Bab 97. Telepon Makian Dari Istri Abang Ipar
“Sudahlah! Sekarang kita pergi saja dair sini! Kasihan Melur, dia butuh ketenangan, kita tak pantas mengganggu hidupnya terus menerus. Ayo, Jar, Bulan! Kita pergi!” Papa memutar rodanya dengan sebelah tangan. Amat sulit bergerak kursi itu dengan bobot tubuhnya di atas.
Sumpah pertahaan di mataku hampir jebol. Aku ingin menangis menyaksikan penderitaan Papa. Lelaki yang sudah kuanggap Ayah kandung. Dia baik, sangat baik. Hatinya teramat mulia. Memang pernah dia membuatku kecewa, karena dia menyuruh Mas Gilang menikahi Harum. Tapi, itu dilakukannya karena Harum bilang dia hamil. Papa mertuaku pasti tidak tega karena pada Harum yang terlunta-lunta, seperti pengaduan Mas Gilang.
Bagaimana dengan mama mertuaku, awalnya dia begitu baik. Dia bahkan sangat menyayangiku melebihi apapun. Kenapa dia bisa berubah jahat? Semua karena Mas Gilang. Mama mertua baik padaku, a
Bab 98. Mas Gilang Dan Mama Sangat Percaya Kalau Harum HamilAku melongo, Mas Fajar terlihat semakin tegang. Tiba-tiba ibunya merebut ponsel dari tanganku.“Heh! Menantu kurang ajar! Dengar, ya! Aku juga tidak sudi tinggal di rumahmu! Dari awal kau menikah dengan anakku, pernah rupanya aku menginjakkan kaki di rumahmu, ha? Enggak pernah, kan? Jijik aku serumah denganmu! Ingat itu, ya! kalau hartaku habis dibuat anakku si Gilang, itu bukan urusanmu! Harta itu hartaku, dihabiskan anakku, apa urusanmu? Kok, kau yang stress. Aku aja ibunya biasa aja! Yang penting anakku senang! Kau mau apa lagi rupanya? Fajar itu PNS, seumur hidupnya sudah punya gaji tetap. Pemerintah udah menjamin hidupnya. Kurang apa lagi, kau, Ha? Dasar rakus!”“Oh, jadi kalau Mas Fajar PNS, dia enggak kebagian harta lagi, begitu? Baik, mana mas Fajar! Aku mau bicara sama dia sekarang!” sahut Kak Tati semakin emosi.
Bab 99. Mantan Mama Mertua Meradang“Maaf, Mas Fajar, bukannya ngusir, tapi sumpah, aku enggak mau Mas Gilang datang ke sini. Ibu juga enggak sudi kalau Mas Gilang menginjakkan kaki di rumah ini. Jadi sebaiknya kalian pergi dari sini sekarang juga. Ini ada uang, bagian Mas Gilang sesuai dengan keputusan sidang. Mudah-mudahan bisa digunakan untuk biaya hidup Mama dan Papa juga ngontrak rumah,” kataku sembari meletakkan amplop berisi uang di tangan Mas Fajar.“Heh! Sombong benar! Ayo, kita pergi! Aku juga enggak sudi lama-lama di rumahmu ini! Rumah ngontrak aja, sombong! Ngaku-ngaku rumah pacar! Enggak usah mimpi, cuma si Gilang, dulu yang mau menerima kau sebagai istri meskipun kau orang kampung dan miskin! Gak sadar diri! Udah di tolong malah mentung! Bilang aja kau mau nguasai mobil itu, kan? Ambil! Untukmu satu! Hitung-hitung sedekah kami buatmu! Kau, kan anak yatim? Pengen punya mobil, iya, kan?” 
