Vania menoleh ke arah Lia. Dengan percaya dirinya, ia menghampiri Vania dan membuka ponselnya. Di dalam pikiran Vania begitu banyak praduga, seharian ini ia berada di rumah pribadinya, ia hampir tak pernah bertemu dengan lelaki di luar rumah jika tak bersama Hanif.
"Lihat ini. Baju kalian sama, dan ini diambil tadi siang. Bahkan, Anna juga ikut. Mas, Mas. Kasihan banget kamu, sudah nggak dianggap sama keluarga sendiri."
Vania terkejut bukan main melihat bahwa ada fotonya dan Anna, serta seorang pria. Dari rambut, baju, dan juga tas, semuanya mirip. Tapi, kenapa bisa? Padahal sedari siang, mereka tak ke mana-mana. Hanya di rumah pribadi. "Sekarang, apa kamu bisa mengelak, Van?" tanya Mas Hanif."Mas, ini bukan aku. Kamu lihat baik-baik. Ini editan. Pasti ini rencana kamu, kan?" tudingnya pada Lia.Wanita itu menjerit saat Vania menarik rambutnya. Kikan berusaha melerai, sementara Hanif malah berteriak tidak
Vania terdiam saat mengetahui jika tangga ulang tahun Kikan digunakan untuk kata sandi brankas Hanif. Benar-benar lelaki itu, apakah hidupnya hanya untuk Kikan sekarang?"Ma, nggak ada gunanya kita di sini. Papa benar-benar sudah dibutakan oleh mereka, Ma.""Kalian sabar, ya. Mama akan ambil dokumen itu, nanti kita pergi. Kalian tidak ada yang kasih tahu kalau Mama punya rumah lain, kan?" tanya Vania pada anak-anaknya.Aldi dan Anna menggeleng. Vania teringat saat waktu itu Hanif selalu telat pulang, tergoda pada gadis warung kopi di puncak. Hal itu berlangsung tiga tahun kala Aldi dan Anna masih berusia tiga tahun.Ketika dimabuk cinta begitu, Hanif tak peduli pada saldo rekeningnya. Vania kerap mentransfer uang yang ada di rekening suaminya ke rekening pribadinya secara bertahap.Saat Hanif mulai sadar dan tak nyeleweng, maka Vania berhenti mentransfer uang dan kembali menjalankan tugas
Aku sudah membulatkan tekad untuk memindahkan sekolah anak-anak, dan memutuskan komunikasi dengan Mas Hanif. Tolong jangan menyalahkanku karena berbuat seperti ini, tapi ini semua adalah buah dari perbuatan lelaki itu. “Jadi kita akan pindah ya, Ma?” tanya Anna. “Iya, Sayang. Kita akan pergi dari sini dan memulai hidup baru. Maaf jika Mama egois dan memutuskan hubungan kalian dengan apa. Tapi, andai meminta kalian untuk memilih tingal dengan Papa, malah akan membuat hidup Mama tak tenang,” ucapku. Aldi dan Anna mengangguk. Semoga saja mereka mengerti dan memahami bahwa ini adalah pilihan terbaik. Toh sejak kemarin mereka juga sudah meminta untuk segera pindah dari rumah itu. Perjalanan tiga puluh ment akhirnya kami sampai di sekolah. Setelah menemui Kepala sekolah, aku ke ruang guru untuk mencari Bu Erika. “Jadi Anna dan Aldi akan pindah?” tanya Bu Erika. “Iya, Bu.” “Baik, nanti akan saya buatkan. Ngomong-ngomong, apakah akan pindah sekeluarga?” tanya Bu Erika. “Tidak, Bu. Han
Setelah mengatakan hal demikian, aku masuk ke dalam kamar. Mulai mengemas bajuku dan membawa semua. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka."Van, kenapa kamu mau pergi? Masa kalah begitu saja?" tanya Ibu."Maaf, Bu. Tapi Vania benar-benar sudah tidak kuat. Terima kasih ya, Bu, sudah menjadi mertua yang baik untuk Vania. Vania mohon, jangan kasih tahu Ayah lebih dulu. Biar nanti Vania aja yang kasih tau," ucapku seraya tersenyum.Pasalnya, Ibu adalah sahabat karib Ayah. Dan Ayah juga belum tahu mengenai masalah rumah tanggaku. Aku tak ingin, ini semua mengganggu pikiran beliau."Tapi, Van, Ibu nggak mau kalian pisah.""Bu, pernikahan ini yang menjalani adalah Mas Hanif dan Vania. Jadi tolong, jangan halangi Vania untuk berpisah dengan Mas Hanif. Karena Vania butuh bahagia.""Apa kamu nggak bahagia sama Hanif, Van?""Bahkan Mas Hanif nggak pernah mencintai Van
