“Dulu, waktu kita masih kecil umur pertemanan kita Cuma sebentar dan masa kecil kita sudah selesai, tapi sekarang pertemanan dewasa kita baru saja di mulai!” kata Mas Ragil memberi makna tersirat padaku.“Apa maksudnya? Aku nggak ngerti!”“Habisin makanannya, lagian kamu gak perlu ngerti!” kata Mas Ragil sebelum menghabiskan air minum di gelasnya.Aku menurutinya untuk menghabiskan makanan dipiringku, sedangkan dia sendiri pergi entah ke mana dia tidak mengatakannya. Aku baru tahu ke mana Mas Ragil pergi setelah aku selesai makan, ternyata dia ke kasir untuk membayar makanan. Pelayan memberi Mas Ragil kwitansi setelah dia kembali menempati kursi yang tadi dia duduki.“Aku sebenarnya agak nggak percaya tentang ucapan Pak Anan waktu itu!” kata Mas Ragil sambil mengusap kedua telapak tangannya. Rupanya dia masih mau membicarakan hal yang tidak kusukai itu.“Memang Bapak bilang apa waktu itu?”“Dia awalnya cuman bilang, kalau anak perempuannya juga ngontrak di sekitar tempat kontr
Akhirnya aku memasuki rumah setelah selesai melepas sepatu dan langsung ke kamar ibu yang tidak tertutup itu.Aku maklum jika mereka membiarkan pintu terbuka begitu saja, karena mereka hanya tinggal berdua dan merasa tidak ada orang lain, selain mereka.Tentu saja kemudian mereka terkejut saat melihatku sudah berdiri di depan pintu. Aku melihat keduanya melotot, karena mungkin tidak percaya kalau aku tengah mendengarkan pembicaraan mereka.“Mina?” kata bapak dan ibu hampir bersamaan.“Apa kamu sudah pulang dari tadi? Kenapa nggak salam dulu, sih? Nggak sopan!” kata ibuku protes.“Mina sudah salam!” sahutku tegas, aku memang sudah mengucapkan salam tapi hanya dalam hati. Kalau aku mengucapkan salam, ya pasti mereka tidak akan melanjutkan ucapannya tadi.“Kok Bapak nggak denger?” kata bapak sambil merapikan sarungnya karena mau berangkat sholat magrib di mushola.Aku diam dan hanya terus menatap kedua orang tuaku itu penuh rasa penasaran. Aku sengaja pulang karena ingin menyelidi
“Ayo! Kita pulang ke rumahmu sekarang!” Aku membawanya sampai di rumah, dan bertemu dengan tetangga Ismawati dan menjawab pertanyaan wanita itu seperlunya saja. Setelah itu aku menidurkannya di kamarnya. Aku menunggu ibunya, tapi karena tidak kunjung datang dan aku harus pergi mengaji, aku memutuskan untuk meninggalkannya setelah memastikan dia baik-baik saja.“Is, nggak apa kan, kalau aku pergi sekarang, sebelum ibumu pulang?”Ismawati hanya mengangguk lemah.“Mungkin sebentar lagi Ibumu pulang!”Ismawati mengangguk lagi.Aku pergi ke mushola, setelah menutup pintu rumah Ismawati begitu saja. Saat berjalan, aku melihat sebuah mobil berhenti tidak jauh dari rumah Ismawati dan aku sadar, orang yang ada di dalamnya tengah memperhatikan aku di balik kaca mata hitamnya. Namun, karena takut dan waspada, aku pun lari sekuat tenaga untuk segera sampai ke mushola.Begitu aku pulang, ibu bertanya seperti seorang polisi menginterogasi tersangka. Setelah aku selesai cerita, dia membawaku
“Jangan berpikir buruk soal maksud Ibuk!” kata Ibuku.Aku diam saja, tapi bapak yang melanjutkan bicara.“Maksud Bapak sama Ibumu ini bagus, Mina. Bukannya nggak sayang sama kamu, tapi justru seperti itulah ungkapan sayang yang bisa bapak berikan buat kamu, menikah dengan Ragil adalah jalan terbaik buat kesempurnaan jalan hidupmu!”“Bapak yakin, dia yang terbaik buat Mina?”Bapak mengangguk, “Coba kamu ingat lagi, perjalananmu kerja sampai pindah ke tempat kost itu, apa itu bukan isyarat kalau ... bisa jadi dia memang jodohmu!”“Masa?”“Ragil itu pernah ngasih sayuran ke Ibuk loh, Pak! Waktu ke sana sama Linda dan Landu!” kata ibu.Bapak mengangguk, “Dia juga yang bantuin kamu waktu sakit dan kecelakaan, kurang baik apa coba dia?”“Eh, bisa jadi dia baik buat mancing Mina biar suka sama dia?”“Lah, apa salahnya? Nggak salah mancing perasaan calon istri biar jatuh cinta!” kata Bapak.“Ih, Bapak bisa aja, gimana kalau sudah jadi istrinya terus dia nggak baik lagi sama Mina?”
