" Mana ada jelas-jelas dari begitu, " tuntut Amaz.
"Udah ah kapan mulainya nih." Potong Binar menengahi keduanya. Perdebatan itu tidak akan berujung sampai kapan pun. Keduanya sama-sama saling mengotot membela diri dan menyangkal.
"Hehehhe. Kakak loh orang baik yang dibawa ke sini sama abang. Kemarin itu dia pernah bawa kak Trea ke sini. Sebel banget aku sama dia. Di depan bang Amaz ngomongnya sok kayak Princess, padahal megang gunting aja nggak tahu." Lapor Ishad."Ngapain di bahas sih tuh orang. Gak jelas tau. Bikin gue tambah naik darah saja," Gerutu Amaz tidak terima.
"Oh si Trea. Emang gitu dia." Gumam Binar. "Iya kak, yang lebih ngesalin itu di belakang bang Amaz dia nyindir gue. KPagi-pagi sekali saat semua orang sedang sibuk dengan aktivitas di rumah mereka masing-masing bahkan saat pemilik rumah makan belum membuka dagangannya, Aras sudah siap-siap dengan rapi untuk ke tempat Tiar. Ia ingin membicarakan sedikit kesalahpahaman kemarin.Aras berhenti di depan rumah Tiar."Tumben pagi-pagi gini udah rapi. Emang mau kemana?" Tanya Aras basa basi.Tiar masih tidak peduli. Tiar sudah rapi dengan pakaian olahraganya. Kata dokter, ini bagus untuk kesehatannya."Hei. Tiarsha Putri Dien" ujar Aras."Bukan urusan kamu!" Bantah Tiar."Kata siapa? Kalau salam tidak di jawab berarti urusan saya." Protes Aras sengaja agar mencari ribut dengan Tiar."Sejak kapan kepoh di samakan artinya dengan sapaan?" Akhirnya Tiar terpancing. Ia tidak tahu pagi ini Aras berpura-pura bego agar mendapat maaf darinya. Biarpun Tiar masih tidak mau memberi
Amaz tiba di tempat Pemakaman Umum. Ia berhenti pada sebuah makam dengan bertuliskan Afra Konath pada nisannya. Ia menaburi bunga yang dibawanya diatas makam itu.“Loh yang tenang di alam sana. Gue bakalan buat orang yang sudah menyerang loh untuk bisa merasakan hal yang sama,” bisik Amaz. Air matanya mulai membasahi pipi tirusnya. Ia ingat betul bagaimana kejadian dua tahun yang lalu, beredar berita di koran, dan sosial media lainnya tentang kematian Afra.“Remaja dengan inisial AK mengaku menemukan korban yang sudah babak belur dan dilarikan ke rumah sakit terdekat, namun sayangnya korban tidak tertolong.” begitulah berita yang beredar di media massa dan pusat perberitaan.“Sialan itu bersembunyi dibalik topeng sok sucinya. Padahal ia tak beda dari sampah! Saya yakin dia yang sudah bunuh loh.” geram Amaz.Setelah berdoa ia meninggalkan tempat itu sementara di sisi lain Binar sedang dalam perjalanan menuju ke situ.
Dihari yang sangat terik ini Aras sengaja memacu mobil milik Venya dengan ngebut, agar cepat sampai di rumah. Ia juga menyetel musik slow kegemarannya.“Namanya Binar, kamu kenal dia?” tanya Venya Karyasa.“Binar.” Tapi tidak mungkin Alien itu yang disebut anggun sama Mama, pikir Aras.“Mama lupa siapa nama lengkapnya, fotonya juga tidak ada pada mama.” Keluh Venya menyesal, karena belum pernah berfoto bersama Binar.“Kamu kenal?” tanya Venya lagi.“Tidak Mah, gak tahu,” balas Aras setelah yakin Binar yang dimaksud ibunya bukanlah Binar yang ia kenal. Didunia yang luas ini, yang namanya Binar pasti bukan Cuma satu, pikirnya.“Yah sudah, besok-besok mama kenalin kamu sama dia,” balas Venya yakin.Aras sengaja membawa Venya ke sebuah danau kecil di jalan yang mereka lewati. Hal ini mengingatkan mereka akan masa kecil Aras yang selalu mengunjungi danau ini seti
Binar pulang tanpa memikirkan reaksi Aras atas tindakannya tadi. Sikap cuek dan masa bodonya kembali mengisi hatinya. Apalagi untuk orang yang menyebalkan seperti Aras.Binar langsung makan malam bersama Bi Imba tanpa banyak basa basi. Bahkan ia malas membahas tentang perjalanannya esok pagi, tentu saja Aras yang telah merusak moodnya. Bayangan tentang omelan Aras tadi terus terngiang-ngiang ditelinganya. Ia dituduh tukang stalking itu yang paling tidak Binar terima. Bagaimana tidak, Binar sendiri sangat jauh dari kata itu. Sebenarnya ia tidak terlalu peduli dengan ucapan orang tentang dirinya, namun ucapan Aras tadi, orang yang sudah dianggap teman olehnya. Berkali-kali ia telah berkorban banyak untuk Aras, bahkan ia sampai dikejar musuh bebuyutannya Aras.Pagi-pagi sekali bahkan saat tidak ada sedikitpun jejak mentari pagi akan muncul, Binar sudah dalam perjalanan menuju kampung halamannya. Untuk memastikan akankah ucapan ayahnya itu b
