Bab 67. Suami Kena Tusuk, Istri Minta Ditusuk Oleh Selingkuhannya
”Mas, tahu enggak kalau Mas Andy pacaran dengan teman aku Rani?” tanyaku kemudian.
“Taulah, Rani sering ke rumah akhir-akhir ini.”
“Kalau Mala? Mas tau enggak tentang dia?”
“Mala, emangnya dia bilang apa?”
“Lho, kok bilang apa? Aku nanya, Mas tau enggak tentang dia?”
“Hemh, enggak. Enggak tahu.”
Kenapa Mas Reno terlihat ragu? Sepertinya dia sengaja menyembunyikan sesuatu info tentang Mala? Jangan-jangan dia tau lagi, kalau Mala naksir seseorang yang telah beristri atau punya pacar? Ada apa, sih, sebenarnya?
“Mas! Sepertinya ada rahasia yang kalian sembunyikan dariku? Ada yang aku enggak tau, nih! Cerita, dong! Penasaran, nih!”
Bab 68. Kumiskinkan Pelakor ItuRombongan itu sudah mendekat. Jumlahnya sekitar delapan orang. Rambut panjang, anting di telinga, gaya urakan dan tampang bengis tak karuan. Ih, pantas saja Mas Andy keder. Tapi aku tidak. Ngapain takut.“Mbak Melur, kan?” sapa salah seorang yang paling depan mengulurkan tangan.Kutatap lekat lengan penuh tato itu, masak iya, tangan halus lembutku kutempelkan di tangan kasar dan dekil serta kuku panjang itu? Ih, enggak banget.“Ya, saya Melur,” sahutku mengukir senyum. Senyum terpaksa tanpa menerima salam tangannya.Pemuda itu menatap tangannya yang mengambang. Lalu tersenyum terpaksa. Seorang temannya mengeluarkan ponsel, lalu mengarahkan ke wajahku, sepertinya dia mengambil gambarku. Berarti mereka yang bikin status di media sosia itu.“Maaf, Mbak. Kenalkan, kami teman-teman Gilang, yang ju
Bab 69. Kejutan Dari Papa MertuaMama mertuaku masih kritis, kuintip dari luar melalui jendela kaca. Sambil menuggu Harum datang bawa uang, aku pergi ke ruangan papa.Lelaki tua itu terlihat semakin layu saja. Tubuh rentanya terbaring kaku di ranjang pasien. Sendirian, tiada seorang pun yang menemani. Wajah tua itu terlihat begitu lelah dan kuyu. Matanya terpejam, tapi aku ragu, dia sedang tidur atau hanya terpejam. Kulihat buliran air bening mengalir dari sudut mata tuanya.Papa, dia yang dulu sangat kusayangi, kuhormati dan selalu kujaga. Semua rasa itu sirna. Berubah benci, dendam dan amarah. Tapi, kenapa? Bukankah papa tidak pernah membela Mas Gilang? Mamalah yang selalu membela dan memanjakannya. Ah, sudahlah! Lebih baik aku pergi, daripada hati berkecamuk.“Mel ….”Baru saja aku melangkah pergi, lelaki renta itu menyebut namaku.