“Nah! Di sini kamu rupanya!” kata Mas Ragil sambil menangkap ayam jantan itu dan memeluk serta mengelus kepalanya.Astaghfirullah! Aku menatapnya tak percaya, ternyata, seperti ini dia memperlakukan ayamnya.Itu artinya, kalau aku jadi istrinya, maka harus bersaing dengan ayam untuk mendapatkan perhatian darinya? Tiba-tiba aku merinding, seolah ada hantu yang kebetulan lewat dan menunjukkan wujud aslinya.“Awas!” seruku padanya, sambil mendorong tubuh Mas Ragil yang masih berdiri di dekat pintu, lalu menutupnya dengan keras. Brak!Sempat kulihat ada beberapa kotoran ayam di lantai.Aku menguncinya dengan menyembunyikan rasa kesal, dan pergi tanpa permisi, pada laki-laki yang sudah membuat mood-ku buruk di pagi hari ini. Rasanya tidak rela, kalau aku harus menjadi saingan ayam nantinya. Jadi, aku harus menunjukkan sikap tidak sukaku dengan jelas padanya sekarang, sebelum semuanya terlambat.Anehnya, aku tidak sadar kalau ada binatang bersembunyi di rumahku. Aneh juga kenapa
Hari ini aku dikejutkan dengan kedatangan seseorang dikontrakan dan mengganggu hari liburku. Seharusnya aku menikmati waktu tidur siangku yang nyenyak, tapi orang yang mengetuk pintu itu begitu menjengkelkan.“Awas kalau itu Mas Ragil! Aku langsung tutup lagi pintunya!” aku menggerutu sambil meninggalkan tempat tidur dan memakai kerudung.Sudah senang aku tidak melihat batang hidung laki-laki itu selama beberapa hari, sejak insiden ayam Lestari yang hilang. Eh, sekarang menggangguku waktu masih tidur siang.“Katanya calon suami tercinta, harusnya ngerti kalau sekarang waktunya tidur siang calon istrinya!” aku masih mengomel sambil memutar kunci.Begitu pintu kontrakanku terbuka, aku dibuat heran dengan laki-laki gagah yang berdiri sambil menyunggingkan senyuman manisnya. Sontak saja aku berpikir keras, dan bertanya dalam hati, siapa laki-laki ini?Pasti alisku berkerut karena alam pikiranku yang cetek tidak mampu mengingatnya.“Maaf, benar ini kamu, Minari, kan?” katanya dengan
“Abid beruntung, bisa nikah sama adikmu, Linda!” kata Firman lagi, dan aku mengangguk tanda setuju dengan ucapannya itu, sebab Linda adalah adik kandungku.“Iya, kamu benar! Mereka pasangan yang serasi! Nggak kayak aku, sampai sekarang belum ada yang mau!” Aku berseloroh demi membuka pembicaraan lainnya.Firman tertawa kecil dan dia menggelengkan kepalanya sambil menatapku dengan tatapan yang sulit kualihkan. Dia seperti menggoda imanku untuk mengingat masa lalu yang menyedihkan.Haruskah aku ungkit sekarang tentang bagaimana ia dulu pernah menyakitiku. Ia memberikan harapan setinggi langit tapi kemudian aku dihempaskan dengan sangat keras ke dasar bumi. Rasanya perih di ulu hati dan itulah kali pertama aku merasakan sakit, karena patah hati.Dia pergi tanpa permisi dari rumah, saat aku izin ke kamar mandi, padahal kedatangannya ke rumah waktu itu jelas ingin melamarku.Waktu itu aku terima keinginannya untuk melamar, walau belum lama aku dan dia pacaran—yaitu menjelang kelulusan