Bab 100. Bertemu Mantan Mertua Di Panti JompoAku bukan perempuan ganjen, yang tebar-tebar pesona pada lelaki lain, padahal baru saja bercerai. Aku juga bukan janda gatal yang merindukan belaian laki-laki. Aku mencintai Mas Reno jauh sebelum aku mengenal Mas Gilang. Cinta ini sudah lama tumbuh di hati. Saat aku tahu, kalau Mas Gilanglah yang telah merusaknya, kami ingin membenahinya lagi. Salahkah? Apakah salah jika aku merajut lagi benang cinta yang pernah kusut dulu? Apakah akau tidak boleh mewujudkan impian, meraih kebahagiaanku sendiri? Salahkah?“Mel! Temani ibu keluar sebentar, yuk!”Ibu membuyarkan lamunanku. Segera kuseka butiran bening di sudut mata.“Kau kenapa? Nangis?” tanya Ibu meneliti wajahku.“Ti … tidak. Aku hanya kelilipan,” sahutku berdusta.“Oh, ki
Bab 101. Ternyata Ibu Masih DendamAndai aku berani menentang keputusan ibu, pasti sudah kubawa mereka kedua mantan metuaku itu ke rumahku. Aku akan merawat mereka semampuku. Dengan tanganku. Terserah kalau orang akan menganggap aku bodoh. Aku tidak akan perduli.Aku sayang pada Papa. Sungguh, aku sayang padanya seperti Ayahku sendiri. Kalau Mama, aku memang sangat kecewa padanya, tapi melihat keadaan mereka seperti ini? Aku tidak tega.Ibu pasti tidak akan setuju kalau aku membawa mereka ke rumahku. Ibu memang selalu lebih realistis dan lebih tegas dari pada aku. Dia sanggup berpikir jernih, apalagi kalau itu menyangkut harga diri. Beda dengan aku, aku lebih mengutamakan perasaan saat ini, tanpa memikirkan dampaknya nanti apalagi esok. Ibu bilang aku bodoh. Mala bilang aku naif. Tidak ada yang bilang aku baik.“Enggak mau!” teriak wanita itu membuyarkan lamu
Bab 102. Kutolak Lelaki Pilihan Ibu“Fajar dan Bulan pasti akan mengeluarkan kami dari sini, kok, Mel,” sahut Mama tetap berusaha menghibur diri.“Iya, Ma. Pasti, dong! Tapi, siapa tahu mereka masih sibuk, sementara kalian di sini aja dulu. Mama dan Papa harus patuh kepada petugas! Harus banyak makan! Supaya kuat saat dijemput nanti, ya!”“Kau serius akan sering datang ke sini?” Mama menatapku memelas. Kini kutahu, dia sudah yakin, kalau anak-anaknya tidak bakal datang menjemputnya.“Janji, aku janji. Asal Mama mau patuh dan mau makan!” tegasku.“Fajar dan Bulan tidak akan datang, Mel. Mereka bohong!” lirihnya kembali berurai air mata.“Heh, anak kebanggaan situ udah membuang orang tuanya sendiri. Dulu juga hanya Melur yang peduli sama kalian, eh …! Melur malah kalian sia-siakan! S
Bab 103. Permintaan Harum (21+)POV Gilang***Sial benar hidupku ini. Entah sampai kapan aku hidup terlunta-lunta seperti ini? Malam hari memang masih berani aku berkeliaran, tapi siang hari aku tak berani muncul di tempat umum. Orang suruhan Fika sepertinya belum berhenti mencariku.Uang bagianku yang diberikan Melur tinggal beberapa lembar puluhan ribu. Karena sudah habis untuk biaya berobat Mama. Paling cukup untuk makan sehari lagi. Besok aku harus mulai mencari kerjaan, kalau tidak, kami enggak akan bisa makan. Kalau aku mungkin masih bisa menahan lapar, tapi Harum, dengan kondisi hamil seperti itu, mana tega aku kalau dia kelaparan. Kasihan anakku yang ada diperutnya itu.Hasil penjualan mobilku juga sudah habis kandas, untuk bayar hutang sama teman-teman dan biaya membebaskan Harum.Kutatap lembut kekasihku, mulutnya sibuk menguyah jajanan kuaci yang dibelinya di warung de
Bab 104. Harum Ditawar Jadi WTSKupeluk erat wanita yang kelehanan itu. Kuseka peluh di leher jenjangnya.“Mas, kamu kan masih punya tanah, bekas rumah yang terbakar itu? Kenapa enggak dijual aja, sih? Duitnya bisa buat ngontrak rumah yang besar dan buka usaha.”Si*l! Setelah aku memuaskan diapun, kembali hal itu yang dia bahas.“Enggak bisa, Rum. Mas Fajar udah mengambil alih bekas rumah itu. Surat-suratnya dia bawa semua,” sahutku sedikit kesal.“Minta, dong! Kasi alasan apa, kek!”“Untuk saat ini, belum bisa. Aku telah menghabiskan semua harta Papa. Yang tersisa cuma itu aja. Kalau dijual, takutnya seperti menjual mobil waktu itu, enggak sampai sebulan uangnya habis. Sekarang enggak punya apa-apa lagi.”“Itu karena utang Mas Gilang terlalu
Bab 105. Bekas Bercinta Di Leher HarumIngatan, yah, hanya ingatan yang bisa kugunakan saat ini. Aku harus berusaha mengingat-ngingat apa yang telah terjadi. Alex, wajah laki-laki sangar itulah yang pertama sekali muncul di benak. Teringat saat dia menawar istriku seharga satu juta. Oh, bukankah aku menghajarnya? Bukankah aku menerjang tubuhnya hingga tercampak memeluk kaki meja? Bukankah aku meninju rahangnya hingga dia mengaduh kesakitan?Kenapa sekarang aku di sini? Di mana ini?Kupaksa mata terbuka, sangat berat dan perih. Kuraba kelopaknya, terasa bengkak. Ya, tuhan! Aku baru ingat. Anak buah Alex tiba-tiba datang dan mengeroyok aku. Alex …! Kau pengecut! Beraninya main keroyok!“Hey, ada mayat … ada mayat …!” Terdengar teriakan seseorang.Syukurlah, akhirnya ada juga yang melihatku. Tak m
Bab 150. Ekstra Part 5 (Pernikahan Mala Dan Diky)"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu.
