Pelakor Itu TantekuPOV Tante Lili"Mendingan Tante pergi dari sini! Aku tidak ingin Sifa lebih sakit hati lagi padaku," terang Pram yang tiba-tiba menyeret tanganku keluar dari kamar."Bukannya bagus, karena akhirnya Sifa mengetahui. Pram ... Pram, sudahlah, berhenti jadi orang munafik!" Ku'tatap wajahnya yang terlihat begitu marah padaku. "Aku tidak pernah menginginkan semua ini, dan Tante tahu itu. Aku hanya mencintai Sifa.""Kamu pikir, aku akan berhenti sampai di sini, Pram? Tidak. Aku tidak akan berhenti sampai di sini. Dan aku tidak akan pernah keluar dari rumah ini. Atau ... aku akan bilang sama orang tuanya Sifa kalau kamu mencintaiku," tegasku untuk mengancamnya."Lagi-lagi Tante mengancamku. Mau Tante apa?" Pertanyaan yang dari tadi aku tunggu, Pram. Dengan kamu bertanya seperti itu, aku bisa meminta apapun darimu."Simple. Aku menginginkan kamu, Pram.""Jangan gila, Tan. Aku tidak mencintai Tante sama sekali. Sekarang lebih baik Tante segera angkat kaki dari rumah ini!"
Pelakor Itu Tanteku"Fa ...." Suara Ibu mengagetkan lamunanku."I - iya, Bu. Kenapa?""Kenapa? Kamu yang kenapa, Fa?""Si - Sifa tidak apa-apa, Bu," jawabku dengan senyum yang dipaksakan."Cerita sama Ibu kalau memang ada yang mengganjal pikiranmu, Fa! Jangan dipendam!"Sebenarnya Sifa juga ingin cerita. Sifa ingin mengungkapkan semua apa yang Sifa rasakan. Masalah rumah tangga Sifa dengan Mas Pram jadi bermasalah karena Tante Lili--adik kesayangan Ibu.Tapi, Sifa pikir, bukan waktu yang tepat menceritakannya sekarang. Ayah sedang sakit, Sifa tidak ingin menambah beban pikiran Ibu. Sifa takut, Ibu akan ikutan sakit setelah mendengar semuanya."Fa ....""Si ... Sifa baik-baik saja, kok, Bu. Mungkin karena sedikit lelah," jelasku agar Ibu tenang."Ya sudah, kamu istirahat saja! Sepertinya Fadil juga sudah di kamar bersama papanya."Sebenarnya aku masih tidak ingin satu kamar dengan Mas Pram. Tapi apa boleh buat, tidak mungkin aku tidur pisah ranjang di sini.""Kenapa lagi, Fa? Malah me
Pelakor Itu TantekuTante Lili memasukkan barang-barangnya ke dalam kamar. Kamar yang berbatasan tembok dengan kamarku. Hal ini pasti akan dimanfaatkan Tante Lili karena akan lebih mudah mendekati Mas Pram.Sepertinya Tante Lili memang tidak main-main dengan niatnya merusak tanggaku. Tidak ada penyesalan yang terlihat sedikitpun darinya."Li ... ayo kita sarapan bareng," ajak ibu.Tante Lili keluar dengan pakaian sangat seksi. Sepertinya dia memang sengaja ganti pakaian seperti itu untuk menarik perhatian Mas Pram. Cara yang dulu pernah dia lakukan saat masih satu rumah dengan kami.Tante Lili berjalan menuju kursi yang dekat dengan Mas Pram. Sedangkan aku di samping Ibu, dan Fadil di tengah."Tante duduk di sini saja, aku yang pindah dekat Mas Pram. Biar Tante dekat sama Ibu. Sepertinya Ibu kangen banget sama Tante," ucapku mencegah Tante Lili dekat-dekat dengan Mas Pram.Tidak akan kubiarkan ada celah sedikitpun untuk Tante mendekati suamiku. Apalagi di rumah ini.Aku pun segera pin
