Bab 90. Chika Diculik
“Terus, apa yang mereka bicarakan, Pa?” tanyaku serius.
“Kalau enggak salah dengar, perempuan itu bilang bertemu di terminal bus Amplas.”
“Begitu? Apa maksudnya? Mereka akan bertemu di terminal bus Amplas?”
Segera kutelpon mas Diky. Kulaporkan ucapan papa padanya.
“Ok, kami bergerak ke sana. Kemungkinan mereka hendak melarikan diri naik bus kalau begitu.” Mas Diky langsung mematikan ponselnya.
“Kita ke mana ini?” tanya Mala kemudian.
Ke rumah aja, ayo cepat!” Mereka biar diurus para polisi aja!”sahutku makin tegang.
“Baiklah, tapi sial banget, sih. Jalan raya jam segini padat banget!” gerutu Mala bolak-balik menginjak rem.
Aku tak kalah resah. Panggilan masuk di ponsel menambah panik saj
Bab 91. Pertengkaran dengan Mak Uda di Kantor PolisiAku beralih kepada yang di tengah, Harum. Perempuan itu masih menunduk. Lama kutatap perutnya. Perut itu masaih saja rata. Kualihkan menatap dadanya. Biasa saja. Tidak ada tanda-tanda kalau dia hamil. Bukankah ini sudah cukup lama? Harusnya perut itu mulai membentuk, dada harusnya mulai membengkak. Tapi, perempuan ini biasa-biasa saja. Apakah dia sudah menipu Mas Gilang? Bukankah sejak dia mengaku hamil, awal dari semua malapetaka ini? Mertuaku berubah seratus delapan puluh derajat karena percaya dia hamil.‘Harum! Kau penipu! Kau rusak rumah tagggaku, kau ambli suamiku, kau hancurkan semuanya, kau bakar rumah besar itu, lalu kau culik anakku!’Aku memaki dan mengumpat, tapi hanya dalam hati.Dengan gigi gemeretak kuraih dagunya, kucenkram dengan kencang, lalu kuangkat ke atas hingga bersetatap dengan mat
Bab 92. Mas Reno Di Dalam Mobil“Apa, sih? Enggak boleh! Pokoknya kamu enggak boleh ikut ke rumahku. Kamu pulang ke Medan aja, bareng Pak Polisi itu! Bukankah dia pacarmu!” kataku menarik lengannya agar tak menghalangiku masuk ke mobil.Gadis itu tidak menolak, dia bergeser, lalu melangkah pergi, berjalan gontai masuk ke dalam kantor.“Maaf, Mala! Aku harus melakukan ini, agar kau bisa dekat dengan polisi baik itu!” bisikku membatin. Sedikit lega, karena akhirnya Mala mau mengalah.“Kita pulang, ya, Chika, Sayang! Sama kakek juga!” kataku sambil membuka pintu mobil.Aku terpaku, pintu mobil terbuka. Seseorang tersenyum manis menyambutku.Astaga! Jadi ini yang membuat Mala tercekat tadi? Mala tak jadi membuka pintu mobil, tak bisa berkata-kata, karena ini?“Enggak boleh nyetir sambil gendong bayi!
Bab 93. Jangan Sampai Kembali Jatuh Di Lubang Yang Sama“Maaf, kakak juga sempat marah-marah. Gimana Chika? Kakak dengar udah ketemu, kan? Maaf, kakak sibuk ngurus kepulangan Mama.”“Iya, Kak. Jadi sekarang gimana? Apa rencana Kakak selanjutnya?”“Inilah yang ingin kami rundingkan. Si Gilang malah ngilang.”“Oh, posisi Kakak di mana, nih?”“Di sini, di rumah yang tinggal puing-puing ini.”“Ya, Allah? Gimana, Mama?”“Mama dibawa Mas Fajar makan di restaurant simpang itu. Sengaja biar Mama enggak liat kenyataan ini.”“Lho, masih dirahasiakan?”“Iya, siapa yang berani ngas
Bab 94. Ibu Mengusir Mas Reno“Iya, Bu. Aku akan hati-hati mulai sekarang. Tapi, aku tidak bersandiwara, Bu. Semua yang aku katakan itu benar.”“Baik, Anggap saja ibu percaya. Sekarang suruh dia pergi dari sini!”“Kenapa, Bu? Dia teman aku, lho. Dia sudah banyak menolong kita, Bu!”“Ibu enggak suka kau berhubungan dengan laki-laki manapun untuk saat ini, Melur! Kau ini perempuan apa, sih? Baru semalam kau memperoleh surat ceraimu! Hari ini kau sudah memasukkan laki-laki ke dalam rumahmu? Mikir! Bagaimana penilaian orang tentangmu, nanti! Kamu itu bukan gadis lagi! Kamu janda! Ingat, kau berstatus janda! Kau pikir enggak berat mneyandang status itu, ha? Berat! Kamu enggak boleh sembarangan bergaul dengan laki-laki manapun yang bukan muhrimmu! Atau kau mau dibilang orang janda gatal? Janda kesepian? Janda jablay, mau?”“Ibu, Mas
