*Farida Almeera*
Aku membuka amplop yang berisikan akta ceraiku. Seminggu semenjak kejadian Zulaikha yang berusaha menjerat Gus Azzam, aku dan Gus Fadil memutuskan berpisah. Karena mau dipaksa pun percuma. Kami tak pernah saling mencintai. Abah dan Umi sangat sedih dan merasa bersalah kepadaku. Tapi aku berusaha memberikan pengertian bahwa ini sudah menjadi garis takdirku. Alhamdulillah mereka menyadari kekhilafan mereka dan tak lagi memaksaku dalam hal apapun.Sudah tiga bulan aku menyandang status janda dan aku sangat menikmatinya. Saat ini kesibukanku adalah mengajar di pondok Abah dan aktif dalam komunitas bakti sosial yang bergerak untuk membantu para anak jalanan agar bisa membaca dan menulis. Dan aku sangat bahagia.Saat aku menuju ke tempat anak-anak asuhku, aku melihat seorang wanita yang tengah berjalan tertatih dengan perut membesar. Aku meminta Kang Darno menghentikan mobilnya."Kang stop Kang, lihat ada ibu-ibu yang butuh bantuan kita."Fara Salwa Humaira. Adalah nama cantik yang dipilih oleh Kang Rasyid. Hampir sebulan Kang Rasyid berada di sini. Keadaannya sudah mulai stabil bahkan dia sudah mulai aktif menghandel kembali bisnis fotokopi dan studio fotonya. Aku ingat Kang Rasyid memang senang memotret. Dan hasilnya sangat bagus."Ning.""Kang."Kang Rasyid tersenyum sumringah ke arahku dan kemudian mengelus lembut putrinya yang tengah tertidur."Baru pulang Kang?""Iya Ning, banyak orderan foto kelulusan dan pernikahan.""Syukurlah.""Njenengan kenapa gak nikah lagi Ning?""A-apa maksudnya Kang?""Kenapa njenengan gak mau nikah lagi. Padahal banyak Gus yang melamar njenengan katanya."Aku terdiam, aku tak tahu harus mengatakan apa padanya. Kemudian aku menghembuskan nafasku perlahan."Untuk apa menikah Kang, kalau jatuhnya saya tidak akan pernah bahagia.""Ning. Kenapa Ning bicara seperti itu?""Sekarang saya yang balik tanya. Kenapa Kang Rasyid gak
*Fadil Abdul Ramadhan*"Pergi ....""Hahahaha ... mana kamu Azzam? Hahaha .... Aku cinta kamu ... Aku mau jadi istrimu. Hahaha."Aku menangis melihat wanita yang kucintai sedang ditangani oleh seorang psikiater dan para perawat. Setelah kejadian itu, aku segera membawa Zulaikha ke Jakarta. Dengan meminta bantuan Mas Fatur, aku akhirnya menemukan rumah sakit untuk merawat Zulaikha.Masih kuingat perkataan dokter yang menangani Zulaikha saat itu."Istri anda mengalami tekanan demi tekanan sejak kecil. Status sebagai anak istri kedua adalah awal kondisi psikisnya terganggu. Ditambah lagi cinta pertama yang tak berbalas yang berujung pada sebuah obsesi membuat kondisinya semakin parah.""Apa bisa sembuh Dok?""Insya Allah. Yang penting dukungan dari keluarga sangat penting."Aku menghembuskan nafasku. Aku harus kuat, ini demi Zulaikha dan diriku sendiri. Sudah cukup selama ini aku menjadi seorang pengecut, saatnya aku harus bangkit demi kebahagiaa
* Lailatul Mukaromah*Cinta tak berbalas mungkin itulah kisahku. Dia adalah cinta pertamaku. Aku bertemu dengannya secara tak sengaja. Usiaku waktu itu masih 17 tahun.Saat itu aku sedang berjalan bersama para sahabat mondokku di Bumiayu. Kami baru saja membolos ngaji. Di tengah perjalanan kami dihadang oleh tiga preman, kami berteriak dan tiba-tiba saja ada seorang lelaki yang menolong kami. Dia menghajar ketiganya. Hingga ketiga preman itu lari."Kalian tidak apa-apa?""Tidak Mas," ucapku."Pulanglah kalian ke pondok, bukannya ini seharusnya jam ngaji. Ini teguran untuk kalian. Lain kali jangan seperti ini."Lelaki itu pun berlalu bahkan tak menyebutkan namanya saat kutanya."Mas," teriakku.Dia menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap kami."Nama kamu siapa?" Aku bertanya antusias.Dia tak bergeming bahkan pergi begitu saja. Tapi wajahnya sudah terpatri dalam memoriku.Hingga lima tahun setelah aku lulus Aliyah, a