Bunyi bel panggilan dari gerbang rumah membuyarkan heningnya suasana sarapan mereka. Bi Imba berinisiatif untuk membukakan pintu gerbang. Berhubung ia sudah tahu cara membukanya, ia yang paling berinisiatif, ditambah statusnya Cuma sebagai pembantu di rumah itu. Namun Binar maupun Irishena sangat berhati mulia. Mereka tak pernah meminta Bi Imba untuk melakukan sesuatu jika sedang makan.“Biar aku saja,” ujar Binar dan Irishena bersamaan.“Binar saja,” ujar Binar lagi.Binar membersihkan sisa makanan yang mungkin saja menempel di area mulutnya, setelah itu berlari kecil untuk membuka pintu.Amaz turun dari motornya dengan wajah sumringah.“I have good news,” ujarnya bersemangat.“What?” ujar Binar tidak ingin basa basi.“Tulisan kita. Kita juara satu untuk kategori Esai Budaya se-Indonesia,” sorak Amaz.“Serius?” tanya Binar tidak men
Bi Imba segera memberi mereka masing-masing segelas teh hangat, “Ini cocok buat angetin yang dingin-dingin begini,” katanya.“Makasi Bi, maaf sudah merepotkan,” balas Binar dan Aras kompak.Irishena menyipitkan matanya kepada Binar, dengan maksud menanyakan pada Binar siapa lagi yang ia bawa kesini. Binar seakan paham dengan isyarat ibunya.“Mah, kenalin, ini temen kampus ku. Aras namanya,” ucap Binar.Irishena menatapnya ramah begitu pula Aras yang memberikan senyum terbaikknya.Mereka pun langsung makan siang. Keluarga Binar sangat suka makan, tapi tidak satupun ada yang gendut. Entah kemana makanan bergizi itu.Ponsel Aras berderit, memecah syaduhnya ruangan itu.“Bro, jadi maksud loh kemarin, kita gak usah lagi jaga di rumah itu, untuk selamanya?!” tanya seorang dengan tegas.“Iya, kalian tidak usah lagi ke rumah ini,” Aras langsung terhenti, ia keceplosan.Seme
Aras menyadari mungkin seperti ini rasanya mencintai tanpa tahu jika dia sedang dicinta. Mungkin begitulah perasaan para cewek yang pernah ditolaknya. Bedanya mereka sudah punya keberanian untuk menyatakan cintanya, tetapi Aras belum siap ke langkah itu. Masih menyimpan rasa saja ia sudah ditampar oleh kenyataan yang membuat hatinya luluh lantak.Aras pun sama, memilih untuk tidak mengikuti ibunya. Ia mengenang nasib cintanya bersama rintikan air hujan yang dinginnya menusuk tulang. Setelah cukup basah kuyub ia baru sadar kalau ponselnya bukan anti air. “Ah bodoh!” geramnya.Ia pun terlebih dahulu menyelamatkan ponselnya, yang mati total. Perasaan tadi ia meninggalkan ponselnya dengan arus yang masih banyak. Tiar datang disaat yang tepat, saat Aras butuh kendaraan yang mengantarnya pulang ke rumah. Seberat apapun masalah yang kita hadapi rumah akan selalu menjadi tempat pulang semua orang, kecuali jika penghuninya yang bermasalah, kebanyakan d
Sebuah pesan bergambar masuk ke ponsel Amaz. “Maaf bro, tadi kita gagal. Lagi-lagi cewek ini yang tolongi dia,” itulah kalimat keterangan pada gambar itu.Amaz menatap geram ketika membaca pesan itu, sebelum ia melihat isi gambar itu. Mata Amaz terbelalak saat netranya menatap gambar gadis cantik difoto itu. Seseorang yang sangat tidak asing baginya. Gadis yang akhir-akhir ini mengisi hatinya. Menempati ruang hampa disela kekosongan hidup yang ia rasa. Wajah dengan penuh ketegasan itu tampak sangat serius tanpa sedikitpun mengumbarkan senyumnya. Tidak sedikit berbeda dengan tampilan asli sejauh yang Amaz kenal.Dalam benak Amaz timbul sejuta pertanyaan yang satu pun belum ada yang terjawab. Hari ini ditambah sosok yang ia cintai menambah sebuah masalah dihidupnya. Amaz pun mengikuti Binar dengan diam-diam.“Hei,” ujar Binar akhirnya setelah hampir satu menit mereka saling tak mengenal.Aras tak sedikitpu