“Mina! Tapi, kamu cinta pertamaku!” kata Firman berusaha meyakinkan aku soal perasaannya.“Cinta pertama itu nggak bisa jamin untuk cinta jadi terakhirmu, Fir! Apalagi perasaan kita hanyalah masa di mana kita masih remaja dulu, aku yakin kamu sudah beberapa kali pula jatuh cinta!” aku menukas ucapan Firman yang menurutku konyol itu.Memangnya siapa yang menjamin dia akan menjadikan aku sebagai cinta terakhir dan istri satu-satunya? Bukankah masih banyak kemungkinan terjadi setelah menikah? Lagi pula, tidak ada yang tahu soal takdir manusia dalam pernikahannya, apakah pasti bisa hidup bahagia bersama sampai tua dan tutup usia. Rasanya aku sulit mempercayainya. Mengingat aku tidak benar-benar mengenal Firman, meski kami pernah punya hubungan asmara.Masa lalu memang menjadi bukti adanya masa sekarang, tetapi bukan berarti boleh diungkit terus-terusan, apalagi kalau hanya untuk mengungkapkan sebuah penderitaan. Aku tidak bisa menerima perasaan Firman kembali padaku. Walaupun, aku dan
“Tidak masalah Pak Anan! Saya faham soal ini, jadi jangan sungkan lagi pada kami!” jawab Yusro, semakin membuat lega perasaan semua orang yang ada di sana.“Iya, Mas Anan! Saya juga salah, sudah membuat anak saya tidak tenang di sana! Oh ya! Nak Abid, saya sudah memaafkan kesalahan kamu, kok!” kata Nuria.Akhirnya, semua pihak berdamai, karena tidak ada yang bisa dilakukan selain melupakan. Masa lalu tidak akan terasa menyakitkan jika semua orang bisa mengikhlaskan dan menyadari bahwa sang waktu tidak dalam kendali manusia.Nuria dan Yusro pun akhirnya merelakan, kalau Abid akhirnya dibebaskan. Mereka menyadari bahwa, tidak seharusnya mereka mengungkit kematian Ismawati setelah sekian lama waktu berlalu atas kematiannya. Ada hal yang menyakitkan bagi jasad anaknya kalau proses itu tetap dilakukan. Apalagi mereka memahami selama dua bulan proses penyelidikan itu berjalan, bahwa semua tidak terlepas dari kuasa Tuhan.Setelah proses penjelasan resmi dari pihak kepolisian selesai, sem
POV AUTHORMina memutuskan menginap karena Abid tidak pulang, tidak ada yang tidak tahu, apa yang terjadi karena Linda juga tidak bisa menghubungi suaminya. Ia sering tidak masuk kerja karena kondisinya, tapi ia sudah mendelegasikan pekerjaan kantor pada asistennya. Linda tidak mau meninggalkan karirnya walau keadaan diri dan suaminya seperti sekarang ini. Ia memang diandalkan oleh sang suami karena memiliki kompetensi. Apalagi Abid menyerahkan keputusan soal pekerjaan sepenuhnya pada, sang istri. Jadi, Linda bebas apakah ia tetap bekerja atau akan berhenti.Tanpa sepengetahuan istrinya, Ragil menghubungi seorang pengacara yang pernah ia kenal saat ayahnya masih ada. Semua demi berjaga-jaga kalau Mina membutuhkan pembelaan dari pengacara.Proses di kepolisian terus berjalan selama beberapa hari lamanya, demi penyelidikan yang harus terus di lakukan. Sementara Mina bergantian menjaga Linda dengan ibunya. Ia memilih menghindar kalau ibunya datang. Mereka melakukan giliran itu karen
