Menjelang kesempatan libur pada esok hari, wajah bang Andy terlihat berseri-seri. Dia menghampiri teman Penjaga Gudang yang selalu bergiliran jaga dengannya. "Ndang, besok gue balik mau nengokin bini, dua hari ya," Nandang heran, "Kok dua hari Dy?" tanya Nandang. "Iya gue udah ambil libur yang buat minggu depan," "Ooh, berarti nanti giliran gue libur juga dua hari, lu yang jaga ya.." "Iya gak apa-apa, bisa gantian juga sama Gatot," "Ooh iya yah... tapi gue kasian sama dia, belakangan sering sakit-sakitan, kadang waktunya gue libur, diambil dia, yang minta ke gue. Malah kadang gue yang lupa kagak libur-libur .. hahaha" Nandang terkekeh. "Lhaa...? kalo gue lihat dia sehat-sehat aja sih.. kayaknya dia lagi ngebet sama cewek Karaoke Indah itu " "Aah yang bener Dy? Serius lu?" Nandang penasaran. "Iyaa Nandaaang.. pan si Gatot satu kost ama gue... Tapi dia gak berani macem-macem kalo sama gue, soalnya kartunya ada ditangan gue Ndang.." "Mak dikipe tu orang, ternyata gue sering dik
Ingatan tentang Robby dan Iwan perlahan pupus dari benaknya. Bang Andy menatap Maming dengan penuh harap. "Oke Ming.. terimakasih atas masukan lu.. Oya, bisa secepatnya gak Yana dipanggil kesini? Biar gue tau selera musiknya. Lagipula sepi banget kalo ga ada live musik disini yah.." "Iya Boss, kayaknya power kedai ini rohnya disajian musik deh.. hehehe" "Ho oh Ming, gue juga baru ngeh.. hahahaha..." bang Andy tertawa. "Sekarang juga kalo saya panggil, Yana bisa langsung meluncur kesini," "Ah yang bener lu...?!" "Iya Boss... dia kemarin sudah ada di Jakarta, katanya malam ini nginep di rumah sodaranya," "Ooooh.. gercep juga lu Ming... " "Iya gitulah boss... sayang aja tu bengkel kalo ga ada yang ngurusin," "Ya udah suruh kesini aja sekarang.. Eh, sekalian bawa baju-bajunya.. jadi gak mundar-mandir ke rumah sodaranya.." "Siap Boss" Bang Andy merasa, Iwan dapat menerima Yana yang akan menggantikan dirinya sebagai teman kerja satu profesi. Dalam pikirannya, mereka berdua b
Motor yang dikendarai oleh pak Syam dan pak Soenarto menjauh dari depan warung, Wahyu buru-buru menghampiri Iwan, mendekat, dan sangat dekat sekali, setengah berbisik Wahyu bertanya, "Bang, apa petugas itu minta uang?" Iwan menoleh ke wajah Wahyu, "Iya Yu, tapi abang bilang nanti kalau semua sudah selesai." sahut Iwan sambil jalan menuju ke kursi di warung. Wahyu mengikuti jalan disampingnya. Iwan duduk, Wahyu pun ikut duduk di kursi di sebelah Iwan. "Kebiasaan petugas itu bang.. apa-apa dijadikan uang" celoteh Wahyu. "Gak apa-apalah Yu, dia kan cuma cari uang tambahan buat anak istrinya. Mungkin gajinya kurang mencukupi untuk kebutuhan keluarganya," "Mending kalau buat keluarganya, buat disco dangdutan Bang," "Itulah budaya yang sudah melenceng Yu," Iwan menarik nafas panjang. "Tapi gak semua petugas seperti itu kan Yu?" "Ya gak sih Bang. Hanya beberapa aja yang ikut-ikutan begitu. Biasanya dia ngajak tetangganya, apalagi kalau bapak tetangganya itu satu aliran" ujar
