Malam di rumah Wahyu.Angin dingin tersebar masuk dari sela dinding bilik bambu di seluruh ruangan. Suasana malam yang dingin, ditambah kelelahan tubuh pak Sidik, Iwan, serta Wahyu seharian, membuat mereka lelap lebih cepat.Mereka tidur di ruang tamu. Suara ngorok ketiga lelaki itu, saling bersahutan, bersama suara katak yang berdendang di persawahan seberang rumah Wahyu. Nuning, Nana, dan nek Warni tidur satu ranjang di dalam kamar. Rumah kecil ini hanya memiliki 1 kamar berukuran agak luas, sama persis dengan ukuran ruang tamu. Di dalamnya ada satu ranjang bale terbuat dari bambu dengan kasur kapuk yang sudah sering dikencingi oleh Nana, anak kecil perempuan itu. Nek Warni sudah terbiasa dengan bau pipis cucunya itu. Nuning tidak sanggup membeli pampers, karena di daerah situ harga pampers seharga dengan satu butir telur ayam, sangat mahal bagi ukuran keuangan Wahyu. Lagipula sampah bekas pampers itu kadang membuat tetangga terusik, sebab tempat pembuangan sampah yang berlokasi d
Dalam benak Dini, ia sama sekali tidak percaya atas ucapan Badrun. Tiba-tiba handphone Badrun berbunyi nada panggilan masuk. Dia mengambil handphone dari dalam saku celananya, lalu melihat ke layarnya. Nama Iwan tertera disitu. Sesaat Badrun menatap kearah Dini, lalu berdiri, "Sebentar yah..," kata Badrun sambil melangkah keluar dari warung. Badrun menjauh dari warung situ, supaya suara pembicaraannya tidak terdengar oleh Dini dan juga Tia. Dia menuju ke satu kursi kayu yang ada di tepi pantai. "Ya hallo kang.. gimana kabarnya?" kata Badrun, matanya menatap ke arah warung. "Assalammu'alaikum kang Badrun.. saya sehat-sehat saja. Cuma mau ngabarin, mudah-mudahan saya bisa secepatnya kembali kesitu, dan mulai kerja di tempat kang Badrun. Gimana kabar anak dan istri saya? apa kang Badrun sempat menengoknya?" "Belum sempat kang.. soalnya setiap hari saya bantu kerjaan kasir di Tempat Penampungan Ikan, jadi belum ada waktu nengokin Tia lagi," Badrun berdusta. "Oke gak apa-apa kang.. ud
Iwan merenung. Sebagai laki-laki bukan tak mungkin Iwan tidak tergoda, siapa laki-laki yang kuat melihat paha mulus menantang di depan matanya, sedang suaminya tidak ada di rumah. Rumah itupun kebetulan kosong, meski hanya beberapa saat saja. Bagi Iwan, perempuan itu sengaja menggodanya, dan Iwan tahu betul pemicunya karena masalah kejenuhan ditambah soal keuangan. Bahaya sekali bagi seorang istri bila tak mendapat kepuasan sex dari suami, apalagi suaminya kurang mampu mencari uang; meskipun dia seorang lelaki yang setia dan baik hati. Saat tadi itu, terasa sekali bagi Iwan, imannya mungkin kuat, tapi amin belum tentu aman :) Dia langsung teringat saat Dini jatuh di pelukan Badrun, waktu itu. Apakah Dini juga seorang wanita penggoda ? sama seperti Nuning?. tiba-tiba hal tersebut muncul didalam pikirannya. Iwan menyalahkan dirinya sendiri. Mengapa mudah sekali dia tergoda oleh Dini, padahal pemicunya hanya gara-gara harga dirinya sebagai lelaki kurang dihargai oleh Dewi. Y
