“Abid kamu kenapa?” kata ibu sambil menoleh ke belakangnya. “Ada apa ya, Buk?” tanyaku heran.Aku mencoba menanyakan kegaduhan yang terjadi di belakang layar, di dekat Ibu dan Linda yang menurutku, mereka duduk di ruang tamu yang tidak jauh dari ruang tengah. Kemungkinan Abid sedang berada di sana dan tentu saja dia bisa mendengar apa yang kami bicarakan. Namun, aku tidak mendapatkan jawaban dari rasa penasaranku, karena layar telepon ibuku tiba-tiba saja padam.Mungkin saja suara pecahan gelas yang kudengar itu cukup berantakan sehingga membuat Ibuku kerepotan. Aku tidak berusaha melakukan panggilan kembali karena aku pikir mereka sedang sibuk membereskan kekacauan yang dilakukan oleh Abid.Aku menyambungkan telepon ke pengisi daya, lalu berniat untuk mengangkat jemuranku yang aku pikir sudah mulai kering. Saat aku melakukannya, kulihat beberapa ibu-ibu sedang duduk berkerumun di depan rumah Teh Nena. Aku mendengar suara mereka berbicara cukup keras seolah memang sengaja agar ak
“Kenapa berhenti di sini, Bid?” tanyaku sambil menetapnya dengan tajam.Aku berusaha mengalahkan rasa takutku sendiri.“Saya mau bicara sama Mbak Mina dari hati ke hati!” katanya.“Eh, apa maksudnya ini, apa kamu punya masalah sama Mbak sebelumnya?”“Bisa dibilang begitu, Mbak! Kalau memang benar Mbak ini kenal sama Ismawati, saya mau dengar gimana kisah kematiannya dulu menurut ingatan Mbak Mina?” tanyanya lagi, dengan wajah serius, tatapannya yang tajam terarah tepat ke mataku.“Kamu kenal juga ya, sama dia?” tanyaku heran.“Terus terang, Mbak, saya dulu pernah jadi pacarnya!”Tiba-tiba kepalaku pusing sekali, seperti ada sesuatu yang menolak untuk kuingat tentang Ismawati, dan nama Samarcandra selalu muncul secara bersamaan di otakku. Aku memikirkan nama belakang Abid itu, memang terasa aneh dalam ingatanku, tapi aku sendiri tidak tahu apa hubungannya dengan itu. “Oh, eh, apa? Kamu pernah jadi pacarnya? Tapi kok, aku nggak tahu?”“Mbak Mina dulu akrab nggak sama dia?”“
Selain pesan dari mas Ragil ada juga pesan lain dari Abid yang mengatakan sesuatu hal yang aneh. Dia terus saja mendesak ku untuk mengingat sesuatu yang berhubungan dengan Ismawati dan kematiannya waktu itu.Aku mengabaikan pesannya.Hari itu aku melakukan aktivitas seperti biasanya dan di sela-sela istirahat, aku menelepon ibu.Aku menanyakan apa yang aku alami setelah mengucapkan salam.“Buk, apa ibu ingat tentang kejadian Ismawati dan apa yang terjadi kepadaku waktu dia meninggal waktu itu, Buk?”“Kenapa tiba-tiba kamu tanya soal itu?”“Nggak apa, Buk, cuman pengen tanya aja!”“Sudah ibu bilang dari dulu, tidak usah mengingat soal Ismawati!” suara ibu membentakku begitu keras dan ucapannya itu justru membuatku semakin takut.“Tahu nggak, yang bikin kamu bodoh itu karena kamu itu ingat kejadian soal Ismawati! Mina, awas kalau kamu ingat lagi soal itu, ibu nggak bisa ngakuin kamu jadi anakku!” kata perempuan yang sudah melahirkan aku itu dan langsung menutup teleponnya.“Dih
“Aku itu udah nanya berulang kali sama Mina, dia bilang nggak kenal sama Ragil, ya dia jawabnya nggak kenal sama kamu, Gil!” kata bapak. Aduh bapak, malu-maluin aku!Aku melihat ke arah bapak dan mas Ragil secara bergantian, bapak menatapku dengan kesal sedangkan mas Ragil menatapku melotot.Aku diam saja meninggalkan mereka dan membuka rumahku sendiri, lalu menggelar karpet untuk bapak.Kulihat Mas Ragil kembali masuk ke petakannya sendiri. Bapak mengikuti dan kembali melirik ke arahku dengan sudut mata yang sinis, sedangkan Teh Mela pulang ke rumahnya sendiri, setelah berpamitan pada Bapak.Pakde Surya juga ikut masuk dan duduk di samping bapak aku menyediakan dua gelas kopi.“Gak usah bikin kopi, tadi juga udah ngopi di tempat Ragil!” kata bapak dan pakde Yusro hampir bersamaan.Aku langsung saja bicara pada permasalahannya, mengingat hari sudah semakin sore dan sepertinya pakde Yusro mau pulang. Aku tidak mungkin menahan mereka lebih lama.“Bapak itu jangan salah paham