Iwan jadi teringat kembali pada Badrun. Lelaki muda berparas tampan dengan sikap yang menawan. Apakah dia tidak tergoda pada Dini? Wanita sholeha yang menutup seluruh auratnya. Sebagai sesama lelaki, Iwan meragukan kebaikan Badrun. Hatinya menjelajah, mengingat kembali sewaktu mereka terlibat perkelahian di pantai. Padahal waktu itu, bisa saja Badrun mematahkan tangan atau kakinya; tapi dia tidak melakukannya. Apalagi ternyata Badrun adalah murid Ki Jupri. Akan tetapi kejadian pagi itu, sewaktu Dini jatuh dalam pelukan Badrun karena terpeleset, untuk sekedar melupakanya saja; hatinya sangat sulit. Bayangan itu masih terus membekas.Lamunannya terhenti ketika nek Warni menaruh secangkir kopi dengan kue dan gorengan."Bang, ini kopinya, masih panas. Yang di rumah sana sudah dingin, jadi nek ganti yang baru.. itu gorengannya juga masih hangat.. dicicipi bang..,""Iya nek... Terimakasih ya,"Nek Warni mengangguk pelan, lalu jalan menuju ke arah rumah Iwan lagi.Tak lama kemudian, bebera
Iwan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, dilihatnya kasur dan barang-barang milik Wahyu sudah terkumpul disitu. Dia pun masuk ke dalam kamar, sudah kosong. Iwan menghela nafas panjang, "Alhamdulillah.. ternyata tahu diri juga mereka." Dia lalu menelpon pemilik toko perabotan yang tadi di pasar. Agak lama Iwan menunggu diangkat hubungan telpon itu, sampai dua kali dia mengulang kembali nomornya, dan akhirnya.. "Hallo.. ada yang bisa saya bantu?" suara Enci dari sana yang mengangkat telpon. "Hallo Enci, saya mau tanya.. apa sudah dikirim barang yang tadi saya beli?" "Ini siapa ya?" "saya Iwan" "Oh pak Iwan.. sudah, itu mobil angkutannya baru saja jalan. Sebentar lagi juga sampai kesitu," "Baik Ci.. saya tunggu." ** Selang beberapa saat mobil pick up yang mengantar perabot pesanan Iwan datang, lalu parkir di halaman tanah kosong. Melihat hal itu, Wahyu mengajak dua orang pengemudi ojek untuk membantu mengangkat perabotan, "Eh, kita bantuin bang Iwan tuh.." Iwan menoleh k
Wardah Fatimah dengan tatapan mata yang ceria, membawa toples berisi kue kering buatannya diatas nampan. Ketika langkahnya masuk ke ruang tamu, dilihatnya Iwan sudah tak ada disitu. Ia meletakkan baki tersebut diatas meja, lalu melangkah ke arah pintu keluar. Dilihatnya motor Iwan sudah melaju di halaman rumah pak haji Mahmud. Sekilas Iwan menengok ke arah pak haji Mahmud dan menganggukkan kepalanya, selintas tampak Wardah Fatimah menyender ke pintu menatap kepergian Iwan. Ia melambaikan tangan dengan ragu-ragu, namun ia melempar sesungging senyum mengantar kepergian Iwan dari situ. Motor Iwan menjauh, Wardah Fatimah terpaku, membisu, disisi pintu. Butiran lembut, mengkilat, tersirat pada manik matanya, hingga mengaburkan pandangan. Perih terasa air yang keluar pada ruang bola retinanya. Sudah lama ia tak menangis. Wardah pun menutup kedua matanya. Pak haji Mahmud melihat hal ini, jadi terharu. "Kamu kenapa Wardah?... suka sama pak Iwan ya ?" tanya pak haji Mahmud. Wardah mengan
Suara "uuh" yang keluar dari mulut Wardah Fatimah, mengejutkan pak haji Mahmud, yang sedang jalan di depan kamar putrinya. "Wardah, kamu kenapa... ?" Pak haji Mahmud mengetuk pintu kamarnya, pintu itu tidak terkunci. Pak haji Mahmud langsung masuk, dilihatnya tubuh anak gadisnya jatuh di lantai dengan kedua kaki masih menyangkut pada kursi kecil meja riasnya. "Kamu lagi ngapain.. kok sampai bisa begini sih?" Wardah Fatimah tak menjawab. Pak haji Mahmud lalu mengangkat tubuh putrinya, membopongnya dan meletakkannya diatas kasur. "Kok ketawa sendirian? Ada apa? Ayoo cerita ke bapak..." Wardah Fatimah menggelengkan kepalanya. "Ya sudah, sekarang kita makan malam dulu yuuk.." kata pak haji Mahmud mengajak putrinya. Wardah kembali menggelengkan kepalanya. "Heii.. jatuh cinta itu butuh tenaga, kalau kamu gak makan, nanti bisa sakit... mau?" Wardah menggelengkan kepalanya kembali. "Bapak suapin ya..?" Putrinya mengangguk pelan dan tersenyum. "Dasar anak manja," gerutu pak haji
