Nawangsih mendudukkan tubuhnya di jok motor paling belakang, menjaga jarak dari punggung lelaki yang memaksanya untuk membonceng walau dia sudah menolak dan merengek pada Dendra untuk menyelamatkan kuncinya."Hati-hati di jalan, Yang Mulia. Anaknya bisa lompat tiba-tiba. Di jaga." seru Dendra, mengompori Suryawijaya hingga membuatnya perlu menarik tangan Nawangsih dan menaruhnya di pinggangnya. "Pulang dulu, Mas. Titip motor Nawangsih." Dendra mengacungkan jempolnya seraya menyaksikan sepasang sejoli yang nampaknya masih tetap akan bertengkar di rumah karena sepanjang jalan menuju rumah, kecamuk pikiran masih melanda Suryawijaya dan Nawangsih.Lima belas menit kemudian. Motor meliuk ke arah kiri, Suryawijaya menggeber motor dengan kecepatan sedang lantas berhenti di kedai boba yang berdampingan dengan kedai mister burger."Mau rasa apa?" tanya Suryawijaya setelah turun dari motor.Nawangsih mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Menolak menjawab atau bersusah payah ikut turun dari motor.
Langit biru dengan sedikit awan dan bunyi serangga tonggeret menjadi lagu alam saat menyambut kedatangan keluarga Adhiwiryo di ruang tamu keluarga yang telah di susun sedemikian rapi dan bersih.Nawangsih dan Suryawijaya yang kepergok jalan bareng oleh Rinjani kini sudah rapi jali dan bergeming di belakang orang tuanya.Nawangsih berusaha tersenyum lepas saat menyapa Keneswari yang cantik bersinar dan wangi itu, sementara Suryawijaya yang baru tahu jika kunjungan dari keluarga Adhiwiryo terdengar formal menjadi was-was. Dia seolah takut Keneswari menceritakan apa sudah terjadi di antara mereka."Monggo, silahkan duduk." Rinjani mempersilakan sembari tersenyum hangat.Para tetamu memberi hormat seraya duduk di kursi antik yang memiliki meja oval sepanjang tiga meter. Dua jambangan klasik berisi bunga mawar dan sedap malam berada di antara jejeran piring dan mangkok klasik yang berisi makanan rumahan."Silakan di nikmati makan siangnya, sebelum ngobrol-ngobrol." Rinjani mengusap bahu Ibu
Kesehatan Ayahanda Suryawijaya menurun sejak penyakit yang diam-diam menggerogoti tubuhnya setahun lalu kambuh, beliau kini masih berada di ruang perawatan intensif rumah sakit."Ibunda istirahat dulu saja." Suryawijaya menyentuh bahu ibunya seraya bergeming di belakangnya. "Ayahanda saja tidur, tidak perlu ditunggu seperti ini. Nanti Ibu ikut sakit. Aku kepikiran.""Ibunda tidak tenang, Suryawijaya. Kamu dan Adikmu pasti sekarang bingung harus bagaimana. Kalian pasti juga bertengkar.""Sudah, Bun. Jangan memikirkan masalah itu, fokus dengan Ayahanda saja!" Suryawijaya berkata dengan frustasi.Rinjani menggelengkan kepala. Semua ada di kepalanya. Anak, suami, dan keadaan di luar sana yang tidak bisa dia kendalikan."Kamu itu lho, sudah di kasih kesempatan menolak perjodohan kok bisa-bisanya pergi sampai ke Singapura berdua. Apa kamu tidak berpikir akibat dari perbuatanmu itu dapat mengurangi kepercayaan Nawangsih dan ayahmu?"Suryawijaya menundukkan kepalanya. Sore itu banyak perasaan