Hidup memang tak pernah akan sesuai dengan kehendak kita sebab diri kita saja bukanlah milik kita seutuhnya. Hakikatnya hidup milik Allah, segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali pada-Nya, pula.Aku memikirkan hidupku sambil berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa gerangan yang mengetuknya. Dari balik tirai jendela aku mengintip dan kulihat Abid berdiri di sana.“Ada apa Abid ke sini malam-malam begini?” aku bergumam seorang diri.Tiba-tiba hatiku berdebar kencang, rasa takut menghampiriku. Aku bersandar di dinding sambil mengelus dada mencoba menenangkan debarannya. Nama Tuhan kusebut secara berulang dan aku kembali ke kamar dengan langkah yang gemetar. Aku tidak akan membukakan pintu untuk pria itu.Dari dalam aku mendengar seseorang bicara pada Abid, dan kembali kuintip dari balik tirai, ternyata ada Mas Ragil. Lalu, dua pria itu bicara di sana, tapi aku tidak bisa mendengar pembicaraan mereka.Aku segera mematikan telepon genggam agar Abid atau siapa pun tidak b
“Eh, eh, Mas! Lepasin! Sembarangan aja pegang-pegang tangan anak orang!” Aku berkata dengan tegas menolak kelakuan Mas Ragil yang seenaknya.Namun, pria itu tidak mengatakan apa pun dan terus menggiring langkahku, menuju motor antik pinjaman yang sering di bawanya. Aku mengambil helm yang dia sodorkan dan segera kukenakan setelah naik ke atas motor itu. Memangnya dia mau ke mana, sih? Hatiku bertanya-tanya karena pria itu mengarahkan kendaraan ke jalan yang berlawanan dengan arah pulangku.Pantesan aja ribet banget pake helm segala, ternyata Mas Ragil membawa kendaraannya ke sebuah restoran yang cukup jauh dari pabrik. Namun, aku tidak banyak bertanya agar semua urusan segera selesai.Dia melepaskan helm setelah turun begitu juga aku, lalu dia lagi-lagi menggamit tanganku sambil berjalan masuk. Tentu aku segera menepisnya hingga terlepas. Aku dan Mas Ragil mirip pasangan yang sedang bertengkar.“Mau ngapain ke sini?” tanyaku setelah kamu duduk secara berhadapan di salah satu mej
“Dulu, waktu kita masih kecil umur pertemanan kita Cuma sebentar dan masa kecil kita sudah selesai, tapi sekarang pertemanan dewasa kita baru saja di mulai!” kata Mas Ragil memberi makna tersirat padaku.“Apa maksudnya? Aku nggak ngerti!”“Habisin makanannya, lagian kamu gak perlu ngerti!” kata Mas Ragil sebelum menghabiskan air minum di gelasnya.Aku menurutinya untuk menghabiskan makanan dipiringku, sedangkan dia sendiri pergi entah ke mana dia tidak mengatakannya. Aku baru tahu ke mana Mas Ragil pergi setelah aku selesai makan, ternyata dia ke kasir untuk membayar makanan. Pelayan memberi Mas Ragil kwitansi setelah dia kembali menempati kursi yang tadi dia duduki.“Aku sebenarnya agak nggak percaya tentang ucapan Pak Anan waktu itu!” kata Mas Ragil sambil mengusap kedua telapak tangannya. Rupanya dia masih mau membicarakan hal yang tidak kusukai itu.“Memang Bapak bilang apa waktu itu?”“Dia awalnya cuman bilang, kalau anak perempuannya juga ngontrak di sekitar tempat kontr
Akhirnya aku memasuki rumah setelah selesai melepas sepatu dan langsung ke kamar ibu yang tidak tertutup itu.Aku maklum jika mereka membiarkan pintu terbuka begitu saja, karena mereka hanya tinggal berdua dan merasa tidak ada orang lain, selain mereka.Tentu saja kemudian mereka terkejut saat melihatku sudah berdiri di depan pintu. Aku melihat keduanya melotot, karena mungkin tidak percaya kalau aku tengah mendengarkan pembicaraan mereka.“Mina?” kata bapak dan ibu hampir bersamaan.“Apa kamu sudah pulang dari tadi? Kenapa nggak salam dulu, sih? Nggak sopan!” kata ibuku protes.“Mina sudah salam!” sahutku tegas, aku memang sudah mengucapkan salam tapi hanya dalam hati. Kalau aku mengucapkan salam, ya pasti mereka tidak akan melanjutkan ucapannya tadi.“Kok Bapak nggak denger?” kata bapak sambil merapikan sarungnya karena mau berangkat sholat magrib di mushola.Aku diam dan hanya terus menatap kedua orang tuaku itu penuh rasa penasaran. Aku sengaja pulang karena ingin menyelidi