Bab 95. Suara Cempreng Ibu Mertuaku Berteriak-Teriak Di Halaman.“Kita makan dulu, ya, Pa!” Aku menghidangi makan untukku dan Papa.“Terus terang, saya tidak membenci Bapak. Yang saya benci itu adalah istri Bapak. Dia terlalu membela si Gilang itu. Sedang Melur itu terlalu lugu. Bodoh kalau saya bilang malah. Gampang banget dibodohi orang. Makanya saya tidak akan meninggalkan dia sendiri. Entah seperti apa sudah rumah saya di kampung itu. Saya tidak peduli. Pokoknya saya tidak mau kecolongan lagi. Melur akan saya pantau terus. Jadi, maaf, kalau saya tidak setuju, Bapak tinggal di sini.”Baik, saya, paham, Bu.”Papa sepertinya sudah bisa menerima alasan Ibu. Semoga dia akan baik-baik saja.“Silahkan makan dulu, Pak! Saya tinggal ngurus cucu saya, eh, maaf, Chika tetap cucu kita. Tapi, tidak untuk istri Bapak, maaf.”
Bab 96. Melur Bukan Menantu Lagi“Ma! Melur bukan menantu Mama lagi! Mama enggak punya hak ngata-ngatain dia!” teriak Mas Fajar semakin kesal.“Oh, iya? Begitu? Kau sudah menggugat pisah anakku, ya? Gimana? Berhasil? Hehehe … pasti kau kalah, kan? Hak asuh Chika juga pasti kau kalah! Makanya kau masih bertahan di sini? Chika cucuku yang mau kau perjuangin pasti, makanya kau di sini? Bagus, deh! Tapi, sekarang aku sudah keluar dari rumah sakit, kamu harus keluar juga dari rumah ini! Ini rumah kami juga, kau tahu itu, kan? Sombong banget gugat pisah anakku? Jadi gembel tau rasa kamu! Pergi sana! Kau enggak boleh melihat Chika lagi! Pergi!”Aku bergeming. Hanya keluarganya yang terlihat semakin gugup dan geram melihat tingkah perempuan itu.“Sabar, ya, Mel. Kami akan segera putuskan sekarang ke mana kami akan bawa Mama!” Kata Kak Bulan merasa bersal
Bab 97. Telepon Makian Dari Istri Abang Ipar“Sudahlah! Sekarang kita pergi saja dair sini! Kasihan Melur, dia butuh ketenangan, kita tak pantas mengganggu hidupnya terus menerus. Ayo, Jar, Bulan! Kita pergi!” Papa memutar rodanya dengan sebelah tangan. Amat sulit bergerak kursi itu dengan bobot tubuhnya di atas.Sumpah pertahaan di mataku hampir jebol. Aku ingin menangis menyaksikan penderitaan Papa. Lelaki yang sudah kuanggap Ayah kandung. Dia baik, sangat baik. Hatinya teramat mulia. Memang pernah dia membuatku kecewa, karena dia menyuruh Mas Gilang menikahi Harum. Tapi, itu dilakukannya karena Harum bilang dia hamil. Papa mertuaku pasti tidak tega karena pada Harum yang terlunta-lunta, seperti pengaduan Mas Gilang.Bagaimana dengan mama mertuaku, awalnya dia begitu baik. Dia bahkan sangat menyayangiku melebihi apapun. Kenapa dia bisa berubah jahat? Semua karena Mas Gilang. Mama mertua baik padaku, a
Bab 98. Mas Gilang Dan Mama Sangat Percaya Kalau Harum HamilAku melongo, Mas Fajar terlihat semakin tegang. Tiba-tiba ibunya merebut ponsel dari tanganku.“Heh! Menantu kurang ajar! Dengar, ya! Aku juga tidak sudi tinggal di rumahmu! Dari awal kau menikah dengan anakku, pernah rupanya aku menginjakkan kaki di rumahmu, ha? Enggak pernah, kan? Jijik aku serumah denganmu! Ingat itu, ya! kalau hartaku habis dibuat anakku si Gilang, itu bukan urusanmu! Harta itu hartaku, dihabiskan anakku, apa urusanmu? Kok, kau yang stress. Aku aja ibunya biasa aja! Yang penting anakku senang! Kau mau apa lagi rupanya? Fajar itu PNS, seumur hidupnya sudah punya gaji tetap. Pemerintah udah menjamin hidupnya. Kurang apa lagi, kau, Ha? Dasar rakus!”“Oh, jadi kalau Mas Fajar PNS, dia enggak kebagian harta lagi, begitu? Baik, mana mas Fajar! Aku mau bicara sama dia sekarang!” sahut Kak Tati semakin emosi.
