Nawangsih tersenyum tipis mendengar pernyataan Suryawijaya hingga membuat getaran ketakutan menjalari dirinya. Berkali-kali purnama yang lewat tanpa sadar telah membesarkan hati Nawangsih untuk menerima apapun keputusan Suryawijaya. Namun malam itu rasanya waktu membebaskannya dari segala rasa yang meminta air matanya. Nawangsih merasa lega karena tidak ada yang berubah dari sikap Suryawijaya kepadanya. "Mas Surya yakin tidak membutuhkan bantuan Ayahanda?" tanya Nawangsih, mengamati wajah Suryawijaya yang masih marah dan tampan dalam waktu yang sama. "Tidak!" jawab Suryawijaya sembari merenggangkan jari jemarinya. "Aku hanya ingin meminta restu dari Ayahanda, bukan uangnya. Beliau sudah mengeluarkan banyak uang untukku.”Nawangsih menarik tangannya dan memangkunya di atas paha, dia mengembuskan napas panjang seraya menyunggingkan senyum lembut kepada Suryawijaya. "Mas Surya seyakin itu?" tanya Nawangsih. Suryawijaya menoleh. Belas kasih dari Nawangsih terasa menghibur sekaligus me
Suryawijaya naik ke atas panggung dengan senyum yang memesona kaum hawa. Dia meraih pengeras suara seraya menyapa para tamu undangan yang langsung mengalihkan atensi mereka kepada Suryawijaya.Laki-laki itu bernyanyi solo, menghayati lagu sendu sebelum berduet dengan biduan beken ibu kota dengan suara pas-pasan yang memancing senyum geli para penonton.Kaysan dan Rinjani menatap putranya sembari bergenggaman tangan. Tidak nampak mimik tertentu dari wajah mereka walau permainan Suryawijaya benar-benar mengguncang hati mereka, termasuk Nawangsih yang tersenyum bangga. Kini dia meminta waktu tidak cepat berlalu agar bisa menyimpan lebih banyak kenangan indah bersama Suryawijaya.Suryawijaya tersenyum sembari memasang pengeras suara di tiangnya. "Terima kasih."Suara tepuk tangan terdengar memenuhi ballroom hotel. Suryawijaya menuruni panggung hiburan sambil menerima beberapa saweran dari pejabat negara dan tamu undangan yang terhibur oleh kelakuannya.•••Suryawijaya menghitung uang sawer
Suryawijaya tersenyum sembari mengangguk-angguk kepala menatap lukisan yang terbingkai warna emas. Lukisan yang ia garap dua Minggu sebelum perhelatan akbar trah Tirtodiningratan yang telah membawanya pada satu proses yang tak hanya membangun karya, namun juga membentuk sikap, nilai dan menghargai satu titik masa yang membuatnya lebih memantaskan diri."Mas Surya memanggilku?" tanya Nawangsih dari belakang Suryawijaya.Suryawijaya mengangguk seraya berbalik. Mereka saling tatap, manik mata itu sama-sama tidak berkedip untuk beberapa detik sebelum Nawangsih menunduk sambil tersenyum malu."Mas Surya ada keperluan apa?" tanyanya lagi. Dan untuk kedua kalinya mereka saling bertatapan. Suryawijaya tersenyum lembut.Melihat ekspresinya yang sudah cerah, Nawangsih bisa menyimpulkan keadaannya sekarang.Suryawijaya berbalik tanpa menjawab pertanyaan Nawangsih, dia hanya menunjukkan karyanya. Sebuah lukisan persegi panjang, bertema daur hidup Nawangsih yang berakhir dengan masa tua bersamanya.