“Jadi, Mas benaran mau nganterin aku ke mana pun aku mau?” aku bertanya sambil menutup dompetku kembali. Aku putuskan untuk membeli sesuatu nanti saja setelah melihat keadaan Linda dan membeli apa kiranya yang ia butuhkan.“Siap!” katanya seraya melakukan gerakan hormat. Kelihatan ya, kalau pengangguran sejati, pekerjaannya Cuma nganterin istri. Jadi, pasti dia mau nganterin aku untuk membeli kebutuhan Linda nanti.Sesampainya di rumah Linda, aku dibuat terkejut dengan keadaannya. Suasana sepi dan pintunya tidak dalam keadaan terkunci. Semua ruangan berantakan seperti baru saja ada peperangan. Aku menemukannya sesuai lokasi yang dibagikannya.Aku memberanikan diri masuk ke dalam sebuah ruangan yang aku pikir itu kamar Linda. Ternyata benar, adikku itu meringkuk di kamar.“Linda ...!” panggilku lembut. Aku baru saja hendak menyentuh tubuhnya saat tiba-tiba telepon dalam tas ku berbunyi nyaring. Aku berniat mematikannya agar tidak menggangu Linda. Namun, setelah kulihat nama
Keesokan harinya, setelah sarapan, Teh Mela berpesan padaku agar tetap merahasiakan semuanya dan biarlah tetap berjalan seperti biasa.“Kenapa?” tanyaku, sebab jelas aku ingin mengatakan semuanya dengan segera, tapi justru dilarang.“Biar mereka nggak memanfaatkan kebaikan kita atau meminta agar sewanya diskon sama Ragil! Soalnya Ragil itu baiknya nggak ketulungan, bisa-bisa nanti semua orang minta potongan!”Alasan Teh Mela memang benar adanya, tapi selain itu, kalau bayaran sewanya kurang, maka dialah yang akan dapat akibatnya karena jatahnya berkurang.Aku bisa memakluminya, sebab Teh Mela memang bisa dikatakan sangat tergantung pada adik laki-lakinya. “Anakku ada tiga, di pesantren semua dan jauh, kalau saya nggak bantu suami membiayai mereka, kasihan juga, Mbak Mina tahu, kan, biaya anak pesantren berkualitas jaman sekarang berapa?”“Iya, Teh, biaya tahunannya itu yang memberatkan biasanya!” “Nah iya, kalau bukan suami saya yang dulu menghabiskan warisan ayah, mungkin sa
Mas Ragil pun kembali bercerita. Atas desakan sang ayah, akhirnya ia pun mau membeli mobil itu. Di kemudian hari ia baru tahu bahwa, itu mobil bekas dan sang ayah memintanya membeli karena pemiliknya sedang kekurangan uang.Dari cerita itu aku berpikir jangan-jangan rumah yang di tempati teh Mela juga miliknya.Jawaban dari dugaanku itu segera terjawab. Dan, ternyata benar, bahwa rumah besar yang sering dimasuki Mas Ragil—aku melihatnya sendiri keluar masuk ke rumah itu, adalah rumahnya. Bukan rumah Teh Mela.Saat aku sampai di kota, hari sudah malam dan tidak mungkin berkunjung ke rumah Linda. Sementara di kontrakan tidak ada garasi mobil, hingga Mas Ragil menyimpan mobil itu di garasinya.“Mas! Parkir mobil di sini! Tadi bilangnya nggak mau gangguin Linda, eh! Di sini ganggu Teh Mela!”“Nggak apa, dia sudah biasa!” jawab Mas Ragil, sambil melepas sabuk pengamannya. Aku mengikutinya dan turun, Mas Ragil membuka gerbang dan aku masuk untuk mengetuk pintu rumah, dengan niat me
