"Benar katamu Lia, kenapa aku membuang berlian hanya untuk batu sungai sepertimu?"Mendengar ucapan sang suami, membuat Lia murka. Dirinya benar-benar direndahkan di rumah ini."Pungutlah lagi berlian itu kalau bisa!" ejek Lia, seraya berlalu.Wiyani memijit kepalanya yang semakin pening, "inilah sebabnya kenapa dulu Ibu tak pernah merestui hubunganmu dan Lia.""Sekarang nikmatilah kehidupanmu bersama wanita yang kamu cintai," sambung Wiyani seraya berlalu.Hanif terduduk di sofa, rasa cinta yang menggebu di hatinya pada Lia kini sudah tak ada lagi. Ia seolah mati rasa menjalani rumah tangga bersama istri keduanya. Hidupnya berantakan, karirnya hancur, tak ada lagi ketenangan di rumahnya.Ia baru sadar telah mengundang iblis betina masuk ke dalam rumahnya.Sekarang semuanya telah hancur dan tak ada yang bisa diselamatkan. Ia kehilangan dua buah hatinya demi Kikan yang ternyata bukan anak kandu
Rima yang merupakan anak bungsu keluarga Wiyani, meminta izin pada suaminya untuk mengunjungi sang Ibu yang sudah setahun ini tak pernah mereka datangi. Alasan utamanya, karena pekerjaan Reza- suami Rima yang membuatnya seakan terkurung di Palembang sana.Sebagai pengusaha batu bara, Reza harus mengecek usaha yang baru dirintisnya tiga tahun yang lalu, tepat setelah mereka menikah."Berapa lama kamu di sana? Kamu tahu sendiri kan, kalau Mamaku membutuhkan bantuanmu?" ucap Reza.Rohmah, Mamanya Reza menderita sakit stroke. Ini alasan kedua Rima tak bisa pergi meninggalkan Palembang. Reza tak mau menggunakan jasa suster untuknya karena tak percaya. Pernah kejadian, ketika Reza bekerja dan Rima tengah fokus mengurus anaknya yang bayi, suster yang mengasuh Rohmah ternyata malah menyiksanya. Sejak saat itu, Rima yang mengambil alih pekerjaan suster itu.Meski memiliki asisten rumah tangga, nyatanya Rima tetap saj
"Kamu menantangku, Lia? Satu saja keluar ucapan itu dari mulutku, maka habis riwayatmu!" Melihat Hanif yang sangat marah, membuat Lia ketakutan. Wanita itu berlari menuju kamarnya, dan menguncinya dari dalam. "Astaga, aku kan cuma mengancam saja. Bisa gawat kalau aku cerai sama dia," ucap Lia sambil menggigiti kukunya. Ia tak mau kalau sampai kehilangan Hanif. Selain karena ia masih mencintai lelaki itu, juga karena tak ingin kehilangan sumber uang. Setidaknya, meski Hanif kini tak kaya lagi, tapi ia masih bisa memanfaatkannya. Hanif menyugar rambutnya. Kini ia berasa tengah berada di ujung tebing. Pekerjaan tak dapat, namun setiap hari banyak telepon masuk dari penagih utang. Sejujurnya, Wiyani tak tega pada sang putra. Tapi, jika ia membantu Hanif lagi, pasti anaknya itu akan tergantung padanya. Terpaksa, Wiyani diam di kala putranya kesusahan. "Rima nanti akan meminta alamat rumahnya Kak Vania. Kangen sama keponakan, Bu." "Iya, Rim. Minta lah. Ibu sudah tak punya muka mau me
"Emang anak Mama lagi apa?" tanya Vania, sambil mendekat ke arah Anna. Namun tak disangka, Anna malah menjauhkan diri dari Vania. Hal itu membuatnya terkejut. "Anna cuma mau di rumah saja, Ma. Kalau Mama mau ke luar, ya udah, sendiri aja." Lagi dan lagi, Vania terkejut. Namun, ia tak mau berdebat dengan sang anak. Ia memutuskan untuk pergi ke luar. Seperginya Vania, Anna diam-diam berlinang air mata. Ia sejujurnya rindur jalan-jalan dengan Vania, tapi ia tak mau lagi-lagi harus dikecewakan oleh harapan. "Mungkin nanti Anna akan dilupakan kan, Ma? Apalagi jika Mama menikah lagi." Anna teringat dengan cerita temannya yang mengatakan jika mamanya berubah setelah menikah lagi. Bahkan ia merasa seperti 'dibuang' karena kehilangan sosok Ibu dan juga kehangatan dalam keluarganya lagi. Ibunya lebih fokus pada anak tiri dan anak barunya dengan suami baru. Vania mengusap wajah. Bingung harus bagaimana? 'Apa anak itu memang mau istirahat di rumah? Atau, dia marah padaku karena akhir-akhir