~Malam, di rumah Wahyu~ Seperti biasanya, suasana malam di sekitar rumah Wahyu, dihiasi suara katak yang saling bersahutan, sesekali diselingi serangga malam yang tak mau ketinggalan. Nek Warni membawa satu nampan berisi beberapa gelas kopi, dan satu baskom kecil singkong rebus yang masih panas diatasnya. Nampan besar itu diletakkan diatas tikar. Iwan langsung menyambar gelas kopi, dan menyeruputnya dengan hati-hati. "Nek, kopinya diminum ya.." "Iya bang.. itu singkongnya dicicipin, mumpung masih hangat," "Iya nek, nanti.. Terimakasih nek.." Tiba-tiba Wahyu mengutarakan penyesalannya, "Bang Iwan terlalu cepat memutuskan harga permintaan pak haji, padahal ditawar dulu bang.." Spontan Nuning menyenggol tangan Wahyu, tanda tak setuju kalau suaminya ikut campur soal pembelian tanah tersebut. Iwan menoleh kepada keduanya, "Tadi sudah abang tawar Yu, dia minta cicilan dalam enam bulan, abang tawar jadi sepuluh bulan Yu, lumayan kan.., ?" Iwan menatap ke arah Nuni
Keesokan harinya, di warung Wahyu~ Disitu terlihat pak haji Mahmud beserta dua orang lain, yaitu pak RT dan pak RW, Wahyu, dan Iwan. Mereka duduk bersama di kursi-kursi yang mengelilingi meja panjang tempat biasanya abang-abang gojek pangkalan pada kumpul disitu. Hari ini mereka disuruh kumpul di tempat sebelumnya, yaitu di seberang warung Wahyu. "Ini denah gambar tanahnya yang tadi sudah saya tunjukkan patok-patoknya pada bang Iwan," kata pak haji sambil memberikan selembar kertas bersama dengan dua lembar kertas lainnya. "Ini surat perjanjian tentang cicilan.. Surat Hak milik dan lainnya, nanti saya serahkan kalau bang Iwan sudah selesai dengan cicilannya ya..." lanjut pak haji. Iwan menerima foto copy gambar denah garis batas tanah tersebut dan dua lembar surat perjanjian yang bermaterai yang telah dfitandatangani oleh pak haji, pak RT dan pak RW. Iwan lalu menandatangani kedua lembar kertas surat perjanjian, dan satu lembar diberikan kembali kepada pak haji Mahmud. "Baik p
Menjelang kesempatan libur pada esok hari, wajah bang Andy terlihat berseri-seri. Dia menghampiri teman Penjaga Gudang yang selalu bergiliran jaga dengannya. "Ndang, besok gue balik mau nengokin bini, dua hari ya," Nandang heran, "Kok dua hari Dy?" tanya Nandang. "Iya gue udah ambil libur yang buat minggu depan," "Ooh, berarti nanti giliran gue libur juga dua hari, lu yang jaga ya.." "Iya gak apa-apa, bisa gantian juga sama Gatot," "Ooh iya yah... tapi gue kasian sama dia, belakangan sering sakit-sakitan, kadang waktunya gue libur, diambil dia, yang minta ke gue. Malah kadang gue yang lupa kagak libur-libur .. hahaha" Nandang terkekeh. "Lhaa...? kalo gue lihat dia sehat-sehat aja sih.. kayaknya dia lagi ngebet sama cewek Karaoke Indah itu " "Aah yang bener Dy? Serius lu?" Nandang penasaran. "Iyaa Nandaaang.. pan si Gatot satu kost ama gue... Tapi dia gak berani macem-macem kalo sama gue, soalnya kartunya ada ditangan gue Ndang.." "Mak dikipe tu orang, ternyata gue sering dik
Ingatan tentang Robby dan Iwan perlahan pupus dari benaknya. Bang Andy menatap Maming dengan penuh harap. "Oke Ming.. terimakasih atas masukan lu.. Oya, bisa secepatnya gak Yana dipanggil kesini? Biar gue tau selera musiknya. Lagipula sepi banget kalo ga ada live musik disini yah.." "Iya Boss, kayaknya power kedai ini rohnya disajian musik deh.. hehehe" "Ho oh Ming, gue juga baru ngeh.. hahahaha..." bang Andy tertawa. "Sekarang juga kalo saya panggil, Yana bisa langsung meluncur kesini," "Ah yang bener lu...?!" "Iya Boss... dia kemarin sudah ada di Jakarta, katanya malam ini nginep di rumah sodaranya," "Ooooh.. gercep juga lu Ming... " "Iya gitulah boss... sayang aja tu bengkel kalo ga ada yang ngurusin," "Ya udah suruh kesini aja sekarang.. Eh, sekalian bawa baju-bajunya.. jadi gak mundar-mandir ke rumah sodaranya.." "Siap Boss" Bang Andy merasa, Iwan dapat menerima Yana yang akan menggantikan dirinya sebagai teman kerja satu profesi. Dalam pikirannya, mereka berdua b
