Aku menatap Mas Nata dan Anes secara bergantian. Tatapan keduanya saling tertahan. Bak sepasang kekasih yang sudah lama terpisahkan dan sekarang kembali bertemu di waktu yang tak terduga.
Iya, itu memang benar. Dan pelakunya adalah aku. Memang akulah orang ketiga di antara mereka.Andai aku tak tega memisahkan mereka berdua dengan tuduhan palsuku, tentu kedua insan berbeda jenis saling mencinta itu akan hidup bahagia.Di sini aku yang salah. Namun … untuk sekarang, akulah istri Mas Nata dan aku sakit melihat tatapan itu.Dapat kulihat tatapan itu begitu berarti untuk Anes. Begitu lekat menatap sang wanita. Ah, entah apa yang ada di pikiran Mas Nata sekarang ini setelah bertemu dengan pujaan hatinya. "Hei, itu Pak Adinata, bukan?" Salah seorang pria bertanya."Iya. Dia Adinata Hermas. Pengusaha sukses itu," jawab seseorang.Namun meskipun begitu, Mas Nata seolah tak mendengar beberapa orang yang membicarakannya. Ia terlalu fokus menatap sang pujaan hati. Bahkan ia tak peduli dengan keberadaanku.Situasi ini membuatku terluka dan sakit. Hatiku sakit … dadaku sesak … semakin lama semakin menghimpit. Karena tak tahan, perlahan aku mundur secara teratur dan pasti. Barulah setibanya di kura kaget aku berlari kencang masuk ke mobil.Di dalam mobil, aku menangis sejadi-jadinya sambil menjalankan dengan kecepatan tinggi.Akhirnya … aku merasakan kekecewaan ini. Ya, karena aku sadar memang bersalah. Lalu mau apalagi?Tinggal menikmati dengan ikhlas rasa sakit hati yang dulu juga pernah dirasakan oleh Anes.Semakin kupercepat laju mobil hingga tiba di tempat di mana biasa aku mampir.Setelah keluar dari mobil, aku berlari sekencang mungkin dengan deraian air mata yang tak kunjung berhenti mengalir. Kutelusuri jembatan panjang yang melintang di atas laut.Entah kenapa aku seolah tak ingin berhenti berlari. Tak kupedulikan tatapan heran dari beberapa orang yang melihatku.Aku terus berlari hingga kaki ini kesandung dan ….Tangan seseorang menarik tanganku sebelum tubuh ini terjatuh. Aku menoleh, dan mendapati tubuh tinggi tegap pria berdiri di belakangku. Menatapku dengan raut wajah yang tak bisa aku tebak.Aku menangis sambil menundukkan wajah. Ada rasa kecewa saat mengetahui kalau yang datang menyusulku bukan Mas Nata, tapi Kak Abian.Kemana Mas Nata? Apa dia sekarang sedang bersama Anes? Matan kekasihnya? Apa Anes sudah menceritakan semua kebenarannya? Lalu apa tanggapan Mas Nata?Ah, begitu banyak pertanyaan yang menggelayut terasa berat di kepalaku."Jangan seperti ini, Nye!" Kak Bian bersuara.Aku pun tersenyum. Seolah ingin menyembunyikan kesedihanku dari pria yang bisa kubilang orang asing.Aku mengangkat tangan mengusap wajah yang basah dengan air mata."Pakai ini." Kak Bian mengulurkan sapu tangan. Untuk menghargai kepeduliannya, aku menerimanya."Terimakasih," ucapku. Iya, aku suka menghargai kepedulian orang. Sebab aku tahu bagaimana rasanya tak dipedulikan. Dan itu sakit. Kak Bian bersandar ke pinggiran jembatan, sedangkan aku sibuk menata hati agar baik-baik saja. Tak kacau seperti sebelumnya.Entahlah, kenapa sekarang aku merasakan cemburu pada Mas Nata yang memberikan tatapan lain pada Anes—wanita yang begitu dicintainya dulu.Padahal dulu aku tak peduli akan itu. Aku hanya fokus materi yang diberikan Mas Nata. Masa bodo hati Mas Anta untuk siapa. Tapi sekarang … aku rapuh, aku cemburu."Jika kau butuh orang yang ingin mendengarkan keluh kesahmu, aku siap."Aku menoleh mendengar kata-kata itu. Kak Bian berucap dengan pandangan lurus ke depan