Nawangsih dan Suryawijaya sama-sama menundukkan kepala ketika pintu ruang inap Ayah mereka terbuka. ‘Aku tidak yakin kedatangan ini bisa membuat keadaan membaik. Aku gugup bertemu ayah.’ batin Nawangsih sebelum menyapa Ayahnya lebih dulu ketimbang Suryawijaya yang lebih banyak diam sepanjang makan malam bersama tadi.Kaysan menatap kehadiran kedua anaknya dengan alis yang terangkat. Pria baya itu masih memakai selang oksigen demi memperlancar proses pernapasannya melambaikan tangannya dengan lemah kepada Nawangsih."Ayahanda." Nawangsih tersenyum simpul seraya duduk di kursi. Wajah pucat yang berada di depannya itu semakin membuat jiwanya terguncang, duka Nawangsih semakin merembes ke mana-mana tak terkecuali pelupuk mata. "Ayahanda belum makan?" tanya Nawangsih setelah melihat makan malam Ayahnya utuh di atas meja."Ayahanda tidak mau makan kalau bukan Ibunda yang menyuapinya." sahut Pandu. "Aku tadi sudah merayu Ayahanda, Ayahanda menolaknya mentah-mentah katanya aku tidak ahli dal
Hiruk pikuk kesibukan para pekerja keras sebelum matahari terbit mengalihkan atensi Suryawijaya sepanjang jalan menuju rumah. Ada beribu paradigma 'jalan' yang kelak akan menentukan masa depannya dan keluarganya dalam beberapa hari ke depan.Suryawijaya mengerjapkan mata kantuknya, dan jiwanya yang tidak tentram membuatnya bingung harus menjelaskan pada Nawangsih hasil akhir perjuangannya."Sebagian paru-paru Ayahanda sudah tidak baik, kemungkinan besar harus menjalani terapi pengobatan atau operasi, Ibunda belum tahu pasti, tapi dalam waktu dekat ini Ayahanda harus menjalani general check up setelah kondisinya stabil." ucap Ibunya tadi malam setelah salat tahajud.Suryawijaya sempat menanyakan kenapa paru-parunya bermasalah karena ayahnya tidak pernah sakit parah kecuali batuk berkepanjangan yang sering kali kambuh ketika kelelahan.Rinjani mengendikkan bahu, tetap membicarakan tentangnya."Mas Suryawijaya, jika kamu memang menyukai Keneswari, berhentilah memberi harapan untuk Nawangs
Matahari semakin benderang ketika akhirnya Suryawijaya, Nawangsih dan segerombolan pelayannya yang akan membantu jalannya pesta akbar sampai di pelataran parkir kediaman trah Tirtodiningratan yang bergaya indische yang masuk dalam kategori bangunan bersejarah.Nawangsih memandangi sekeliling dari balik kaca mobil dengan konsentrasi penuh. "Benar, terakhir ke sini rumah ini kurang terawat tapi Mas Surya kelihatan berhasil membuatnya lebih baik, pasti sekarang Romo Adhiwiryo tambah menyukainya terlepas dari kecurigaan yang terjadi." batin Nawangsih lalu tersenyum lebar. "Mas Surya akan menjadi pewaris tahta yang mumpuni nanti, dia berhasil membuktikan kepada Ayahanda.""Kamu tidak turun, cah ayu?" Iwan menyela, sementara Suryawijaya sudah keluar dari mobilnya sendiri. Memisahkan diri untuk menghindari perdebatan ataupun rasa yang kembali menggeliat hebat di relung hatinya."Turun, Mas. Tapi apa rencana hari ini?" tanya Nawangsih, segenap hatinya penasaran sekaligus ingin menyiapkan diri
Nawangsih menerima buku bersampul hitam dari Citra pukul setengah delapan malam setelah kepulangannya dari Tirtodiningratan."Apa ini, Cit?" tanya Nawangsih seraya mencampakkan handuk dari kepalanya. Gadis itu mengibaskan rambutnya yang lembap seraya menyisirnya dengan pelan. Nawangsih nampak segar meski terlihat lelah akibat aktivitas yang mengharuskannya mengganti pakaiannya dengan pakaian biasa milik Keneswari sepanjang mengikuti persiapan yang menguras energinya. Citra meraih handuk Nawangsih yang terdampar di kasur seraya menggantungkannya di palang bambu cendani."Itu pokoknya tentang Mas Suryawijaya, kamu bisa membacanya dan dijamin akurat." jawab Citra seraya meraih bantal Nawangsih dan memeluknya.Citra memejamkan mata walau sepenuhnya masih sadar dengan keadaan di sekitarnya."Ibunda belum menyuruhmu tinggal di sini, Cit?" Nawangsih menaruh buku catatan itu di atas meja rias seolah belum berminat membaca isinya."Orang tuaku belum mengizinkan, Naw. Apalagi serumah sama Mas