"Aldi berhenti, Nak!"Vania menarik tubuh putranya menjauh dari sang ayah, wajah lelaki itu babak belur di tangan anaknya sendiri. Kilat amarah terpancar jelas di mata putranya, menandakan emosinya belum reda. "Sabar, Nak, sabar." bisik Vania."Kurang ajar kamu, Aldi! Beginikah didikan ibumu?!" ketus Hanif, mengusap bibirnya yang pecah.Aldi menarik senyum sinis, "apa begini juga orang tua Papa mendidik anak? Memiliki anak pecundang dan gemar berkhianat." "Cukup Aldi!" bentak Vania. Ia tak mau hal ini terjadi pada mantan suami dan anak-anaknya, tapi Hanif benar-benar tak bisa diajak bekerja sama untuk menjaga mental kedua anaknya."Didik anakmu dengan benar Van, aku bisa saja melaporkannya ke polisi!" ancam Hanif. "Laporin, Pa! Aku enggak takut, aku juga bisa laporin Papa karena sudah menelantarkan kami!" ketus Aldi. Vania menatap Anna yang sejak tadi diam, gadis itu menatap ayahnya penuh kekecewaan. Terlebih melihat Hanif menggenggam jemari Kikan, membuat rasa benci bertumbuh di
BAB 53“Iya, Rim, Ibu juga merasakan itu. Kalau diperhatikan lagi juga, Abangmu memang sangat berubah sejak kedatangan Lia dan anaknya.”Rima mengangguk. Ternyata bukna hanya dugaannya saja, ibunya pun merasakan hal yang sama. Jika ia ingin mengorek semuanya, maka ia akan memulai dari mana.-Vania membersihkan luka di tangan Aldi dengan menangis sesenggukan. Semua itu membuat Aldi menadi kian merasa bersalah.“Ma, Aldi kan sudah minta maaf,” ucap Aldi sambil menggenggam jemari Vania. “Mama sedih, Bang. Kenapa Abang harus menjadi anak yang durhaka? Seburuk-buruknya Papa, Mama tak pernah mengajarkan kalian untuk durhaka pada orang tua.” Aldi mengangguk, membenarkan ucapan Vania. Selama ini, Vania memang selalu mengajarkan untuk tetap menghormati Hanif, mesi lelaki itu membuat keluarganya berantakan.“Aldi cuma nggak tahan liat Anna sedih, Ma. Sudah berapa kali, Papa melakukan hal ini? Sering, Ma. Melupakan anak kandung dan lebih menyayangi anak tirinya. Papa benar-benar membuat kita
BAB 54 Bagai tertusuk sembilu, melihat Anna bersama lelaki bergoncengan dengan mesra. Bukan ia tak percaya paada putrinya, tapi mengingat bagaimana pergaulan anak zaman sekarang membuat ia takut sang putri terjerumus ke jalan yang salah. "Ingat Van, kalau negur putrimu jangan dengan cara kasar apalagi kekerasan. Dekati dia dengan lembut," nasihat Raisa. Vania mengangguk, ia pernah membaca sebuah buku tentang dampak kurangnya kasih sayang seorang ayah pada anak perempuannya. Bisa jadi, putrinya mencari kehangatan dan kasih sayang itu pada lelaki lain, karena tak mendapatkan perhatian baik dari dirinya dan papanya. Ia merasa sangat bersalah pada Anna, pantas saja ia merasa putrinya semakin menjauh. Ternyata ada seseorang yang telah mengisi hari-hari putrinya dengan kebahagiaan. Matanya memanas, melihat anaknya tampak bahagia dan nyaman dengan orang lain membuat dadanya sesak. "Ya Allah, Nak, maafkan Mama." _Vania pulang ke rumah lebih cepat dari biasanya, ia memasak makanan kesu
