“Dek! Kita, kan, pernah ketemu waktu pesta pernikahannya Abid ... waktu itu kamu juga bilang kalau istrinya Abid itu adikmu, berarti kamu ini anaknya Pak Ananto?” Tiba-tiba pertanyaan Mas Ragil berubah menjadi semakin menyebalkan. Namun, aku memilih diam, daripada harus menjawab pertanyaan konyol itu. Aku tidak mungkin mengatakan iya ataupun tidak, karena aku seperti makan buah simalakama. Kalau aku berkata iya, maka bisa jadi Mas Ragil akan mengatakan hal itu kepada bapak. Seandainya bapak tahu bahwa, Mas Ragil adalah tetanggaku, tentu akan segera menjodohkan aku dengan laki-laki itu. Sebaliknya kalau aku mengatakan tidak, itu artinya aku berbohong. Akhirnya aku matikan saja telepon itu. Males banget dengerinnya. Mas Ragil melakukan panggilan kembali, tapi aku abaikan. Bahkan, saat ia mengirim pesan pun tidak aku baca. Aku memilih untuk tidur saja, ibadah sudah aku tunaikan semua. Pada keesokan paginya, aku baru membuka telepon genggam, setelah selesai salat dan bersiap-siap. Aku
“Abid?” kataku terkejut, seketika hatiku waspada dan jantungku seperti bertambah detakannya. “Mbak Mina! Baru saja saya mau mengetuk pintu!” katanya gugup.“Ada apa, ya? Kok, tumben ke sini, mana Linda?” aku bertanya setelah berhasil menguasai keterkejutanku. Kulewati Abid di pintu dan menyimpan ember pakaian di dekat jemuran baja yang kuletakkan persis di depan jendela kamarku.“Ada, lagi di restoran yang di Prapatan jalan!”“Oh kenapa nggak ikut ke sini?”“Katanya mau ngajakin Mbak Mina pulang--kalau mau, dia tadi masih pesan makanan buat dibawa ke rumah ibu! Dia minta aku ke sini soalnya mau telepon tadi HP-nya ketinggalan!”“Oh gitu, tapi aku baru beres nyuci dan belum mandi, nanti aja lah, kapan-kapan aku pulang! Eh, Linda baik-baik saja kan?”“Ya, baik, Mbak! Alhamdulillah dia pulang itu karena mau ngomong ke ibu kalau dia sekarang sedang hamil!”“Alhamdulillah! Jadi, sakit kemarin itu karena ngidam?”“Ya mungkin begitu!”“Ya, sudah! Kalau begitu kamu nggak usah nun
“Dek Mina nggak ingat sama sekali, soal masa kecil kita?” tanyanya, terlihat tidak puas dengan jawaban dan sikapku.“Masa kecil yang mana? Sudahlah Mas, nggak usah dibahas, itu masa lalu! Lagian, kejadian masa kecil itu kan banyak sekali nggak mungkin semuanya aku ingat!” Aku menutup pintu rapat-rapat, Setelah selesai bicara dan tak lupa menguncinya. Aku berniat tidur lagi menikmati waktu liburanku, mumpung hari masih tergolong pagi.Sebelum aku tidur, sempat kudengar telepon genggam di meja kecilku berbunyi, itu suara notifikasi. Mungkin, ada pesan masuk, tapi kuabaikan.Nanti sajalah menjawabnya.Aku terbangun ketika adzan zuhur terdengar di telinga dari arah masjid yang tidak jauh dari kontrakanku berada. Lalu, aku ke kamar mandi untuk menyelesaikan hajatku sekaligus berwudhu. Setelah salat dzuhur, barulah aku melihat beberapa pesan yang masuk tadi. Salah satunya dari Linda, ada juga dari Mas Ragil.Linda menyampaikan kekecewaannya, melalui nomor Abid—suaminya, karena aku ti