Bab 149. Balasan Kejam Buat sang Durjana ( Ekstra Part Akhir) VOP Fika Aku memang sudah berumur. Sudah hampir kepala empat. Hingga detik ini tak juga menikah, karena memang tak mau menikah Keputusanku tak mau menikah bukan karena apa-apa. Rasa kecewa karena pernah bertepuk sebelah tangan, membuatku tak mau membuka pintu hati pada siapa pun lagi. lebih baik hidup sendiri dari pada kecewa lagi. Fajar, pemuda yang telah mencuri hatiku. Sayang, dia tidak ada rasa sedikitpun untuk menerima kehadiranku. Cintaku tak berbalas. Cinta bertepuk sebelah tangan. Tetapi, aku tidak pernah membencinya. Saat dia memilih wanita lain sebagai pendamping hidupnya, aku turut berbahagia. Meski sakit, aku harus tetap waras. Fajar tidak bersalah. Wanita pilihannya juga tidak salah. Yang bersalah itu adalah aku.&nbs
Bab 148. Ekstra Part 4 VOP Gilang "Selamat menghirup udara bebas! Selamat datang kembali di dunia yang penuh sandiwara ini!" Aku terperangah. Seorang wanita tinggi semampai berkacamata hitam, menegurku. Aku tidak dapat mengenalinya. Lama kupindai wajah dan penampilannya. Rambut sebahu hitam legam, badan padat berisi, dan suara yang tegas penuh wibawa. "Selamat menjalani babak kedua dalam hidupmu?" ucapnya lagi. Jemari dengan berkutek merah terang itu memegang bingkai kacamata, lalu menanggalkannya perlahan. "Fika ...!" gumamku terkejut. Pengacara wanita yang telah membuat sang Hakim mengetuk palu, memutuskan hukuman penjara buatku. "Enggak ada yang jemput, ya? Kasihan banget kamu. Mana keluargamu?" Aku hanya m
Bab 147. Ekstra Part 3 “Oh, iya, sabar, ya, Bu. Sebentar saja, kok! Enggak lama. Mereka pelanggan tetap saya. Harus ekstra pelayanannya. Memang Ibu yang duduk duluan di sini, tapi, mereka yang memesan duluan.” Penjual es itu, tak menghiraukanku. “Saya duluan! Saya dari tadi di sini! Mentang-mentang mereka orang kaya, saya orang miskin, saya enggak dilayani, begitu? Saya bisa obrak abrik warung jelekmu ini tau?” teriakku mulai emosi. “Lho dari tadi ibu enggak minta, mereka pesan, baru ibu minta, sabar, dong!” Penjual es tak juga memenuhi permintaanku. “Pokoknya layani saya dulu! Saya sudah tidak sabar! Biar jadi pelajaran buatmu! Jangan pilih kasih sama pembeli, ya!” “Ya, sudah, ibu ambil yang sudah dibungkus itu, dulu, enggak apa-apa, saya akan ganti nanti buat mereka, tanggung ini, dua bungkus lagi!” “Saya e
Bab 146. Ekstra Part 2 Secara rutin aku memeriksakan diri ke dokter. Namun penyakitku tak juga kunjung sembuh. Awalnya tak menunjukkan gejala apa-apa. Tetapi setelah beberapa tahun kemudia, infeksi itu sudar menyerang bagian dalam tubuh. Mulai dari uterus, bahkan alat kelamin itu sendiri. Melihat kondisiku, tak ada lagi lelaki hidung belang yang mau menggunakan jasaku. Mereka merasa jijik dan takut tertular. Padahal aku tak pernah mengatakan tentang penyakitku. Aku hanya deman biasa, begitu alasanku. Tapi, melihat kodisi tubuhku yang kian kurus tinggal tulang, juga lemah tak bertenaga, mereka semakin curiga. Bokong dan dada besarku yang sangat terkenal di kalangan lelaki durjana itu, mulai menipis. Hilang sudah andalanku dalam menjerat mangsa. Aku menganggur. Makan tidur menjadi tanggunagn Bang Jordan. Dia mulai marah karena mengaggap aku tak lagi meguntungka