Seorang remaja berusia 17 tahun tengah mengendap-ngendap menuju ke suatu titik. Disana ada remaja lain tengah sibuk berlatih pernafasan.Si remaja tadi tersenyum jahil dan melirik pada genggaman tangannya."Hihihi. Kena kamu kali ini."Dia lalu berjalan pelan ... pelan ... 1, 2, 3."Kacang ... kacang ... kacang ...." teriaknya dan menyebar segenggam kacang tanah ke arah tubuh remaja satunya."Huwaa ... Abah ... Umi ... Mas ... huwa ...."Si remaja lari terbirit-birit dan hampir saja terpeleset. Untung keseimbangan tubuhnya bagus sekali."Hahaha ... hahaha ... Ya Allah ... Ngakak aku ... hahaha." Azada tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksi Aidan.Ya Aidan fobia terhadap kacang tanah gara-gara saat usianya 5 tahun dia pernah secara sengaja memasukkan biji kacang tanah melalui hidungnya karena penasaran. Akibatnya, dia harus dibawa ke rumah sakit dan dengan bantuan dokter akhirnya kacang itu berhasil dikeluarkan. Sejak saat itu Ai
"Sssstttt.... Itu si Aslan Triplets.""Mana ... Mana .... ""Arah jam 9.""Uhhh ... Heran deh kok bisa mereka seganteng itu sih. Emak Bapaknya bikinnya gimana ya?""Mau aku jadi salah satu istri mereka.""Emangnya kamu lebih suka yang mana?""Aku? Aku suka lelaki cuek bin dingin kayak Kang Aidan.""Kalau aku suka lelaki humoris nan romantis ... Kayak Kang Azada.""Kalau aku suka sama kakak mereka. Sudah kalem, pembawaannya tenang, ganteng lagi hihihi.""Hahahaha."Begitulah percakapan para santriwati yang melihat Aslan triplets. Jangan salah guys Aslan triplets sangat terkenal. Kenapa? Karena selain sangat jarang ada kembar tiga mereka juga ganteng. Klepek-klepek dah para fansnya.Belum lagi duo ‘A’ yang terkenal sebagai pembuat masalah. Bukan jenis kenakalan yang berat sih. Paling bolos ngaji, tidur di kelas, suka keluar pondok, kalau gak ada ustaz pada suka nongkrong jajan di kantin, dapat surat dari fans yang seab
Di sebuah kali yang begitu jernih airnya dengan pemandangan gunung dan pepohonan yang masih hijau, terdengar suara tiga remaja berusia empat belas tahun tengah bermain-main di aliran sungai. Mereka adalah tiga remaja yang sengaja dikirim oleh para orang tua untuk belajar ngaji di rumah Abah Daud, seorang ustaz terkenal di kampung Sidomulyo, Wonosobo. Mereka akan tinggal selama dua minggu selama liburan semester."Astaghfirulloh, Jujut, Surti! Kalian mau ngapain?""Aku mau renang dan menyelam dulu," sahut Jujut lalu melepas semua atribut khas santrinya dengan baju renang model celana pendek dan kaos pendek."Kalian gak takut dilihat orang? Kalau tiba-tiba ada yang ngintip gimana?" tutur seorang santriwati berpakaian tunik ungu dan menggunakan rok panjang."Kamu itu terlalu khawatiran Mimih Perih, percaya deh gak ada orang disini. Kalau pun ada. Mereka itu pangeran yang lagi nyari bidadari," celoteh Surti sambil memasang kemben pada tubuhnya sehingga tereksposlah s