POV Author Ragil menatap gadis yang masih memakai mukena itu berlalu dari hadapannya. Ia tidak bisa mencegah karena merasa tidak berhak untuk memaksa untuk tetap tinggal. Meskipun dalam hati ia masih ingin berbincang-bincang dengannya. Pria itu bersyukur jika akhirnya, Mina mau membawa kerang mutiara yang sengaja ia berikan padanya itu pulang. Benda itu adalah bukti kebersamaan masa kecil mereka yang pernah ada. Ia begitu terkesan, sebagai anak kota yang baru pertama kali menetap di kampung untuk waktu yang cukup lama. Ia mengenal Mina sebagai gadis desa yang masih sama-sama duduk di sekolah dasar dan menjadi teman akrab satu-satunya di sana.Gadis itu agak lamban berpikir ketika diajaknya bicara dan bisa menjawab pertanyaannya. Namun, gerakannya sangat cepat ketika ia mencari kerang-kerang air tawar itu di sungai. Mina mendapat begitu banyak, sedangkan Ragil hanya dapat beberapa biji saja.Bukan hanya itu kenangannya bersama Mina, awalnya Ia tidak menyangka kalau gadis itu san
Ragil merahasiakan siapa sebenarnya dirinya, di hadapan semua tetangganya termasuk Mina. Ia tidak mengatakan jika dirinya adalah, seorang yang sukses bertani dan berkebun. Jadi, isu dan hal negatif tentang dirinya pun merebak begitu saja, di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Meskipun begitu, ia tidak ambil pusing.Namun ia sering melihat Mina yang selalu mencuriga kepadanya, terlihat jelas dari sikap kewaspadaannya. Walaupun informasi yang ia dapatkan tentang Mina tidaklah bagus, tapi ia tetaplah lapang dada. Ia mendengar bahwa, Mina termasuk anak yang bodoh di kelas. Namun, dalam kehidupan seperti sekarang ini, Mina begitu realistis dan terlihat pintar di matanya. Ragil pernah berpikir bagaimana seandainya wanita itu menjadi istrinya kelak. Ia akan menerima apa pun, kekurangan Mina dan tidak akan menganggap serius omongan orang tentang Mina yang miring.Saat Mina kecelakaan, ia sangat panik dan dengan tergesa-gesa membawanya ke rumah sakit. Tanpa menunggu konfirmasi atau pers
Aku membiarkan Bu Kokom terus berceloteh selama menempati langkahku sampai di depan pintu. Dia terus saja mengungkapkan rasa penasarannya, kenapa aku menemui laki-laki itu. Dia juga mengatakan pikiran pribadinya tentang sosok Mas Ragil, yang ingin aku memahaminya seperti apa yang dia pahami. Setelah ia selesai bicara, aku berbalik dan menatapnya penuh dengan senyuman.“Bu, apa tidak bisa kalau tidak mengurus urusan orang sebentar saja? Jadi, apa yang jadi urusan saya dan Mas Ragil biarlah tetap menjadi urusan kami berdua, tidak perlu ibu mencampurinya kecuali, Bu Kokom memang terlibat! Kalau memang Ibu ingin tahu ada urusan apa saya dengan mas Ragil, maka jawaban saya adalah, Saya tidak punya urusan apa-apa!”Aku kira ucapan formalku bisa diterima dengan baik hingga dia mengerti tapi nyatanya tidak karena Bu Kokom kembali bertanya.“Kalau tidak punya urusan apa-apa tidak mungkin Mbak Mina deketin Mas Ragil sampai bela-belain datang ke tempatnya! Iya, kan?”“Kan, sudah saya bilang
