"Orangnya sudah pergi, Ma?" tanya Anna yang menyusulku.
Aku mengangguk.
Anna membuka pintu, aku mengikuti langkahnya pergi keluar. Ia membuka goodie bag yang berisi map coklat dan sebuah kotak segi empat berwarna merah muda.
"Ini dari orang tadi kali, ya?" ucap Anna seraya memperlihatkan barang di tangannya.
"Iya, tapi apa maksudnya mengirim barang pagi-pagi buta begini?"
Anna menyerahkan barang di tangannya padaku, "Mama aja yang buka, Anna takut."
Aku membawa barang-barang itu masuk ke dalam, Anna menyusulku masuk. Kami duduk di sofa ruang tamu, aku membuka kotak berwarna merah muda, isinya ada fotoku bersama Mas Hanif dan anak-anak. Hampir setiap foto diberi tanda berwarna merah darah.
'Hancur.'
Apa maksud Fajri mengirimiku ini?
Aku membuka amplop berwarna cokelat, isinya kertas kosong. Aneh sekali, apa maksudnya?
"Aneh banget."
"Siapa ya,
Wajah Lia semakin menekuk kesal disudutkan terus-terusan oleh keluarga Ibu."Kalian itu harusnya menghargai saya, saya ini juga istrinya Hanif!"Kami semua terdiam, lalu terbahak mendengarnya."Pernikahan kalian itu enggak sah, wong nasabmu aja enggak jelas!" celetuk Budhe Lastri.Ibu dan saudara-saudaranya terus memuji dan membicarakan tentang kebaikanku selama menjadi bagian keluarga mereka, membuat wajah Lia semakin merah. Tak lama Mas Hanif datang dengan wajah kusut."Kartu kredit aku kamu pakai lagi, ya?!" gertaknya membuat semua yang ada di ruangan ini terdiam."E-enggak, Mas. Aku enggak ada keluar rumah hari ini," elak Lia.Mas Hanif berdecak, "terus menurutmu itu kartu bisa jalan sendiri gitu!"Duapuluh tahun menjadi istrinya, aku tak pernah dibentak Mas Hanif dikeramaian. Baru kali ini aku melihat sisi lain Mas Hanif."Bukannya kamu tadi siang jalan-jalan ya,
"Kamu tenang saja. Ibu memang ingin membersihkan ruangan ini sejak kemarin. Cuma nunggu waktu yang pas, dan kamu juga tahu perbuatan serta perasaan adik iparmu."Aku mengangguk. Jujur saja, aku bergidik ngeri berada di kamar Fajri. Tak pernah membayangkan, ada orang yang terlalu obsesi padaku. Atau jangan-jangan, selama ini, dia selalu membayangkan yang tidak-tidak saat ia sendirian.Ibu membuka jendela kamar Fajri, dan membiarkan udara masuk. Lalu beliau menyuruh Mbok Nah untuk membersihkan kamar Fajri sementara Ibu menyabuti foto-foto yang menempel di dinding, bahkan yang di dalam pigura.Sumpah, ini lebih mengerikan dari apapun!--Aku mengajak pulang Anna setelah melihat fotoku dibakar oleh Ibu. Ini menjadi pelajaran untukku, kalau tak semua orang memiliki sifat baik hanya karena wajahnya terlihat kalem. Fajri buktinya. Ia begitu kalem, bahkan tak pernah kulihat ia marah. Namun, semua penilaianku atas d
BAB 41Mas Hanif kembali menelponku, entah apa yang dia inginkan sebenarnya. Kuabaikan saja panggilannya, tak peduli jika nanti ia mengamuk dan mengirim pesan caci maki, toh, dia tak akan bisa menemuiku. "Mama!"Anna datang menenteng goodie bag di tangannya. "Ada sesuatu buat Mama!" ucapnya.Aku mengernyit, "kamu beli apa?" Gadis itu menghenyakkan diri di sofa, lalu mengeluarkan isi di dalam goodie bag, satu set gamis berwarna peach. "Bagus, untuk Mama?" tanyaku. Anna mengangguk, "pasti cantik kalau Mama pakai ini!" Aku mengusap kepalanya, usiaku sudah tak lagi muda. Sudah seharusnya menutup aurat secara sempurna, memberikan contoh yang baik untuk anak perempuanku. "Anna juga mau belajar menutup aurat kalau di rumah," ucapnya. "Kita belajar bersama ya, Nak." Ia mengangguk seraya memelukku. "Terima kasih hadiahnya sayang, Mama suka!" Waktu begitu cepat berlalu, rasanya baru saja aku hamil dan melahirkan, kini anak-anak sudah beranjak dewasa. Aku tak pernah melewati setiap fas