POV Jamal"Abah gak setuju kamu itu kuliah ngambil perikanan, pokoknya ngambil jurusan agama sajalah, mau tarbiah, dakwah atau hukum islam gitu. Mosok jurusan perikanan.""Tapi Jamal seneng sama ikan Bah, tamannya Jamal udah banyak loh. Nanti kalau kuliah di perikanan, Jamal jadi bisa tahu bagaimana menggeluti bisnis budidaya ikan atau udang dengan benar. Ya Bah, Jamal mohon?" bujukku."Wes to Mal, manut karo abah sama umi. Kamu kuliah di IAIN Surakarta saja ya. Atau kalau mau di UNS gak papa ambil yang keguruannya. Terserah mau ambil yang mana?" tambah Umi."Nah wes gitu aja Mal. Kamu boleh gak ngambil jurusan yang berbau keagamaan yang penting ambil keguruannya. Soalnya kamu kan harus bantu mas-mas kamu mengajar di pondok," titah Abah tegas.Aku hanya mendengkus kesal. Mau marah pun percuma, mau mogok apalagi. Minta bantuan ketiga kangmasku juga percuma. Mereka semua kan manut sama Abah.Jamaludin Akbar namaku, usiaku sekarang 18 tahun. As
POV NadaAku memandangi gerbang kampus UNS dengan antusias. Yes. Akhirnya aku kuliah disini.Namaku Nada Nur Maulida, 18 tahun. Asalku Bumiayu, kedua orangtuaku pengasuh pondok Al-Falah Bumiayu. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakakku perempuan semua dan yang sulung baru saja menikah. Aku memiliki sifat canggung dan pemalu sekali. Namun jika bersama orang-orang terdekatku, aku bisa menjadi sosok yang cerewet dan manja sekali termasuk kepada kakak sepupu sekaligus sepersusuanku ini. Mas Azzam namanya atau dikenal dengan gus singa garang. Begitulah julukan masku kalau di Al-Hikam. Hihihi."Ayok masuk.""Oke Mas."Kami mulai memasuki kawasan kampus UNS tepatnya dikawasan rektorat untuk melakukan daftar ulang dan cek kesehatan."Wah banyak banget ya Mas mahasiswanya.""Hem."Aku mulai antri, dan menunggu giliranku untuk masuk.Saat aku akan masuk, aku sedikit merengek pada Mas Azzam karena rasa takut
Hamdan menatap istrinya dengan sorot kemarahan, sementara Saroh hanya bisa menunduk. Safina sendiri sudah gemetar ketakutan. Sementara Nida menatap ketiganya dengan ekspresi datar. Nida baru saja ada urusan. Berhubung dia melewati sebuah mall, dia memutuskan mampir karena mau membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang sudah habis. Tak menyangka dia bertemu dengan Saroh dan Safina. Seperti biasa Saroh akan mendesak Nida untuk menerima Safina jadi madu. Safina sendiri bertekad untuk berani jadi dia pun mengemis-ngemis kepada Nida agar menerimanya. Namun hal yang tidak diketahui Saroh adalah Hamdan ayah Hilman tidak sengaja berada di tempat yang sama dengan mereka. Hamdan baru saja berceramah di sebuah masjid yang berada dekat dengan mall. Dia yang melihat keberadaan ketiga orang yang dikasihinya, mendekat. Namun saat mendekati ketiganya, Hamdan sempat berhenti mendekat ketika mendengar kalimat Saroh yang meminta Nida menerima Safina menjadi madu. Nida yang menghadap ke arah Hamdan,
Hilman memeluk istrinya penuh dengan sayang. Sesekali mencium kepalanya."Maafkan Umi Saroh ya?"Nida hanya diam dan lebih mengetatkan pelukannya pada sang suami. Sungguh dia merasa lelah sekali. Hasil tespeck yang lagi-lagi gagal. Omongan julit orang-orang yang selalu mempertanyakan kenapa dia belum hamil sementara Nada sudah punya sepasang putra dan putri. Ditambah rongrongan dari Saroh membuat mentalnya down. "Gimana kalau kapan-kapan kita pergi. Kemana gitu. Mau ke pantai atau muncak? Refreshing biar pikiran adem.""Gampang lah Mas, kalau Abah sama Umi atau Nada udah balik. Gak tenang aku kalau ninggalin pondok tanpa ada yang jaga.""Ya udah. Kamu ada agenda ngajar kan jam sebelas?""Iya, Mas juga kan?""Iya.""Ya udah, yuk kita siap-siap Mas."Kedua pasangan suami istri berdiri, kemudian berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap mengajar di sekolah.Selama seharian keduanya sibuk dengan tugas di sekolah. Pun Nida. Sejak tadi dia seperti tak ada waktu untuk duduk atau makan karena