menatap laut."Dari tadi apa yang aku dengar dari ketiga temanmu … aku sudah dapat menebak kalau—""Kalau aku pelakor." Aku memotong ucapan Kak Bian.Pria di samping ku itu menoleh, menatapku sambil tersenyum. "Kau bukan pelakor, Nye." Dia terkekeh."Tak perlu membelaku, Kak. Aku sendiri menyadari itu.""Hei, kamu lupa dengan pepatah sebelum janur kunin melengkung … yang artinya sebelum ijab qobul terlaksana, kita masih bisa memperjuangkan jodoh kita, bukan?" Kata-kata Kak Bian penuh semangat. Aku tahu pria hangat ini ingin menghiburku. Tapi tetap saja hatiku resah. Apalagi setelah pertemuan Mas Nata dengan wanita tercintanya.Kupejamkan mata rapat-rapat dengan kepala tertunduk. Membayangkan apa yang sedang dilakukan Mas Nata dengan mantan kekasihnya.Aku tidak bisa … tidak bisa membayangkan apapun. Masih baru membayangkan saja begitu sakit."Kau tak akan bisa sedikit merasa lega jika tidak kau keluarkan semua unek-unekmu, Nye. Kamu bisa curhat padaku. Aku tahu selama ini kamu tak punya tempat curhat yang begitu buat kamu merasa laga. Sekalipun kau punya tiga teman."Aku sempat tercengang. Dari mana dia tahu itu? Dan itu memang benar. Apalagi setela menikah dengan Mas Nata, aku tak lagi punya teman, apalagi teman berbagi kisah. Sesuatu yang aku inginkan dan butuhkan."Jika engkau bertanya, aku tahu dari mana dan kenapa aku bisa menebak tentang kamu, jawabannya … karena aku pernah peduli kamu."Perkataan Kak Bian semakin membuatku bingung. Tapi aku tak ada keinginan untuk menanyakannya."Oleh karena itu, jangan sungkan untuk berbagi kisah denganku."Mendengar itu, tangisku kembali pecah. Aku terbaru dengan kepedulian Kak Bian. Bagaimana aku tak peduli, sebab selama ini aku memang haus akan seseorang yang mau mendengar unek-unekku.Aku pun, tanpa sungkan menceritakan semua pada Kak Bian. Bagaimana mulanya aku ingin merebut Mas Nata dari Anes. Pasangan yang sudah menjalin asmara bertahun lamanya.Beserta alasan kenapa aku ingin menjadi wanita matre dan tega merebut calon suami sahabat sendiri."Aku saat itu gak punya pilihan lain, Kak. Aku buntu … gak punya cara lain hingga terpaksa merebut Mas Nata dari Anes." "Lalu … apa kau mencintai Nata?"Aku sempat bungkam mendengar pertanyaan itu. Bahkan serasa tak punya jawaban sekalipun ada.Namun … rasa nyaman yang mulai ada dengan berbagi kisah pada pria yang hangatan sepertinya, aku pun menceritakan perasaanku yang sebenarnya.Aku yang luluh dengan sikap baik Mas Nata selama hidup dengannya … hingga kuberikan hati ini. Walau tak mendapatkan balasan.Dengan air mata yang kadang masih menetes, aku juga bercerita bagaiman lelahnya hati ini karena terus mencinta namun tak dicintai. "Jangan memaksakan keadaan untuk terus mencintai."Kata-kata Kak Bian sontak membuatku menoleh dan membalas tatapannya.Sesaat hening. Tak ada suara darinya, aku pun begitu. Hanya suara angin laut yang terdengar."Terkadang kita juga harus tahu, kapan waktu yang tepat untuk berhenti," lanjutnya dengan tatapan masih terarah ke arahku.Suasana kembali hening. Setelah kata terakhirnya, Kak Bian lama terdiam. Menciptakan kecanggungan untukku.."Andai kala itu kau datang padaku dan meminta bantuanku, Nye. Tentu aku yang akan menikahimu tanpa kau harus merebut Nata dari Anes."Aku sempat tercengang mendengar kata-kata Kak Bian. "Maksudnya?""Tak hanya menikah dengan Nata masalahmu bisa selesai.""Maksudnya?" Aku masih tak mengerti."Kau salah bilang tak punya pilihan. Ada aku, Nye. Seharusnya kamu pilih aku." Kak Bian maju dua langkah