Pelakor Itu TantekuAku keluar dari kamar dengan perasaan bersalahku sebagai seorang istri. Hanya sebuah kata 'seandainya' yang terpikir di kepalaku. Ya, seandainya kamu tidak melakukan perbuatan itu, tidak mungkin sikapku akan berubah seperti sekarang ini, Mas. Seandainya Tante Lili tidak tinggal di rumah kita, pasti rumah tangga yang telah kita bina selama lima tahun masih baik-baik saja. Tetapi, kata 'seandainya' tidak bisa merubah semua yang telah terjadi. Sepertinya Mas Pram juga masih menyembunyikan banyak hal dariku."Sudahlah, Fa, tidak usah kamu paksakan hubunganmu dengan Pram! Aku yakin, hubungan kalian sudah hambar," ucap Tante Lili yang muncul di hadapanku.Seketika aku langsung menarik tangan Tante Lili dengan kasar."Tante pikir, Sifa akan akan diam dengan perbuatan Tante? Sifa masih baik hati belum menceritakan pada Ayah dan Ibu tentang perbuatan Tante yang memalukan itu.""Kenapa tidak kamu ceritakan saja?" jawabnya menantang.Entah setan apa yang sudah merasuki Tant
Pelakor Itu TantekuSetelah terbangun aku tidak bisa memejamkan mata lagi. Ingin sekali membangunkan Mas Pram untuk menanyakan hal ini. Tapi Mas Pram tidur begitu pulas. Aku harus menunggu sampai subuh, dan itu masih beberapa jam lagi.Aku duduk termenung. Seakan masih tidak percaya kalau perempuan yang tak lain tanteku sendiri tega berbuat seperti ini padaku.Aku pikir setelah Tante Lili pergi dari rumah kami, dia akan berhenti mendekati Mas Pram. Tapi ternyata tidak, justru dia semakin berani memperlihatkan padaku.Menghela napas panjang dan berharap semua ini akan segera berakhir. Ingin sekali aku memberi pelajaran pada Tante yang tidak tahu diri itu.Tanpa sadar aku meremas selimut yang dipakai Mas Pram dengan begitu kesal."Tante Lili sudah keterlaluan, sangat keterlaluan," ucapku penuh amarah."Sayang, kamu tidak tidur?" tanya Mas Pram yang tiba-tiba terbangun.Aku pun langsung menoleh ke arahnya."Apa aku sudah mengganggu tidurmu, Mas?""Tidak, Sayang," jawab Mas Pram sembari b
Pelakor Itu TantekuAku melepas dengan kasar genggaman tanganku dari baju Tante Lili, lalu mengejar Ibu yang baru beberapa langkah meninggalkan kami."Bu, Sifa bisa jelaskan. Sifa benar-benar minta maaf." terangku dengan langsung memeluk tubuh Ibu dan menghentikan langkah beliau.Ibu hanya berdiam diri tanpa membalas pelukanku yang semakin erat. Aku tahu apa yang Ibu rasakan. Aku mengerti kenapa sikap Ibu seperti ini."Sebenarnya apa yang telah terjadi antara kamu dan Tante Lili? Kenapa sikapmu sampai kasar padanya? Itu bukan Sifa yang Ibu kenal."Aku melepas pelukan dan menatap wajah Ibu dengan air mata yang berderai."Apa Ibu yakin ingin mengetahui semua ini?"Ibu mengusap air mataku dengan penuh kelembutan. Meski beliau tidak menjawab apa-apa, tapi sorot mata beliau mengharapkan kejujuran dariku.Aku menuntun Ibu ke kamar Tante Lili. Di sana masih terlihat ketegangan dan kecemasan dari raut wajah Mas Pram dan juga tanteku. Aku menatap Mas Pram dengan rasa pilu. Sedikit gelengan ke
Pelakor Itu TantekuPagi ini tidak seperti kemarin, di mana kumpul bersama orang tua sangat mendamaikan jiwa. Semua berubah setelah kejadian tadi malam.Ibu yang biasa kulihat dengan senyum ramahnya, kini hanya diam. Bahkan bicara sepatah katapun tidak.Raut wajah yang menyimpan kepedihan dan rasa kecewa terlihat begitu jelas.Mungkin semua ini memang berat untuk Ibu, sama seperti yang kurasakan saat mengetahui perbuatan Mas Pram dan Tante Lili di belakangku.Aku juga merasa sedih, marah, dan kecewa. Bahkan untuk bertahan dengan keadaan seperti ini tidaklah mudah. Aku bergegas masuk ke kamar dan mengemasi semua barang-barang. Sebenarnya aku masih ingin di sini, tapi aku tidak sanggup melihat kesedihan Ibu. Aku tidak bisa. Mungkin dengan kami pulang, hati Ibu akan lebih tenang."Sayang, kenapa mengemasi barang-barang? Kamu ingin pulang sekarang?""Iya, Mas. Aku tidak bisa melihat Ibu sedih seperti itu. Mungkin Ibu akan lebih tenang kalau kita pulang. Karena beliau pasti butuh ketenang
