Bab 116. Tamu Tak diundang
“Kenapa kau bawa aku ke sini. Kau tahu, ini neraka buatku!” teriak Harum mulai sesegukan.
“Kau tidak mau di sini? Kau mau ke mana? Kalau tidak di sini kau ke mana? Cuma Melur yang bersedia menampungmu.”
“Kukira kau tidak ada hubungan dengan perempuan ini! Kenapa, sih, dia beruntung terus! Aku enggak suka dia hidup bahagia! Aku enggak ihklas dia lebih dari aku! Aku engak mau dia –“
“Cukup! Cukup, ya, Rum. Aku sedang ada tamu! Nanti kita bahas masalah perasaanmu! Kau di sini saja! Jangan masuk ke dalam rumah sampai tamu-tamuku pulang! Paham! Awas kalau kau berani mengacaukannya! Ayo, Mas! Kita masuk, enggak enak mereka nunggu kita terlalu lama,” kataku menarik lengan Mas Reno.
Mas Reno mengikutiku.
“Awasi dia, Pak! Aku akan menyuruh Bik Yerti ke
Bab 117. Kabar Dari Penjara“Gilang mohon banget sama kamu, dia udah tobat, katanya, Mel.” Kak Bulan merayuku.“Tidak bisa! Kalian pikir Melur itu perempuan bodoh, apa? Ok, kalau memang dia bodoh, tapi ada kami yang akan terus mendampingi dia! Ada Nak Reno yang begitu tulus mencintainya. Melur tidak akan kami biarkan terpengaruh lagi dengan rayuan manis kalian, Tobat! Hah! Si Gilang mau tobat? Sampai langit runtuh sekalipun aku tidak akan percaya. Sekali bajiangan, tetap akan bajingan!” ketus Ibu.“Masa Melur mau nikah, sih, Bu? Secepat ini?” protes kak Bulan lagi.“Itu bukan urusan kalian. Pokoknya Melur bukan bagian dari keluarga kalian, jadi apapun yang Melur lakukan bukan urusan kalian lagi!”“Jadi, kau enggak mau rujuk dengan Gilang, Mel! Tega kau membuat Chika berayah tiri?” tanyanya penuh tekanan.
Bab 118. Tamu Pencabut NyawaPOV Ibu HarumSeperti mendapat durian runtuh, hati sangat lega dan gembira. Setelah menunggu sekian lama, akhirnya ada juga yang mau mengunjungi. Saat seorang petugas memanggil namaku. Penuh haru, aku melangkah tergesa megikutinya menuju ruangan khusus bertemu keluarga. Mudah-mudahan itu Harum. Hanya dia yang kuharapkan bisa mengeluarkan aku dari penjara terkutuk ini.Semoga dia sudah berhasil merayu Gilang untuk menjual tanah bekas rumah terbakar itu. Posisinya berada tepat di jantungnya Kota Medan. Pasti harganya sangat mahal. Cukuplah untuk membayar pengacara hebat buat membebaskan aku dan Yanto.Mataku nanar menatap siapa yang berkunjung. Dia bukan Harum yang kuharapkan. Perempuan itu berdiri membelakangi, sepertinya tengah asik membaca tulisan yang terpampang di dinding.Nanik. Wan
Bab 119. Bedanya Baik Dengan Naif Itu Apa“Sadar, Bu. Saya butuh uang untuk makan saya dan anak-anak. Mas Yanto tidak bisa memenuhi tugasnya sebagai kepala keluarga. Selama ini pun, dia tak pernah bertanggung jawab. Kerjanya judi … melulu. Pulang bukannya bawa uang, tapi malah bawa tagihan. Orang tua saya malu, Bu! Makanya saya gugat pisah,” lirih Nanik dengan tatapan sayu seolah penuh penyesalan.“Kau memang menantu tak tau diri! Bukannya bantu suami, malah nambah masalah baru! Harusnya itu kau ngurus si Harum. Entah di mana dia sekarang. Bukan malah mikiri diri sendiri!”“Maaf, Bu. Saya tak tahan lagi. Sudah, ya, Bu. Saya pamit. Takut kemalaman pulangnya. Bapak sudah nunggu di luar.”“Ck! Perempuan hebat! Jadi kau ke sini didampingi bapakmu? Dia tidak bermasud menemuiku? Keluarga sombong. Pergi kau sana! Kau pikir, Yanto akan hancur kalau
Bab 120. Sepertinya Dia Sakit Jiwa, Sayang“Sebenarnya sifat seperti itu memang baik, Mel. Namun, bagi orang-orang culas seperti keluarga mereka itu, kebaikanmu itu akan menjadi senjata mereka kembali menghancurkanmu. Kau tahu bedanya baik dengan naif itu apa?” Mas Reno menatapku sesaat.“Jadi Mas tuduh aku naif, tadi Mas bilang aku bodoh, sekarang naif?”Mas Reno tertawa kecil.“Bodoh dan naif itu hampir sama. Itu ada pada dirimu, Sayang!”“Kenapa semua orang mengatakan begitu? Mungkin aku harus berubah, ya? Aku harus bagaimana, coba?” tanyaku putus asa.“Kau mau berubah?”“Hem, sangat mau. Agar orang-orang culas seperti mereka tidak bisa lagi memnafaatkanku.”“Aku akan membantumu.