Kuabaikan saja pesan dari Lia, lalu memutuskan pergi ke kamar. Fisik dan psikisku sudah benar-benar lelah dihantam badai halilintar, memejamkan mata sejenak sepertinya bisa membuatku sedikit tenang.Usai membersihkan diri dan memakai piyama, aku merebahkan diri di ranjang empuk. Mata yang semula ingin segera terpejam, kini terbuka lebar karna teringat sesuatu."Astaga kenapa aku bisa lupa!" gumamku.Karena terlalu banyak kesibukan, aku sampai lupa membawa rambut Kikan dan Mas Hanif ke rumah sakit untuk melakukan test DNA. Aku melirik jam dinding, hari sudah malam rasanya tak mungkin jika aku pergi ke rumah sakit sekarang. Lebih baik besok saja, semoga saja Lia dan Mas Hanif belum melangsungkan pernikahan.Ting!Sebuah pesan masuk ke ponselku, Ibu mengirim sebuah video. Kubuka video berdurasi duapuluh menit itu."Mas, aku enggak mau tahu pokoknya secepatnya nikahi aku!" rengek Lia, seraya menatap Mas Hanif.
"Kamu dapat informasi ini dari mana?" tanyaku."Ya dari teman-temannya Ilham, bahkan Ilham itu dengan percaya dirinya menceritakan tentang Lia. Kebetulan salah satu teman Ilham itu istrinya bekerja di perusahaanku, jadi bisa kuulik-ulik."Raisa ini sudah seperti detektif, bahkan ia mencari sampai ke akar-akarnya."Makasih ya, Sa. Padahal kamu itu sahabatnya Mas Hanif, tapi malah berdiri di kubuku."Raisa tersenyum simpul, "sekalipun Hanif sahabatku, aku tak akan membela jika dia memang terbukti salah.Dia merangkulku. "Semangat ya, calon single parent!""Kamu ini nyemangatin atau ngejek aku yang mau jadi janda sih?" sungutku membuatnya tergelak."Ngejek dikit sih,"Kami tertawa bersama, membuat penat dihatiku hilang sejenak. Raisa mengajakku untuk makan siang bersama, dia juga bercerita tadi malam ibu mertuaku menangis menelponnya karena kutinggal pergi."Di sini beli
"Maafkan Mama ya, anak-anak. Karena Mama, kalian merasakan kesedihan terus," ucapku menjadi mellow.Aldi berdiri, lalu memelukku. Entah kenapa, rasanya sesak yang selama ini kutahan, akhirnya meluap juga saat anak laki-lakiku memelukku."Mama tenang, kami tak apa. Kini semua sudah selesai. Kita sudah pindah rumah, saatnya memulai lembaran baru. Mama tak perlu khawatir sendirian, karena ada Aldi dan Anna yang selalu siap siaga menjaga Mama."Aku mengangguk. Tak terasa aku sudah semakin tua, karena anakku sudah dewasa. Terasa masih kemarin mereka masih anak-anak, kini sudah bisa menghibur dan jadi tempat curhatku. Terima kasih, anak-anak.Pagi ini, Anna tak mau berangkat sekolah. Meski sudah tahu alasannya, aku tak ingin langsung menembak begitu saja. Kuajak bicar dari hati ke hati, anak gadisku ini."Kenapa, Sayang?" tanyaku."Nggak papa, Ma. Lagian kan beberapa hari lagi
[Van, di mana alamatmu?]Sebuah pesan masuk dari Ibu. Aku bimbang, haruskah kuberi alamatku di sini? Atau nanti saja saat semuanya sudah clear?[Ayahmu datang. Ibu bingung harus menjawab apa?]Badanku mendadak tegak. Bingung harus berbuat apa? Ayah ke rumah? Kenapa tak menghubungiku lebih dulu?[Bilang saja kalau Vania lagi main ke luar sama anak-anak, Bu. Nanti sore, Vania dan anak-anak akan ke rumah Ayah.] balasku pada akhirnya.Lama tak ada balasan lagi, sepertinya Ibu sedang berbicara dengan Ayah. Yah, semuanya sudah begini, apa lebih baik aku jujur saja pad orang tua tunggalku itu? Terlebih, sekarang Ayah sedang berada di rumah Ibu. Sudah pasti beliau melihat Lia ataupun Kikan, dan akan menjadi pertanyaan dalam benak beliau."Kenapa, Ma?" tanya Anna."Kakek kalian datang. Nanti sore, kita ke rumah Kakek, ya?""Oke, Ma.""Aldi n