“Tidak masalah Pak Anan! Saya faham soal ini, jadi jangan sungkan lagi pada kami!” jawab Yusro, semakin membuat lega perasaan semua orang yang ada di sana.“Iya, Mas Anan! Saya juga salah, sudah membuat anak saya tidak tenang di sana! Oh ya! Nak Abid, saya sudah memaafkan kesalahan kamu, kok!” kata Nuria.Akhirnya, semua pihak berdamai, karena tidak ada yang bisa dilakukan selain melupakan. Masa lalu tidak akan terasa menyakitkan jika semua orang bisa mengikhlaskan dan menyadari bahwa sang waktu tidak dalam kendali manusia.Nuria dan Yusro pun akhirnya merelakan, kalau Abid akhirnya dibebaskan. Mereka menyadari bahwa, tidak seharusnya mereka mengungkit kematian Ismawati setelah sekian lama waktu berlalu atas kematiannya. Ada hal yang menyakitkan bagi jasad anaknya kalau proses itu tetap dilakukan. Apalagi mereka memahami selama dua bulan proses penyelidikan itu berjalan, bahwa semua tidak terlepas dari kuasa Tuhan.Setelah proses penjelasan resmi dari pihak kepolisian selesai, sem
POV AUTHORMina memutuskan menginap karena Abid tidak pulang, tidak ada yang tidak tahu, apa yang terjadi karena Linda juga tidak bisa menghubungi suaminya. Ia sering tidak masuk kerja karena kondisinya, tapi ia sudah mendelegasikan pekerjaan kantor pada asistennya. Linda tidak mau meninggalkan karirnya walau keadaan diri dan suaminya seperti sekarang ini. Ia memang diandalkan oleh sang suami karena memiliki kompetensi. Apalagi Abid menyerahkan keputusan soal pekerjaan sepenuhnya pada, sang istri. Jadi, Linda bebas apakah ia tetap bekerja atau akan berhenti.Tanpa sepengetahuan istrinya, Ragil menghubungi seorang pengacara yang pernah ia kenal saat ayahnya masih ada. Semua demi berjaga-jaga kalau Mina membutuhkan pembelaan dari pengacara.Proses di kepolisian terus berjalan selama beberapa hari lamanya, demi penyelidikan yang harus terus di lakukan. Sementara Mina bergantian menjaga Linda dengan ibunya. Ia memilih menghindar kalau ibunya datang. Mereka melakukan giliran itu karen
“Jadi, Mas benaran mau nganterin aku ke mana pun aku mau?” aku bertanya sambil menutup dompetku kembali. Aku putuskan untuk membeli sesuatu nanti saja setelah melihat keadaan Linda dan membeli apa kiranya yang ia butuhkan.“Siap!” katanya seraya melakukan gerakan hormat. Kelihatan ya, kalau pengangguran sejati, pekerjaannya Cuma nganterin istri. Jadi, pasti dia mau nganterin aku untuk membeli kebutuhan Linda nanti.Sesampainya di rumah Linda, aku dibuat terkejut dengan keadaannya. Suasana sepi dan pintunya tidak dalam keadaan terkunci. Semua ruangan berantakan seperti baru saja ada peperangan. Aku menemukannya sesuai lokasi yang dibagikannya.Aku memberanikan diri masuk ke dalam sebuah ruangan yang aku pikir itu kamar Linda. Ternyata benar, adikku itu meringkuk di kamar.“Linda ...!” panggilku lembut. Aku baru saja hendak menyentuh tubuhnya saat tiba-tiba telepon dalam tas ku berbunyi nyaring. Aku berniat mematikannya agar tidak menggangu Linda. Namun, setelah kulihat nama
Keesokan harinya, setelah sarapan, Teh Mela berpesan padaku agar tetap merahasiakan semuanya dan biarlah tetap berjalan seperti biasa.“Kenapa?” tanyaku, sebab jelas aku ingin mengatakan semuanya dengan segera, tapi justru dilarang.“Biar mereka nggak memanfaatkan kebaikan kita atau meminta agar sewanya diskon sama Ragil! Soalnya Ragil itu baiknya nggak ketulungan, bisa-bisa nanti semua orang minta potongan!”Alasan Teh Mela memang benar adanya, tapi selain itu, kalau bayaran sewanya kurang, maka dialah yang akan dapat akibatnya karena jatahnya berkurang.Aku bisa memakluminya, sebab Teh Mela memang bisa dikatakan sangat tergantung pada adik laki-lakinya. “Anakku ada tiga, di pesantren semua dan jauh, kalau saya nggak bantu suami membiayai mereka, kasihan juga, Mbak Mina tahu, kan, biaya anak pesantren berkualitas jaman sekarang berapa?”“Iya, Teh, biaya tahunannya itu yang memberatkan biasanya!” “Nah iya, kalau bukan suami saya yang dulu menghabiskan warisan ayah, mungkin sa