Bab 121. Jenazah DiTolakMas Reno menghenyakkan tubuh di sofa. Dia terlihat lelah setelah beraktivitas seharian. Aku segera menuju dapur. Segelas air jahe hangat mungkin bisa bisa menyegarkannya.“Ibu? Sedang apa?” Bik Yerti keluar dari kamarnya.“Membuat air jahe hangat, Bik. Bibik belum tidur?”“Kenapa enggak bangunkan saya? Mari, biar saya saja,” BiK Yerti mengambil alih.“Tidak usah. Saya minta tolong bangun kan Pak Basir saja!”“Untuk apa, Bu?”“Ini udah terlalu malam. Mas Reno enggak mungkin balik ke Medan. Tolong Pak Basir temani dia tidur di kamar toko. Bibik bersihkan dan siapkan dulu bantal dan selimutnya, ya!”“Oh, baik, Bu.” Wanita itu bergegas memenuhi permintaanku.Saat kembali ke ruang
Bab 122. Terjangan Melur di Perut Harum“Kampung kami ini kampung orang bersih, enggak ada sejarahnya narapidana dari kampung ini. Apalagi mayat yang mati bunuh diri. Sial itu! Pergi sana!”“Bawa pergi mayat itu! Usir keluarga pelakor itu!”“Usir keluarga penjahat itu! Penculik! Sampah masyarakat!”Teriakan-teriakan itu kian membahana. Ambulanc dan mobil polisi tak bisa melanjutkan perjalanan.Seorang polisi keluar dari mobil, sepertinya dia bernegosiasi dengan Pak Kades. Mak Uda juga keluar dengan dikawal dua orang petugas.“Apa maksud kalian ini, Ha!” teriaknya tiba-tiba.“Maksud kami, kau dan anak-anakmu tidak boleh menginjakkan kaki lagi di kampung ini. Termasuk jenazah kalian sekalipun. Haram hukumnya tanah kampung ini dipijak oleh keluarga busuk seperti kalian, apalagi akan
Bab 123. Harum Kena TBCHari ini Mas Reno Sidang Skripsi. Dari tadi aku was-was menanti kabar. Semoga semua berjalan lancar. Agar tidak menghalangi rencana kami selanjutnya. Besok pagi, Bang Rehan datang dari Pekan Baru. Dia meminta acara lamaran dari keluarga Mas Reno disegerakan. Kalau Sidang Mas Reno bermasalah, aku takut akan menghalangi acara lamaran nanti.“Nungguin telpon, ya?” goda Mala mengagetkan. Dia yang sedang sibuk memeriksa orderan terkekeh melihatku tersentak.“Kamu! Ngagetin aja!” sergahku.“Telepon aja duluan!” usulnya setelah tawanya reda.“Enggak, ah. Takut ganggu.”“Ya, udah, kalau begitu, kamu sabar, dong!”“Aku sabar, kok. Siapa bilang aku enggak sabar?”
Bab 124. Kuusir Harum Tanpa Rasa Iba“Tidak, dia langsung pulang setelah menitipkan sedikit uang pada perawat. Keluar dari rumah sakit, aku bingung mau ke mana. Terpaksa kujual hapeku untuk makan. Dua hari ini aku sudah kehabisan uang, Kak. Enggak bisa makan lagi. Aku coba cari kerja, enggak ada yang ngasih kerjaan. Orang-orang malah jijik ngeliat aku, Kak. Aku enggak tahu lagi bagaimana caranya agar bisa bertahan hidup. Makanya aku nekat nemui Kakak.”“Maksudmu apa nemui, aku?”“Kak … aku harus ke mana lagi, kalau bukan sama Kakak ….” Perempuan itu kembali menangis.Pegawai toko yang baru pulang mengantar orderan terheran- heran melihatnya. Tetapi, tak seorang pun yang berani bertanya.“Jadi maksudmu apa? Kau mau apa? Bilang aja!” tanyaku sengaja mempermainkan perasaannya. Sebenarnya aku sudah tahu
Bab 150. Ekstra Part 5 (Pernikahan Mala Dan Diky)"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu.