BAB 42Mas Hanif tak lagi menghubungiku, mungkin ia menyerah karena aku tak mudah masuk perangkapnya. Dia pikir aku tak tahu, bahwa dirinya kini tengah terlilit masalah yang begitu banyak. Pagi ini anak-anak sudah berangkat ke sekolah lebih cepat, sementara aku juga bergegas pergi ke butik. Perasaanku sejak bangun tidur tak nyaman, seperti ingin menangis tapi tak tahu apa yang ingin kutangisi. Sesampainya di butik, aku langsung masuk lewat pintu belakang karena memang belum jam buka. Aku langsung masuk ke dalam ruanganku, ponsel sejak tadi terus berdering. Panggilan dari ibu mertua, kenapa beliau menelponku pagi-pagi begini? "Halo?" ucapku setelah mengangkat panggilannya. Terdengar isak tangis Ibu di sana, membuatku semakin kebingungan. "Ibu kenapa?" tanyaku. Ibu terisak-isak, tak lama terdengar suara keributan di seberang sana. Suara Lia tengah memaki-maki seseorang, apa Ibu dan Lia sedang ribut? "Tolong Nak, Ibu takut. Lia kerasukan iblis jahanam. Dia hampir membunuh Ibu!"
Aku mengernyit sambil menahan perih di kepala dan disekujur tubuhku. Saat membuka mata, aku sudah berada di ruangan serba putih. Apakah ini di rumah sakit? Hal terakhir yang kuingat adalah, saat sebuah mobil melaju kencang dari arah berlawanan saat kami ada di perempatan. "Ra-raisa..." "Mama..." Aku menoleh, mendapati Anna tengah menangis dan juga Aldi yang tampak mengembun kedua bola matanya. Aku mencoba tersenyum, meski sekujur dan tak bisa kugerakan. "Tante Raisa mana, Nak?" tanyaku terbata. "Tante Raisa ada di ruangan ICU, Ma. Ma, kenapa sampai kaya gini, Ma? Ya Allah, sembuhkanlah Mama," ucap Anna sambil menangis. Aldi menepuk pundak adiknya itu. Aku bersyukur ada dia, setidaknya bisa menghibur sang adik dikala sedih melihatku begini. Ya Allah, Nak, Mama juga tak mau begini. Ah, bagaimana dengan paket yang ada di dalam mobil Raisa? "Mobilnya rusak parah, Ma," ucap Aldi. "Polisi sedang ngusut kasusnya. Dan pelakunya adalah..." "Siapa, Nak?" tanyaku tak sabar. "Om Fajri,
Akhirnya kuceritakan pada Ayah tentang gaun pengantin itu, beliau terkejut setelah mengetahui pelakunya. "Anak-anak Wiyani sangat keterlaluan, kita harus tempuh jalur hukum!" geram Ayah.Aku mengangguk, tapi lelaki itu masih dalam keadaan kritis kemugkinan jika sadar ia tak akan bisa kembali normal dan akan menghabiskan waktu seumur hidup di atas kursi roda."Kamu di sini dulu, ya. Ayah mau ngurus sesuatu!" ucap beliau meninggalkanku di kamar perawatan Raisa. Kami berdua saling tatap, tak menyangka akan mengalami tragedi mengerikan ini. Terlebih Raisa, di saat tengah membutuhkan dukungan dari suami dan keluarganya, ia malah ditalak karena tak lagi bisa memberikan anak. "Jangan merasa bersalah, ini sudah jalan takdir yang harus kulalui. Aku baik-baik saja," ucap Raisa membuka pembicaraan.Lisannya berkata baik-baik saja, tapi sorot matanya mengatakan hal lain. Tak ada wanita yang baik-baik saja diceraikan oleh pasangannya. "Maaf ya, seandainya -" "Enggak usah berandai-andai, Vania
