Bab 16. Tuntutan Keluarga Sang Pelakor
“Kau aneh! Kau benar-benar aneh! Harusnya kau melarangku kawin lagi! Bukan malah mendukung!”
“Aku tidak mau menghalangimu, Mas. Bukankah sudah kau katakan sejak awal kalau kau sangat mencintai Harum? Bahkan kau bilang, kau bisa gila bila tidak bersamanya?”
“Itu, dulu, Mel?”
“Dulu kau bilang? Baru sehari, Mas! Kau mengatakan itu kemarin pagi.”
“Iya, sebelum kau berubah. Saat itu kau masih berdaster, rambut digelung acak-acakkan, kau … kau … masih jelek pokoknya!”
Aku tersenyum kecut, dasar laki-laki durjana. Pasti sekarang dia berat melepasku. Semakin ketakutan karena semakin kudorong menikahi selingkuhannya. Aku yakin, dia ingin memiliki dua perempuan sekaligus. Enak aja!
“Mas! Ayolah kita temui mereka, enggak enak sepert
Bab 17. Ibu Sang Pelakor Meradang“Kan, udah dijelasin sama Mas Yanto, saya sayang sama Harum. Saya enggak mau dia dihancurkan oleh suami saya sendiri,” jawabku datar.“Sesayang-sayang apapun, tak mungkin kau rela menyerahkan suamimu sendiri kepada perempuan lain?” tanyanya mulai menyelidik.Aku tersenyum, menyiapkan jawaban yang akan membuat mereka semua terbakar.Mak Uda mengernyitkan kening, seperti sedang berusaha berpikir keras. Matanya menatapku penuh curiga. Aku hanya tersenyum menikmati pemandangan indah di meja makan pagi ini.“Rum, coba kau buka dulu toko, gih! Bentar lagi para karyawan berdatangan!” perintahku kepada putri keayangannya.“Harum bukan babumu! Enak aja kau nyuruh-nyuruh!” protesnya“Bik Ina! Chika tidur enggak?” teriakku me
Bab 18. Rahasia TerbongkarMas Gilang kian mengkerut di kursinya. Aku tersenyum menatap perempuan itu mulai gemetar menahan amarah.“Mas Gilang tidak mau mentalak saya. Tapi jangan khawatir, tanpa kata talak dari mulutnya pun, saya sudah bukan istrinya lagi. Saya tidak akan pernah mau berbagi suami dengan perempun mana pun. Saya bukan Harum, yang berjuang mati-matian untuk mendapatkan selangkangan suami orang. Kalau saya, jijik! Saya enggak mau lagi bersuamikan Mas Gilang. Ambil! Ambil saja lelaki berengsek itu buat putri kesayangan Mak Uda!” terangku menambah murkanya.“Kalau begitu, pergi kau dari rumah calon menantuku ini! Bawa anak yang kau bangga-baggakan itu!” hardiknya sambil berdiri.“Maaf, ini rumah saya, atau lebih tepatnya rumah mertua saya yang telah diserahkan kepada saya. Ini bukan rumah Mas Gilang,” sahutku tetap tenang.“K
Bab 19. Pengorbanan Melur Di Mata Sang Mertua“Kenapa masalah sebesar ini kau tutupi dari kami? Ini masalah yang sangat besar. Ini menyangkut kelangsungan rumah tangga kalian, lho! Ini bukan masalah kecil. Kau lihat, ibu perempuan itu bahkan nekat mau mengusirmu dari rumahmu sendiri? Bagaiman mungkin kau bisa mengatasi hal ini sendiri? Bagaiman dengan ibumu di kampung? Apakah dia juga tidak kau beritahu?”Aku menggeleng pelan.“Hebat! Kau sombong Mel. Kau merasa dirimu hebat!”“Maaf, Ma, Pa. Saya sengaja merahasiakan ini dari kalian, karena saya takut Papa dan Mama kenapa-napa. Ibu saya juga, saya enggak mau menambah beban pikiran kalian. Saya sudah kehilangan suami saya, Ma. saya enggak mau kehilangan mertua dan ibu saya juga. Saya enggak mau ….”Tangisku pecah seketika. Beban berat yang coba kusimpan dan kutahan selama ini akhirnya jeb
Bab 20. Keputusan Sang Mertua“Siapa bilang anak saya tidak perawan? Harum saya jaga dua puluh empat jam sehari, dia tidak pernah pacaran apa lagi sampai tidur dengn laki-laki!” bantah Ibu Harum sambil berdiri. Matanya tajam menatap mas Gilang.“Sudah, Bu. Perawan atau tidak, itu gak penting di bahas. Sekarang kita bahas masalah pernikahan mereka saja. Ini, ini ada uang dua juta. Cukupkan untuk biaya nikah? Ambil! Bawa Gilang bersama kalian! Silahkan kalian nikahkan dia! Kami tidak akan ikut campur. Mulai detik ini, dia bukan putra saya! Jangan pernah injak rumah ini lagi! Keluar dari rumah saya! Keluar!”Bagai disambar petir, seisi ruangan terperanjat kaget.Suasana tegang kian mencekam. Semua mata tertuju kepada papa mertuaku. Tatapan tak percaya kami arahkan pada wajah yang kian pucat pasi. Keputusan yang telah diambilnya tentu saja sangat me