Bab 70. Semoga Mala Tak Menjadi PelakorAku dan Mas Andy menuju ruang administrasi, setelah menelepon Rani agar membawa Harum serta. Kata Mas Andy uang itu masih ada padanya.Perempuan itu menyerahkan amplop coklat saat kami bertemu di depan lift, aku menolak.“Kau pegang! Itu uang calon suamimu, bukan! Kau pegang! Kau bayari semua keperluan! Dan pertaggungjawabkan semuanya nanti di depan Mas Fajar, di depan keluarga!”“Kak, aku gak ngerti! Kakak aja!”“Hey, aku bukan siapa-siapa lagi di keluarga ini. Aku hanya kasihan makanya aku mau datang!” tolakku tegas.Mas Andy menyerahkan kertas berisi rincian dan total biaya yang diterimanya dari petugas rumah sakit. Aku menyodorkannya kepada Harum.“Sana! Bayar di kasir!” perintahku kepadanya.Perempuan i
Bab 71. Para Wonder Woman di Rumahku“Anu, Bu, sebenarnya ada yang mau saya sampaikan ke Ibu, kalau Ibu ada waktu.”“Ada, ini, saya ada waktu. Air panasnya belum mendidih. Ngomonglah!”“Anu, mengenai rencana Ibu yang mau manggil kasir toko.”“Kenapa?”Wajah Bik Yerti terlihat tegang. Matanya berkali-kali melirik ke pintu tengah. Sepertinya dia sangat kesulitan untuk berkata-kata. Ada apa sebenarnya?“Anu, Bu. Mengenai kasir toko itu ….”“Iya, Bik. Saya menyuruh suami Bibik memanggil bekar kasir toko ini, memangnya kenapa?”“Anu, kalau bisa jangan, Bu!”“Jangan?” sergahku kaget.“Iya, Fitri, namanya Fitri.”“Terus, kenapa Bibik bila
Bab 72. Pertengkaran dengan Ibu HarumPagi ini kuhidupkan kembali ponselku. Aku akan memulai aktivitas. Banyak panggilan tak terjawab. Chat jumlahnya ratusan. Kubaca satu persatu.Pesan dari Harum yang mengabarkan operasi mama berjalan lancar, meskipun mama belum sadar. Mas Fajar mengirim pesan kalau dia sudah berangkat dengan penerbangan pertama. Mas Reno menyuruhku jangan lupa makan malam, istirahat dan tidur nyeyak. Kubalas pesannya dengan mengirim emot ucapan terimakasih dan hati.Selanjutnya aku berangkat ke Medan. Aku menepati janji untuk datang ke rumah sakit. Tidak ada salahnya aku singgah sebentar, sebelum menjemput Mala. Sahabatku itu bersedia membantuku di toko.Ternyata mereka tidak berbohong. Mas Gilang betul betul masih kritis. Sesekali mulutnya bergumam, seperti memanggil seseorang. Kutajamkan pendengaran, siapa yang dipanggilnya. Mel. Dia menyebut namaku. Harus
Bab 73. Rahasia Besar Mala“Kenapa? Kau mau balas sakit hati ibumu karena telah terantuk kepalanya hingga benjol itu? Mau duel? Ayo, tapi di luar! Jangan di sini! Iya, kan, Suster?” kataku tersenyum ramah kepada perawat.“Bukan, Kak. Aku enggak mau bertengkar dengan Kakak.”“Terus? Kau mau apa?”“Anu, Kak. Mama udah sadar. Papa juga sudah bisa keluar dari rumah sakit. Mereka minta pelunasan pengobatan papa, dan tambahan biaya operari serta perawatan mama. Terus biaya rumah sakit Mas Gilang ini juga belum, kan, Kak?” ucapnya terbata-bata.“Terus …?” tanyaku tidak sabar.“Anu Kak.”“Kau mau aku yang bayari semua, begitu?”“Bukan, aku tahu Kakak enggak akan mau.”“Terus kau
Bab 74. Siapa Tamu Itu“Aku akan menyelidiki jaringan yang telah menjeratnya. Pasti akan kudapat.”“Mas Reno sudah sembuh, Mas. Melur yang menyembuhkannya. Mereka memang diciptakan untuk bersatu. Aku harus membantu menyatukan mereka. Aku mau mereka berdua hidup bahagia. Terutama sahabatku Melur. Dia berhak bahagi.”“Ok, lantas apa hubungannya dengan tugasku? Kalau menangkap jaringan itu akan segera kulaksanaknan.”“Tugas ini enggak ada hubungannya dengan profesimu, Mas.”“Lantas apa, dong! Masa aku di suruh pura-pura jadi pacar kamu, padahal aku mau kita pacaran beneran!”“Tadi malam Rani nelpon, katanya Melur mencurigaiku. Rahasiaku terbongkar. Padahal aku sudah membunuh rasa itu. Tapi aku takut Melur kepikiran. Mas Reno juga enggak pernah tahu akan perasaanku. Mungkin dia tahu, tapi dia
Bab 75. Kedatangan Mantan Abang IparSeorang lelaki tinggi berjalan menuju rumah. Mobil yang mengantarnya telah pergi. Siapa dia? Sepertinya dia tadi naik taksi online. Perawakannya seperti kukenal. Dia semakin dekat. Ya, ampun itu kan Mas Fajar, kakak iparku. Ngapain dia ke sini? Bukankah dia seharusnya pergi ke rumah sakit?“Mas? Mas Fajar baru datang? Jam berapa landing tadi?” sapaku menyambutnya.Laki-laki itu tidak membalas sapaku. Langkahnya panjang-panjang masuk ke dalam rumah. Ibu yang mendengar ada tamu langsung datag menyambutnya.“Eh, Nak Fajar? Kapan datang?” sapa ibu mengulurkan tangan.“Tadi pagi, Bu. Ibu di sini juga?” katanya menatap sekeliling rumah sambil menghenyakkan tubuh di sofa. Aku dan ibu mengikutinya.“Iya, ibu juga tinggal di sini sekarang. Nemani Melur. Dia punya anak kecil, sekalian bisa n
Bab 150. Ekstra Part 5 (Pernikahan Mala Dan Diky)"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu.