Pelakor Itu Tanteku[Sifa tidak akan pernah bercerai dengan Mas Pram. Karena Sifa akan tetap mempertahankannya.]Pasti Tante Lili sengaja menerorku seperti ini. Berbagai cara dia lakukan untuk merebut Mas Pram dariku. Keterlaluan sekali perempuan itu.[Kamu akan menyesal kalau masih kekeh ingin mempertahankan Pram.]Aku mencoba menelepon Tante Lili, tapi tidak diangkat. Beberapa kali mencobanya masih tetap diabaikan. Sungguh membuatku kesal.[Tidak akan pernah ada penyesalan bagi seorang istri yang mempertahankan suaminya dari pelakor.]Kenapa Tante Lili membuat hidupku jadi tidak tenang. Aku tidak bisa memungkiri rasa takutku ini. Keinginan Tante Lili untuk memiliki Mas Pram tidak main-main."Pesan dari siapa, Sayang?" tanya Mas Pram terlihat penasaran karena dari tadi jemariku sibuk menari di layar ponsel. Dari perempuan yang kamu tanggapi rayuannya. Dia benar-benar sudah sakit jiwa."Mas Pram hanya terdiam, dia langsung paham atas ucapanku. Sepertinya aku yang harus menutup celah
Pelakor Itu TantekuSatu bulan setelah kepulangan Tante Lili di rumah Ayah dan Ibu. Keadaannya masih tetap sama. Tante Lili hanya bisa berbaring. Dan semua aktivitasnya harus dibantu. Hari ini, aku dan Mas Pram berencana untuk menengok Tante Lili. Dan membujuk dia agar mau dibawa ke rumah sakit._"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Kalian sudah datang. Ayo masuk! Ibumu sedang di kamar Lili," terang Ayah dengan menyambut kedatangan kami.Aku dan Mas Pram langsung menuju kamar Tante Lili. Sedangkan Fadil, dia bersama Mbak Tutik bermain di halaman. Kami memang sengaja mengajak Mbak Tutik agar aku bisa membantu Ibu mengurus Tante Lili selama di sini. Dan kami akan menginap untuk beberapa hari."Assala'mualaikum.""Wa'alaikumsalam. Pram, Fa," sapa ibu yang duduk di samping Tante Lili.Tante Lili hanya bisa menatap kami. Dia memang mulai sulit untuk berbicara. Dan lebih merespon dengan tatapannya. Sungguh tidak tega melihat keadaannya yang semakin hari semakin parah.Sudah berkali-kali
Pelakor Itu TantekuAku dan Mas Pram sudah sepakat untuk memberitahu Ayah dan Ibu tentang keadaan Tante Lili saat ini.Kami memutuskan untuk pulang ke rumah Ayah dan Ibu. Karena tidak mungkin, kami mengabari hal ini hanya lewat telepon."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Sifa, Pram, kalian datang ke sini kok tidak memberi kabar dulu." Ibu terlihat sedikit kaget dengan kedatangan kami yang tiba-tiba. "Ayo, masuk!" ajak ibu dengan mengambil Fadil dari gendongan Mas Pram.Kami langsung duduk di ruang depan."Ibu tinggal sebentar, ambil minum dan kue. Kebetulan Ibu habis bikin kue kesukaanmu, Fa. Pas sekali kalian datang ke sini.""Ti - tidak usah, Bu. Ayah mana, ya? Sifa mau bicara sama Ayah dan Ibu." "Iya, tapi kalian kan habis perjalanan lumayan jauh. Istirahat dulu, nyantai-nyantai, baru kita bicara. Memangnya mau bicara soal apa, Fa? kamu terlihat serius banget.""Soal Tan - Tante Lili, Bu."Kini pandangan Ibu langsung tertuju ke arahku dengan tatapan yang dalam."Lili lagi. Apal