Nida melemparkan hasil tespeck yang untuk kesekian kalinya hanya menunjukkan garis satu ke dalam tong sampah yang ada di dalam kamar mandinya. Setelah itu menarik napas secara dalam dan mengembuskannya secara kasar. Dia memilih jongkok lalu menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya yang tertekuk.Tangisnya muncul. Meski berusaha tegar, Nida tetaplah manusia biasa wanita biasa. Dia bisa saja terluka, dia bisa sedih dan butuh menangis. Cukup lama, Nida berada di kamar mandi. Setelah puas menumpahkan air matanya. Nida segera mencuci muka untuk menyamarkan bekas air matanya.Nida kemudian melihat ke arah kaca berukuran kecil. Begitu mata sembabnya sudah tak terlihat, Nida segera keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.Nida melirik ke dalam kamar, kemudian tatapannya tertuju pada jam dinding. Ternyata masih setengah enam, itu berarti suaminya masih berada di masjid kompleks pondok putra. Nida segera menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kebetulan keluarga Nada sedang
POV JamalAku masih duduk di dekat sebuah pusara. Sesekali kubelai nisan yang terbuat dari kayu. Atau mengambil butiran tanah dan kutaruh lagi pada gundukan yang masih basah. Bau beberapa macam bunga yang tersebar di atas makam begitu menyengat di indera penciumanku.Pandangan mataku mencoba menelusuri sekeliling tanah perkuburan yang terlihat sejuk dan rimbun dengan beberapa pohon Kamboja maupun beringin yang terlihat gagah dan tinggi."Mas."Sebuah usapan pada bahu kananku menyadarkanku pada sosok wanita yang sudah sepuluh tahun ini menemaniku dalam suka dan duka. "Sudah mulai sore. Ayok pulang. Kasihan juga Umi."Aku melirik ke arah Umi yang kini sedang menyandarkan kepalanya di atas bahu Mas Jalal. Terlihat sekali kesedihan di mata Umi. Meski Umi terlihat tidak menangis lagi, tapi aku tahu Umi adalah orang yang paling terpukul dengan kematian Abah.Aku bangkit lalu menuju ke arah Umi. Kuusap lembut kedua tangannya. "Kita pulang yuk Umi. Kasihan Abah. Kita harus ikhlas."Umi hany
POV NadaAku masih bergelung malas di atas kasur. Setelah sholat subuh harusnya gak tidur lagi, tapi beneran deh ngantuk. Capek juga. Sebuah kecupan hangat mampir di keningku. Aku tersenyum pada sosok pria berkulit eksotis dengan senyum sangat menawan."Capek?" tanyanya."Iya.""Mau jalan-jalan lagi gak?"Aku menggeleng. "Capek, mager juga.""Mau makan?"Aku menggeleng. "Kan tadi habis makan roti, masih kenyang.""Hehehe. Ya udah."Jamal ikut rebahan dan memelukku. Namun, kedua tangan dan bibirnya seperti biasa tidak suka nganggur. Suka sekali bikin tubuhku merinding disko."Mas! Aku udah mandi dua kali loh sepagi ini," rengekku. Semenjak menikah, aku menambahkan embel-embel 'mas' saat menyebut nama Jamal."Ya nanti mandi lagi. Mandi bareng sama aku," ucapnya genit."Mas! Astaga!"Akhirnya aku hanya bisa pasrah akan kelakuan suamiku. Ya sudahlah, toh kewajibanku juga sebagai istri.Selesai mandi untuk ketiga kalinya, aku dan Jamal segera melaksanakan sholat dhuhur kemudian kami seger