Motor yang dikendarai oleh pak Syam dan pak Soenarto menjauh dari depan warung, Wahyu buru-buru menghampiri Iwan, mendekat, dan sangat dekat sekali, setengah berbisik Wahyu bertanya, "Bang, apa petugas itu minta uang?" Iwan menoleh ke wajah Wahyu, "Iya Yu, tapi abang bilang nanti kalau semua sudah selesai." sahut Iwan sambil jalan menuju ke kursi di warung. Wahyu mengikuti jalan disampingnya. Iwan duduk, Wahyu pun ikut duduk di kursi di sebelah Iwan. "Kebiasaan petugas itu bang.. apa-apa dijadikan uang" celoteh Wahyu. "Gak apa-apalah Yu, dia kan cuma cari uang tambahan buat anak istrinya. Mungkin gajinya kurang mencukupi untuk kebutuhan keluarganya," "Mending kalau buat keluarganya, buat disco dangdutan Bang," "Itulah budaya yang sudah melenceng Yu," Iwan menarik nafas panjang. "Tapi gak semua petugas seperti itu kan Yu?" "Ya gak sih Bang. Hanya beberapa aja yang ikut-ikutan begitu. Biasanya dia ngajak tetangganya, apalagi kalau bapak tetangganya itu satu aliran" ujar
Matahari mulai merangkak perlahan menyapa selimut jingga sang senja. Sinarnya memerah condong ke barat. Alangkah indah semburat jingga berlapis kemerahan. Demikian pula rasa yang sedang berbunga-bunga didasar hati Iwan Suganda. Dia merasakan seolah-olah bagaikan mimpi yang hadir sepintas namun nyata dalam perjalanan hidupnya. Menikah dengan Wardah Fatimah. Gadis cantik nan rupawan, perawan asli, tingting pastinya, hmm..... Tatapan mata coklat yang melankolis, bibir mungil yang memerah tanpa polesan lipstik, menggoda hasrat Iwan sejak pertemuan pertamanya. Iwan tampak masih mengemudikan setir jeep pajero milik pak haji Mahmud. Seperti biasanya, jalan raya ini untuk sementara mulai sepi, dan akan kembali ramai oleh lalu lalang kendaraan setelah senja sembunyi kedalam pelukan malam. Mobil yang dikemudikan oleh Iwan, terlihat tiba di pinggir jalan raya depan warung, Iwan langsung parkir disitu. Para Ojek pangkalan sepi, tak terlihat seorangpun yang duduk di tempat kumpulnya. Baran
Motor yang dikendarai oleh Wahyu terlihat keluar dari halaman rumah pak haji Mahmud. "Beruntung ya bang Iwan, dapat gadis cantik, bapaknya orang kaya pula di kampung ini," "Gak usah iri Yu.. keberuntungan orang itu beda-beda. Eh, ingat ya.. ini rahasia yang harus kita tutup selamanya , jangan sampai nanti kamu kelepasan cerita ke Nuning," "Ya enggaklah Wak.." Disitulah perbedaan laki-laki dengan perempuan. Laki-laki pandai menjaga rahasia. Apalagi menyangkut keluarga sendiri. Walaupun begitu tentu ada juga laki-laki yang mulutnya comel, selalu ingin tahu tentang rahasia orang lain; kemudian menggosipkan di tempat kumpul bersama kawan-kawan yang sefrekuensi atau sesama penggosip sambil bercanda, lalu tertawa terbahak-bahak. ** Setiba di halaman warung, Nana menghampiri Wahyu, "Bapak bawa makanan ya? " Wahyu memarkir motornya, lalu menenteng plastik kresek berwarna merah yang berisi beberapa kotak dus makanan tersebut. Dua orang sopir ojek yang sedang mangkal disitu, cuma menole