Segala rencana untuk saling menghindari satu sama lain termentahkan oleh jalan semesta yang kembali menghubungkan mereka dalam satu ruang yang sama. Nawangsih dan Suryawijaya bertemu di rumah sakit dihadapan orang tua mereka.Rinjani tersenyum hangat seraya ikut duduk di sofa. "Kalian ingin menjaga Ayahanda?" Beliau menatap anaknya bergantian."Tadi Citra memintaku untuk buru-buru ke sini. Apa Ibunda ada acara penting?" tanya Nawangsih panik."Iya." Rinjani mengangguk. "Ibunda harus menggantikan Ayahanda mendatangi rapat di gedung perusahaan pusat, kamu bisa menjaga Ayah? Hanya dua jam. Ibu akan segera kembali secepatnya." janjinya dengan serius.Nawangsih mengangguk, tidak keberatan sama sekali. "Ibunda segera pulang saja untuk siap-siap."Rinjani menatapnya lekat lalu beralih menatap Suryawijaya yang membisu."Bagaimana dengan persiapanmu? Sudah beberapa persen? Maaf Ibu belum bisa melihatnya."Suryawijaya berdehem, matanya mengenali ekspresi wajah sang ibu. Keresahan-keresahan itu m
Tetapi, sedikit tenang itu tidak ada dalam kamus besar Suryawijaya. Setelah urusan mual dan mengidam di trimester pertama berangsur-angsur surut dan Pandu memanggil Nawangsih dengan panggilan Adik. Nawangsih kembali bekerja sebagai anggota legislatif dan melupakannya sebab kesibukan menelannya saban hari setelah cuti panjang yang di lakukan."Aku harus lembur lagi hari ini, Mas. Di rumah Pak Abdul, kerjaanku kemarin yang handle dia jadi harus ke rumahnya untuk kroscek dan ngobrol." pamit Nawangsih lewat telepon.Suryawijaya tahu Abdul adalah rekan kerja paling nyaman bagi Nawangsih selama hamil karena wanginya mirip wangi Ayahanda. Tetapi bagi Suryawijaya tentu itu hanya omong kosong. Dia tidak percaya wangi ayahnya yang khas timbul dari tubuh seorang Abdul, pria berusia empat lima tahun."Hidung kamu itu pasti tidak beres, tidak ada wangi yang mengalahkan wangi Ayahanda." katanya dengan intonasi tidak kalem."Aku jemput terus aku antar ke tempat Abdul, kamu nggak usah bonceng dia. Di
Suryawijaya menunggu dengan sabar prosesi pelantikan yang sedang berlangsung. Hampir dua jam waktu melaju, akhirnya harapannya menemui Pandu terwujudkan. Suryawijaya memberi hormat seraya tersenyum penuh arti."Berikan aku kemudahan untuk menemani kehamilan Tania. Dia begitu memintamu memanggilnya adik, adik kecil seperti dulu." kata Suryawijaya dengan natural."Sebulan sebelum ayahanda mangkat, ayahanda berpesan agar saya belajar untuk tegas, Mas. Jadi sekali tidak tetap tidak." Pandu tersenyum, "Aku sedang belajar dari yang mudah-mudah, Mas. Contohnya permintaan Mbakyu."Suryawijaya menarik napas. "Tidak ada yang mudah dalam menuruti keinginan istri yang hamil muda, adik!!!"Suryawijaya menghela napas panjang dan jika keadaan Nawangsih semakin parah, dia benar-benar akan menjadi tulang lunak. Berharap tanpa malu dan tanpa jeda."Lagian tegas menurut Ayahanda bukan begitu, adikku. Ayahanda tegas untuk tetap menjaga semuanya agar tetap tertata dengan baik, bahkan juga untuk memperbaiki