Bab 149. Balasan Kejam Buat sang Durjana ( Ekstra Part Akhir) VOP Fika Aku memang sudah berumur. Sudah hampir kepala empat. Hingga detik ini tak juga menikah, karena memang tak mau menikah Keputusanku tak mau menikah bukan karena apa-apa. Rasa kecewa karena pernah bertepuk sebelah tangan, membuatku tak mau membuka pintu hati pada siapa pun lagi. lebih baik hidup sendiri dari pada kecewa lagi. Fajar, pemuda yang telah mencuri hatiku. Sayang, dia tidak ada rasa sedikitpun untuk menerima kehadiranku. Cintaku tak berbalas. Cinta bertepuk sebelah tangan. Tetapi, aku tidak pernah membencinya. Saat dia memilih wanita lain sebagai pendamping hidupnya, aku turut berbahagia. Meski sakit, aku harus tetap waras. Fajar tidak bersalah. Wanita pilihannya juga tidak salah. Yang bersalah itu adalah aku.&nbs
Bab 148. Ekstra Part 4 VOP Gilang "Selamat menghirup udara bebas! Selamat datang kembali di dunia yang penuh sandiwara ini!" Aku terperangah. Seorang wanita tinggi semampai berkacamata hitam, menegurku. Aku tidak dapat mengenalinya. Lama kupindai wajah dan penampilannya. Rambut sebahu hitam legam, badan padat berisi, dan suara yang tegas penuh wibawa. "Selamat menjalani babak kedua dalam hidupmu?" ucapnya lagi. Jemari dengan berkutek merah terang itu memegang bingkai kacamata, lalu menanggalkannya perlahan. "Fika ...!" gumamku terkejut. Pengacara wanita yang telah membuat sang Hakim mengetuk palu, memutuskan hukuman penjara buatku. "Enggak ada yang jemput, ya? Kasihan banget kamu. Mana keluargamu?" Aku hanya m
Bab 147. Ekstra Part 3 “Oh, iya, sabar, ya, Bu. Sebentar saja, kok! Enggak lama. Mereka pelanggan tetap saya. Harus ekstra pelayanannya. Memang Ibu yang duduk duluan di sini, tapi, mereka yang memesan duluan.” Penjual es itu, tak menghiraukanku. “Saya duluan! Saya dari tadi di sini! Mentang-mentang mereka orang kaya, saya orang miskin, saya enggak dilayani, begitu? Saya bisa obrak abrik warung jelekmu ini tau?” teriakku mulai emosi. “Lho dari tadi ibu enggak minta, mereka pesan, baru ibu minta, sabar, dong!” Penjual es tak juga memenuhi permintaanku. “Pokoknya layani saya dulu! Saya sudah tidak sabar! Biar jadi pelajaran buatmu! Jangan pilih kasih sama pembeli, ya!” “Ya, sudah, ibu ambil yang sudah dibungkus itu, dulu, enggak apa-apa, saya akan ganti nanti buat mereka, tanggung ini, dua bungkus lagi!” “Saya e
Bab 146. Ekstra Part 2 Secara rutin aku memeriksakan diri ke dokter. Namun penyakitku tak juga kunjung sembuh. Awalnya tak menunjukkan gejala apa-apa. Tetapi setelah beberapa tahun kemudia, infeksi itu sudar menyerang bagian dalam tubuh. Mulai dari uterus, bahkan alat kelamin itu sendiri. Melihat kondisiku, tak ada lagi lelaki hidung belang yang mau menggunakan jasaku. Mereka merasa jijik dan takut tertular. Padahal aku tak pernah mengatakan tentang penyakitku. Aku hanya deman biasa, begitu alasanku. Tapi, melihat kodisi tubuhku yang kian kurus tinggal tulang, juga lemah tak bertenaga, mereka semakin curiga. Bokong dan dada besarku yang sangat terkenal di kalangan lelaki durjana itu, mulai menipis. Hilang sudah andalanku dalam menjerat mangsa. Aku menganggur. Makan tidur menjadi tanggunagn Bang Jordan. Dia mulai marah karena mengaggap aku tak lagi meguntungka