Di dalam kamarnya, Iwan merenung. Tak lama kemudian, dia mengambil handphonenya, dan menghubungi Badrun, "Assalamu'alaikum kang Badrun..." "Wa alaikum salam kang Iwan.. gimana? jadi besok kesini?" "Justru saya mau kasih kabar, besok belum bisa kesitu. Mendadak di kedai tempat pekerjaan saya, bossnya ngadain pesta pernikahan anaknya kang Badrun," "Wadduh gimana ya kang Iwan?" "Iya saya juga bingung kang... gak enak ninggalin boss pas lagi ada acara keluarga. Masa saya gak bantuin?" "Iya sih.." sahut Badrun tak semangat, lemas. "Ya sudah kalau begitu, bagaimana kalau saya cari orang lain kang Iwan?" "Ya boleh aja kang Badrun, berarti saya gak jadi keluar dari pekerjaan saya disini ya kang?" Badrum diam, merenung. "Gimana kang Badrun?" "Itu mah terserah kang Iwan aja...Anak buah saya juga pada butuh kerja kang Iwan, kalau libur melaut kel;amaan, nanti mereka cari kerja ke kapal lain.. Mereka gak mau makan gaji buta tanpa kerja" "Ya sudah kalau begitu, nanti gampanglah saya a
Beberapa saat, pak haji Mahmud terdiam. Baru saja Iwan hendak bicara, pak haji Mahmud memotongnya dengan pertanyaan, "Cacatnya sejak lahir atauu......" "Musibah pak haji.." "Ya tentu saja musibah bang Iwan, tapi jangan dijadikan aib bagi keluarga," Deg! Iwan tahu kemana arah pembicaraan pak haji Mahmud, dia lalu menjelaskan garis besarnya. "Maksud saya, putri saya cacat karena korban dari musibah pak haji. Bukan cacat sejak lahir... Waktu itu, kami sekeluarga terseret ombak di pantai, sewaktu peristiwa bencana tsunami di selat sunda," "Astaghfirullah... astaghfirullah... Maafkan saya, bang Iwan" ucap pak haji Mahmud pelan, dia merasa bersalah sudah berprasangka buruk, sebelum dijelaskan oleh Iwan. Pak haji Mahmud pun diam, membisu. "Gak apa-apa pak haji.. saya memakluminya. Sekarang putri saya sudah sembuh, dia mulai belajar jalan lagi. Dua tahun kemarin, anak saya lumpuh total, dan tidak bisa bicara... Tatapan matanya kosong... mungkin saking shocknya" "Alhamdulillah kala
Kehangatan suasana keluarga itu membuat Iwan merasakan kedamaian. Ada laki-laki tua yaitu pak Sidik, dan ada ibu-ibu yang juga sudah tua, nek Warni. Iwan berharap kehadiran mereka semuanya dapat membuat Dini betah tinggal di rumah yang sudah jadi milik Iwan. Sedangkan malam itu, pak haji Mahmud dilanda kebingungan. Dia memikirkan putrinya Wardah Fatimah yang naksir kepada Iwan. Dia tahu persis bagaimana perasaan jatuh hati atau naksir dari gadis usia belasan tahun. Seperti orang lupa diri, dan mabuk kepayang. Dalam tatapan matanya yang ada hanya bayang-bayang wajah Iwan. Ia selalu mengharapkan kehadiran pujaan hatinya itu, berada disisinya. Wardah Fatimah seorang gadis yang penurut. Sejak kematian ibunya, dia hanya diasuh oleh bapaknya. Pernah pak haji Mahmud menggaji seorang Pengasuh dan juga Pembantu rumah tangga, tapi pekerja-pekerja itu pengabdiannya tidak maksimal, alias asal-asalan. Padahal pak haji Mahmud menggaji mereka melebihi gaji ART di daerah tersebut. Begitu pula Penga
Suara "uuh" yang keluar dari mulut Wardah Fatimah, mengejutkan pak haji Mahmud, yang sedang jalan di depan kamar putrinya. "Wardah, kamu kenapa... ?" Pak haji Mahmud mengetuk pintu kamarnya, pintu itu tidak terkunci. Pak haji Mahmud langsung masuk, dilihatnya tubuh anak gadisnya jatuh di lantai dengan kedua kaki masih menyangkut pada kursi kecil meja riasnya. "Kamu lagi ngapain.. kok sampai bisa begini sih?" Wardah Fatimah tak menjawab. Pak haji Mahmud lalu mengangkat tubuh putrinya, membopongnya dan meletakkannya diatas kasur. "Kok ketawa sendirian? Ada apa? Ayoo cerita ke bapak..." Wardah Fatimah menggelengkan kepalanya. "Ya sudah, sekarang kita makan malam dulu yuuk.." kata pak haji Mahmud mengajak putrinya. Wardah kembali menggelengkan kepalanya. "Heii.. jatuh cinta itu butuh tenaga, kalau kamu gak makan, nanti bisa sakit... mau?" Wardah menggelengkan kepalanya kembali. "Bapak suapin ya..?" Putrinya mengangguk pelan dan tersenyum. "Dasar anak manja," gerutu pak haji