BAB 55Vani segera berangkat menuju sekolahnya. Debar dalam dada sudah begitu keras. Seumur hidupnya memiliki anak seperti Anna, gadis itu tak pernah sekalipun membuatnya kecewa. Sampai di sekolahan, Vania tertegun saat baru saja keluar dari mobil. Ternyata, Hanif juga dihubungi oleh pihak sekolahan. Pasti Anna yang memberikan nomor kontaknya. "Selamat pagi, Pak," ucap Vania. "Pagi, silakan duduk." Di sampingnya, sudah ada Hanif yang tak henti memperhatikannya. Vania berdehem, dan Hanif langsung menghadap ke kantor guru."Jadi, bagaimana, Pak?" tanya Vania. "Kemarin, Anna ketahuan bertengkar dengan temannya, dan temannya itu sampai pingsan bahkan berdarah. Saat ini, Eria, temannya sedang dirawat di rumah sakit." Deg! Jantung Anna seakan berhenti berdetak. Ia benar-benar tak menyangka jika anak perempuannya yang pintar dan tak pernah neko-neko itu, bisa berbuat hal yang mengecewakan. "Saya minta maaf untuk itu, Pak. Kami lalai dalam mengurus dan mendidiknya. Oleh karena itu,
BAB 117 | ENDING __"Masakanmu enak juga, Na!" celetuk Haikal. Anna mendengkus pelan, "heh, kamu pikir makanan yang kita makan di rumah Mama itu masakan Mama? Itu masakanku, bodoh!" Lelaki jangkung itu tergelak, "kamu kenapa suka banget sih ngomong kasar, padahal anak-anak di kelasku pada bilang kamu tuh positif vibes, lemah lembut." Mendengar ucapan mantannya itu membuat Anna memberengut kesal. "Yang tahu-tahu aja lah, lagian aku enggak peduli sama penilaian orang." "Iya juga sih, makanya kamu mau aja nerima aku yang brengsek ini. Padahal aku terkenal bad boy," sahut Haikal, mengenang saat pertama kali ia kenal dengan Anna. Gadis berambut panjang itu terkekeh, "jujur sih, aku cuma penasaran aja pacaran sama bad boy." Haikal mendelik, "jadi semua kata rindu dan cintamu itu dusta?" Mereka saling tatap, lagi jantung Anna berdebar ketika bersitatap dengan pemilik iris mata cokelat itu. "Iya, dusta." Anna memalingkan wajahnya. Haikal terkekeh, ia tahu gadis di hadapannya itu ha
BAB 116___Anna bergeming mendengar kata rindu yang keluar dari bibir mantan kekasihnya, seandainya saat ini status mereka bukan saudara tiri, mungkin ia akan memeluk Haikal menumpahkan kerinduan yang menumpuk di hatinya. Tapi, ia harus mengubur rasa cinta dan rindu di hatinya. Rasanya tak etis, jika diantara mereka memiliki hubungan lebih dari saudara. "Waras kan, lu?" ketus Anna, seraya membuang wajah. Ia tak mau berlama-lama menatap wajah Haikal, pertahanannya bisa goyah. Haikal menyentak napas kasar, ia mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar stres karena tak lagi bisa memiliki Anna, ia juga masih memiliki rasa pada mantan kekasihnya. Meskipun ia sudah berkali-kali mencari pengganti Anna, tapi tak ada yang bisa menggantikan wanita itu di hatinya. Hanya dengan Anna, ia merasakan ketulusan. "Lu mau balapan, ya?" tanya Anna to the point. "Tahu dari mana?" "Dari Tere." Haikal mendengkus pelan, "kalau iya kenapa?" "Kamu enggak kasihan sama Mama Papa?" tanya Anna. Lelaki