Bab 149. Balasan Kejam Buat sang Durjana ( Ekstra Part Akhir) VOP Fika Aku memang sudah berumur. Sudah hampir kepala empat. Hingga detik ini tak juga menikah, karena memang tak mau menikah Keputusanku tak mau menikah bukan karena apa-apa. Rasa kecewa karena pernah bertepuk sebelah tangan, membuatku tak mau membuka pintu hati pada siapa pun lagi. lebih baik hidup sendiri dari pada kecewa lagi. Fajar, pemuda yang telah mencuri hatiku. Sayang, dia tidak ada rasa sedikitpun untuk menerima kehadiranku. Cintaku tak berbalas. Cinta bertepuk sebelah tangan. Tetapi, aku tidak pernah membencinya. Saat dia memilih wanita lain sebagai pendamping hidupnya, aku turut berbahagia. Meski sakit, aku harus tetap waras. Fajar tidak bersalah. Wanita pilihannya juga tidak salah. Yang bersalah itu adalah aku.&nbs
Bab 148. Ekstra Part 4 VOP Gilang "Selamat menghirup udara bebas! Selamat datang kembali di dunia yang penuh sandiwara ini!" Aku terperangah. Seorang wanita tinggi semampai berkacamata hitam, menegurku. Aku tidak dapat mengenalinya. Lama kupindai wajah dan penampilannya. Rambut sebahu hitam legam, badan padat berisi, dan suara yang tegas penuh wibawa. "Selamat menjalani babak kedua dalam hidupmu?" ucapnya lagi. Jemari dengan berkutek merah terang itu memegang bingkai kacamata, lalu menanggalkannya perlahan. "Fika ...!" gumamku terkejut. Pengacara wanita yang telah membuat sang Hakim mengetuk palu, memutuskan hukuman penjara buatku. "Enggak ada yang jemput, ya? Kasihan banget kamu. Mana keluargamu?" Aku hanya m
Bab 147. Ekstra Part 3 “Oh, iya, sabar, ya, Bu. Sebentar saja, kok! Enggak lama. Mereka pelanggan tetap saya. Harus ekstra pelayanannya. Memang Ibu yang duduk duluan di sini, tapi, mereka yang memesan duluan.” Penjual es itu, tak menghiraukanku. “Saya duluan! Saya dari tadi di sini! Mentang-mentang mereka orang kaya, saya orang miskin, saya enggak dilayani, begitu? Saya bisa obrak abrik warung jelekmu ini tau?” teriakku mulai emosi. “Lho dari tadi ibu enggak minta, mereka pesan, baru ibu minta, sabar, dong!” Penjual es tak juga memenuhi permintaanku. “Pokoknya layani saya dulu! Saya sudah tidak sabar! Biar jadi pelajaran buatmu! Jangan pilih kasih sama pembeli, ya!” “Ya, sudah, ibu ambil yang sudah dibungkus itu, dulu, enggak apa-apa, saya akan ganti nanti buat mereka, tanggung ini, dua bungkus lagi!” “Saya e
Bab 146. Ekstra Part 2 Secara rutin aku memeriksakan diri ke dokter. Namun penyakitku tak juga kunjung sembuh. Awalnya tak menunjukkan gejala apa-apa. Tetapi setelah beberapa tahun kemudia, infeksi itu sudar menyerang bagian dalam tubuh. Mulai dari uterus, bahkan alat kelamin itu sendiri. Melihat kondisiku, tak ada lagi lelaki hidung belang yang mau menggunakan jasaku. Mereka merasa jijik dan takut tertular. Padahal aku tak pernah mengatakan tentang penyakitku. Aku hanya deman biasa, begitu alasanku. Tapi, melihat kodisi tubuhku yang kian kurus tinggal tulang, juga lemah tak bertenaga, mereka semakin curiga. Bokong dan dada besarku yang sangat terkenal di kalangan lelaki durjana itu, mulai menipis. Hilang sudah andalanku dalam menjerat mangsa. Aku menganggur. Makan tidur menjadi tanggunagn Bang Jordan. Dia mulai marah karena mengaggap aku tak lagi meguntungka