ke depan, mendekatiku."Ma – maksudnya?" tanyaku lagi, semakin tak mengerti."Jika kau saat itu datang untuk minta bantuanku. Tentu kau tak perlu mengemis cinta … dari sang suami."Aku semakin dibuat bingung dengan kata-kata Kak Bian. Entahlah … tiba-tiba pikiranku sulit difungsikan.Kak Bian maju satu langkah lagi. Lalu kedua tangannya memegang bahuku."Aku menyukaimu, Nye …."Aku ternganga tak percaya. Mendapatkan kata-kata ini dari pria yang pernah aku sukai."Bahkan sudah sejak dari dulu," lanjutnya … aku bergeming …._____Follow akun Sosmed Sakura Sen😉Saat perjalanan pulang, pikiranku kalut dan bercabang. Begitu banyak yang aku pikirkan. Dari Mas Nata yang bertemu dengan Anes. Lalu pengakuan perasaan Kak Bian.Kak Bian bilang menyukaiku sudah lama, sedari masih sama-sama SMA atas rekomendasi Anes.Saat Anes menolak Kak Bian sebab sudah punya pacar dari anak kepala sekolah, temanku itu memperkenalkan aku pada Kak Bian. Aku masih ingat kejadiannya. Baru ngeh juga saat itu dia baru ditolak Anes.Dan saat itu juga mungkin aku sudah terlebih dahulu menyukai Kak Bian, namun ia tak menyadari.Lalu baru sekarang ia menyatakan perasaanya dengan alasan gadis seukuran Aneska saja menolak, apalagi aku yang katanya kerap mendapat prestasi dan pendiam. Ah, entahlah. Aku tak tahu apa yang dikatakan Kak Bian itu benar atau tidak. Sebab saat ini aku tak bisa fokus hanya ke satu hal. Ada hal lain yang lebih penting aku pikirkan sekarang. Yaitu Mas Nata.Sesampainya di rumah, aku langsung masuk dan menjumpai Mas Nata duduk seorang diri di sofa ruang
Aku masih menangis menatap foto Mas Nata dan Anes. Di sana Mas Nata tampak berdiri saling berhadapan, sedikit menoleh ke samping. Aku cemburu melihat ini. Apalagi lainnya?Apa yang Mas Nata dan Anes lakukan saat ini? Bagaimana posisinya. Mengetahui selama ini Mas Nata pendiam dan cuek pada wanita lalu menemui wanita lain sekalipun itu mantan calon istrinya, itu membuatku agak gimana. Seharusnya biasa tapi jadi tak biasa. Ingin aku blokir nomor Rosa, agar tak mengetahui tentang Mas Nata dan Anes lainnya yang tentu sangat membuatku sakit hati dan rapuh. Tapi … jika tidak begitu, aku akan terus menutup mata dari kebenaran.Kebenaran Mas Nata yang diam-diam menemui Anes dan hatinya masih untuknya.Dadaku sesak, hati dan pikiran tak tenang. Memikirkan apa yang dilakukan Mas Nata dan Anes. Entahlah kenapa aku bisa se tak terima ini. Padahal di sini akulah orang ketiga, namun aku juga yang merasa terkhianati.Karena tak tahan menanggung gejolak hati yang dirundung rasa curiga, kuberanikan d
Setibanya di rumah, aku melihat mobil Mas Nata sudah terparkir di depan rumah. Itu artinya dia sudah tiba terlebih dahulu.Mendadak bingung, jika ia bertanya aku habis dari mana, aku jawab apa? Tapi rasanya tidak mungkin. Selama ini Mas Nata tak pernah bertanya aku habis dari mana jika keluar.Toh, dia juga pernah bilang gak usah repot-repot izin jika mau pergi ke suatu tempat. Takutnya Mas Nata lagi sibuk dan ia telat balas aku juga telat perginya.Tapi aku malah merasa tak dipedulikan dengan cara bersikapnya. Seolah ia cuek aku mau pergi ke mana aja. Padahal aku pengen ditanyain, dikepoin. Mau ke mana, pergi dengan siapa, ketemu siapa. Pengen gitu, merasa dipentingin Mas Nata, dikhawatirin di luar khawatir aku celaka. Cemburu gitu.Ah, boro-boro cemburu. Suka aja nggak.Setelah keluar dari mobil, aku langsung masuk. Anak-anak tampak sudah siap untuk pergi jalan, sudah dimandikan juga kayaknya sama Mbak Ita.Setelah menyapa si kembar dan mengecupnya, aku melangkah ke kamar.Saat mem