"Nanti dia nggak bakal ngadu sama suamimu?" tanyaku saat kami mengelilibgi Mall lagi. Kali ini tujuan Raisa adalah toko mainan. Wanita itu begitu berekspresi hari ini. Senyum lebar tetap tercetak jelas di wajahnya. "Aku nggak peduli, Van. Yang terpenting adalah anak-anakku saja saat ini. Nggak peduli mantan suamiku itu bakal marah atau apapun. Lagian aku sudah muak. Andai dia memarahiku karena perbuatanku ke istri barunya itu, ya bagus dong. Biar kukeluarkan semua unek-unek saat bersama Mas Rangga dulu," ucap Raisa sambil mengambil lego. Aku mengangguk-angguk, lalu mengambil boneka. Tak memiliki anak kecil, tapi aku memiliki anak perempuan. Kubelikan saja untuk Anna, siapa tahu bisa mengobati hatinya. Pulang dari Mall, Raisa mengajakku untuk mampir ke rumahnya. Ia ingin menunjukkan bukti-bukti perselingkuhan Mas Rangga dengan Kikan, dan juga mentransfer file-file itu padaku sebagai cadangan. "Gila! Si Kikan ini nggak ada bedanya sama induknya," ucapku saat melihat foto-foto
Hanif menunduk melihat tatapan mengintimidasi dari atasannya, dalam hatinya ia terus merutuk. Kehidupannya benar-benar kacau sekarang, karir yang ia bangun dengan susah payah kini tengah berada di tepi jurang. "Saya perhatikan kinerjamu mulai menurun ya, Hanif. Bahkan di lapangan banyak sekali kesalahan fatal karena kamu tidak fokus!" ucap Remon seraya membuka map di hadapannya, lalu melemparkan ke arah Hanif. "M-maaf, Pak." Remon menyentak napas kasar, "begitu banyak peraturan perusahaan yang sudah kamu langgar, Hanif. Membuat saya rugi secara materi karena kinerjamu yang menurun." Ayah beranak dua itu memainkan jemarinya, pikirannya benar-benar kalut. "S-saya akan memperbaiki kinerja saya, Pak." lirih Hanif. Remon menggeleng, "ini pesangon kamu, dan ini surat pemberhentiannya. Saya tidak bisa mempertahankan karyawan yang tidak konsisten dalam bekerja." Hanif membelalak, "Pak tolong beri say
BAB 117 | ENDING __"Masakanmu enak juga, Na!" celetuk Haikal. Anna mendengkus pelan, "heh, kamu pikir makanan yang kita makan di rumah Mama itu masakan Mama? Itu masakanku, bodoh!" Lelaki jangkung itu tergelak, "kamu kenapa suka banget sih ngomong kasar, padahal anak-anak di kelasku pada bilang kamu tuh positif vibes, lemah lembut." Mendengar ucapan mantannya itu membuat Anna memberengut kesal. "Yang tahu-tahu aja lah, lagian aku enggak peduli sama penilaian orang." "Iya juga sih, makanya kamu mau aja nerima aku yang brengsek ini. Padahal aku terkenal bad boy," sahut Haikal, mengenang saat pertama kali ia kenal dengan Anna. Gadis berambut panjang itu terkekeh, "jujur sih, aku cuma penasaran aja pacaran sama bad boy." Haikal mendelik, "jadi semua kata rindu dan cintamu itu dusta?" Mereka saling tatap, lagi jantung Anna berdebar ketika bersitatap dengan pemilik iris mata cokelat itu. "Iya, dusta." Anna memalingkan wajahnya. Haikal terkekeh, ia tahu gadis di hadapannya itu ha
BAB 116___Anna bergeming mendengar kata rindu yang keluar dari bibir mantan kekasihnya, seandainya saat ini status mereka bukan saudara tiri, mungkin ia akan memeluk Haikal menumpahkan kerinduan yang menumpuk di hatinya. Tapi, ia harus mengubur rasa cinta dan rindu di hatinya. Rasanya tak etis, jika diantara mereka memiliki hubungan lebih dari saudara. "Waras kan, lu?" ketus Anna, seraya membuang wajah. Ia tak mau berlama-lama menatap wajah Haikal, pertahanannya bisa goyah. Haikal menyentak napas kasar, ia mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar stres karena tak lagi bisa memiliki Anna, ia juga masih memiliki rasa pada mantan kekasihnya. Meskipun ia sudah berkali-kali mencari pengganti Anna, tapi tak ada yang bisa menggantikan wanita itu di hatinya. Hanya dengan Anna, ia merasakan ketulusan. "Lu mau balapan, ya?" tanya Anna to the point. "Tahu dari mana?" "Dari Tere." Haikal mendengkus pelan, "kalau iya kenapa?" "Kamu enggak kasihan sama Mama Papa?" tanya Anna. Lelaki