Resmi menjadi sepasang suami istri yang telah membuat segala urusan panggil memanggil menjadi ruwet, Suryawijaya tak henti-hentinya meminta Pandu untuk memanggil istrinya dengan panggilan adik saja seperti waktu dulu.Pandu menggelengkan kepala dengan sikap tegas."Tidak bisa begitu, Mas. Bagaimana pun adikku menikah dengan kakakku. Aku tidak mentolerir panggilan adik untuknya sekalipun dia ngidam. Tolong bersikap tegas dan realistis."Dada Suryawijaya bergemuruh. Adiknya yang waktu kecil sering membuat ulah, dan bertindak di luar kepatutan anak bangsawan sekarang berubah drastis. Pandu Mahendra berusaha bijak seperti Ayahanda mereka dan sering mengeluh sakit punggung karena harus duduk dengan waktu yang cukup lama meski akhirnya Suryawijaya hanya bisa mengalah dan pergi."Gayanya bikin aku tidak tahan ingin mengajak Pandu main badminton terus nyemes dia, susah sekali merayunya." Suryawijaya menghela napas sambil geleng-geleng kepala seraya meneruskan langkah ke kamarnya. Tempat Nawang
Malam pertama? Terang saja Suryawijaya menyukai tali silaturahmi yang lebih kental dari pada hanya sebatas kakak dan adik. Dan iapun bisa membuat hubungan mereka lebih kental dari darah."Sejak dulu aku sulit membedakan kamu menjadi adikku atau kekasih hati. Tapi sekarang, ya..., Kamu tetap bisa aku panggil adik dengan rasa yang berbeda.""Biasa saja!" sela Pandu dengan nada bijak bahkan gayanya seperti simbah-simbah yang menautkan kedua tangan dibelakang punggung ketika hendak memberi petuah bijak pada anak muda. "Kalian itu bisa menikah karena perjuanganku juga, jadi kalian itu hutang sama aku. Mana bayar hutangnya."Suryawijaya dan Nawangsih tersenyum lebar, tergoda untuk menjura dalam-dalam kepadanya."Terima kasih pewaris tahta kerajaan bisnis Ayahanda. Kami memujamu." kata Suryawijaya sembari mencium punggung tangannya. Pandu menghela napas, merasa bukan itu yang dia mau."Kalian mau honeymoon?" tanyanya sembari berjalan menuju ruang keluarga karena akhir dari pesta pernikahan
Manisnya sabar dalam setiap penantian dan pengharapan kini Suryawijaya dan Nawangsih petik dalam bentuk pernikahan. Proses pengikatan janji suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu akan berlangsung dengan adat Jawa klasik dengan prosesi dan ritual yang lengkap dan khidmat.Pernikahan mereka akan terjadi besok lusa, tapi kesibukan demi kesibukan sudah terjadi sejak kemarin. Dapur umum di luar ruangan mulai mengepulkan asap dari tungku api untuk memasak hidangan dan bancakan yang tidak sedikit karena pernikahan Suryawijaya diadakan berbarengan dengan pernikahan Bimo dan Citra, Pandu dan Dewi Laya Bajramaya. Pendopo dan pelataran rumah mulai di tata rapi dengan kursi-kursi dan bunga-bunga yang bermekaran indah berseri.Rinjani tersenyum lega sambil memandang kesibukan yang ada. Dia lega, apa yang terjadi hari ini melebihi harapannya bersama suaminya dulu. Beliau bersyukur, putra-putrinya belajar untuk menjadi orang-orang yang lebih sabar terus-menerus tanpa pantang menyerah
Suryawijaya dan Nawangsih tidak menyangka kesibukan mereka sampai membuat mereka lupa menjenguk kondisi Ayah mereka, walau mereka yakin kondisinya akan membaik setelah pengobatan yang terus dilakukan ayahnya tanpa henti. Tapi hari itu ketika Ibunya menuju kamar ayahnya untuk mengambil dokumen. Mereka menemukan lelaki yang teramat mereka cintai mengalami batuk berkepanjangan yang tidak berhenti-henti hingga mengeluarkan darah dan tidak tertolong.Nawangsih menutup mulutnya dengan bibir ternganga. Dengan teramat pelan seakan kehilangan tenaga, dia mendekati Ibunya yang meraung tidak percaya. Air matanya bahkan mengalir deras dan begitu menyayat hati."Ibu." Nawangsih memeluk ibunya yang menjatuhkan diri ke pelukannya."Ayahanda, wafat. Ayahanda pergi ninggalin kita semua." Ibunya sesenggukan. "Maafkan kesalahan Ayahanda, maafkan kesalahannya, Nduk."Nawangsih menggeleng cepat dengan air mata yang ikut tumpah. "Ibunda tidak perlu minta maaf, Ayahanda tidak perlu meminta maaf sama aku, aku