Seperti halnya saat aku menikah dengan Mas Nata karena tak punya pilihan, begitupun dengan perpisahan ini, aku tak punya pilihan. Tepatnya Mas Nata tak memberiku pilihan.Semalaman aku dan Mas Nata sama-sama menangis. Menangis dalam diam. Sebab, setelah keputusan perpisahan sudah diambil, Mas Nata tak lagi bicara denganku.Aku meringkuk di atas ranjang, menangis sepanjang malam. Sedangkan Mas Nata di sofa sama menangisnya.Sempat bertanya-tanya, apa yang membuat pria itu menangis. Perpisahan inikah? Atau apa? Ingin bertanya tapi keadaan sudah tak sama lagi.Pagi sekitar jam 5, Mas Nata mengantarku untuk kembali ke rumah orang tuaku. Si kembar dititipkan ke Anita—adiknya yang masih kuliah. Diantar sekolah dan dijemput olehnya lalu dipulangkan ke rumah Mama Sarah—orang tua Mas Nata.Iya, aku pergi dari rumah saat si kembar belum terbangun. Sengaja aku memintanya, sebab tak tahan untuk berpisah dari mereka dan menampakkan air mata kesedihan ini. Lalu menciptakan tanda tanya di pikiran k
"Kenapa kau harus kehilangan suami sebaik Nata, Nye?"Saat aku kembali masuk, Bapak dan Ibu menyidangku. Sedangkan Paman sudah pulang.Aku hanya menunduk dalam-dalam. Tak tahu mau jawab apa. Aku saja terpukul atas kehilangan Mas Nata."Katakan, Nye. Tidak mungkin suami sesempurna Nata akan menceraikanmu tanpa sebab. Dia pria cerdas dan sopan. Aku tahu pasti kamu yang berbuat kesalahan tidak mungkin dia. Katakan sekarang! Kesalahan apa yang kau perbuat hingga pria baik itu membuangmu?" Kali ini Ibu berdiri. Menatapku dengan deraian air mata.Sedangkan Bapak hanya diam saja. Namun aku tahu, diamnya Bapak bukan berarti ia tak marah. Oleh karena ia marah makanya diam."Anye, katakan!" bentak Ibu. Masih menanyaka kesalahanku.Keluargaku memang tak ada yang tahu, alasan kenapa aku bisa dinikahi pria yang banyak memiliki kelebihan seperti Mas Nata.Aku memang tak memberi tahu bahwa aku merebutnya dari Anes. Lalu dengan apa aku harus menjawab pertanyaan Ibu?Bilang kalau Mas Nata punya orang
"Kenapa Mas Nata peduli dengan luka ini?" tanyaku, sontak Mas Nata tercengang. Seolah menyadari sesuatu.Kenapa, Mas? Kenapa kau seolah peduli dengan luka di wajahku, namun tak peduli dengan luka yang di hatiku?"Mas khawatir?" tanyaku lagi."T-tidak. Maksudku iya.""Kenapa?" tanyaku lagi.Mas Nata tak segera menjawab, lalu selanjutnya menghela nafas. "Karena aku saja tak pernah menyentuhmu untuk menyakiti apalagi melukai. Makanya, meskipun aku sudah tak lagi bersamamu, aku tak terima," ucapnya sambil membuang pandangan ke arah lain.Aku tersenyum seraya menunduk. Ada rasa kecewa dengan jawabannya. Tadi sempat berpikir ia tak terima sebab sayang, tak tahunya hanya sebatas peduli tak lebih. Itu pun karena ia sendiri memang tak pernah menyakitiku. Secara fisik, tidak dengan batin.Ya, Mas Nata sudah menyakitiku dengan membuangku setelah bertemu kembali dengan Anes. Sekalipun aku salah, tetap saja aku merasa tersakiti di sini. Dibuang begitu saja.Aku segera menguasai keadaan. Tak ingin