BAB 115__Vania terkejut ketika melihat anak bungsunya tergeletak di depan pintu kamar mandi. "Mas tolong!" teriak Vania, seraya menghampiri putrinya. Aldi dan Ibra yang masih berada di rumah, bergegas menghampiri Vania. Darah mengalir dari hidung Sela, membuat mereka semakin panik. "Kita ke rumah sakit aja, Ma!" ucap Ibra.Ibra mengangkat tubuh putrinya, sementara Aldi bergegas menyiapkan mobil. Dengan terburu-buru mereka pergi ke rumah sakit, bahkan tak sempat mengunci pintu. Tubuh Sela sangat panas, ada ruam merah di bagian lengan dan betis Sela. Sepanjang jalan, Aldi berusaha fokus, terlebih jalanan ibu kota di pagi hari sangatlah padat.Setelah menempuh perjalanan duapuluh menit, mereka sampai di lobby Instalasi Gawat Darurat. Mereka disambut oleh perawat dan dokter yang berjaga di bagian IGD. Ibra benar-benar cemas dengan kondisi anaknya, ia merasa bersalah karena tak punya banyak waktu untuk sang anak. Terlebih Sela jarang menghubunginya, putrinya bahkan tak pernah mereng
BAB 114Sela memeluk Anna, ia mencurahkan kesedihan dan juga kesepian yang ia alami. "Tapi, semenjak aku tinggal di sini, aku tak lagi merasakan kesepian seperti ketika aku tinggal di rumah mama. Meskipun Papa masih sering keluar kota, tapi ada mama Vania yang setia menemaniku.""Lah itu, kita hanya perlu mengambil Sisi baiknya dan membuang Sisi buruknya dari semua kejadian yang kita alami. Sekarang kamu tidak sendirian, ada aku dan Bang Aldi serta Mama."Sela mengangguk, ia sadar selama ini telah salah karena menganggap Kakak tirinya itu sebagai saingan. Padahal mereka telah bersikap baik kepada dirinya, tapi Sela terlalu serakah. Menginginkan hal yang lebih dari apa yang ia terima. --Rima membuatkan Abangnya kopi, semalam waktu hari sampai rumah, Ia sibuk dengan Mira yang tengah sakit. "Gimana, Bang? Ketemu?" "Ada, Rim. Tapi pas sampai sana aku kaget banget ngelihat dia sudah tergeletak.""Apa? Maksudnya dibunuh?" tanya Rima."Aku nggak tahu, tapi mungkin nanti pemilik rumah ak
BAB 113Hanif dan orang-orang melihat Lia yang tergeletak di lantai. Darah merembes ke lantai hingga sampai ke bagian tubuh Lia."Astagfirullah!"Hanif bersama pemilik rumah mengangkat tubuh dia dan memindahkannya ke tempat yang lebih bersih. Pemilik rumah memeriksa denyut nadi wanita yang tengah Hamil 3 Bulan itu."Masih ada nadinya, sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit.""Iya, Pak."Pemilik rumah membawa mobilnya yang berupa angkot, lalu Hanif menyetirnya. Sementara Lia di belakang bersama istri pemilik rumah.Aldi, Anna, dan Teresa segera naik ke mobil Hanif. Mereka mengikuti dari belakang hingga akhirnya sampai di rumah sakit umum yang tak jauh dari kontrakan Lia."Aku takut banget, Bang. Kita kan ke sini cuma mau menemui tante Lia, kenapa malah jadi adegan trailer begini.""Sudah, Nggak papa, An. Kita mana tahu kalau kejadiannya bakal begini."Anna dan Teresa mengangguk, Mereka pun menunggu di kantin rumah sakit bersama dengan Aldi.Tak lama kemudian, Hanif datang dan mengab
BAB 112Malam harinya, Anna pulang ke rumah Vania untuk izin besok menemani ayahnya ke luar kota. Aldi yang mendengarnya menentang keras keinginan Anna. "Kita nggak tahu, perempuan itu di luar sana dilindungi oleh siapa. Bagaimana kalau kalian datang ke sana dan banyak preman? Papa itu nggak jago kelahi, kalau nanti kamu dan Tere diapa-apain bagaimana?""Betul itu, Nak. Mama juga khawatir kalau kamu ikut pergi Papa keluar kota, Papa Ibra pun pasti tak akan mengizinkan. Kamu ini anak perempuan, Kenapa papamu tak mengajak abang sekalian?" Anna mengangguk, Ia pun menghubungi Hanif dan mengabarkan jika Vania tak mengizinkan apabila Aldi tak diajak serta. "Papa tak mau mengajak, tapi kamu tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Abangmu."" Coba papa ngomong sendiri sama Abang, barangkali dia mau. Apalagi tadi yang paling menentang itu dia daripada Mama." Hanif merenungkan ucapan Anna sewaktu menelepon tadi, Ia pun mencari kontak Aldi dan menghubunginya. Sayangnya, telepon itu tak kunjun
