“Halo!” sapa Gery ketika sudah sampai di dalam kamar.Amora yang kala itu sedang berdiri di depan cermin, sedikit terlonjak kaget. Sisir yang sedang ia gunakan sampai terjatuh di atas lantai.Gery berjalan mendekat dan tertawa kecil. “Apa suaraku begitu mengerikan?”“Ti-tidak,” sahut Amora sambil berjongkok sesaat, kemudian berdiri lagi dan meletakkan sisir di tempatnya lagi.“Maaf, aku kesiangan.” Amora berbalik dan tertunduk.Seolah marah, Gery melengos dan duduk acuh di tepi ranjang. “Kau selalu kesiangan setelah bertempur malam.”“A-apa?” Amora ternganga dengan bola mata membesar. Hanya sesaat, karena setelah itu Amora berdehem pura-pura membuang muka. “Maaf.”“Untuk apa minta maaf,” kata Gery. “Kau sudah melakukan tugas sebagai istri.Amora masih berdiri sambil meremas-remas ujung bajunya yang terbuat dari bahan katun. “Semalam pasti sangat memalukan. Apa aku terlalu bersemangat?” batin Amora.“Hei!” Gery menjentikkan kedua jarinya hingga membuat Amora berkedip dari lamu
Sampai di rumah, semua orang sedang berkumpul di meja makan untuk makan malam. Amora yang merasa lapar, awalnya sudah memutar tumit untuk ikut bergabung, tapi Gery menyuruhnya langsung masuk ke kamar.“Kenapa kau tak ajak istrimu makan?” tanya ayah.“Dia tidak enak badan,” sahut Gery. Yang lain hanya diam memperhatikan.“Kalian berdua dari mana? Kenapa baru pulang?” timbruk Belva.Gery acuh. Dia sedang mengambil nasi dan beberapa lauk untuk di bawa ke kamar. Merasa pertanyaannya diabaikan, Belva terlihat mengeraskan rahang hingga giginya saling menekan.“Aku langsung ke kamar,” kata Gery sambil membawa sepiring makan malam.“Kalian tidak usah mengganggu mereka,” kata Ayah saat Gery sudah tidak terlihat.Merasa menjadi pusat utama yang ayah tatap, Theo dan Belva pura-pura diam saja.“Kalian kan sama-sama sudah menikah, urus saja kehidupan rumah tangga masing-masing.” Ayah berkata lagi.“Hei suamiku,” kata Wenda. “Apa maksudmu berkata begitu?” Wenda melirik putra dan menantunya
Pagi hari rumah terlihat gempar. Gery yang semalam harus melihat sang istri menangis, merasa tidak terima dan akan memberi peringatan pada pelakunya. Tepat pukul enam pagi, sebelum sang istri bangun, Gery sudah gembor-gembor turun ke lantai satu.Gery awalnya menggedor kamar Theo untuk mencari keberadaan Belva. Namun, setelah mendapat jawaban sedikit mengejutkan dari Theo, Gery segera beranjak turun ke lantai satu.“Dia tidak tidur bersamaku semalam,” kata Theo. “Aku malas dengannya.”Sambil menahan rasa emosi yang sudah meluap dari semalam, Gery juga merasa penasaran mengapa Theo dan Belva bisa bertengkar.Kalau mereka berdua yang bertengkar, lalu kenapa Amora yang menangis?Gery sudah sampai di lantai satu. Pandangannya mengedar ke setiap ruangan mencari sosok Belva. Berakhir di meja makan, Gery mendapati Belva tengah membantu ibu menyiapkan sarapan.Ini tidak nyata. Maksudnya, Belva hanya sedang mencari muka supaya ibu mertua semakin menyayanginya.“Pagi, Sayang,” sapa Wenda
Amora beranjak pergi tanpa berpamitan pada sang suami. Amora merasa enggan usai melihat rangkulan tangan Gery pada Belva. Itu terlihat seperti sebuah perhatian. Dari mata Gery, Amora merasa kalau memang ada rasa untuk Belva.Ya, Amora sudah terlanjur cemburu.Selama perjalanan dan sampai di tempat tujuan, wajah Amora masih ditekuk. Lela yang sedari memperhatikan mulai bertanya-tanya. Mulai dari cara Amora membereskan pakaian dan memasukkan ke dalam mesin cuci, terlihat jelas ada rasa jengkel. Lela juga mendengar Amora tengah menggerutu.“Hei,” tegur Lela sambil memiringkan kepala. “Kau baik-baik saja?”Amora kembali memasukkan kain ke dalam mesin cuci dengan keras lagi. Wajahnya merengut saat menoleh ke arah Lela, lalu membuang muka hingga membuat Lela menjerit kecil.“Dia itu jahat!” omel Amora.Brak! Tutup mesin cuci ia banting kuat sebelum mencolokkan kabelnya.“Siapa yang jahat?” tanya Lela.“Tidak. Tidak ada.” Amora melengos. “Kau jaga laundry. Aku lapar, mau cari makan d