Bab 21. Kuseret Sang Pelakor Keluar“Aku enggak mau pergi kalau enggak bareng Mas Gilang. Kalau Mas Gilang enggak pergi, aku juga enggak mau pergi dari sini. Aku mau sama Mas Gilang, Bu …” Harum menangis sesegukan.“Gilang itu sudah miskin! Mau apa kau hanya dengan uang dua juta? Enggak bisa. Kau harus cari suami yang lebih kaya. Engak usah sama lelaki yang sudah nyata-nyata kere. Cepat! Ambil pakaianmu! Kita pergi dari sini!”“Enggak mau! Aku mau nikah sama Mas Gilang! Ak cinta sama Mas Gilang, Bu …” isak Harum memeluk kaki ibunya.“Tidak bisa! Ibu enggak mau kau nikah sama gembel. Kau harus cari laki-laki yang lebih dari suami Melur yang sombong ini. Kau jauh lebih cantik dari pada dia. Kenapa pula dia lebih kaya dari pada kau? Kau harus buktikan kepada ibu, kalau kau itu jauh lebih hebat dari pada anak si Ruminah ini!”
Bab 22. Kuminta Pisah Papa Mertua StrokeAku tahu ini hanya akal-akalan Mas Gilang. Dia memang tidak sanggup berpisah dengan Harum. Dia tidak jadi menikahinya sekarang, karena Mak Uda sudah tidak setuju. Tapi, entah mengapa aku curiga, kalau Mas Gilang tengah merencanakan sesuatu.“Kau tahu resikonya kalau kau menikahi perempuan itu?” ancam papa.“Tahu, Pa. Aku tidak akan menikahinya. Aku juga enggak mau pisah dari dari Melur, Pa. Aku gak mau kehilangan istri, anak, dan keluargaku hanya demi perempuan itu,” tukasnya dengan mimik wajah menghiba.Aku sangat muak mendengarnya. Semua kalimatnya adalah dusta belaka. Jelas dia tidak mau kehilangan aku dan anakku, karena bila itu terjadi dia akan kehilangan harta dan kemewahan. Tapi, mama dan papa sepertinya percaya. Mereka kembali tertipu dengan sandiwara putra kesayangan.“Mel, ijinkanlah! T
Bab 23. Mas Gilang Berselingkuh, Aku Tidak Boleh Menuntut PisahKenapa aku jadi terjepit begini? Mas Gilang enak saja berselingkuh, sementara aku tidak boleh menuntut pisah? Aku harus menerima anaknya yang sudah menjijikkan itu, begitu? Kenapa mereka tidak memikirkan perasaanku? Kenapa mereka tidak menanyakan keinginannku yang sebenarnya? Ok, aku memang selalu berusaha tersenyum dan membuat mereka tertawa selama ini. Segala derita kutekan dalam hati. Tapi, bukan berarti aku mahluk tak punya rasa. Aku bukan wonder women. Aku wanita biasa. Aku juga seorang wanita yang merasa sakit saat dikhianati.Aku menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya dengan amat berat. Sepertinya penderitaan semakin membayang. Aku harus berjuang menepis bayangan itu, tapi bagaimana caranya?Dokter David berjalan dengan terburu menuju UGD, aku dan mama langsung bangkit menyongsongnya. Dokter yang sudah berusia paruh ba
Bab 24. Neraka Ini Bukan UntukkuKurebahkan tubuh lelahku di atas ranjang. Sakit seluruh tubuh rasanya setelah pulang dari rumah sakit. Untunglah papa sudah membaik.Mas Gilang belum juga kembali. Memang jarak dari sini ke kampung cukup jauh, tapi kalau hanya untuk mengantar lalu langsung balik lagi, seharusnya dia sudah kembali beberapa jam yang lalu. Ini, sudah jam berapa? Hampir sore dia belum juga kembali. Jangan-jangan dia bermesraan dulu dengan perempuan itu. Huh! Kepalaku rasanya mau pecah!“Mel ….” Ketukan halus di pintu kamar menyentakkanku.“Iya, Ma,” sahutku sembari bangkit.“Mama mau minta maaf, karena kami sudah menyusahkan hidupmu,”“Mama kenapa berkata begitu? Enggak apa-apa. Temani papa sana, Ma! Kenapa papa di tinggal?”“Papamu sedang istirahat, dia tertid
Bab 150. Ekstra Part 5 (Pernikahan Mala Dan Diky)"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu.