Hari-hari kembali melaju meninggalkan jejak, menjadi momen yang terus menguatkan beragam kegundahan Nawangsih dan Suryawijaya selama berpisah. Meski begitu segalanya terasa seperti angin lalu. Rasa rindu itu tidak lagi menjadi beban, rasa khawatir itu tetap ada walau terkesan biasa saja. Suryawijaya tenang Nawangsih di rumah bersama keluarganya, sementara dia tinggal bersama keluarga kakeknya seolah keadilan tetap di tegakkan oleh orang tua mereka. Keduanya memiliki pengawasan hingga tak perlu risau berjauhan.Suryawijaya yang memiliki jiwa seni dan petualang tinggi mulai mendedikasikan diri pada dua hal-hal itu dalam prespektif yang positif.Lelaki itu mulai membuka workshop dan enterpreneur di Australia sekaligus mengembangkan bakat melukisnya dengan pelukis-pelukis handal maupun jalanan. Sementara pekerjaan tetapnya masih memantau sapi-sapi yang menghasilkan susu berkualitas tinggi entah sampai kapan hukuman itu berlanjut, dia hanya perlu pasrah dan menunggu karena ituNawangsih pun
Nawangsih menghela napas setelah keluar dari kamar ayahnya, meninggalkan Suryawijaya dan Ayahnya yang kembali membahas pekerjaan.Di dapur, tak ada siapapun kecuali dia dan cicak di atas plafon."Ya Tuhan, di saat aku ingin menjauh dan melupakan semuanya. Restu itu hadir tanpa aku duga. Tapi aku merasa tidak mengerti harus memilih jalan mana. Menikah atau tetap menjadi sahabat selamanya."Gadis itu termenung, membiarkan benaknya bicara dan berdebat. Begitupun Suryawijaya, ruang kerja ayahnya adalah tempatnya menepi setelah pembicaraan dengan ayahnya selesai."Tak ada yang lebih menentramkan hati ketimbang utuhnya sebuah keluarga. Terlebih setelah Ayahanda sakit, keluargaku masih terus di sorot media. Sekarang mungkin benar apa yang di katakan Keneswari dulu, jika apa yang terjadi antara aku dan Nawangsih adalah sesuatu yang justru akan menodai harkat dan martabat keluarga ini."Suryawijaya menghembuskan napas sambil meraba kebenaran dalam setiap kata Keneswari. Dia mengangguk samar dan
"Aku tidak mengganggu, Nawangsih. Ibu. Aku bersumpah. Kita hanya bercanda-canda." Suryawijaya mengaku di hadapan Ibunya yang meminta penjelasan. Tetapi penjelasanya tidak mempengaruhi rasa curiga Ibunya."Kamu memangnya bisa bercanda?""Bisa saja... Aku ini juga punya darah pelawak kok." Suryawijaya menghela napas. Baiklah, tiada gunanya bercanda dengan Ibunya, wanita itu terlalu peka akan batin anaknya.Suryawijaya menatap Ibunya. "Kami bersahabat sekarang, dan kami ingin memulai perubahan itu dengan berteman baik.""Berteman baik?"Suryawijaya mengamati Ibunya melihat sekeliling. "Ada apa, Ibu? Mau membicarakan sesuatu yang rahasia dan penting?"Ibunya mengangguk. "Kamu ikut ke kantor sekarang, Ayahanda sudah ada yang jaga."Suryawijaya mengikuti Ibunya dengan tidak tenang. Persoalan cinta dengan adik angkat pun tidak ada habisnya bahkan ketika dia sudah menyerah bagaimana nasibnya sendiri kelak. Mungkin dialah yang akan menjadi jomblo abadi.Suryawijaya menghidupkan steker lampu kar