Suryawijaya menyeringai lebar. Entah ego yang bicara atau cinta yang bicara, dia enggan menyimpulkan sendiri karena kenyataannya banyak jalan buntu yang harus dia lalui sebelum menjadi putra pewaris tahta yang mumpuni. Sementara bagi Nawangsih, keputusan Suryawijaya untuk mengejar gelar doktor membuatnya yakin ada macam-macam rencana yang tidak lelaki itu bicarakan dengannya.Sekarang, isi kepala Nawangsih berisi dugaan-dugaan. Nawangsih memberengut, dia menyandarkan lukisannya di tembok seraya merenggangkan lengannya yang pegal sebelum mengajak lelaki itu mencuri kesempatan untuk berdebat."Jangan pamer gigi saja, Mas. Katakan sejujurnya!" desak Nawangsih dengan nada memaksa walau kedengarannya tetap saja lucu bagi Suryawijaya.Suryawijaya semakin menyeringai lebar dan terlihat konyol."Aku hanya ingin membuat Mbak Lilah kalah karena dia hanya lulusan S2, sementara aku nanti S3, Tania. Itu rencana awalnya, sementara rencana selanjutnya belum kepikiran." Suryawijaya jujur. Mungkin duga
Keneswari mencubit perut Suryawijaya saking lamanya pria itu terdiam. “Jawab, Kang Mas. Sebel ah, diam terus.”Suryawijaya sempat tersentak dengan kekacauan yang baru saja terjadi. Rasa panas pun menjalar di bagian tubuh yang dicubit Keneswari. "Baik-baik bisa tidak?" ucapnya tanpa emosi. sambil memandangi Keneswari."Habis Kang Mas melamun. Sakit, ya?" Keneswari mengusap bekas cubitannya sambil membalas tatapan Suryawijaya.“Maaf deh, habis gemas. Kamu nggak berubah."Suryawijaya tercengang. Jantungnya seakan-akan nyaris melompat dari tempatnya. Rabaan itu benar-benar bahaya, pelan dan menggoda.Suryawijaya berdehem. "Cukup, oke." ucapnya sambil menahan pergelangan tangan Keneswari. "Kuku panjangmu mirip cakar macan, bahaya." selorohnya untuk mengalihkan pembicaraan."Enak aja Mas bicara. Ini cantik tau, bagus, dibilang mirip cakar macan!" sahut Keneswari sambil memandangi kukunya yang lentik, lancip dan berwarna merah muda. Bibirnya pun mengerucut seolah sebal dengan penuturan Sury
Suryawijaya melangkahkan kakinya lebar-lebar di bawah rimbunan pohon. Mulutnya mengutuki kebodohannya sendiri yang terbius oleh kecantikan Keneswari. Dan mendadak bayangan akan air mata yang bercucuran di wajah Nawangsih membuatnya tersandung, Suryawijaya nyaris nyusruk ke tanah jika dia tidak sigap menyeimbangkan tubuhnya. Suryawijaya membuang napas dan menyugar rambutnya. "Aku tidak membayangkan akan seperti ini akhirnya. Sumpah, tadi seperti bukan aku." batinnya dalam hati. Suryawijaya melanjutkan langkahnya menuju bangunan tempat tinggalnya, dia lebih berhati-hati saat menyadari perbuatannya menyalahi aturan keluarga.Tujuannya hanya, Nawangsih. Namun baru saja dia keluar dari lorong yang tenang dan remang-remang. Suryawijaya dikejutkan dengan munculnya Eyang Ningrum. "Eyang!" gumam Suryawijaya, jantungnya berdetak kencang lalu memandangi pengasuh Nawangsih dengan gugup. Eyang Ningrum mengangguk, paham akan kehadiran Suryawijaya setelah kejadian paling membombardir Nawangsih t
Dendra memperlama durasinya di kamar mandi sambil mengetik pesan untuk Suryawijaya. Sementara, di kamar yang berhiaskan beberapa figur wayang kulit punakawan itu, lelaki yang resah setiap kali mengingat kecerobohannya tadi malam langsung menyambar jaket dan kunci motor."Aku datang, Tania Putri."•••Nawangsih mengerucutkan bibirnya sambil bergeming di depan toilet."Lama banget sih, Mas. Aku juga mau pakai toilet!" teriak Nawangsih sambil menggebrak pintu.Dendra yang asyik ngerokok sambil menunggu sesuatu terperanjat. Keheningan kamar mandi dan gemercik air yang menenangkan sontak buyar gara-gara Nawangsih. Ponselnya bahkan jatuh sampai ke lantai.Dendra mengumpat jengkel sambil memungut ponselnya dan mengelapnya dengan kaus."Sembelit! Bentar." teriak Dendra dengan raut wajah masam. "Paling sebel aku baru enak-enak di ganggu." gerutunya sambil memasang wajah serius. Sesaat kemudian, wajahnya langsung plong los dan semringah. Dendra menyemprotkan parfum ruangan sebelum membuka pintu