Bab 149. Balasan Kejam Buat sang Durjana ( Ekstra Part Akhir) VOP Fika Aku memang sudah berumur. Sudah hampir kepala empat. Hingga detik ini tak juga menikah, karena memang tak mau menikah Keputusanku tak mau menikah bukan karena apa-apa. Rasa kecewa karena pernah bertepuk sebelah tangan, membuatku tak mau membuka pintu hati pada siapa pun lagi. lebih baik hidup sendiri dari pada kecewa lagi. Fajar, pemuda yang telah mencuri hatiku. Sayang, dia tidak ada rasa sedikitpun untuk menerima kehadiranku. Cintaku tak berbalas. Cinta bertepuk sebelah tangan. Tetapi, aku tidak pernah membencinya. Saat dia memilih wanita lain sebagai pendamping hidupnya, aku turut berbahagia. Meski sakit, aku harus tetap waras. Fajar tidak bersalah. Wanita pilihannya juga tidak salah. Yang bersalah itu adalah aku.&nbs
Bab 148. Ekstra Part 4 VOP Gilang "Selamat menghirup udara bebas! Selamat datang kembali di dunia yang penuh sandiwara ini!" Aku terperangah. Seorang wanita tinggi semampai berkacamata hitam, menegurku. Aku tidak dapat mengenalinya. Lama kupindai wajah dan penampilannya. Rambut sebahu hitam legam, badan padat berisi, dan suara yang tegas penuh wibawa. "Selamat menjalani babak kedua dalam hidupmu?" ucapnya lagi. Jemari dengan berkutek merah terang itu memegang bingkai kacamata, lalu menanggalkannya perlahan. "Fika ...!" gumamku terkejut. Pengacara wanita yang telah membuat sang Hakim mengetuk palu, memutuskan hukuman penjara buatku. "Enggak ada yang jemput, ya? Kasihan banget kamu. Mana keluargamu?" Aku hanya m
Bab 147. Ekstra Part 3 “Oh, iya, sabar, ya, Bu. Sebentar saja, kok! Enggak lama. Mereka pelanggan tetap saya. Harus ekstra pelayanannya. Memang Ibu yang duduk duluan di sini, tapi, mereka yang memesan duluan.” Penjual es itu, tak menghiraukanku. “Saya duluan! Saya dari tadi di sini! Mentang-mentang mereka orang kaya, saya orang miskin, saya enggak dilayani, begitu? Saya bisa obrak abrik warung jelekmu ini tau?” teriakku mulai emosi. “Lho dari tadi ibu enggak minta, mereka pesan, baru ibu minta, sabar, dong!” Penjual es tak juga memenuhi permintaanku. “Pokoknya layani saya dulu! Saya sudah tidak sabar! Biar jadi pelajaran buatmu! Jangan pilih kasih sama pembeli, ya!” “Ya, sudah, ibu ambil yang sudah dibungkus itu, dulu, enggak apa-apa, saya akan ganti nanti buat mereka, tanggung ini, dua bungkus lagi!” “Saya e
Bab 146. Ekstra Part 2 Secara rutin aku memeriksakan diri ke dokter. Namun penyakitku tak juga kunjung sembuh. Awalnya tak menunjukkan gejala apa-apa. Tetapi setelah beberapa tahun kemudia, infeksi itu sudar menyerang bagian dalam tubuh. Mulai dari uterus, bahkan alat kelamin itu sendiri. Melihat kondisiku, tak ada lagi lelaki hidung belang yang mau menggunakan jasaku. Mereka merasa jijik dan takut tertular. Padahal aku tak pernah mengatakan tentang penyakitku. Aku hanya deman biasa, begitu alasanku. Tapi, melihat kodisi tubuhku yang kian kurus tinggal tulang, juga lemah tak bertenaga, mereka semakin curiga. Bokong dan dada besarku yang sangat terkenal di kalangan lelaki durjana itu, mulai menipis. Hilang sudah andalanku dalam menjerat mangsa. Aku menganggur. Makan tidur menjadi tanggunagn Bang Jordan. Dia mulai marah karena mengaggap aku tak lagi meguntungka