POV Jamal Senyum tak pernah lepas dari bibirku. Pokoknya kalau ada sutradara yang lagi nyari orang buat casting produk pasta gigi dijamin aku bakalan langsung tanda tangan kontrak. Lah, senyumku kan menawan. Wajahku rupawan lagi. Sesekali kulirik istri cantikku yang pukul sembilan tadi kuucapkan janji sehidup semati di hadapan abahnya, para tamu dan paling penting di hadapan Allah. Senyum pun tak pernah lepas dari bibirnya. Lalu kutolehkan pandanganku pada pelaminan di sisi kanan, terlihat pasangan pengantin lain pun tersenyum semringah. Hari ini, sedang terselenggara pernikahan dengan dua pasangan pengantin. Siapa lagi pengantinnya kalau bukan antara aku dan Nada. Dan di sebelah kanan kami, berdiri pasangan Mbak Nida dan Mas Hilman. Karena mereka udah jadi kakak iparku ya kupanggil dong dengan sebutan mas dan mbak. Aku bersyukur perjuanganku untuk mendapatkan Nada berhasil. Sempat down kemarin-kemarin. Sempat mutung (ngambek) juga. Untung ada Mas Singa Garang sama Si Jutek Caca ya
Begitu menginjakkan kaki di halaman rumah Jamal, aku tertegun. Tampak sosok Jamal yang berada di teras rumah. Di belakangnya ada Kamal dan sosok remaja lelaki yang begitu asing. Ketiganya kaget melihatku. Tapi aku justru senang. Itu artinya Jamal gak jadi pergi ke Mesir. Namun kesenanganku hilang saat melihat koper besar yang berada di tangan Jamal. Aku panik. Jangan-jangan Jamal beneran mau pergi ke Mesir."Jamal." Aku langsung menghampiri Jamal."Kamu mau ke Mesir?""Iya. Mau pindah ke sana, nyari cewek sana. Kan cantik-cantik." Suara Jamal terdengar ketus."Jamal. Aku minta maaf. Jangan pergi!""Buat apa di sini, cewek yang aku perjuangin gak mau nerima aku. Dia pasti malu. Aku kan gak tinggi-tinggi amat, kulitku eksotik, cuma penjual udang. Kalah sama cowok-cowok diluaran sana."Jamal menarik kopernya, dia berjalan melewatiku. Tentu saja aku mengekori langkahnya."Mal." Aku menekan pintu bagasi yang baru saja dia buka. Mataku menatapnya sendu."Mal, jangan pergi.""Minggir, Nad.
Aku hanya bisa tertunduk. Semua orang sedang menatapku dengan pandangan beraneka macam. Ada yang terlihat prihatin, sedih, kesal bahkan marah. "Sekarang maunya Ning apa? Minta Jamal menikahi Hana? Percuma Ning. Jamal udah pergi. Tadi malam dia minta ijin sama Abah, katanya mau ke Mesir aja. Katanya dia mau mengobati luka hati sambil usaha nyari istri, orang sana. Jamal bilang, siapa tahu di sana ada yang cinta sama dia. Menerima dia apa adanya. Ckckck. Jangankan di Mesir, orang di Indonesia saja ditolak mulu." Gus Jalal salah satu kakak Jamal bicara dengan nada biasa. Bahkan suaranya terdengar lembut. Sayang, bagiku ini seperti sindirian telak untukku. Abah dan uminya Jamal sendiri hanya diam. Tak ada satu pun kata terucap dari bibir keduanya. Tapi dari tatapan matanya, aku tahu. Mereka berdua begitu kecewa padaku."Maaf." Akhirnya hanya itu saja kata yang bisa keluar dari mulutku.Aku melirik ke arah Mas Azzam. Sayang, Mas Azzam sejak tadi tak bersuara. Dia hanya diam. Namun, tatap
POV NadaAku sedang merenung di salah satu kamar yang ada di pondok putri. Banyak hal yang sedang aku pikirkan. Salah satunya, percakapanku dengan Hana dan ibunya waktu itu.Flashback."Ning Nada kan?" Seorang wanita paruh baya menghampiriku yang baru saja selesai melaksanakan sholat duha."Iya, siapa?""Herlin. Mamahnya Hana.""Oh."Kami bersalaman. Bu Herlin tersenyum ramah padaku dan tentu kubalas senyumnya walau aku sedikit merasa kikuk."Boleh kita bicara?""Mau bicara apa, Bu?""Tentang Hana. Ayok ikut saya."Mau tak mau aku mengikuti langkah Bu Herlin menuju kamar Hana. Sampai di sana, aku kaget menemukan Hana yang kondisinya menyedihkan. Aku ingat, Mas Gino bilang jika Hana tak bisa berjalan lagi. Dia lumpuh. Ya Allah, kasihan sekali dia."Nada." Hana memanggilku dengan suara parau. Tangannya terulur padaku, dia menangis.Aku merasa tak tega melihat keadaannya, hingga kuputuskan