Suryawijaya menghela napas, membiarkan keheningan membius suasana sebelum dia mengamati Nawangsih sambil menjejalkan tangannya ke dalam saku jaket."Kamu ingin apa, Tania? Kejujuran?" tanya Suryawijaya seraya bergerak memutus jarak.Nawangsih beringsut mundur sampai membentur tembok, wajahnya menjadi was-was, tangannya bahkan menyilang sebagai refleks melindungi diri.Suryawijaya tersenyum sembari mencondongkan tubuh untuk menghirup aroma oriental floral dari tubuh Nawangsih dan yakin gadis itu panik dengan reaksinya sekarang. "Jawab Tania." bisik Suryawijaya.Bulu-bulu halus di lengan Nawangsih meremang. Nawangsih menggeleng samar. "Tidak perlu kejujuran!" jawabnya lalu memalingkan wajah.Suryawijaya berdehem seraya menegakkan tubuh. Dia memang pernah berjanji untuk tidak menceritakan apa pun perihal pendekatannnya dengan Keneswari dan Dyah. Pengembaraan itu membuatnya lebih mengenal banyak tipe perempuan. Entah dari aspek paling dekat di kehidupannya sampai yang melenceng jauh dan m
Tetapi, sedikit tenang itu tidak ada dalam kamus besar Suryawijaya. Setelah urusan mual dan mengidam di trimester pertama berangsur-angsur surut dan Pandu memanggil Nawangsih dengan panggilan Adik. Nawangsih kembali bekerja sebagai anggota legislatif dan melupakannya sebab kesibukan menelannya saban hari setelah cuti panjang yang di lakukan."Aku harus lembur lagi hari ini, Mas. Di rumah Pak Abdul, kerjaanku kemarin yang handle dia jadi harus ke rumahnya untuk kroscek dan ngobrol." pamit Nawangsih lewat telepon.Suryawijaya tahu Abdul adalah rekan kerja paling nyaman bagi Nawangsih selama hamil karena wanginya mirip wangi Ayahanda. Tetapi bagi Suryawijaya tentu itu hanya omong kosong. Dia tidak percaya wangi ayahnya yang khas timbul dari tubuh seorang Abdul, pria berusia empat lima tahun."Hidung kamu itu pasti tidak beres, tidak ada wangi yang mengalahkan wangi Ayahanda." katanya dengan intonasi tidak kalem."Aku jemput terus aku antar ke tempat Abdul, kamu nggak usah bonceng dia. Di
Suryawijaya menunggu dengan sabar prosesi pelantikan yang sedang berlangsung. Hampir dua jam waktu melaju, akhirnya harapannya menemui Pandu terwujudkan. Suryawijaya memberi hormat seraya tersenyum penuh arti."Berikan aku kemudahan untuk menemani kehamilan Tania. Dia begitu memintamu memanggilnya adik, adik kecil seperti dulu." kata Suryawijaya dengan natural."Sebulan sebelum ayahanda mangkat, ayahanda berpesan agar saya belajar untuk tegas, Mas. Jadi sekali tidak tetap tidak." Pandu tersenyum, "Aku sedang belajar dari yang mudah-mudah, Mas. Contohnya permintaan Mbakyu."Suryawijaya menarik napas. "Tidak ada yang mudah dalam menuruti keinginan istri yang hamil muda, adik!!!"Suryawijaya menghela napas panjang dan jika keadaan Nawangsih semakin parah, dia benar-benar akan menjadi tulang lunak. Berharap tanpa malu dan tanpa jeda."Lagian tegas menurut Ayahanda bukan begitu, adikku. Ayahanda tegas untuk tetap menjaga semuanya agar tetap tertata dengan baik, bahkan juga untuk memperbaiki