Dua minggu dari perpisahanku dengan Mas Nata, akta cerai keluar. Air mataku menetes saat membacanya. Ternyata aku dan Mas Nata sudah benar-benar berpisah. Pilu hatiku menerima kenyataan ini."Semoga kau bahagia dengan cintamu, Mas …." Aku mengusap air mata tak ingin berlarut dalam kesedihan ini. Sebenarnya aku tak yakin, akan bisa hidup tenang setelah perpisahan ini. Sudah terbiasa hidup dengan Mas Nata dan keseharian juga kebiasaannya, kini aku seolah memulai hidup baru. Kulalui hari-hariku dengan penuh kepiluan, entah berapa lama aku akan menanggung duka nestapa ini. Kapan aku akan terbebas dari rasa kehilangan. Kehilangan Mas Nata, rasa kenyamanan yang kadang tak aku syukurin, sebab selalu merasa kekurangan. Menuntut agar pria itu seperti apa yang aku inginkan.Satu bulan terlewati, dua bahkan empat bulan sudah berlalu, namun duka yang kurasakan masih enggan enyah dari hati dan pikiran, Mas Nata beserta kenangannya masih lekat dalam ingatan.Bahkan cintaku pada pria penuh kelem
"Share Loc, Mas," kataku lirih dan dalam, menahan gejolak hati. "Baik." Setelah mengucapkan salam, panggilan pun terputus. Dan lokasih sudah Mas Nata kirim.Sebenarnya ragu juga tak yakin aku bisa kuat setelah bertemu dan melihat keberadaan Mas Nata dengan Anes. Tak dapat kujamin aku bisa menahan air mataku karena kecemburuanku nanti.Andai ini tak menyangkut tentang Wulan apalagi sakit, tentu aku tak akan datang. Anggap aku berkorban perasaan demi anakku.Aku pun menyuruh supir taksi memutar arah, menuju lokasi yang dikirim Mas Nata.Setelah hampir satu jam dalam perjalanan, aku tiba di hotel 'Merpati'. Hotel dekat bandara.Saat tiba di lobby hotel, aku menelpon Mas Nata, memintanya jemput untuk ke kamar di mana ada Wulan di sana.Aku meremas tanganku yang terasa dingin. Siap-siap bertemu Mas Nata dan istrinya. Dalam hati aku berdoa semoga nanti bisa kuat. Aku yakin aku bisa.Tinggal fokus saja ke Wulan, tanpa mempedulikan Mas Nata dan istrinya.Tak berapa lama kemudian, aku meliha
"Kamu suka hadiahku?" Usai sholat Maghrib, aku mendapat telepon dari Mas Nata. Tak segera kujawab pertanyaanya. Mendadak canggung, seperti malu gitu aku mau mengakuinya. Ya tentu aku suka dengan hadiahnya. Yang merupakan untuk pertama kali darinya."Itu hadiah pertama kalinya dariku." Meski pertanyaanya belum kujawab, ia kembali berucap."Namun bukan berarti untuk terakhir kalinya," lanjutnya lagi. Aku masih setia membungkam.Entahlah, lebih suka mendengarkan suaranya saja. Suara yang begitu aku rindukan di setiap waktu."Nanti aku akan sering memberimu hadiah lagi. Maaf ….""Untuk apa?" Kali ini aku bersuara. Sebab penasaran tiba-tiba Mas Nata bilang maaf padaku."Maaf aku baru tahu kalau kamu suka hadiah. Kupikir kamu lebih suka uangnya.""Tidak. Maksudnya … ya awalnya aku memang butuh uang. Namun bukan berarti—""Iya aku tahu kau mencintaiku." Mas Nata menyela, tentu membuatku malu mendengar kebenaran itu.Sesaat hening. Aku dan Mas Nata sama-sama terdiam."Sepertinya kita meman
"Minta tisu, Nye!" Aku yang termangu segera sadar ketika Mas Nata mengulurkan tangannya ke depanku."Ada, gak?" tanya Mas Nata dengan sebelah mata terpejam.Karena tak membawa tisu, aku memberikan saputangan. Yang langsung disambut oleh Mas Nata mengelap wajahnya."Eh, ini saputangan milikku, bukan?" Mas Nata menatap sapu tangan berwarna dongker yang memang miliknya. "Iya," jawabku pelan."Kok gak kamu kembalikan?" Mas Nata menatapku dengan mata memicing."Ya udah, itu sekalian aku kembalikan.""Gak usah, itu emang buat kamu, kok." Mas Nata langsung duduk begitu saja di kursi tepat depanku."Mas udah dari tadi di sini?" tanyaku langsung begitu Mas Nata sudah duduk."Iya, bahkan sebelum kalian datang.""Hah!" Aku melongo dengan mata beberapa kali berkedip."Kenapa?""Jadi—""Iya, aku melihat tingkah saltingmu saat baca chat aku."Aku segera memalingkan pandangan ke arah lain. Gak kuat menanggung rasa malu.Sesaat hening. Aku sok sibuk membenarkan jilbab yang diterpa angin sore."Kamu