Bab 145.Ekstra Part 1 VOP Harum Kehancuran Kak Melur adalah target utamaku. Dia yang telah membawaku ke kota ini, semua masalah ini timbul karena dia, Aku dan keluargaku terusir dari kampung, juga karena dia telah menghasut orang kampung. Sekarang, Mas Yanto meninggal, Ibu di penjara, dan aku terlunta-lunta dengan penyakit di tubuhku. Ke mana aku akan bernaung sekarang? Setelah kucoba mengemis kepadanya, dia malah mengusirku dengan kasar. Harusnya dia bertanggung jawab dan menampungku. Sekarang, ke mana aku akan melangkah? Uang yang di berinya waktu itu hanya cukup biaya makan seminggu. Untung tempat tinggal aku enggak perlu bayar. Bekas toko ini bisa kugunakan untuk tempat bernaung. Tapi untuk makan besok, aku uang dari mana? Sebuah Mobil berhenti di depan toko. Gegas aku keluar melihatnya. Itu Bang Jordan, teman Mas Gilang sekaligus tempat
Bab 144. Cinta Pertama Dan Selamanya (Tamat) Itu Kak Bulan. Dia merekam video ini untukku? Kak Bulan tengah duduk di samping sebuah ranjang pasien. Sepertinya seseorang sedang berbaring di ranjang itu. Entah siapa, wajahnya tidak muncul di rekaman. “Maaf, ya, Mel. Sepertinya kamu sudah duluan lihat fhoto-fhoto itu baru buka plasdisc ini. Iya, kan? Pasti kamu sedang marah, emosi, kecewa dan mungkin kamu juga udah ngusir Reno. Aku enggak tahu persis apa yang terjadi di situ. Aku hanya berusaha memberi yang terbaik buatmu, adikku. Selama ini kami sekeluarga telah membuat hidupmu hancur. Untuk terakhir kalinya aku berusah setidaknya bisa menyelamatkan pernikahan yang baru saja kau mulai. Isi Plasdisc ini aslinya bukan ini, Mel. Sengaja kuhapus, dan kuganti dengan yang ini. Tapi, foto-foto itu enggak bisa kuganti, karena dia yang memesan karangan bunga itu. Kau tahu siapa? Ha
Bab 143. Kejutan Di Malam Pertama Pertama“Terima kasih sudah menjadi istriku, Mel! Aku sangat mencintaimu! I Love you, Sayang!” bisiknya lembut di telinga.“Kau juga tampan sekali, Mas, aku bangga dan sangat bersyukur bisa memilikimu. I love you, too,” balasku mengerjapkan mata.“Terima kasih.” Mas Reno tersenyum lagi. “Sekarang, ya?” tanyanya memohon izin.Aku tak menjawab, karena memang dia pun tak menunggu jawaban dariku. Mulutku tak lagi bisa berucap. Bibir kenyal mas Reno telah melumatnya. Awalnya begitu lembut, namun sesaat kemudian berubah kasar. Mas Reno melumatnya dengan begitu rakus.Aku membalas setiap lumatannya. Makin terhanyut saat lidahnya menerobos masuk ke dalam mulutku. Mas Reno menjelejah setiap inci rongga mulutku. Memeprmainakn lidahku de
Bab 142. Pernikahan Kedua Dan TerakhirkuKupaksa otakku berfikir keras. Mencoba membongkar memori ingatan, namun, tetap tak kutemukan. Tunggu, suaranya? Suaranya, sepertinya juga tidak asing. Sepertinya aku sering mendengarnya, tapi siapa? Apakah karena tertutup masker, sehingga suaranya agak susak kukenali. Rasa penasaram mengaduk hati, ok, aku akan cari tahu dari si pengirim karangan bunga itu.Aku bangkit perlahan, menuju sudut ranjang. Baru saja tanganku hendak meraih kertas kecil yang terselip di karang bunga yang lumayan cantik itu, seseorang memanggilku untuk segera keluar.“Mel! Ayo, rombongan mempelai pria akan segera tiba. Akad nikah akan segera dimulai.”Mala dan Rani berdiri di ambang pintu kamar. Keduanya berkebaya dengan warna dan model yang sama, rambut mereka berdua digelung rapi, wajah di make up cantik.