“Abid kamu kenapa?” kata ibu sambil menoleh ke belakangnya. “Ada apa ya, Buk?” tanyaku heran.Aku mencoba menanyakan kegaduhan yang terjadi di belakang layar, di dekat Ibu dan Linda yang menurutku, mereka duduk di ruang tamu yang tidak jauh dari ruang tengah. Kemungkinan Abid sedang berada di sana dan tentu saja dia bisa mendengar apa yang kami bicarakan. Namun, aku tidak mendapatkan jawaban dari rasa penasaranku, karena layar telepon ibuku tiba-tiba saja padam.Mungkin saja suara pecahan gelas yang kudengar itu cukup berantakan sehingga membuat Ibuku kerepotan. Aku tidak berusaha melakukan panggilan kembali karena aku pikir mereka sedang sibuk membereskan kekacauan yang dilakukan oleh Abid.Aku menyambungkan telepon ke pengisi daya, lalu berniat untuk mengangkat jemuranku yang aku pikir sudah mulai kering. Saat aku melakukannya, kulihat beberapa ibu-ibu sedang duduk berkerumun di depan rumah Teh Nena. Aku mendengar suara mereka berbicara cukup keras seolah memang sengaja agar ak
“Kenapa berhenti di sini, Bid?” tanyaku sambil menetapnya dengan tajam.Aku berusaha mengalahkan rasa takutku sendiri.“Saya mau bicara sama Mbak Mina dari hati ke hati!” katanya.“Eh, apa maksudnya ini, apa kamu punya masalah sama Mbak sebelumnya?”“Bisa dibilang begitu, Mbak! Kalau memang benar Mbak ini kenal sama Ismawati, saya mau dengar gimana kisah kematiannya dulu menurut ingatan Mbak Mina?” tanyanya lagi, dengan wajah serius, tatapannya yang tajam terarah tepat ke mataku.“Kamu kenal juga ya, sama dia?” tanyaku heran.“Terus terang, Mbak, saya dulu pernah jadi pacarnya!”Tiba-tiba kepalaku pusing sekali, seperti ada sesuatu yang menolak untuk kuingat tentang Ismawati, dan nama Samarcandra selalu muncul secara bersamaan di otakku. Aku memikirkan nama belakang Abid itu, memang terasa aneh dalam ingatanku, tapi aku sendiri tidak tahu apa hubungannya dengan itu. “Oh, eh, apa? Kamu pernah jadi pacarnya? Tapi kok, aku nggak tahu?”“Mbak Mina dulu akrab nggak sama dia?”“
“Tidak masalah Pak Anan! Saya faham soal ini, jadi jangan sungkan lagi pada kami!” jawab Yusro, semakin membuat lega perasaan semua orang yang ada di sana.“Iya, Mas Anan! Saya juga salah, sudah membuat anak saya tidak tenang di sana! Oh ya! Nak Abid, saya sudah memaafkan kesalahan kamu, kok!” kata Nuria.Akhirnya, semua pihak berdamai, karena tidak ada yang bisa dilakukan selain melupakan. Masa lalu tidak akan terasa menyakitkan jika semua orang bisa mengikhlaskan dan menyadari bahwa sang waktu tidak dalam kendali manusia.Nuria dan Yusro pun akhirnya merelakan, kalau Abid akhirnya dibebaskan. Mereka menyadari bahwa, tidak seharusnya mereka mengungkit kematian Ismawati setelah sekian lama waktu berlalu atas kematiannya. Ada hal yang menyakitkan bagi jasad anaknya kalau proses itu tetap dilakukan. Apalagi mereka memahami selama dua bulan proses penyelidikan itu berjalan, bahwa semua tidak terlepas dari kuasa Tuhan.Setelah proses penjelasan resmi dari pihak kepolisian selesai, sem
POV AUTHORMina memutuskan menginap karena Abid tidak pulang, tidak ada yang tidak tahu, apa yang terjadi karena Linda juga tidak bisa menghubungi suaminya. Ia sering tidak masuk kerja karena kondisinya, tapi ia sudah mendelegasikan pekerjaan kantor pada asistennya. Linda tidak mau meninggalkan karirnya walau keadaan diri dan suaminya seperti sekarang ini. Ia memang diandalkan oleh sang suami karena memiliki kompetensi. Apalagi Abid menyerahkan keputusan soal pekerjaan sepenuhnya pada, sang istri. Jadi, Linda bebas apakah ia tetap bekerja atau akan berhenti.Tanpa sepengetahuan istrinya, Ragil menghubungi seorang pengacara yang pernah ia kenal saat ayahnya masih ada. Semua demi berjaga-jaga kalau Mina membutuhkan pembelaan dari pengacara.Proses di kepolisian terus berjalan selama beberapa hari lamanya, demi penyelidikan yang harus terus di lakukan. Sementara Mina bergantian menjaga Linda dengan ibunya. Ia memilih menghindar kalau ibunya datang. Mereka melakukan giliran itu karen