Pagi ini aku sudah diperbolehkan pulang. Amir yang menjemputku.Wulan tak bisa datang, katanya pagi ini ia akan mendaftar sekolah di salah satu sekolah SMP top dan bermutu.Sedih sebenarnya, tapi tak apa. Toh habis ini aku akan sering bertemu dengan putriku itu. Mas Nata sendiri yang bilang.Selama dalam perjalanan pulang, dalam mobil aku terus kepikiran dengan kata-kata Mas Nata semalam yang mengatakan akan membuatku jadi lebih dekat dengan Wulan juga papanya. Itu artinya dirinya 'kan? Iya, aku yakin maksud kata-kata Mas Nata semalam itu adalah dirinya. Memang siapa lagi papanya Wulan. Atau … apa mungkin pria itu hanya bercanda. Secara Mas Nata sekarang agak berubah, dia bukan pria pendiam lagi yang dingin dan cuek. Semalam saat bersamaku meskipun hanya sebentar, dia banyak bicara bahkan bercanda juga.Sempat kaget dengan perubahan Mas Nata. Penasaran, kira-kira siapa yang membuatnya berubah? Adakah wanita lain yang membuatnya berubah. Sering kudengar, cinta akan membuat seseorang
Aku masih termangu di tempat, rintik hujan semakin deras turun. Begitu juga dengan air mata yang mengalir deras hanya saja tersamarkan air yang turun dari atas.Mas Nata membalikkan badan, mulai melangkahkan kakinya.Aku terpaku di tempat, seolah tak punya tenaga untuk bersuara atau mengejar langkah Mas Nata yang semakin menjauh.Saat kupaksakan kaki ini untuk bergerak untuk mengejar, tiba-tiba …."Awas … ada mobil!"Entah siapa yang berteriak, namun bersamaan dengan itu sesuatu yang keras menerjang tubuh hingga diri ini terpelanting ke aspal jalanan. Disusul dengan suara teriakan histeris dari orang banyak.Aku merasakan sakit di sekujur tubuh, dan dari kepala seperti ada cairan kental yang mengalir."Mama …!" Saat mata ini ingin terpejam, tiba-tiba mendengar suara yang begitu aku kenal. Sekuat tenaga kupaksakan mata ini terbuka.Samar-samar kulihat gadis kecil berjilbab mendekatiku. Setelahnya semuanya jadi gelap dan aku tak ingat apa-apalagi.***"Mama, ini Damar!" Sayup-sayup k
Lima tahun berlalu, dan luka juga rasa kehilangan itu masih ada di lubuk kalbu. Entah kapan bisa move on dari rasa kehilangan.Kegiatan sehari-hariku disibukkan dengan mengajar di beberapa universitas di samping menjaga toko kosmetik yang alhamdulillah semakin maju dengan pesat, bahkan aku harus menaruh beberapa karyawan di sana untuk membantu di kala sibuk.Setelah lulus S2 sebenarnya banyak perusahaan yang menawarkan pekerjaan, namun entah kenapa aku tak tertarik, lebih tertarik menjadi seorang dosen.Namun sesibuk apa diri ini, kadang masih meneteskan air mata saat teringat dengan orang-orang tercinta."Mbak semakin sibuk aja." Amir yang baru saja turun dari mobil menghampiriku di toko."Iya, Mir, biar sukses. Mbak udah kenyang dengan hinaan di masa lalu," candaku yang disambut gelak tawa oleh pria yang kini sudah bekerja di sebuah perusahaan besar dengan jabatan lumayan tinggi."Kamu juga gitu, Mir, kerja yang benar, biar nanti gak dipandang rendah sama wanita. Apalagi pas nikah d