Pelakor Itu Tanteku"Apa, Bu? Tante Lili kabur?"Baru semalam kulewati kebahagiaan bersama Mas Pram. Sekarang pikiranku sudah mulai cemas dan tidak tenang. Ibu memberi kabar, kalau Tante Lili kabur dari rumah. "Kenapa, Fa?" tanya bapak mertua dengan wajah yang penasaran."Kenapa, Sayang? Siapa yang kabur?""Tan - Tante Lili, kabur." "Fa, Ibu minta maaf, karena tidak bisa menjaga tantemu. Ibu sudah kunci kamarnya, tapi dia izin mau ke belakang. Dia pergi tanpa membawa pakaiannya."Tidak bisa dipungkiri, kalau aku merasa takut. Takut kalau Tante Lili akan datang untuk merusak rumah tanggaku bersama Mas Pram, lagi."Bu - bukan salah Ibu. Tapi, memang Tante Lili yang sudah kelewatan. Apa mungkin dia akan ke kota ini lagi, Bu?""Ibu juga tidak tahu, Fa. Kemarin, dia memang keberatan Ibu ajak pulang. Ibu suruh dia resign dari tempat kerjanya. Tapi, dia menolak."Apa sebenarnya rencana Tante Lili sekarang?"Kamu simpan baik-baik surat perjanjian waktu itu, Fa! Kalau Lili macam-macam lagi,
Pelakor Itu Tanteku"Kalau berkenan, Mas Pram bisa dibawa pada Ustadz Faiz. In Syaa Allah, beliau bisa menangani keadaan Mas Pram saat ini," terang Pak Burhan selesai menandatangani surat perjanjian. Beliau menjadi salah satu saksi dalam surat perjanjian tersebut. Pak Burhan adalah RT di tempat tinggal Panji. Dan saran dari Pak Burhan disetujui semua pihak keluarga. Mereka yakin kalau Pak Burhan tidak mungkin berbohong atau punya niat tidak baik pada kami.Akhirnya, Pak Burhan langsung mengantar kami ke tempat Ustadz Faiz. Sedangkan Tante Lili, dia tidak dilepaskan begitu saja. Ayah dan Ibu akan membawanya pulang ke rumah. Mereka tidak mengizinkan Tante Lili tinggal satu kota denganku dan Mas Pram, lagi. Sesampainya di rumah Ustadz Faiz, aku terdiam sejenak. Pak Burhan dan semua keluarga nemandangku. Sepertinya mereka paham dengan sikapku itu. "Mari!" ajak Pak Burhan pada kami. "Assalamu'alaikum, Ustadz.""Wa'alaikumsalam," jawab ustadz dengan sikap yang begitu ramah. Aku berdiri
Pelakor Itu Tanteku"Jangan, Mbak! Jangan bawa Lili ke pihak berwajib. Lili ngga mau di penjara. Lili mohon, Mbak! Lili minta maaf!" Kata-kata yang terus terucap dari mulut Tante Lili.Hal yang tidak pernah terbayangkan sedikitpun, kalau hubungan Tante Lili dengan kami akan seperti ini.Tangan Ibu terus menyeretnya. Dan Tante Lili tetap berusaha berontak. Ibu langsung menghentikan langkahnya. Dengan mata berkaca-kaca, Ibu menatap Tante Lili begitu tajam. "Minta maaf? Kamu bilang minta maaf? Kamu tahu, berapa banyak hati yang tersakiti karena ulahmu? Terutama Sifa, keponakanmu sendiri."Aku memang belum banyak bicara, karena masih syok dengan apa yang kulihat tadi. Bahkan, degupan jantung yang kencang masih begitu terasa. "Ini soal hati, Mbak. Aku sendiri juga tidak tahu, kenapa bisa mencintai, Pram. Kenapa harus aku yang disalahkan atas semua ini. Tidak adil. Benar-benar tidak adil."PLAKKKKJawaban itu, membuatku mendaratkan sebuah tamparan untuk kesekian kalinya pada Tante Lili.