“Memangnya, Abid kenapa, Bu?” tanyaku pada Ibu, seraya mendengar lebih serius di telepon.“Bagus kamu ya, langsung bisa tahu kalau Ibuk mau bicara soal Abid!” jawab ibu.Ibu Aku bisa menebak, sebab adik ipar yang bermasalah denganku ya, Abid. Tidak mungkin kalau Ismaya, kan? Kalau soal Landu, adikku itu mengirim kabar beberapa hari yang lalu. Adikku dan istrinya akan menetap di kota dan untuk sementara waktu tidak akan mengunjungi mertuanya. Entah kapan ia bisa bersikap kembali seperti biasa, setelah mengetahui masa lalu mertuanya.Walaupun, apa yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Ismaya atau pun Landu, tapi, sikap menghindar dari kedua orang tua itu perlu. Apalagi, hanya untuk sementara waktu. Selain demi menata hati, juga demi kebaikan semuanya. Bayangkan saja kalau bertemu sementara hati belum memaafkan kesalahan masa lalu. Bisa jadi mereka akan terus membicarakan kekecewaan itu.Bagaimana Ismaya tidak kecewa kalau setelah mengetahui Ismawati tiada, ayahnya ju
“Siapa?” tanyaku penasaran, pada wanita pembawa makanan yang dikatakan Mas Ragil itu.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil!” sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu tenda tempat istirahatku.“Iya! Masuk!” kata Mas Ragil, dia belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang yang mengucapkan salam itu sudah terlanjur masuk.“Ini, Mas! Lilis bawain makan siang!” kata perempuan yang mungkin bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdu
“Siapa?” tanyaku penasaran.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil! Ini Lilis bawain makan siangnya!”Mas Ragil belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang masuk di tenda yang kami tempati.Dia perempuan yang bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdulillah! Masak apa kamu Lis?” tanya Mas Ragil antusias. “Masak opor ayam, Mas!” jawab perempuan itu sambil tersenyum dan menyimpan tempat nasi itu di atas meja.“Sini, sini, kita makan
“Gimana, Mbak, rasanya menikah sama perjaka tua dan pengangguran pula, hati-hati ya, Mbak, kalau nanti gaji bulanannya diporotin suami!” kata Teh Nena lagi.Aku tersenyum, dan menjawab, “Teh Nena nggak usah kuatir, Mas Ragil nggak akan morotin istrinya sendiri, seperti laki-laki yang tidak punya harga diri, lagian dia bukan pengangguran, Kok!” Setelah itu aku pun naik ke motor Mas Ragil.Aku yakin akan hal itu, sebab Mas Ragil tidak mungkin bisa membiayai pernikahan dan memberikan semuanya saat pernikahan, kalau dia pengangguran. Kata Bapak juga bilang kalau suamiku itu rajin dan pintar. Hanya saja bapak tidak memberitahuku, apa pekerjaan Mas Ragil secara pasti.“Aku ini petani, apa kamu malu kalau mengakui suamimu ini petani?” tanya Mas Ragil saat aku dan dia sudah berada di atas motornya. Dia mengantarkan aku dan kendaraan roda dua itu berjalan dalam kecepatan sedang.“Nggak masalah kalau jadi petani, yang penting bukan pengangguran, Mas!”“Biarin saja mereka bilang begitu,