"Pergilah, Nes. Aku tak lagi ingin melihatmu," kataku menatap Anes yang masih menangis.Perlahan aku berdiri tanpa mengusap air mata yang terus mengalir."Anye, aku—"Kata-kata Anes terhenti saat sebelah tangan kuangkat sebagai isyarat agar dia diam saja."Aku tak perlu permintaan maafmu saat ini. Jangan tanya bagaimana rasa benciku padamu sekarang. Tapi tetap aku memaafkanmu.""Anye—"Aku kembali mengangkat tangan menghentikan Anes yang hendak mendekatiku."Percuma, aku meluapkan amarah padamu. Toh aku sudah kehilangan segalanya." Kutarik nafas dalam-dalam. "Pergilah!" kataku tanpa melirik Aneska.Perlahan dan dengan kepala menunduk, wanita yang sudah menghancurkan hidupku itu melangkahkan kakinya."Ingat! Jangan pernah lagi muncul di hadapanku. Aku tak mau lagi hilang kontrol dan kembali memukulmu seperti tadi," kataku saat Anes sudah berada di belakangku.Sesaat hening, lalu … "Maafkan aku, Nye." Terdengar suara Anes bergetar sebelum kudengar langkanya pergi menjauh. Air mata kemb
Saat perjalanan pulang, aku terus kepikiran dengan cerita Anita. Selama menikah aku terus dihantui rasa bersalah karena memisahkan dua orang saling mencinta dan curiga tak pernah mendapatkan cinta dari suamiku, tak tahunya diam-diam dia mencintaiku bahkan sejak dulu.Sekarang aku juga tahu alasan kenapa Mas Nata juga keluarganya begitu menyayangi bahkan menganggapku sebagai pembawa berkah, jadi itu alasannya.Aku datang di waktu yang tepat dengan menawarkan diri menjadi pengantin pengganti Mas Nata. Dianggap sebagai penyelamat keluarganya dari rasa malu sebab undangan sudah tersebar.Benar, aku bukan pelakor. Oleh karenya aku dikarunia kebahagiaan dan dilimpahi rejeki yang baik. Sebab selama ini aku tak pernah merampas milik orang lain.Aku sukses karena hakku sendiri, hanya saja kesuksesanku hancur sebab aku yang terus merasa bersalah hingga memilih tuk mengalah.Karena melamun, tanpa kusadari sudah sampai rumah. Saat turun dari mobil, aku terkejut melihat wanita berjilbab duduk di
Aku terbangun saat merasak sentuhan di pipi. Ketika mata terbuka, orang yang pertama kali kulihat adalah Ibu."Syukurlah, Nye. Kau sudah sadar." Ibu tersenyum sambil meneteskan air matanya.Dahiku mengernyit. "Aku kenapa, Bu?" tanyaku tak mengerti apa yang sudah terjadi."Kamu pingsan, Mbak, di jalanan, untung ketemu aku. Kalau tidak mungkin Mbak masih tergeletak di sana." Amir yang baru masuk menimpali.Kupejamkan mata, berusaha mengingat apa yang sudah terjadi, tak butuh waktu lama aku sudah kembali merekam ingatan apa yang sudah terjadi dan kenapa aku bisa pingsang di jalan.Air mata menetes. Aku harap ini semua hanya mimpi. Saat terbangun aku menemukan orang-orang yang kucintai. Damar, Wulan … dan Mas Nata. Tapi semua hanya harapan semu. Ini bukan mimpi … saat aku terbangun aku sudah kehilangan semuanya.Keluarga kecilku, kini sudah jauh pergi. Kadang berpikir, dosa apa yang pernah aku lakukan, hingga Tuhan menjauhkan aku dari semua orang-orang tercinta dan tersayang.Mulai dari
Suasana jadi hening. Setelah jawaban Kak Bian yang mengatakan sebagai calon suamiku, semua jadi diam.Begitu juga dengan keluargaku, Ibu dan Amir yang mendukungku untuk menerima tawaran Kak Bian ikut bungkam. Begitu juga dengan Bapak yang tak tahu apa-apa."Jadi … Anye sudah mau nikah?"Deg. Pertanyaan Mama membuat detak jantungku berdegup lebih kencang.Aku bungkam seribu bahasa, tak tahu mau jawab apa. Fatalnya aku sudah terlanjur menerima tawaran Kak Abian untuk menikah dengannya.Tak ingin terjebak dengan suasana yang menegangkan seperti ini, tanpa menjawab pertanyaan Mama, aku segera menarik lengan Kak Abian untuk ikut pergi denganku."Kak, anakku sekarang lagi sakit," kataku saat sudah berada di tempat yang tak begitu ramai."Apa? Jadi anak kamu yang sakit?" Kak Bian tampak terkejut. "Aku pikir kamu, Nye," lanjutnya.Aku menggeleng lalu menceritakan semuanya, kalau Damar anakku kecelakaan jatuh dari tangga."Lalu bagaimana sekarang keadaannya?" tanyanya dengan raut khawatir."E