Mas Ragil pun kembali bercerita. Atas desakan sang ayah, akhirnya ia pun mau membeli mobil itu. Di kemudian hari ia baru tahu bahwa, itu mobil bekas dan sang ayah memintanya membeli karena pemiliknya sedang kekurangan uang.Dari cerita itu aku berpikir jangan-jangan rumah yang di tempati teh Mela juga miliknya.Jawaban dari dugaanku itu segera terjawab. Dan, ternyata benar, bahwa rumah besar yang sering dimasuki Mas Ragil—aku melihatnya sendiri keluar masuk ke rumah itu, adalah rumahnya. Bukan rumah Teh Mela.Saat aku sampai di kota, hari sudah malam dan tidak mungkin berkunjung ke rumah Linda. Sementara di kontrakan tidak ada garasi mobil, hingga Mas Ragil menyimpan mobil itu di garasinya.“Mas! Parkir mobil di sini! Tadi bilangnya nggak mau gangguin Linda, eh! Di sini ganggu Teh Mela!”“Nggak apa, dia sudah biasa!” jawab Mas Ragil, sambil melepas sabuk pengamannya. Aku mengikutinya dan turun, Mas Ragil membuka gerbang dan aku masuk untuk mengetuk pintu rumah, dengan niat me
“Memangnya, Abid kenapa, Bu?” tanyaku pada Ibu, seraya mendengar lebih serius di telepon.“Bagus kamu ya, langsung bisa tahu kalau Ibuk mau bicara soal Abid!” jawab ibu.Ibu Aku bisa menebak, sebab adik ipar yang bermasalah denganku ya, Abid. Tidak mungkin kalau Ismaya, kan? Kalau soal Landu, adikku itu mengirim kabar beberapa hari yang lalu. Adikku dan istrinya akan menetap di kota dan untuk sementara waktu tidak akan mengunjungi mertuanya. Entah kapan ia bisa bersikap kembali seperti biasa, setelah mengetahui masa lalu mertuanya.Walaupun, apa yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Ismaya atau pun Landu, tapi, sikap menghindar dari kedua orang tua itu perlu. Apalagi, hanya untuk sementara waktu. Selain demi menata hati, juga demi kebaikan semuanya. Bayangkan saja kalau bertemu sementara hati belum memaafkan kesalahan masa lalu. Bisa jadi mereka akan terus membicarakan kekecewaan itu.Bagaimana Ismaya tidak kecewa kalau setelah mengetahui Ismawati tiada, ayahnya ju
“Siapa?” tanyaku penasaran, pada wanita pembawa makanan yang dikatakan Mas Ragil itu.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil!” sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu tenda tempat istirahatku.“Iya! Masuk!” kata Mas Ragil, dia belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang yang mengucapkan salam itu sudah terlanjur masuk.“Ini, Mas! Lilis bawain makan siang!” kata perempuan yang mungkin bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdu
“Siapa?” tanyaku penasaran.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil! Ini Lilis bawain makan siangnya!”Mas Ragil belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang masuk di tenda yang kami tempati.Dia perempuan yang bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdulillah! Masak apa kamu Lis?” tanya Mas Ragil antusias. “Masak opor ayam, Mas!” jawab perempuan itu sambil tersenyum dan menyimpan tempat nasi itu di atas meja.“Sini, sini, kita makan
“Gimana, Mbak, rasanya menikah sama perjaka tua dan pengangguran pula, hati-hati ya, Mbak, kalau nanti gaji bulanannya diporotin suami!” kata Teh Nena lagi.Aku tersenyum, dan menjawab, “Teh Nena nggak usah kuatir, Mas Ragil nggak akan morotin istrinya sendiri, seperti laki-laki yang tidak punya harga diri, lagian dia bukan pengangguran, Kok!” Setelah itu aku pun naik ke motor Mas Ragil.Aku yakin akan hal itu, sebab Mas Ragil tidak mungkin bisa membiayai pernikahan dan memberikan semuanya saat pernikahan, kalau dia pengangguran. Kata Bapak juga bilang kalau suamiku itu rajin dan pintar. Hanya saja bapak tidak memberitahuku, apa pekerjaan Mas Ragil secara pasti.“Aku ini petani, apa kamu malu kalau mengakui suamimu ini petani?” tanya Mas Ragil saat aku dan dia sudah berada di atas motornya. Dia mengantarkan aku dan kendaraan roda dua itu berjalan dalam kecepatan sedang.“Nggak masalah kalau jadi petani, yang penting bukan pengangguran, Mas!”“Biarin saja mereka bilang begitu,