Bab 150. Ekstra Part 5 (Pernikahan Mala Dan Diky)"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu.
Bab 149. Balasan Kejam Buat sang Durjana ( Ekstra Part Akhir) VOP Fika Aku memang sudah berumur. Sudah hampir kepala empat. Hingga detik ini tak juga menikah, karena memang tak mau menikah Keputusanku tak mau menikah bukan karena apa-apa. Rasa kecewa karena pernah bertepuk sebelah tangan, membuatku tak mau membuka pintu hati pada siapa pun lagi. lebih baik hidup sendiri dari pada kecewa lagi. Fajar, pemuda yang telah mencuri hatiku. Sayang, dia tidak ada rasa sedikitpun untuk menerima kehadiranku. Cintaku tak berbalas. Cinta bertepuk sebelah tangan. Tetapi, aku tidak pernah membencinya. Saat dia memilih wanita lain sebagai pendamping hidupnya, aku turut berbahagia. Meski sakit, aku harus tetap waras. Fajar tidak bersalah. Wanita pilihannya juga tidak salah. Yang bersalah itu adalah aku.&nbs
Bab 148. Ekstra Part 4 VOP Gilang "Selamat menghirup udara bebas! Selamat datang kembali di dunia yang penuh sandiwara ini!" Aku terperangah. Seorang wanita tinggi semampai berkacamata hitam, menegurku. Aku tidak dapat mengenalinya. Lama kupindai wajah dan penampilannya. Rambut sebahu hitam legam, badan padat berisi, dan suara yang tegas penuh wibawa. "Selamat menjalani babak kedua dalam hidupmu?" ucapnya lagi. Jemari dengan berkutek merah terang itu memegang bingkai kacamata, lalu menanggalkannya perlahan. "Fika ...!" gumamku terkejut. Pengacara wanita yang telah membuat sang Hakim mengetuk palu, memutuskan hukuman penjara buatku. "Enggak ada yang jemput, ya? Kasihan banget kamu. Mana keluargamu?" Aku hanya m
Bab 147. Ekstra Part 3 “Oh, iya, sabar, ya, Bu. Sebentar saja, kok! Enggak lama. Mereka pelanggan tetap saya. Harus ekstra pelayanannya. Memang Ibu yang duduk duluan di sini, tapi, mereka yang memesan duluan.” Penjual es itu, tak menghiraukanku. “Saya duluan! Saya dari tadi di sini! Mentang-mentang mereka orang kaya, saya orang miskin, saya enggak dilayani, begitu? Saya bisa obrak abrik warung jelekmu ini tau?” teriakku mulai emosi. “Lho dari tadi ibu enggak minta, mereka pesan, baru ibu minta, sabar, dong!” Penjual es tak juga memenuhi permintaanku. “Pokoknya layani saya dulu! Saya sudah tidak sabar! Biar jadi pelajaran buatmu! Jangan pilih kasih sama pembeli, ya!” “Ya, sudah, ibu ambil yang sudah dibungkus itu, dulu, enggak apa-apa, saya akan ganti nanti buat mereka, tanggung ini, dua bungkus lagi!” “Saya e
Bab 146. Ekstra Part 2 Secara rutin aku memeriksakan diri ke dokter. Namun penyakitku tak juga kunjung sembuh. Awalnya tak menunjukkan gejala apa-apa. Tetapi setelah beberapa tahun kemudia, infeksi itu sudar menyerang bagian dalam tubuh. Mulai dari uterus, bahkan alat kelamin itu sendiri. Melihat kondisiku, tak ada lagi lelaki hidung belang yang mau menggunakan jasaku. Mereka merasa jijik dan takut tertular. Padahal aku tak pernah mengatakan tentang penyakitku. Aku hanya deman biasa, begitu alasanku. Tapi, melihat kodisi tubuhku yang kian kurus tinggal tulang, juga lemah tak bertenaga, mereka semakin curiga. Bokong dan dada besarku yang sangat terkenal di kalangan lelaki durjana itu, mulai menipis. Hilang sudah andalanku dalam menjerat mangsa. Aku menganggur. Makan tidur menjadi tanggunagn Bang Jordan. Dia mulai marah karena mengaggap aku tak lagi meguntungka