Kehangatan suasana keluarga itu membuat Iwan merasakan kedamaian. Ada laki-laki tua yaitu pak Sidik, dan ada ibu-ibu yang juga sudah tua, nek Warni. Iwan berharap kehadiran mereka semuanya dapat membuat Dini betah tinggal di rumah yang sudah jadi milik Iwan. Sedangkan malam itu, pak haji Mahmud dilanda kebingungan. Dia memikirkan putrinya Wardah Fatimah yang naksir kepada Iwan. Dia tahu persis bagaimana perasaan jatuh hati atau naksir dari gadis usia belasan tahun. Seperti orang lupa diri, dan mabuk kepayang. Dalam tatapan matanya yang ada hanya bayang-bayang wajah Iwan. Ia selalu mengharapkan kehadiran pujaan hatinya itu, berada disisinya. Wardah Fatimah seorang gadis yang penurut. Sejak kematian ibunya, dia hanya diasuh oleh bapaknya. Pernah pak haji Mahmud menggaji seorang Pengasuh dan juga Pembantu rumah tangga, tapi pekerja-pekerja itu pengabdiannya tidak maksimal, alias asal-asalan. Padahal pak haji Mahmud menggaji mereka melebihi gaji ART di daerah tersebut. Begitu pula Penga
Motor yang dikendarai oleh Wahyu terlihat keluar dari halaman rumah pak haji Mahmud."Beruntung ya bang Iwan, dapat gadis cantik, bapaknya orang kaya pula di kampung ini,""Gak usah iri Yu.. keberuntungan orang itu beda-beda. Eh, ingat ya.. ini rahasia yang harus kita tutup selamanya , jangan sampai nanti kamu kelepasan cerita ke Nuning,""Ya enggaklah Wak.."Disitulah perbedaan laki-laki dengan perempuan. Laki-laki pandai menjaga rahasia. Apalagi menyangkut keluarga sendiri. Walaupun begitu tentu ada juga laki-laki yang mulutnya comel, selalu ingin tahu tentang rahasia orang lain; kemudian menggosipkan di tempat kumpul bersama kawan-kawan yang sefrekuensi atau sesama penggosip sambil bercanda, lalu tertawa terbahak-bahak. **Setiba di halaman warung, Nana menghampiri Wahyu,"Bapak bawa makanan ya? "Wahyu memarkir motornya, lalu menenteng plastik kresek berwarna merah yang berisi beberapa kotak dus makanan tersebut. Dua orang sopir ojek yang sedang mangkal disitu, cuma menoleh ke ar
Di dalam kamarnya, Iwan merenung. Tak lama kemudian, dia mengambil handphonenya, dan menghubungi Badrun, "Assalamu'alaikum kang Badrun..." "Wa alaikum salam kang Iwan.. gimana? jadi besok kesini?" "Justru saya mau kasih kabar, besok belum bisa kesitu. Mendadak di kedai tempat pekerjaan saya, bossnya ngadain pesta pernikahan anaknya kang Badrun," "Wadduh gimana ya kang Iwan?" "Iya saya juga bingung kang... gak enak ninggalin boss pas lagi ada acara keluarga. Masa saya gak bantuin?" "Iya sih.." sahut Badrun tak semangat, lemas. "Ya sudah kalau begitu, bagaimana kalau saya cari orang lain kang Iwan?" "Ya boleh aja kang Badrun, berarti saya gak jadi keluar dari pekerjaan saya disini ya kang?" Badrum diam, merenung. "Gimana kang Badrun?" "Itu mah terserah kang Iwan aja...Anak buah saya juga pada butuh kerja kang Iwan, kalau libur melaut kel;amaan, nanti mereka cari kerja ke kapal lain.. Mereka gak mau makan gaji buta tanpa kerja" "Ya sudah kalau begitu, nanti gampanglah saya a