[Hanif dan Lia akad nikah hari ini, Van.]Aku menatap layar ponsel dan surat hasil test DNA secara bergantian. Hari ini aku mendapatkan dua kabar yang sangat mengejutkan. Jemariku meremas kertas di tangan, entah keterangan di surat ini benar atau tidak aku tak tahu.Aku menghirup oksigen banyak-banyak, berusaha menetralkan diri yang dikuasai emosi.Setelah mengucapkan terima kasih pada Alvita, aku bergegas pergi meninggalkan rumah sakit. Ada yang berbeda dari gerak gerik Alvita, ia seolah menyembunyikan sesuatu, sejak tadi tatapan matanya padaku tersirat rasa bersalah.Tapi entahlah, aku tak mau memikirkan itu dulu. Lebih baik aku menyusun strategi baru untuk mengacaukan akad nikah Mas Hanif dan gundiknya.Ponselku kembali berdering, tertera nama ibu di sana. Untuk apa lagi beliau menelpon? Ingin membuatku semakin sakit hati kah? Bukankah sedari awal beliau adalah dalang dari masalah ini. Seandainya dulu, beliau tak menghala
BAB 117 | ENDING __"Masakanmu enak juga, Na!" celetuk Haikal. Anna mendengkus pelan, "heh, kamu pikir makanan yang kita makan di rumah Mama itu masakan Mama? Itu masakanku, bodoh!" Lelaki jangkung itu tergelak, "kamu kenapa suka banget sih ngomong kasar, padahal anak-anak di kelasku pada bilang kamu tuh positif vibes, lemah lembut." Mendengar ucapan mantannya itu membuat Anna memberengut kesal. "Yang tahu-tahu aja lah, lagian aku enggak peduli sama penilaian orang." "Iya juga sih, makanya kamu mau aja nerima aku yang brengsek ini. Padahal aku terkenal bad boy," sahut Haikal, mengenang saat pertama kali ia kenal dengan Anna. Gadis berambut panjang itu terkekeh, "jujur sih, aku cuma penasaran aja pacaran sama bad boy." Haikal mendelik, "jadi semua kata rindu dan cintamu itu dusta?" Mereka saling tatap, lagi jantung Anna berdebar ketika bersitatap dengan pemilik iris mata cokelat itu. "Iya, dusta." Anna memalingkan wajahnya. Haikal terkekeh, ia tahu gadis di hadapannya itu ha
BAB 116___Anna bergeming mendengar kata rindu yang keluar dari bibir mantan kekasihnya, seandainya saat ini status mereka bukan saudara tiri, mungkin ia akan memeluk Haikal menumpahkan kerinduan yang menumpuk di hatinya. Tapi, ia harus mengubur rasa cinta dan rindu di hatinya. Rasanya tak etis, jika diantara mereka memiliki hubungan lebih dari saudara. "Waras kan, lu?" ketus Anna, seraya membuang wajah. Ia tak mau berlama-lama menatap wajah Haikal, pertahanannya bisa goyah. Haikal menyentak napas kasar, ia mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar stres karena tak lagi bisa memiliki Anna, ia juga masih memiliki rasa pada mantan kekasihnya. Meskipun ia sudah berkali-kali mencari pengganti Anna, tapi tak ada yang bisa menggantikan wanita itu di hatinya. Hanya dengan Anna, ia merasakan ketulusan. "Lu mau balapan, ya?" tanya Anna to the point. "Tahu dari mana?" "Dari Tere." Haikal mendengkus pelan, "kalau iya kenapa?" "Kamu enggak kasihan sama Mama Papa?" tanya Anna. Lelaki
