapi kesibukan demi kesibukan sudah terjadi sejak kemarin. Dapur umum di luar ruangan mulai mengepulkan asap dari tungku api untuk memasak hidangan dan bancakan yang tidak sedikit karena pernikahan Suryawijaya diadakan berbarengan dengan pernikahan Bimo dan Citra, Pandu dan Dewi Laya Bajramaya. Pendopo dan pelataran rumah mulai di tata rapi dengan kursi-kursi dan bunga-bunga yang bermekaran indah berseri.Rinjani tersenyum lega sambil memandang kesibukan yang ada. Dia lega, apa yang terjadi hari ini melebihi harapannya bersama suaminya dulu. Beliau bersyukur, putra-putrinya belajar untuk menjadi orang-orang yang lebih sabar terus-menerus tanpa pantang menyerah
Suryawijaya dan Nawangsih tidak menyangka kesibukan mereka sampai membuat mereka lupa menjenguk kondisi Ayah mereka, walau mereka yakin kondisinya akan membaik setelah pengobatan yang terus dilakukan ayahnya tanpa henti. Tapi hari itu ketika Ibunya menuju kamar ayahnya untuk mengambil dokumen. Mereka menemukan lelaki yang teramat mereka cintai mengalami batuk berkepanjangan yang tidak berhenti-henti hingga mengeluarkan darah dan tidak tertolong.Nawangsih menutup mulutnya dengan bibir ternganga. Dengan teramat pelan seakan kehilangan tenaga, dia mendekati Ibunya yang meraung tidak percaya. Air matanya bahkan mengalir deras dan begitu menyayat hati."Ibu." Nawangsih memeluk ibunya yang menjatuhkan diri ke pelukannya."Ayahanda, wafat. Ayahanda pergi ninggalin kita semua." Ibunya sesenggukan. "Maafkan kesalahan Ayahanda, maafkan kesalahannya, Nduk."Nawangsih menggeleng cepat dengan air mata yang ikut tumpah. "Ibunda tidak perlu minta maaf, Ayahanda tidak perlu meminta maaf sama aku, aku
Hari-hari kembali melaju meninggalkan jejak, menjadi momen yang terus menguatkan beragam kegundahan Nawangsih dan Suryawijaya selama berpisah. Meski begitu segalanya terasa seperti angin lalu. Rasa rindu itu tidak lagi menjadi beban, rasa khawatir itu tetap ada walau terkesan biasa saja. Suryawijaya tenang Nawangsih di rumah bersama keluarganya, sementara dia tinggal bersama keluarga kakeknya seolah keadilan tetap di tegakkan oleh orang tua mereka. Keduanya memiliki pengawasan hingga tak perlu risau berjauhan.Suryawijaya yang memiliki jiwa seni dan petualang tinggi mulai mendedikasikan diri pada dua hal-hal itu dalam prespektif yang positif.Lelaki itu mulai membuka workshop dan enterpreneur di Australia sekaligus mengembangkan bakat melukisnya dengan pelukis-pelukis handal maupun jalanan. Sementara pekerjaan tetapnya masih memantau sapi-sapi yang menghasilkan susu berkualitas tinggi entah sampai kapan hukuman itu berlanjut, dia hanya perlu pasrah dan menunggu karena ituNawangsih pun
Nawangsih menghela napas setelah keluar dari kamar ayahnya, meninggalkan Suryawijaya dan Ayahnya yang kembali membahas pekerjaan.Di dapur, tak ada siapapun kecuali dia dan cicak di atas plafon."Ya Tuhan, di saat aku ingin menjauh dan melupakan semuanya. Restu itu hadir tanpa aku duga. Tapi aku merasa tidak mengerti harus memilih jalan mana. Menikah atau tetap menjadi sahabat selamanya."Gadis itu termenung, membiarkan benaknya bicara dan berdebat. Begitupun Suryawijaya, ruang kerja ayahnya adalah tempatnya menepi setelah pembicaraan dengan ayahnya selesai."Tak ada yang lebih menentramkan hati ketimbang utuhnya sebuah keluarga. Terlebih setelah Ayahanda sakit, keluargaku masih terus di sorot media. Sekarang mungkin benar apa yang di katakan Keneswari dulu, jika apa yang terjadi antara aku dan Nawangsih adalah sesuatu yang justru akan menodai harkat dan martabat keluarga ini."Suryawijaya menghembuskan napas sambil meraba kebenaran dalam setiap kata Keneswari. Dia mengangguk samar dan
"Aku tidak mengganggu, Nawangsih. Ibu. Aku bersumpah. Kita hanya bercanda-canda." Suryawijaya mengaku di hadapan Ibunya yang meminta penjelasan. Tetapi penjelasanya tidak mempengaruhi rasa curiga Ibunya."Kamu memangnya bisa bercanda?""Bisa saja... Aku ini juga punya darah pelawak kok." Suryawijaya menghela napas. Baiklah, tiada gunanya bercanda dengan Ibunya, wanita itu terlalu peka akan batin anaknya.Suryawijaya menatap Ibunya. "Kami bersahabat sekarang, dan kami ingin memulai perubahan itu dengan berteman baik.""Berteman baik?"Suryawijaya mengamati Ibunya melihat sekeliling. "Ada apa, Ibu? Mau membicarakan sesuatu yang rahasia dan penting?"Ibunya mengangguk. "Kamu ikut ke kantor sekarang, Ayahanda sudah ada yang jaga."Suryawijaya mengikuti Ibunya dengan tidak tenang. Persoalan cinta dengan adik angkat pun tidak ada habisnya bahkan ketika dia sudah menyerah bagaimana nasibnya sendiri kelak. Mungkin dialah yang akan menjadi jomblo abadi.Suryawijaya menghidupkan steker lampu kar