Beberapa saat, pak haji Mahmud terdiam. Baru saja Iwan hendak bicara, pak haji Mahmud memotongnya dengan pertanyaan, "Cacatnya sejak lahir atauu......" "Musibah pak haji.." "Ya tentu saja musibah bang Iwan, tapi jangan dijadikan aib bagi keluarga," Deg! Iwan tahu kemana arah pembicaraan pak haji Mahmud, dia lalu menjelaskan garis besarnya. "Maksud saya, putri saya cacat karena korban dari musibah pak haji. Bukan cacat sejak lahir... Waktu itu, kami sekeluarga terseret ombak di pantai, sewaktu peristiwa bencana tsunami di selat sunda," "Astaghfirullah... astaghfirullah... Maafkan saya, bang Iwan" ucap pak haji Mahmud pelan, dia merasa bersalah sudah berprasangka buruk, sebelum dijelaskan oleh Iwan. Pak haji Mahmud pun diam, membisu. "Gak apa-apa pak haji.. saya memakluminya. Sekarang putri saya sudah sembuh, dia mulai belajar jalan lagi. Dua tahun kemarin, anak saya lumpuh total, dan tidak bisa bicara... Tatapan matanya kosong... mungkin saking shocknya" "Alhamdulillah kala
Kehangatan suasana keluarga itu membuat Iwan merasakan kedamaian. Ada laki-laki tua yaitu pak Sidik, dan ada ibu-ibu yang juga sudah tua, nek Warni. Iwan berharap kehadiran mereka semuanya dapat membuat Dini betah tinggal di rumah yang sudah jadi milik Iwan. Sedangkan malam itu, pak haji Mahmud dilanda kebingungan. Dia memikirkan putrinya Wardah Fatimah yang naksir kepada Iwan. Dia tahu persis bagaimana perasaan jatuh hati atau naksir dari gadis usia belasan tahun. Seperti orang lupa diri, dan mabuk kepayang. Dalam tatapan matanya yang ada hanya bayang-bayang wajah Iwan. Ia selalu mengharapkan kehadiran pujaan hatinya itu, berada disisinya. Wardah Fatimah seorang gadis yang penurut. Sejak kematian ibunya, dia hanya diasuh oleh bapaknya. Pernah pak haji Mahmud menggaji seorang Pengasuh dan juga Pembantu rumah tangga, tapi pekerja-pekerja itu pengabdiannya tidak maksimal, alias asal-asalan. Padahal pak haji Mahmud menggaji mereka melebihi gaji ART di daerah tersebut. Begitu pula Penga
Suara "uuh" yang keluar dari mulut Wardah Fatimah, mengejutkan pak haji Mahmud, yang sedang jalan di depan kamar putrinya. "Wardah, kamu kenapa... ?" Pak haji Mahmud mengetuk pintu kamarnya, pintu itu tidak terkunci. Pak haji Mahmud langsung masuk, dilihatnya tubuh anak gadisnya jatuh di lantai dengan kedua kaki masih menyangkut pada kursi kecil meja riasnya. "Kamu lagi ngapain.. kok sampai bisa begini sih?" Wardah Fatimah tak menjawab. Pak haji Mahmud lalu mengangkat tubuh putrinya, membopongnya dan meletakkannya diatas kasur. "Kok ketawa sendirian? Ada apa? Ayoo cerita ke bapak..." Wardah Fatimah menggelengkan kepalanya. "Ya sudah, sekarang kita makan malam dulu yuuk.." kata pak haji Mahmud mengajak putrinya. Wardah kembali menggelengkan kepalanya. "Heii.. jatuh cinta itu butuh tenaga, kalau kamu gak makan, nanti bisa sakit... mau?" Wardah menggelengkan kepalanya kembali. "Bapak suapin ya..?" Putrinya mengangguk pelan dan tersenyum. "Dasar anak manja," gerutu pak haji
Wardah Fatimah dengan tatapan mata yang ceria, membawa toples berisi kue kering buatannya diatas nampan. Ketika langkahnya masuk ke ruang tamu, dilihatnya Iwan sudah tak ada disitu. Ia meletakkan baki tersebut diatas meja, lalu melangkah ke arah pintu keluar. Dilihatnya motor Iwan sudah melaju di halaman rumah pak haji Mahmud. Sekilas Iwan menengok ke arah pak haji Mahmud dan menganggukkan kepalanya, selintas tampak Wardah Fatimah menyender ke pintu menatap kepergian Iwan. Ia melambaikan tangan dengan ragu-ragu, namun ia melempar sesungging senyum mengantar kepergian Iwan dari situ. Motor Iwan menjauh, Wardah Fatimah terpaku, membisu, disisi pintu. Butiran lembut, mengkilat, tersirat pada manik matanya, hingga mengaburkan pandangan. Perih terasa air yang keluar pada ruang bola retinanya. Sudah lama ia tak menangis. Wardah pun menutup kedua matanya. Pak haji Mahmud melihat hal ini, jadi terharu. "Kamu kenapa Wardah?... suka sama pak Iwan ya ?" tanya pak haji Mahmud. Wardah mengan