Bab 145.Ekstra Part 1 VOP Harum Kehancuran Kak Melur adalah target utamaku. Dia yang telah membawaku ke kota ini, semua masalah ini timbul karena dia, Aku dan keluargaku terusir dari kampung, juga karena dia telah menghasut orang kampung. Sekarang, Mas Yanto meninggal, Ibu di penjara, dan aku terlunta-lunta dengan penyakit di tubuhku. Ke mana aku akan bernaung sekarang? Setelah kucoba mengemis kepadanya, dia malah mengusirku dengan kasar. Harusnya dia bertanggung jawab dan menampungku. Sekarang, ke mana aku akan melangkah? Uang yang di berinya waktu itu hanya cukup biaya makan seminggu. Untung tempat tinggal aku enggak perlu bayar. Bekas toko ini bisa kugunakan untuk tempat bernaung. Tapi untuk makan besok, aku uang dari mana? Sebuah Mobil berhenti di depan toko. Gegas aku keluar melihatnya. Itu Bang Jordan, teman Mas Gilang sekaligus tempat
Bab 144. Cinta Pertama Dan Selamanya (Tamat) Itu Kak Bulan. Dia merekam video ini untukku? Kak Bulan tengah duduk di samping sebuah ranjang pasien. Sepertinya seseorang sedang berbaring di ranjang itu. Entah siapa, wajahnya tidak muncul di rekaman. “Maaf, ya, Mel. Sepertinya kamu sudah duluan lihat fhoto-fhoto itu baru buka plasdisc ini. Iya, kan? Pasti kamu sedang marah, emosi, kecewa dan mungkin kamu juga udah ngusir Reno. Aku enggak tahu persis apa yang terjadi di situ. Aku hanya berusaha memberi yang terbaik buatmu, adikku. Selama ini kami sekeluarga telah membuat hidupmu hancur. Untuk terakhir kalinya aku berusah setidaknya bisa menyelamatkan pernikahan yang baru saja kau mulai. Isi Plasdisc ini aslinya bukan ini, Mel. Sengaja kuhapus, dan kuganti dengan yang ini. Tapi, foto-foto itu enggak bisa kuganti, karena dia yang memesan karangan bunga itu. Kau tahu siapa? Ha
Bab 143. Kejutan Di Malam Pertama Pertama“Terima kasih sudah menjadi istriku, Mel! Aku sangat mencintaimu! I Love you, Sayang!” bisiknya lembut di telinga.“Kau juga tampan sekali, Mas, aku bangga dan sangat bersyukur bisa memilikimu. I love you, too,” balasku mengerjapkan mata.“Terima kasih.” Mas Reno tersenyum lagi. “Sekarang, ya?” tanyanya memohon izin.Aku tak menjawab, karena memang dia pun tak menunggu jawaban dariku. Mulutku tak lagi bisa berucap. Bibir kenyal mas Reno telah melumatnya. Awalnya begitu lembut, namun sesaat kemudian berubah kasar. Mas Reno melumatnya dengan begitu rakus.Aku membalas setiap lumatannya. Makin terhanyut saat lidahnya menerobos masuk ke dalam mulutku. Mas Reno menjelejah setiap inci rongga mulutku. Memeprmainakn lidahku de
Bab 142. Pernikahan Kedua Dan TerakhirkuKupaksa otakku berfikir keras. Mencoba membongkar memori ingatan, namun, tetap tak kutemukan. Tunggu, suaranya? Suaranya, sepertinya juga tidak asing. Sepertinya aku sering mendengarnya, tapi siapa? Apakah karena tertutup masker, sehingga suaranya agak susak kukenali. Rasa penasaram mengaduk hati, ok, aku akan cari tahu dari si pengirim karangan bunga itu.Aku bangkit perlahan, menuju sudut ranjang. Baru saja tanganku hendak meraih kertas kecil yang terselip di karang bunga yang lumayan cantik itu, seseorang memanggilku untuk segera keluar.“Mel! Ayo, rombongan mempelai pria akan segera tiba. Akad nikah akan segera dimulai.”Mala dan Rani berdiri di ambang pintu kamar. Keduanya berkebaya dengan warna dan model yang sama, rambut mereka berdua digelung rapi, wajah di make up cantik.