BAB 115__Vania terkejut ketika melihat anak bungsunya tergeletak di depan pintu kamar mandi. "Mas tolong!" teriak Vania, seraya menghampiri putrinya. Aldi dan Ibra yang masih berada di rumah, bergegas menghampiri Vania. Darah mengalir dari hidung Sela, membuat mereka semakin panik. "Kita ke rumah sakit aja, Ma!" ucap Ibra.Ibra mengangkat tubuh putrinya, sementara Aldi bergegas menyiapkan mobil. Dengan terburu-buru mereka pergi ke rumah sakit, bahkan tak sempat mengunci pintu. Tubuh Sela sangat panas, ada ruam merah di bagian lengan dan betis Sela. Sepanjang jalan, Aldi berusaha fokus, terlebih jalanan ibu kota di pagi hari sangatlah padat.Setelah menempuh perjalanan duapuluh menit, mereka sampai di lobby Instalasi Gawat Darurat. Mereka disambut oleh perawat dan dokter yang berjaga di bagian IGD. Ibra benar-benar cemas dengan kondisi anaknya, ia merasa bersalah karena tak punya banyak waktu untuk sang anak. Terlebih Sela jarang menghubunginya, putrinya bahkan tak pernah mereng
BAB 114Sela memeluk Anna, ia mencurahkan kesedihan dan juga kesepian yang ia alami. "Tapi, semenjak aku tinggal di sini, aku tak lagi merasakan kesepian seperti ketika aku tinggal di rumah mama. Meskipun Papa masih sering keluar kota, tapi ada mama Vania yang setia menemaniku.""Lah itu, kita hanya perlu mengambil Sisi baiknya dan membuang Sisi buruknya dari semua kejadian yang kita alami. Sekarang kamu tidak sendirian, ada aku dan Bang Aldi serta Mama."Sela mengangguk, ia sadar selama ini telah salah karena menganggap Kakak tirinya itu sebagai saingan. Padahal mereka telah bersikap baik kepada dirinya, tapi Sela terlalu serakah. Menginginkan hal yang lebih dari apa yang ia terima. --Rima membuatkan Abangnya kopi, semalam waktu hari sampai rumah, Ia sibuk dengan Mira yang tengah sakit. "Gimana, Bang? Ketemu?" "Ada, Rim. Tapi pas sampai sana aku kaget banget ngelihat dia sudah tergeletak.""Apa? Maksudnya dibunuh?" tanya Rima."Aku nggak tahu, tapi mungkin nanti pemilik rumah ak
BAB 113Hanif dan orang-orang melihat Lia yang tergeletak di lantai. Darah merembes ke lantai hingga sampai ke bagian tubuh Lia."Astagfirullah!"Hanif bersama pemilik rumah mengangkat tubuh dia dan memindahkannya ke tempat yang lebih bersih. Pemilik rumah memeriksa denyut nadi wanita yang tengah Hamil 3 Bulan itu."Masih ada nadinya, sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit.""Iya, Pak."Pemilik rumah membawa mobilnya yang berupa angkot, lalu Hanif menyetirnya. Sementara Lia di belakang bersama istri pemilik rumah.Aldi, Anna, dan Teresa segera naik ke mobil Hanif. Mereka mengikuti dari belakang hingga akhirnya sampai di rumah sakit umum yang tak jauh dari kontrakan Lia."Aku takut banget, Bang. Kita kan ke sini cuma mau menemui tante Lia, kenapa malah jadi adegan trailer begini.""Sudah, Nggak papa, An. Kita mana tahu kalau kejadiannya bakal begini."Anna dan Teresa mengangguk, Mereka pun menunggu di kantin rumah sakit bersama dengan Aldi.Tak lama kemudian, Hanif datang dan mengab
BAB 112Malam harinya, Anna pulang ke rumah Vania untuk izin besok menemani ayahnya ke luar kota. Aldi yang mendengarnya menentang keras keinginan Anna. "Kita nggak tahu, perempuan itu di luar sana dilindungi oleh siapa. Bagaimana kalau kalian datang ke sana dan banyak preman? Papa itu nggak jago kelahi, kalau nanti kamu dan Tere diapa-apain bagaimana?""Betul itu, Nak. Mama juga khawatir kalau kamu ikut pergi Papa keluar kota, Papa Ibra pun pasti tak akan mengizinkan. Kamu ini anak perempuan, Kenapa papamu tak mengajak abang sekalian?" Anna mengangguk, Ia pun menghubungi Hanif dan mengabarkan jika Vania tak mengizinkan apabila Aldi tak diajak serta. "Papa tak mau mengajak, tapi kamu tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Abangmu."" Coba papa ngomong sendiri sama Abang, barangkali dia mau. Apalagi tadi yang paling menentang itu dia daripada Mama." Hanif merenungkan ucapan Anna sewaktu menelepon tadi, Ia pun mencari kontak Aldi dan menghubunginya. Sayangnya, telepon itu tak kunjun