Resmi menjadi sepasang suami istri yang telah membuat segala urusan panggil memanggil menjadi ruwet, Suryawijaya tak henti-hentinya meminta Pandu untuk memanggil istrinya dengan panggilan adik saja seperti waktu dulu.Pandu menggelengkan kepala dengan sikap tegas."Tidak bisa begitu, Mas. Bagaimana pun adikku menikah dengan kakakku. Aku tidak mentolerir panggilan adik untuknya sekalipun dia ngidam. Tolong bersikap tegas dan realistis."Dada Suryawijaya bergemuruh. Adiknya yang waktu kecil sering membuat ulah, dan bertindak di luar kepatutan anak bangsawan sekarang berubah drastis. Pandu Mahendra berusaha bijak seperti Ayahanda mereka dan sering mengeluh sakit punggung karena harus duduk dengan waktu yang cukup lama meski akhirnya Suryawijaya hanya bisa mengalah dan pergi."Gayanya bikin aku tidak tahan ingin mengajak Pandu main badminton terus nyemes dia, susah sekali merayunya." Suryawijaya menghela napas sambil geleng-geleng kepala seraya meneruskan langkah ke kamarnya. Tempat Nawang
Malam pertama? Terang saja Suryawijaya menyukai tali silaturahmi yang lebih kental dari pada hanya sebatas kakak dan adik. Dan iapun bisa membuat hubungan mereka lebih kental dari darah."Sejak dulu aku sulit membedakan kamu menjadi adikku atau kekasih hati. Tapi sekarang, ya..., Kamu tetap bisa aku panggil adik dengan rasa yang berbeda.""Biasa saja!" sela Pandu dengan nada bijak bahkan gayanya seperti simbah-simbah yang menautkan kedua tangan dibelakang punggung ketika hendak memberi petuah bijak pada anak muda. "Kalian itu bisa menikah karena perjuanganku juga, jadi kalian itu hutang sama aku. Mana bayar hutangnya."Suryawijaya dan Nawangsih tersenyum lebar, tergoda untuk menjura dalam-dalam kepadanya."Terima kasih pewaris tahta kerajaan bisnis Ayahanda. Kami memujamu." kata Suryawijaya sembari mencium punggung tangannya. Pandu menghela napas, merasa bukan itu yang dia mau."Kalian mau honeymoon?" tanyanya sembari berjalan menuju ruang keluarga karena akhir dari pesta pernikahan
Manisnya sabar dalam setiap penantian dan pengharapan kini Suryawijaya dan Nawangsih petik dalam bentuk pernikahan. Proses pengikatan janji suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu akan berlangsung dengan adat Jawa klasik dengan prosesi dan ritual yang lengkap dan khidmat.Pernikahan mereka akan terjadi besok lusa, tapi kesibukan demi kesibukan sudah terjadi sejak kemarin. Dapur umum di luar ruangan mulai mengepulkan asap dari tungku api untuk memasak hidangan dan bancakan yang tidak sedikit karena pernikahan Suryawijaya diadakan berbarengan dengan pernikahan Bimo dan Citra, Pandu dan Dewi Laya Bajramaya. Pendopo dan pelataran rumah mulai di tata rapi dengan kursi-kursi dan bunga-bunga yang bermekaran indah berseri.Rinjani tersenyum lega sambil memandang kesibukan yang ada. Dia lega, apa yang terjadi hari ini melebihi harapannya bersama suaminya dulu. Beliau bersyukur, putra-putrinya belajar untuk menjadi orang-orang yang lebih sabar terus-menerus tanpa pantang menyerah