Bab 145.Ekstra Part 1 VOP Harum Kehancuran Kak Melur adalah target utamaku. Dia yang telah membawaku ke kota ini, semua masalah ini timbul karena dia, Aku dan keluargaku terusir dari kampung, juga karena dia telah menghasut orang kampung. Sekarang, Mas Yanto meninggal, Ibu di penjara, dan aku terlunta-lunta dengan penyakit di tubuhku. Ke mana aku akan bernaung sekarang? Setelah kucoba mengemis kepadanya, dia malah mengusirku dengan kasar. Harusnya dia bertanggung jawab dan menampungku. Sekarang, ke mana aku akan melangkah? Uang yang di berinya waktu itu hanya cukup biaya makan seminggu. Untung tempat tinggal aku enggak perlu bayar. Bekas toko ini bisa kugunakan untuk tempat bernaung. Tapi untuk makan besok, aku uang dari mana? Sebuah Mobil berhenti di depan toko. Gegas aku keluar melihatnya. Itu Bang Jordan, teman Mas Gilang sekaligus tempat
Bab 144. Cinta Pertama Dan Selamanya (Tamat) Itu Kak Bulan. Dia merekam video ini untukku? Kak Bulan tengah duduk di samping sebuah ranjang pasien. Sepertinya seseorang sedang berbaring di ranjang itu. Entah siapa, wajahnya tidak muncul di rekaman. “Maaf, ya, Mel. Sepertinya kamu sudah duluan lihat fhoto-fhoto itu baru buka plasdisc ini. Iya, kan? Pasti kamu sedang marah, emosi, kecewa dan mungkin kamu juga udah ngusir Reno. Aku enggak tahu persis apa yang terjadi di situ. Aku hanya berusaha memberi yang terbaik buatmu, adikku. Selama ini kami sekeluarga telah membuat hidupmu hancur. Untuk terakhir kalinya aku berusah setidaknya bisa menyelamatkan pernikahan yang baru saja kau mulai. Isi Plasdisc ini aslinya bukan ini, Mel. Sengaja kuhapus, dan kuganti dengan yang ini. Tapi, foto-foto itu enggak bisa kuganti, karena dia yang memesan karangan bunga itu. Kau tahu siapa? Ha
Bab 143. Kejutan Di Malam Pertama Pertama“Terima kasih sudah menjadi istriku, Mel! Aku sangat mencintaimu! I Love you, Sayang!” bisiknya lembut di telinga.“Kau juga tampan sekali, Mas, aku bangga dan sangat bersyukur bisa memilikimu. I love you, too,” balasku mengerjapkan mata.“Terima kasih.” Mas Reno tersenyum lagi. “Sekarang, ya?” tanyanya memohon izin.Aku tak menjawab, karena memang dia pun tak menunggu jawaban dariku. Mulutku tak lagi bisa berucap. Bibir kenyal mas Reno telah melumatnya. Awalnya begitu lembut, namun sesaat kemudian berubah kasar. Mas Reno melumatnya dengan begitu rakus.Aku membalas setiap lumatannya. Makin terhanyut saat lidahnya menerobos masuk ke dalam mulutku. Mas Reno menjelejah setiap inci rongga mulutku. Memeprmainakn lidahku de
Bab 142. Pernikahan Kedua Dan TerakhirkuKupaksa otakku berfikir keras. Mencoba membongkar memori ingatan, namun, tetap tak kutemukan. Tunggu, suaranya? Suaranya, sepertinya juga tidak asing. Sepertinya aku sering mendengarnya, tapi siapa? Apakah karena tertutup masker, sehingga suaranya agak susak kukenali. Rasa penasaram mengaduk hati, ok, aku akan cari tahu dari si pengirim karangan bunga itu.Aku bangkit perlahan, menuju sudut ranjang. Baru saja tanganku hendak meraih kertas kecil yang terselip di karang bunga yang lumayan cantik itu, seseorang memanggilku untuk segera keluar.“Mel! Ayo, rombongan mempelai pria akan segera tiba. Akad nikah akan segera dimulai.”Mala dan Rani berdiri di ambang pintu kamar. Keduanya berkebaya dengan warna dan model yang sama, rambut mereka berdua digelung rapi, wajah di make up cantik.