Iwan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, dilihatnya kasur dan barang-barang milik Wahyu sudah terkumpul disitu. Dia pun masuk ke dalam kamar, sudah kosong. Iwan menghela nafas panjang, "Alhamdulillah.. ternyata tahu diri juga mereka." Dia lalu menelpon pemilik toko perabotan yang tadi di pasar. Agak lama Iwan menunggu diangkat hubungan telpon itu, sampai dua kali dia mengulang kembali nomornya, dan akhirnya.. "Hallo.. ada yang bisa saya bantu?" suara Enci dari sana yang mengangkat telpon. "Hallo Enci, saya mau tanya.. apa sudah dikirim barang yang tadi saya beli?" "Ini siapa ya?" "saya Iwan" "Oh pak Iwan.. sudah, itu mobil angkutannya baru saja jalan. Sebentar lagi juga sampai kesitu," "Baik Ci.. saya tunggu." ** Selang beberapa saat mobil pick up yang mengantar perabot pesanan Iwan datang, lalu parkir di halaman tanah kosong. Melihat hal itu, Wahyu mengajak dua orang pengemudi ojek untuk membantu mengangkat perabotan, "Eh, kita bantuin bang Iwan tuh.." Iwan menoleh k
Iwan jadi teringat kembali pada Badrun. Lelaki muda berparas tampan dengan sikap yang menawan. Apakah dia tidak tergoda pada Dini? Wanita sholeha yang menutup seluruh auratnya. Sebagai sesama lelaki, Iwan meragukan kebaikan Badrun. Hatinya menjelajah, mengingat kembali sewaktu mereka terlibat perkelahian di pantai. Padahal waktu itu, bisa saja Badrun mematahkan tangan atau kakinya; tapi dia tidak melakukannya. Apalagi ternyata Badrun adalah murid Ki Jupri. Akan tetapi kejadian pagi itu, sewaktu Dini jatuh dalam pelukan Badrun karena terpeleset, untuk sekedar melupakanya saja; hatinya sangat sulit. Bayangan itu masih terus membekas.Lamunannya terhenti ketika nek Warni menaruh secangkir kopi dengan kue dan gorengan."Bang, ini kopinya, masih panas. Yang di rumah sana sudah dingin, jadi nek ganti yang baru.. itu gorengannya juga masih hangat.. dicicipi bang..,""Iya nek... Terimakasih ya,"Nek Warni mengangguk pelan, lalu jalan menuju ke arah rumah Iwan lagi.Tak lama kemudian, bebera
Motor yang dikendarai oleh pak Syam dan pak Soenarto menjauh dari depan warung, Wahyu buru-buru menghampiri Iwan, mendekat, dan sangat dekat sekali, setengah berbisik Wahyu bertanya, "Bang, apa petugas itu minta uang?" Iwan menoleh ke wajah Wahyu, "Iya Yu, tapi abang bilang nanti kalau semua sudah selesai." sahut Iwan sambil jalan menuju ke kursi di warung. Wahyu mengikuti jalan disampingnya. Iwan duduk, Wahyu pun ikut duduk di kursi di sebelah Iwan. "Kebiasaan petugas itu bang.. apa-apa dijadikan uang" celoteh Wahyu. "Gak apa-apalah Yu, dia kan cuma cari uang tambahan buat anak istrinya. Mungkin gajinya kurang mencukupi untuk kebutuhan keluarganya," "Mending kalau buat keluarganya, buat disco dangdutan Bang," "Itulah budaya yang sudah melenceng Yu," Iwan menarik nafas panjang. "Tapi gak semua petugas seperti itu kan Yu?" "Ya gak sih Bang. Hanya beberapa aja yang ikut-ikutan begitu. Biasanya dia ngajak tetangganya, apalagi kalau bapak tetangganya itu satu aliran" ujar