BAB 115__Vania terkejut ketika melihat anak bungsunya tergeletak di depan pintu kamar mandi. "Mas tolong!" teriak Vania, seraya menghampiri putrinya. Aldi dan Ibra yang masih berada di rumah, bergegas menghampiri Vania. Darah mengalir dari hidung Sela, membuat mereka semakin panik. "Kita ke rumah sakit aja, Ma!" ucap Ibra.Ibra mengangkat tubuh putrinya, sementara Aldi bergegas menyiapkan mobil. Dengan terburu-buru mereka pergi ke rumah sakit, bahkan tak sempat mengunci pintu. Tubuh Sela sangat panas, ada ruam merah di bagian lengan dan betis Sela. Sepanjang jalan, Aldi berusaha fokus, terlebih jalanan ibu kota di pagi hari sangatlah padat.Setelah menempuh perjalanan duapuluh menit, mereka sampai di lobby Instalasi Gawat Darurat. Mereka disambut oleh perawat dan dokter yang berjaga di bagian IGD. Ibra benar-benar cemas dengan kondisi anaknya, ia merasa bersalah karena tak punya banyak waktu untuk sang anak. Terlebih Sela jarang menghubunginya, putrinya bahkan tak pernah mereng
BAB 114Sela memeluk Anna, ia mencurahkan kesedihan dan juga kesepian yang ia alami. "Tapi, semenjak aku tinggal di sini, aku tak lagi merasakan kesepian seperti ketika aku tinggal di rumah mama. Meskipun Papa masih sering keluar kota, tapi ada mama Vania yang setia menemaniku.""Lah itu, kita hanya perlu mengambil Sisi baiknya dan membuang Sisi buruknya dari semua kejadian yang kita alami. Sekarang kamu tidak sendirian, ada aku dan Bang Aldi serta Mama."Sela mengangguk, ia sadar selama ini telah salah karena menganggap Kakak tirinya itu sebagai saingan. Padahal mereka telah bersikap baik kepada dirinya, tapi Sela terlalu serakah. Menginginkan hal yang lebih dari apa yang ia terima. --Rima membuatkan Abangnya kopi, semalam waktu hari sampai rumah, Ia sibuk dengan Mira yang tengah sakit. "Gimana, Bang? Ketemu?" "Ada, Rim. Tapi pas sampai sana aku kaget banget ngelihat dia sudah tergeletak.""Apa? Maksudnya dibunuh?" tanya Rima."Aku nggak tahu, tapi mungkin nanti pemilik rumah ak
BAB 113Hanif dan orang-orang melihat Lia yang tergeletak di lantai. Darah merembes ke lantai hingga sampai ke bagian tubuh Lia."Astagfirullah!"Hanif bersama pemilik rumah mengangkat tubuh dia dan memindahkannya ke tempat yang lebih bersih. Pemilik rumah memeriksa denyut nadi wanita yang tengah Hamil 3 Bulan itu."Masih ada nadinya, sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit.""Iya, Pak."Pemilik rumah membawa mobilnya yang berupa angkot, lalu Hanif menyetirnya. Sementara Lia di belakang bersama istri pemilik rumah.Aldi, Anna, dan Teresa segera naik ke mobil Hanif. Mereka mengikuti dari belakang hingga akhirnya sampai di rumah sakit umum yang tak jauh dari kontrakan Lia."Aku takut banget, Bang. Kita kan ke sini cuma mau menemui tante Lia, kenapa malah jadi adegan trailer begini.""Sudah, Nggak papa, An. Kita mana tahu kalau kejadiannya bakal begini."Anna dan Teresa mengangguk, Mereka pun menunggu di kantin rumah sakit bersama dengan Aldi.Tak lama kemudian, Hanif datang dan mengab