Bab 145.Ekstra Part 1 VOP Harum Kehancuran Kak Melur adalah target utamaku. Dia yang telah membawaku ke kota ini, semua masalah ini timbul karena dia, Aku dan keluargaku terusir dari kampung, juga karena dia telah menghasut orang kampung. Sekarang, Mas Yanto meninggal, Ibu di penjara, dan aku terlunta-lunta dengan penyakit di tubuhku. Ke mana aku akan bernaung sekarang? Setelah kucoba mengemis kepadanya, dia malah mengusirku dengan kasar. Harusnya dia bertanggung jawab dan menampungku. Sekarang, ke mana aku akan melangkah? Uang yang di berinya waktu itu hanya cukup biaya makan seminggu. Untung tempat tinggal aku enggak perlu bayar. Bekas toko ini bisa kugunakan untuk tempat bernaung. Tapi untuk makan besok, aku uang dari mana? Sebuah Mobil berhenti di depan toko. Gegas aku keluar melihatnya. Itu Bang Jordan, teman Mas Gilang sekaligus tempat
Bab 144. Cinta Pertama Dan Selamanya (Tamat) Itu Kak Bulan. Dia merekam video ini untukku? Kak Bulan tengah duduk di samping sebuah ranjang pasien. Sepertinya seseorang sedang berbaring di ranjang itu. Entah siapa, wajahnya tidak muncul di rekaman. “Maaf, ya, Mel. Sepertinya kamu sudah duluan lihat fhoto-fhoto itu baru buka plasdisc ini. Iya, kan? Pasti kamu sedang marah, emosi, kecewa dan mungkin kamu juga udah ngusir Reno. Aku enggak tahu persis apa yang terjadi di situ. Aku hanya berusaha memberi yang terbaik buatmu, adikku. Selama ini kami sekeluarga telah membuat hidupmu hancur. Untuk terakhir kalinya aku berusah setidaknya bisa menyelamatkan pernikahan yang baru saja kau mulai. Isi Plasdisc ini aslinya bukan ini, Mel. Sengaja kuhapus, dan kuganti dengan yang ini. Tapi, foto-foto itu enggak bisa kuganti, karena dia yang memesan karangan bunga itu. Kau tahu siapa? Ha
Bab 143. Kejutan Di Malam Pertama Pertama“Terima kasih sudah menjadi istriku, Mel! Aku sangat mencintaimu! I Love you, Sayang!” bisiknya lembut di telinga.“Kau juga tampan sekali, Mas, aku bangga dan sangat bersyukur bisa memilikimu. I love you, too,” balasku mengerjapkan mata.“Terima kasih.” Mas Reno tersenyum lagi. “Sekarang, ya?” tanyanya memohon izin.Aku tak menjawab, karena memang dia pun tak menunggu jawaban dariku. Mulutku tak lagi bisa berucap. Bibir kenyal mas Reno telah melumatnya. Awalnya begitu lembut, namun sesaat kemudian berubah kasar. Mas Reno melumatnya dengan begitu rakus.Aku membalas setiap lumatannya. Makin terhanyut saat lidahnya menerobos masuk ke dalam mulutku. Mas Reno menjelejah setiap inci rongga mulutku. Memeprmainakn lidahku de
Bab 142. Pernikahan Kedua Dan TerakhirkuKupaksa otakku berfikir keras. Mencoba membongkar memori ingatan, namun, tetap tak kutemukan. Tunggu, suaranya? Suaranya, sepertinya juga tidak asing. Sepertinya aku sering mendengarnya, tapi siapa? Apakah karena tertutup masker, sehingga suaranya agak susak kukenali. Rasa penasaram mengaduk hati, ok, aku akan cari tahu dari si pengirim karangan bunga itu.Aku bangkit perlahan, menuju sudut ranjang. Baru saja tanganku hendak meraih kertas kecil yang terselip di karang bunga yang lumayan cantik itu, seseorang memanggilku untuk segera keluar.“Mel! Ayo, rombongan mempelai pria akan segera tiba. Akad nikah akan segera dimulai.”Mala dan Rani berdiri di ambang pintu kamar. Keduanya berkebaya dengan warna dan model yang sama, rambut mereka berdua digelung rapi, wajah di make up cantik.