Gery membawa Amora ke sebuah restoran lebih dulu. Sejujurnya Gery juga belum sarapan.“Kenapa kesini?” tanya Amora.“Tentu saja mau makan,” jawab Gery acuh. “Duduk!” perintahnya kemudian.Amora masih merengut, tapi tetap menurut saja.“Kau makan apa?” tanya Gery.“Aku sudah makan,” jawab Amora.“Di mana?”“Di sini.”Ya, tadi memang Amora makan di restoran ini, dan terpaksa tidak tuntas karena diganggu oleh Andy. Hari ini sepertinya memang hari menyebalkan untuk Amora.Beberapa menit kemudian, hidangan pun datang. Dua buah minuman rasa jeruk dan dua piring nasi goreng dengan taburan daging suwir.“Kan aku sudah bilang, aku sudah makan,” kata Amora. Wajahnya masih merengut. Rasa cemburu ternyata bisa membuat seseorang jadi lebih berani.Gery memicingkan mata. “Kau makan dengan siapa, ha?”“Sendiri.”“Di mana-mana, istri itu sarapan ya bersama suami,” kata Gery. “Bukan seperti kau yang pergi tanpa pamit sementara suami belum kau siapkan sarapan.” Sendok garpu mengacung dan b
Pertengkaran antara Theo dan Belva masih berlanjut. Wenda sudah sempat mewanti-wanti Theo supaya tidak berlaku kasar lagi pada Belva. Apa yang Gery ceritakan tadi, sempat membuat Wenda khawatir. Namun, karena percaya Wenda tetap membiarkan mereka berdua tetap di dalam kamar. Maksudnya untuk menyelesaikan masalahnya.“Sebenarnya kenapa mereka bisa bertengkar?” tanya Abraham.“Aku juga kurang tahu. Tidak ada yang menjelaskan dengan detail tadi,” kata Wenda. “Semoga saja mereka cepat baikan.”“Apa Gery dan Amora tidak di rumah?” tanya Abraham lagi.“Mungkin mereka menginap di apartemen.”Sepasang suami istri yang semakin menua ini, memilih membaringkan badan untuk tidur. Bagaimana keadaan di kamar atas, biarlah menjadi urusan si penghuni.“Bagaimana mungkin kau tega menamparku?” tanya Belva dengan nada menyalak.Theo baru saja selesai mandi karena baru pulang beberapa menit yang lalu dan sekarang harus dihadapkan dengan masalah tadi pagi.Sesantai mungkin, Theo berjalan mendekati
Menembus jalanan yang padat, Gery sampai enggan peduli jika laju mobilnya tetap cepat. Suara klakson bersahutan untuk memperingatkan, ia abaikan dan terus saja melaju.Sampai di jalanan yang lumayan longgar, Gery menambah kecepatan hingga akhirnya sampai di halaman rumah yang tak lain rumahnya sendiri.Gery melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Pukul delapan pagi, itu artinya di rumah kemungkinan hanya ada Ibu dan Belva.“BELVA!” suara Gery menggelegar ke seluruh ruangan. “Belva!” sekali lagi Gery berteriak.“Gery?” Wenda keluar kamar nampak terkejut. Satu tangan menutup pintu lalu segera menghampiri Gery.“Belva! Di mana kau!” teriak Gery lagi. Wenda semakin terlihat penasaran.“Tenang Gery!” Wenda menghalangi langkah Gery yang hendak menuju tangga. “Ada apa memangnya.”Sudah tersulut emosi, Gery saat ini hanya mau bertemu dengan Belva saja. Gery butuh penjelasan dari wanita itu.“Gery ... ada apa dengan Belva?” Wenda menarik lengan Gery saat sudah menaiki anak ta
Gery tidak langsung kembali ke apartemen untuk menjemput Amora. Gery harus mengurus pekerjaannya lebih dulu. Kata Dion, Gery harus datang dan ikut dalam pertemuan.Gery harusnya ingat, kalau ini sudah mulai siang menjelang sore, dan Amora pasti belum makan. Di dalam apartemen, Amora sedari tadi nampak gelisah. Mulai dari duduk di sofa dan menonton TV, lalu berjalan ke arah balkon dan berdiri di sana beberapa saat.Tok! Tok! Tok!Seseorang mengetuk pintu dengan sangat keras dan tidak sabaran. Awalnya Amora masih termenung menebak-nebak siapa gerangan yang datang. Amora harus waspada.Saat ketukan itu terdengar lagi, Amora sampai terjungkat kaget. Ragu-ragu Amora berjalan mendekati pintu.“Siapa ya?” gumam Amora.Amora maju semakin dekat, lalu mendekati lubang kecil di tengah pintu. Amora menempelkan satu matanya untuk memastikan siapa orang di luar sana.“Belva?” pekik Amora. Amora berjalan selangkah mundur. “Dia datang lagi? Untuk apa?”Tok! Tok! Tok!Ketukan itu terdengar la