“Jadi, Mas benaran mau nganterin aku ke mana pun aku mau?” aku bertanya sambil menutup dompetku kembali. Aku putuskan untuk membeli sesuatu nanti saja setelah melihat keadaan Linda dan membeli apa kiranya yang ia butuhkan.“Siap!” katanya seraya melakukan gerakan hormat. Kelihatan ya, kalau pengangguran sejati, pekerjaannya Cuma nganterin istri. Jadi, pasti dia mau nganterin aku untuk membeli kebutuhan Linda nanti.Sesampainya di rumah Linda, aku dibuat terkejut dengan keadaannya. Suasana sepi dan pintunya tidak dalam keadaan terkunci. Semua ruangan berantakan seperti baru saja ada peperangan. Aku menemukannya sesuai lokasi yang dibagikannya.Aku memberanikan diri masuk ke dalam sebuah ruangan yang aku pikir itu kamar Linda. Ternyata benar, adikku itu meringkuk di kamar.“Linda ...!” panggilku lembut. Aku baru saja hendak menyentuh tubuhnya saat tiba-tiba telepon dalam tas ku berbunyi nyaring. Aku berniat mematikannya agar tidak menggangu Linda. Namun, setelah kulihat nama
Keesokan harinya, setelah sarapan, Teh Mela berpesan padaku agar tetap merahasiakan semuanya dan biarlah tetap berjalan seperti biasa.“Kenapa?” tanyaku, sebab jelas aku ingin mengatakan semuanya dengan segera, tapi justru dilarang.“Biar mereka nggak memanfaatkan kebaikan kita atau meminta agar sewanya diskon sama Ragil! Soalnya Ragil itu baiknya nggak ketulungan, bisa-bisa nanti semua orang minta potongan!”Alasan Teh Mela memang benar adanya, tapi selain itu, kalau bayaran sewanya kurang, maka dialah yang akan dapat akibatnya karena jatahnya berkurang.Aku bisa memakluminya, sebab Teh Mela memang bisa dikatakan sangat tergantung pada adik laki-lakinya. “Anakku ada tiga, di pesantren semua dan jauh, kalau saya nggak bantu suami membiayai mereka, kasihan juga, Mbak Mina tahu, kan, biaya anak pesantren berkualitas jaman sekarang berapa?”“Iya, Teh, biaya tahunannya itu yang memberatkan biasanya!” “Nah iya, kalau bukan suami saya yang dulu menghabiskan warisan ayah, mungkin sa
Mas Ragil pun kembali bercerita. Atas desakan sang ayah, akhirnya ia pun mau membeli mobil itu. Di kemudian hari ia baru tahu bahwa, itu mobil bekas dan sang ayah memintanya membeli karena pemiliknya sedang kekurangan uang.Dari cerita itu aku berpikir jangan-jangan rumah yang di tempati teh Mela juga miliknya.Jawaban dari dugaanku itu segera terjawab. Dan, ternyata benar, bahwa rumah besar yang sering dimasuki Mas Ragil—aku melihatnya sendiri keluar masuk ke rumah itu, adalah rumahnya. Bukan rumah Teh Mela.Saat aku sampai di kota, hari sudah malam dan tidak mungkin berkunjung ke rumah Linda. Sementara di kontrakan tidak ada garasi mobil, hingga Mas Ragil menyimpan mobil itu di garasinya.“Mas! Parkir mobil di sini! Tadi bilangnya nggak mau gangguin Linda, eh! Di sini ganggu Teh Mela!”“Nggak apa, dia sudah biasa!” jawab Mas Ragil, sambil melepas sabuk pengamannya. Aku mengikutinya dan turun, Mas Ragil membuka gerbang dan aku masuk untuk mengetuk pintu rumah, dengan niat me