Pelakor Itu Tanteku"Sudah pindah? Mak - maksud Bapak bagaimana, ya?" tanyaku pada seorang Bapak yang mengaku pemilik rumah yang di tempati pamannya Panji."Iya Mbak, mereka cuma nempatin rumah ini untuk satu bulan saja, tapi belum ada seminggu mereka sudah mengosongkan rumah ini. Kelihatannya mereka buru-buru."Tubuhku rasanya begitu lemas. Entah apa maksud dengan semua ini. Aku takut. Benar-benar takut."Ba - Bapak tahu dengan Ustadz yang menempati rumah ini?""Ustadz, Mbak? Saya malah tidak tahu kalau ada Ustadz. Saya permisi dulu, Mbak."Aku langsung berlari menuju mobil, di mana semua keluarga ada di dalam."Kenapa, Fa? Kenapa kamu terlihat bingung seperti itu?" tanya ayah dengan wajah penasaran."Sifa harus segera telepon Panji, Yah."Dadaku terasa bergemuruh dengan begitu banyak pertanyaan yang bergelayut dalam pikiran.Aku harus segera menelepon Panji. Apa maksud dari semua ini? Dengan cepat kutekan nama Panji dalam ponselku. "Panji, kamu di mana sekarang?" tanyaku tanpa mem
Pelakor Itu TantekuSedikitpun tak kualihkan pandangan ini dari Panji. Aku merasa ada yang aneh dari sikapnya, apalagi setelah mendengar dia menyebut tanteku dengan sebutan 'Lili' seakan-akan begitu akrab. "Ngga enak banget lho, diliatin sampai segitunya," ucap Panji dengan memberi senyum tipis."Kamu sedang tidak menyembunyikan sesuatu dariku 'kan?" tanyaku tanpa basa-basi.Panji terdiam sejenak."Maksudmu aku berbohong?""Aku ngga bilang kamu berbohong. Memangnya kamu sedang berbohong?" Kuputar balik ucapan dari Panji.Suasana jadi terasa tegang dan kaku. "Ini sudah sampai pertigaan lho, Fa. Masa iya, kamu mau ngeliatin aku terus seperti itu?" terangnya dengan mengalihkan pertanyaan.Ekhem ... seketika pandangan kualihkan ke depan. "Kita berhenti di depan Coffee Shop."Hmhh ... sudahlah, lebih baik aku fokus soal Tante Lili dulu. Sudah terlalu banyak masalah yang aku hadapi saat ini."Makasih. Aku turun dulu, Nji."Aku langsung turun menuju Coffee Shop tempat ketemuan dengan Tant
Pelakor Itu TantekuPagi yang seharusnya menjadi pagi paling membahagiakan. Di mana semua keluarga berkumpul. Tetapi hal itu tidak kurasakan, karena Mas Pram tidak ada di tengah-tengah kami."Fa. Mendingan kamu berangkat ke toko saja, daripada banyak pikiran di rumah! Lagian Fadil banyak yang jagain. Kamu bisa fokus dengan kerjaan di toko," ucap Mbak Indah yang mendekatiku di ruang depan."Ngga tahu lah, Mbak. Pikiranku masih fokus dengan Mas Pram.""Pram 'kan sudah ditangani sama Ustadz, kamu tenang, Fa!"Harusnya aku memang tenang, tapi entah kenapa perasaanku masih saja cemas. Apa mungkin karena aku tidak terbiasa tanpa Mas Pram? Hmhh ....Ada baiknya kalau aku berangkat ke toko saja. Daripada kepikiran Mas Pram terus di rumah. "Mbak, Sifa siap-siap dulu, ya. Mau ke toko.""Nah, gitu, Fa. Semangat!"Aku pun berlalu meninggalkan Mbak Indah sendirian dan masuk ke kamar untuk ganti baju serta menyiapkan semua yang harus dibawa. "Semuanya, Sifa pamit ke toko dulu, ya. Sifa titip Fadi
Pelakor Itu TantekuPOV PanjiPerempuan itu memang tidak bisa kulupakan. Meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Dan sekalinya bertemu lagi, ternyata dia sudah menikah dengan teman kuliahku, Pram.Dari awal tidak ada niat sedikitpun untuk merebut dia dari temanku sendiri. Namun sebuah kesempatan membuat diriku tidak ingin menyia-nyiakannya.Aku memang pernah suka dengannya, sebuah rasa yang tumbuh ketika kita masih ABG. Kalaupun cinta, bisa disebut hanya cinta monyet. Berkali-kali aku mengirim surat padanya, tapi tak ada satupun yang dibalas. Dia memang salah satu primadona di SMP kami. Tetapi perasaanku dulu padanya masih tetap ada.Sifa, perempuan yang bisa menarik hati setiap lelaki yang memandangnya. Dia memang perempuan yang sederhana, tidak neko-neko seperti perempuan kebanyakan. Dan dari dulu tidak berubah. Dengan kesederhanaannya saja, dia terlihat begitu menarik dan anggun. Pria manapun tidak mungkin bisa menolaknya.***"Eh ... ngapain, Mbak, mengendap-endap di depan rumah