Bab 145.Ekstra Part 1 VOP Harum Kehancuran Kak Melur adalah target utamaku. Dia yang telah membawaku ke kota ini, semua masalah ini timbul karena dia, Aku dan keluargaku terusir dari kampung, juga karena dia telah menghasut orang kampung. Sekarang, Mas Yanto meninggal, Ibu di penjara, dan aku terlunta-lunta dengan penyakit di tubuhku. Ke mana aku akan bernaung sekarang? Setelah kucoba mengemis kepadanya, dia malah mengusirku dengan kasar. Harusnya dia bertanggung jawab dan menampungku. Sekarang, ke mana aku akan melangkah? Uang yang di berinya waktu itu hanya cukup biaya makan seminggu. Untung tempat tinggal aku enggak perlu bayar. Bekas toko ini bisa kugunakan untuk tempat bernaung. Tapi untuk makan besok, aku uang dari mana? Sebuah Mobil berhenti di depan toko. Gegas aku keluar melihatnya. Itu Bang Jordan, teman Mas Gilang sekaligus tempat
Bab 144. Cinta Pertama Dan Selamanya (Tamat) Itu Kak Bulan. Dia merekam video ini untukku? Kak Bulan tengah duduk di samping sebuah ranjang pasien. Sepertinya seseorang sedang berbaring di ranjang itu. Entah siapa, wajahnya tidak muncul di rekaman. “Maaf, ya, Mel. Sepertinya kamu sudah duluan lihat fhoto-fhoto itu baru buka plasdisc ini. Iya, kan? Pasti kamu sedang marah, emosi, kecewa dan mungkin kamu juga udah ngusir Reno. Aku enggak tahu persis apa yang terjadi di situ. Aku hanya berusaha memberi yang terbaik buatmu, adikku. Selama ini kami sekeluarga telah membuat hidupmu hancur. Untuk terakhir kalinya aku berusah setidaknya bisa menyelamatkan pernikahan yang baru saja kau mulai. Isi Plasdisc ini aslinya bukan ini, Mel. Sengaja kuhapus, dan kuganti dengan yang ini. Tapi, foto-foto itu enggak bisa kuganti, karena dia yang memesan karangan bunga itu. Kau tahu siapa? Ha
Bab 143. Kejutan Di Malam Pertama Pertama“Terima kasih sudah menjadi istriku, Mel! Aku sangat mencintaimu! I Love you, Sayang!” bisiknya lembut di telinga.“Kau juga tampan sekali, Mas, aku bangga dan sangat bersyukur bisa memilikimu. I love you, too,” balasku mengerjapkan mata.“Terima kasih.” Mas Reno tersenyum lagi. “Sekarang, ya?” tanyanya memohon izin.Aku tak menjawab, karena memang dia pun tak menunggu jawaban dariku. Mulutku tak lagi bisa berucap. Bibir kenyal mas Reno telah melumatnya. Awalnya begitu lembut, namun sesaat kemudian berubah kasar. Mas Reno melumatnya dengan begitu rakus.Aku membalas setiap lumatannya. Makin terhanyut saat lidahnya menerobos masuk ke dalam mulutku. Mas Reno menjelejah setiap inci rongga mulutku. Memeprmainakn lidahku de
Bab 142. Pernikahan Kedua Dan TerakhirkuKupaksa otakku berfikir keras. Mencoba membongkar memori ingatan, namun, tetap tak kutemukan. Tunggu, suaranya? Suaranya, sepertinya juga tidak asing. Sepertinya aku sering mendengarnya, tapi siapa? Apakah karena tertutup masker, sehingga suaranya agak susak kukenali. Rasa penasaram mengaduk hati, ok, aku akan cari tahu dari si pengirim karangan bunga itu.Aku bangkit perlahan, menuju sudut ranjang. Baru saja tanganku hendak meraih kertas kecil yang terselip di karang bunga yang lumayan cantik itu, seseorang memanggilku untuk segera keluar.“Mel! Ayo, rombongan mempelai pria akan segera tiba. Akad nikah akan segera dimulai.”Mala dan Rani berdiri di ambang pintu kamar. Keduanya berkebaya dengan warna dan model yang sama, rambut mereka berdua digelung rapi, wajah di make up cantik.