BAB 112Malam harinya, Anna pulang ke rumah Vania untuk izin besok menemani ayahnya ke luar kota. Aldi yang mendengarnya menentang keras keinginan Anna. "Kita nggak tahu, perempuan itu di luar sana dilindungi oleh siapa. Bagaimana kalau kalian datang ke sana dan banyak preman? Papa itu nggak jago kelahi, kalau nanti kamu dan Tere diapa-apain bagaimana?""Betul itu, Nak. Mama juga khawatir kalau kamu ikut pergi Papa keluar kota, Papa Ibra pun pasti tak akan mengizinkan. Kamu ini anak perempuan, Kenapa papamu tak mengajak abang sekalian?" Anna mengangguk, Ia pun menghubungi Hanif dan mengabarkan jika Vania tak mengizinkan apabila Aldi tak diajak serta. "Papa tak mau mengajak, tapi kamu tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Abangmu."" Coba papa ngomong sendiri sama Abang, barangkali dia mau. Apalagi tadi yang paling menentang itu dia daripada Mama." Hanif merenungkan ucapan Anna sewaktu menelepon tadi, Ia pun mencari kontak Aldi dan menghubunginya. Sayangnya, telepon itu tak kunjun
BAB 111__Anna menyadari perubahan ekspresi pada adik tirinya, ia cukup peka dengan suasana hati orang sekitarnya. Terlebih adik tirinya itu, tak bisa menyembunyikan wajah tak sukanya. "Kalian sudah makan siang?" tanya Vania."Sudah kok, Ma. Oh iya, Ma, kami masih ada yang mau dicari, kayaknya enggak bisa lama-lama di sini, Anna duluan ya!" ucap Anna seraya memberi kode pada Tere untuk beranjak. Anna mencium punggung tangan Vania. "Have fun ya sama Mama." Ia menepuk adik tirinya. Sebagai kakak, ia tak ingin egois. Terlebih ia tahu, Sela kekurangan kasih sayang dari mama kandungannya, kali ini ia memberi kesempatan pada mama dan adik tirinya untuk pendekatan. Teresa menatap sahabatnya kebingungan, "ada sesuatu ya diantara lu sama adik tiri lu?" Yang ditanya mengendikkan bahu, "gue cuma memberi ruang untuk mereka, gue sudah banyak mendapatkan kasih sayang berlimpah dari Mama, berbeda dengan Sela." "Tumben pemikiran lu dewasa, padahal waktu masalah bokap lu, udah kek reog!" cele
BAB 110Anna dan Haikal sudah kembali ke kost-annya, rumah terasa sepi lagi karena Anna lah yang begitu banyak bicara. "Ma, Aldi kuliah dulu, ya?""Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, hubungi Mama."Aldi mengangguk, lalu keluar melewati Sela yagng tengah duduk di ruang tamu. Dalam hati ela semakin iri dengan anak-anak Vania, karena ia tak pernah bermanja dan juga diperhatikan opleh ibu kandungnya sendiri. Vania melanjutkan pekerjaan, setelah Mbak Inah memutuskan untuk berhenti kerja karena akan menikah, Vania merasa tenang-tenang saja karena semua ada yang menghandlenya. Namun sekarang, ia sendiri kewalahan mengatur jam kerja dan juga jam bebenah rumah. Sela memperhatikan Vania yang tengah menyapu, ingin rasanya ia menawarkan bantuan, ttapi ia sendiri malu. Vania pun bukan perempuan yang tidak peka, ioa sebenarnya tahu jika Sela sedari tadi memperhatikannya. "Sela, bisa bantu Mama ngepel, Nak? Mama mau mandi dulu." "Iya, Ma." Sela yang memang sedang libur sekolah ka
BAB 109__"Mama, Anna kangen!" pekik Anna ketika sampai di rumah. Anak gadis Vania itu memeluk sang mama dari belakang, Vania terkekeh dibuatnya. Ia juga merindukan sang putri, terlebih ini pertama kalinya mereka hidup terpisah dalam waktu lama. "Mama juga kangen, Sayang!" ucap Vania, seraya membalik tubuhnya. Ibu dan anak itu saling menumpahkan rindu, karena sudah lama ia tak pulang sejak tugas-tugas kuliahnya yang semakin banyak. Bahkan untuk membalas pesan mamanya pun, ia mencuri-curi waktu. "Gimana kuliahnya, lancar?'' tanya Vania. Anna mengangguk, "meskipun kepala hampir pecah, tapi aku bisa melaluinya." "Hebatnya anak Mama!" Anna membantu sang mama membersihkan sayuran, malam ini rencananya mereka akan makan bersama. "Sela mana, Ma? Kok aku enggak ada lihat dia dari tadi?" tanya Anna. "Di kamar sih tadi, dia juga lagi sibuk-sibuknya ngerjakan tugas sekolah." "Oh, gitu. Sela baik kan, sama Mama?" tanya Anna lagi. Vania mengangguk, wanita itu terdiam sejenak. Ia menghe