BAB 111__Anna menyadari perubahan ekspresi pada adik tirinya, ia cukup peka dengan suasana hati orang sekitarnya. Terlebih adik tirinya itu, tak bisa menyembunyikan wajah tak sukanya. "Kalian sudah makan siang?" tanya Vania."Sudah kok, Ma. Oh iya, Ma, kami masih ada yang mau dicari, kayaknya enggak bisa lama-lama di sini, Anna duluan ya!" ucap Anna seraya memberi kode pada Tere untuk beranjak. Anna mencium punggung tangan Vania. "Have fun ya sama Mama." Ia menepuk adik tirinya. Sebagai kakak, ia tak ingin egois. Terlebih ia tahu, Sela kekurangan kasih sayang dari mama kandungannya, kali ini ia memberi kesempatan pada mama dan adik tirinya untuk pendekatan. Teresa menatap sahabatnya kebingungan, "ada sesuatu ya diantara lu sama adik tiri lu?" Yang ditanya mengendikkan bahu, "gue cuma memberi ruang untuk mereka, gue sudah banyak mendapatkan kasih sayang berlimpah dari Mama, berbeda dengan Sela." "Tumben pemikiran lu dewasa, padahal waktu masalah bokap lu, udah kek reog!" cele
BAB 110Anna dan Haikal sudah kembali ke kost-annya, rumah terasa sepi lagi karena Anna lah yang begitu banyak bicara. "Ma, Aldi kuliah dulu, ya?""Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, hubungi Mama."Aldi mengangguk, lalu keluar melewati Sela yagng tengah duduk di ruang tamu. Dalam hati ela semakin iri dengan anak-anak Vania, karena ia tak pernah bermanja dan juga diperhatikan opleh ibu kandungnya sendiri. Vania melanjutkan pekerjaan, setelah Mbak Inah memutuskan untuk berhenti kerja karena akan menikah, Vania merasa tenang-tenang saja karena semua ada yang menghandlenya. Namun sekarang, ia sendiri kewalahan mengatur jam kerja dan juga jam bebenah rumah. Sela memperhatikan Vania yang tengah menyapu, ingin rasanya ia menawarkan bantuan, ttapi ia sendiri malu. Vania pun bukan perempuan yang tidak peka, ioa sebenarnya tahu jika Sela sedari tadi memperhatikannya. "Sela, bisa bantu Mama ngepel, Nak? Mama mau mandi dulu." "Iya, Ma." Sela yang memang sedang libur sekolah ka
BAB 109__"Mama, Anna kangen!" pekik Anna ketika sampai di rumah. Anak gadis Vania itu memeluk sang mama dari belakang, Vania terkekeh dibuatnya. Ia juga merindukan sang putri, terlebih ini pertama kalinya mereka hidup terpisah dalam waktu lama. "Mama juga kangen, Sayang!" ucap Vania, seraya membalik tubuhnya. Ibu dan anak itu saling menumpahkan rindu, karena sudah lama ia tak pulang sejak tugas-tugas kuliahnya yang semakin banyak. Bahkan untuk membalas pesan mamanya pun, ia mencuri-curi waktu. "Gimana kuliahnya, lancar?'' tanya Vania. Anna mengangguk, "meskipun kepala hampir pecah, tapi aku bisa melaluinya." "Hebatnya anak Mama!" Anna membantu sang mama membersihkan sayuran, malam ini rencananya mereka akan makan bersama. "Sela mana, Ma? Kok aku enggak ada lihat dia dari tadi?" tanya Anna. "Di kamar sih tadi, dia juga lagi sibuk-sibuknya ngerjakan tugas sekolah." "Oh, gitu. Sela baik kan, sama Mama?" tanya Anna lagi. Vania mengangguk, wanita itu terdiam sejenak. Ia menghe