BAB 111__Anna menyadari perubahan ekspresi pada adik tirinya, ia cukup peka dengan suasana hati orang sekitarnya. Terlebih adik tirinya itu, tak bisa menyembunyikan wajah tak sukanya. "Kalian sudah makan siang?" tanya Vania."Sudah kok, Ma. Oh iya, Ma, kami masih ada yang mau dicari, kayaknya enggak bisa lama-lama di sini, Anna duluan ya!" ucap Anna seraya memberi kode pada Tere untuk beranjak. Anna mencium punggung tangan Vania. "Have fun ya sama Mama." Ia menepuk adik tirinya. Sebagai kakak, ia tak ingin egois. Terlebih ia tahu, Sela kekurangan kasih sayang dari mama kandungannya, kali ini ia memberi kesempatan pada mama dan adik tirinya untuk pendekatan. Teresa menatap sahabatnya kebingungan, "ada sesuatu ya diantara lu sama adik tiri lu?" Yang ditanya mengendikkan bahu, "gue cuma memberi ruang untuk mereka, gue sudah banyak mendapatkan kasih sayang berlimpah dari Mama, berbeda dengan Sela." "Tumben pemikiran lu dewasa, padahal waktu masalah bokap lu, udah kek reog!" cele
BAB 110Anna dan Haikal sudah kembali ke kost-annya, rumah terasa sepi lagi karena Anna lah yang begitu banyak bicara. "Ma, Aldi kuliah dulu, ya?""Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, hubungi Mama."Aldi mengangguk, lalu keluar melewati Sela yagng tengah duduk di ruang tamu. Dalam hati ela semakin iri dengan anak-anak Vania, karena ia tak pernah bermanja dan juga diperhatikan opleh ibu kandungnya sendiri. Vania melanjutkan pekerjaan, setelah Mbak Inah memutuskan untuk berhenti kerja karena akan menikah, Vania merasa tenang-tenang saja karena semua ada yang menghandlenya. Namun sekarang, ia sendiri kewalahan mengatur jam kerja dan juga jam bebenah rumah. Sela memperhatikan Vania yang tengah menyapu, ingin rasanya ia menawarkan bantuan, ttapi ia sendiri malu. Vania pun bukan perempuan yang tidak peka, ioa sebenarnya tahu jika Sela sedari tadi memperhatikannya. "Sela, bisa bantu Mama ngepel, Nak? Mama mau mandi dulu." "Iya, Ma." Sela yang memang sedang libur sekolah ka
BAB 109__"Mama, Anna kangen!" pekik Anna ketika sampai di rumah. Anak gadis Vania itu memeluk sang mama dari belakang, Vania terkekeh dibuatnya. Ia juga merindukan sang putri, terlebih ini pertama kalinya mereka hidup terpisah dalam waktu lama. "Mama juga kangen, Sayang!" ucap Vania, seraya membalik tubuhnya. Ibu dan anak itu saling menumpahkan rindu, karena sudah lama ia tak pulang sejak tugas-tugas kuliahnya yang semakin banyak. Bahkan untuk membalas pesan mamanya pun, ia mencuri-curi waktu. "Gimana kuliahnya, lancar?'' tanya Vania. Anna mengangguk, "meskipun kepala hampir pecah, tapi aku bisa melaluinya." "Hebatnya anak Mama!" Anna membantu sang mama membersihkan sayuran, malam ini rencananya mereka akan makan bersama. "Sela mana, Ma? Kok aku enggak ada lihat dia dari tadi?" tanya Anna. "Di kamar sih tadi, dia juga lagi sibuk-sibuknya ngerjakan tugas sekolah." "Oh, gitu. Sela baik kan, sama Mama?" tanya Anna lagi. Vania mengangguk, wanita itu terdiam sejenak. Ia menghe