“Memangnya, Abid kenapa, Bu?” tanyaku pada Ibu, seraya mendengar lebih serius di telepon.“Bagus kamu ya, langsung bisa tahu kalau Ibuk mau bicara soal Abid!” jawab ibu.Ibu Aku bisa menebak, sebab adik ipar yang bermasalah denganku ya, Abid. Tidak mungkin kalau Ismaya, kan? Kalau soal Landu, adikku itu mengirim kabar beberapa hari yang lalu. Adikku dan istrinya akan menetap di kota dan untuk sementara waktu tidak akan mengunjungi mertuanya. Entah kapan ia bisa bersikap kembali seperti biasa, setelah mengetahui masa lalu mertuanya.Walaupun, apa yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Ismaya atau pun Landu, tapi, sikap menghindar dari kedua orang tua itu perlu. Apalagi, hanya untuk sementara waktu. Selain demi menata hati, juga demi kebaikan semuanya. Bayangkan saja kalau bertemu sementara hati belum memaafkan kesalahan masa lalu. Bisa jadi mereka akan terus membicarakan kekecewaan itu.Bagaimana Ismaya tidak kecewa kalau setelah mengetahui Ismawati tiada, ayahnya ju
“Siapa?” tanyaku penasaran, pada wanita pembawa makanan yang dikatakan Mas Ragil itu.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil!” sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu tenda tempat istirahatku.“Iya! Masuk!” kata Mas Ragil, dia belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang yang mengucapkan salam itu sudah terlanjur masuk.“Ini, Mas! Lilis bawain makan siang!” kata perempuan yang mungkin bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdu
“Siapa?” tanyaku penasaran.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil! Ini Lilis bawain makan siangnya!”Mas Ragil belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang masuk di tenda yang kami tempati.Dia perempuan yang bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdulillah! Masak apa kamu Lis?” tanya Mas Ragil antusias. “Masak opor ayam, Mas!” jawab perempuan itu sambil tersenyum dan menyimpan tempat nasi itu di atas meja.“Sini, sini, kita makan
“Gimana, Mbak, rasanya menikah sama perjaka tua dan pengangguran pula, hati-hati ya, Mbak, kalau nanti gaji bulanannya diporotin suami!” kata Teh Nena lagi.Aku tersenyum, dan menjawab, “Teh Nena nggak usah kuatir, Mas Ragil nggak akan morotin istrinya sendiri, seperti laki-laki yang tidak punya harga diri, lagian dia bukan pengangguran, Kok!” Setelah itu aku pun naik ke motor Mas Ragil.Aku yakin akan hal itu, sebab Mas Ragil tidak mungkin bisa membiayai pernikahan dan memberikan semuanya saat pernikahan, kalau dia pengangguran. Kata Bapak juga bilang kalau suamiku itu rajin dan pintar. Hanya saja bapak tidak memberitahuku, apa pekerjaan Mas Ragil secara pasti.“Aku ini petani, apa kamu malu kalau mengakui suamimu ini petani?” tanya Mas Ragil saat aku dan dia sudah berada di atas motornya. Dia mengantarkan aku dan kendaraan roda dua itu berjalan dalam kecepatan sedang.“Nggak masalah kalau jadi petani, yang penting bukan pengangguran, Mas!”“Biarin saja mereka bilang begitu,