Wardah Fatimah dengan tatapan mata yang ceria, membawa toples berisi kue kering buatannya diatas nampan. Ketika langkahnya masuk ke ruang tamu, dilihatnya Iwan sudah tak ada disitu. Ia meletakkan baki tersebut diatas meja, lalu melangkah ke arah pintu keluar. Dilihatnya motor Iwan sudah melaju di halaman rumah pak haji Mahmud. Sekilas Iwan menengok ke arah pak haji Mahmud dan menganggukkan kepalanya, selintas tampak Wardah Fatimah menyender ke pintu menatap kepergian Iwan. Ia melambaikan tangan dengan ragu-ragu, namun ia melempar sesungging senyum mengantar kepergian Iwan dari situ. Motor Iwan menjauh, Wardah Fatimah terpaku, membisu, disisi pintu. Butiran lembut, mengkilat, tersirat pada manik matanya, hingga mengaburkan pandangan. Perih terasa air yang keluar pada ruang bola retinanya. Sudah lama ia tak menangis. Wardah pun menutup kedua matanya. Pak haji Mahmud melihat hal ini, jadi terharu. "Kamu kenapa Wardah?... suka sama pak Iwan ya ?" tanya pak haji Mahmud. Wardah mengan
Iwan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, dilihatnya kasur dan barang-barang milik Wahyu sudah terkumpul disitu. Dia pun masuk ke dalam kamar, sudah kosong. Iwan menghela nafas panjang, "Alhamdulillah.. ternyata tahu diri juga mereka." Dia lalu menelpon pemilik toko perabotan yang tadi di pasar. Agak lama Iwan menunggu diangkat hubungan telpon itu, sampai dua kali dia mengulang kembali nomornya, dan akhirnya.. "Hallo.. ada yang bisa saya bantu?" suara Enci dari sana yang mengangkat telpon. "Hallo Enci, saya mau tanya.. apa sudah dikirim barang yang tadi saya beli?" "Ini siapa ya?" "saya Iwan" "Oh pak Iwan.. sudah, itu mobil angkutannya baru saja jalan. Sebentar lagi juga sampai kesitu," "Baik Ci.. saya tunggu." ** Selang beberapa saat mobil pick up yang mengantar perabot pesanan Iwan datang, lalu parkir di halaman tanah kosong. Melihat hal itu, Wahyu mengajak dua orang pengemudi ojek untuk membantu mengangkat perabotan, "Eh, kita bantuin bang Iwan tuh.." Iwan menoleh k
Iwan jadi teringat kembali pada Badrun. Lelaki muda berparas tampan dengan sikap yang menawan. Apakah dia tidak tergoda pada Dini? Wanita sholeha yang menutup seluruh auratnya. Sebagai sesama lelaki, Iwan meragukan kebaikan Badrun. Hatinya menjelajah, mengingat kembali sewaktu mereka terlibat perkelahian di pantai. Padahal waktu itu, bisa saja Badrun mematahkan tangan atau kakinya; tapi dia tidak melakukannya. Apalagi ternyata Badrun adalah murid Ki Jupri. Akan tetapi kejadian pagi itu, sewaktu Dini jatuh dalam pelukan Badrun karena terpeleset, untuk sekedar melupakanya saja; hatinya sangat sulit. Bayangan itu masih terus membekas.Lamunannya terhenti ketika nek Warni menaruh secangkir kopi dengan kue dan gorengan."Bang, ini kopinya, masih panas. Yang di rumah sana sudah dingin, jadi nek ganti yang baru.. itu gorengannya juga masih hangat.. dicicipi bang..,""Iya nek... Terimakasih ya,"Nek Warni mengangguk pelan, lalu jalan menuju ke arah rumah Iwan lagi.Tak lama kemudian, bebera