Suryawijaya dan Nawangsih tidak menyangka kesibukan mereka sampai membuat mereka lupa menjenguk kondisi Ayah mereka, walau mereka yakin kondisinya akan membaik setelah pengobatan yang terus dilakukan ayahnya tanpa henti. Tapi hari itu ketika Ibunya menuju kamar ayahnya untuk mengambil dokumen. Mereka menemukan lelaki yang teramat mereka cintai mengalami batuk berkepanjangan yang tidak berhenti-henti hingga mengeluarkan darah dan tidak tertolong.Nawangsih menutup mulutnya dengan bibir ternganga. Dengan teramat pelan seakan kehilangan tenaga, dia mendekati Ibunya yang meraung tidak percaya. Air matanya bahkan mengalir deras dan begitu menyayat hati."Ibu." Nawangsih memeluk ibunya yang menjatuhkan diri ke pelukannya."Ayahanda, wafat. Ayahanda pergi ninggalin kita semua." Ibunya sesenggukan. "Maafkan kesalahan Ayahanda, maafkan kesalahannya, Nduk."Nawangsih menggeleng cepat dengan air mata yang ikut tumpah. "Ibunda tidak perlu minta maaf, Ayahanda tidak perlu meminta maaf sama aku, aku
Hari-hari kembali melaju meninggalkan jejak, menjadi momen yang terus menguatkan beragam kegundahan Nawangsih dan Suryawijaya selama berpisah. Meski begitu segalanya terasa seperti angin lalu. Rasa rindu itu tidak lagi menjadi beban, rasa khawatir itu tetap ada walau terkesan biasa saja. Suryawijaya tenang Nawangsih di rumah bersama keluarganya, sementara dia tinggal bersama keluarga kakeknya seolah keadilan tetap di tegakkan oleh orang tua mereka. Keduanya memiliki pengawasan hingga tak perlu risau berjauhan.Suryawijaya yang memiliki jiwa seni dan petualang tinggi mulai mendedikasikan diri pada dua hal-hal itu dalam prespektif yang positif.Lelaki itu mulai membuka workshop dan enterpreneur di Australia sekaligus mengembangkan bakat melukisnya dengan pelukis-pelukis handal maupun jalanan. Sementara pekerjaan tetapnya masih memantau sapi-sapi yang menghasilkan susu berkualitas tinggi entah sampai kapan hukuman itu berlanjut, dia hanya perlu pasrah dan menunggu karena ituNawangsih pun
Nawangsih menghela napas setelah keluar dari kamar ayahnya, meninggalkan Suryawijaya dan Ayahnya yang kembali membahas pekerjaan.Di dapur, tak ada siapapun kecuali dia dan cicak di atas plafon."Ya Tuhan, di saat aku ingin menjauh dan melupakan semuanya. Restu itu hadir tanpa aku duga. Tapi aku merasa tidak mengerti harus memilih jalan mana. Menikah atau tetap menjadi sahabat selamanya."Gadis itu termenung, membiarkan benaknya bicara dan berdebat. Begitupun Suryawijaya, ruang kerja ayahnya adalah tempatnya menepi setelah pembicaraan dengan ayahnya selesai."Tak ada yang lebih menentramkan hati ketimbang utuhnya sebuah keluarga. Terlebih setelah Ayahanda sakit, keluargaku masih terus di sorot media. Sekarang mungkin benar apa yang di katakan Keneswari dulu, jika apa yang terjadi antara aku dan Nawangsih adalah sesuatu yang justru akan menodai harkat dan martabat keluarga ini."Suryawijaya menghembuskan napas sambil meraba kebenaran dalam setiap kata Keneswari. Dia mengangguk samar dan
"Aku tidak mengganggu, Nawangsih. Ibu. Aku bersumpah. Kita hanya bercanda-canda." Suryawijaya mengaku di hadapan Ibunya yang meminta penjelasan. Tetapi penjelasanya tidak mempengaruhi rasa curiga Ibunya."Kamu memangnya bisa bercanda?""Bisa saja... Aku ini juga punya darah pelawak kok." Suryawijaya menghela napas. Baiklah, tiada gunanya bercanda dengan Ibunya, wanita itu terlalu peka akan batin anaknya.Suryawijaya menatap Ibunya. "Kami bersahabat sekarang, dan kami ingin memulai perubahan itu dengan berteman baik.""Berteman baik?"Suryawijaya mengamati Ibunya melihat sekeliling. "Ada apa, Ibu? Mau membicarakan sesuatu yang rahasia dan penting?"Ibunya mengangguk. "Kamu ikut ke kantor sekarang, Ayahanda sudah ada yang jaga."Suryawijaya mengikuti Ibunya dengan tidak tenang. Persoalan cinta dengan adik angkat pun tidak ada habisnya bahkan ketika dia sudah menyerah bagaimana nasibnya sendiri kelak. Mungkin dialah yang akan menjadi jomblo abadi.Suryawijaya menghidupkan steker lampu kar