*Cahaya Mustika*
Aku menatap diriku melalui cermin besar di kamar Gus Azzam. Aku terpana, apa ini aku? Nada dan Ipeh yang selalu menemaniku pun menatap takjub ke arahku."Mbak Caca cantik banget?" pekik Ipeh."Ya Allah Ca, pantesan Mas garangku klepek-klepek sama kamu. Lah ternyata kamu itu kupu-kupu yang baru keluar dari kepompong rupanya." Aku hanya tersenyum malu."Ish ... gak usah sok malu-malu meong Ca, gak cocok tahu."Aku mendelik kesal ke arah Nada. Dan lihatlah dia cuma tertawa saja. Dih."Gimana sudah siap belum? Ya Allah Caca," pekik Umi Aisyah."Waduh ... cucu mantuku ayune puoollll. Pantesan si Azzam tresno karo koe," seru Simbah Suseni."Umi, Mbah," sapaku dan mencium tangan keduanya.Umi dan Simbah Suseni juga cantik. Mereka mengenakan kebaya dengan desain muslimah yang simpel tapi elegan.Apakah kalian penasaran dimana Gus Azzam? Habis subuhan, Gus Azzam diusir menuju kamar tamu di lantai bawah, sedangkan aMalam terang bertabur bintang, gak ada bulan. Maklum tanggal 29 dalam kalender Qomariah. Sepasang suami istri sedang rebahan diatas ranjang. Sang suami duduk menyandar pada tumpukan bantal dan sang istri memeluk manjah sang suami. Sesekali tangan sang istri mengelus-elus papan seluncur dan roti sobek sang suami dengan sayang. Ciah ... pasti cewek lain pada iri.Tapi jangan salah, sang suami juga nakal. Sesekali rambut panjang sang istri diputer-puter sama ujung jarinya. Belum lagi bibir tipisnya yang sesekali mengecup manja rambut, kening sama pipi istri yang cubby mirip bakpao. Sang istri hanya bisa malu-malu meong sambil menggelinjang geli merasakan bulu-bulu tipis yang melekat pada rahang sang suami."Kamu bahagia?" tanya Azzam pada sang istri."Caca sangat bahagia Mas," ucap Caca sambil meletakkan kepalanya di atas dada bidang milik sang suami. Sedangkan sang suami memeluknya sayang."Mas ....""Hemmm.""Caca boleh tanya gak?""Boleh."
*Cahaya Mustika*AnnyeonghaseyoCihuy ... Gini nih enaknya kalau punya suami oke punya, oke juga isi saldo rekeningnya. Hihihi.Biarlah kata orang matre toh sama suami sendiri. Dan lebih senangnya dia sendiri yang nawari beberapa hari yang lalu."Dek.""Dalem.""Kamu mau honeymoon kemana?" ucap suamiku sambil memutar-mutar manjah rambutku dan jangan lupakan aktivitas bibirnya yang nakal. Haish ... Tapi aku suka."Memangnya boleh?" tanyaku pura-pura polos padahal kita polos beneran loh kan habis olahraga malam. Uhuk."Ya bolehlah Sayang. Makanya Mas nawarin mau ke mana?""Korea.""Kenapa Korea?""Biar bisa ketemu oppa-oppa ganteng.""Mas ganteng juga kali, cuma gantengnya khas ala Jawa-Indonesia," sahutnya kesal."Iyalah kalau gak ganteng, gak maulah Caca nikah sama Mas Azzam," ucapku sambil memainkan bulu-bulu jambangnya."Hahaha. Bisa aja kamu. Eh beneran mau ke Korea nih?""Huum, Mas sendiri pen
*Azzam Daffa Al Kaivan*Seminggu setelah honeymoon ckckck ... kayaknya lebih enak aku bilang tamasya bersama ke Korea, aku mengajak istriku muncak ke gunung Prau di dataran tinggi Dieng. Hehehe.Sudah lama aku pengin muncak bareng kekasih halal biar pas kedinginan ada guling hidup buat mencari kehangatan. Eaaaak.Kang Bimo sedang pulang kampung mengurus tetek bengek untuk pernikahannya dengan Syarifah. Akhirnya dia gerak juga. Aku sedikit membantunya karena bagaimanapun dia sudah kuanggap saudaraku."Jadi nanti kita mau lewat jalur Wonosobo Mas?" tanya Caca."Iya," jawabku."Bisa mampir ke Sikunir juga gak?""Kamu mau?""Iya. Katanya golden sunrisenya bagus.""Oke nanti kita mampir, makanya kita lewat Wonosobo.""Mas kok kepikiran honeymoon kayak gini sih?""Kenapa? Gak suka?""Suka. Caca belum pernah muncak soalnya. Gak pernah dibolehin sama Hasan," sungutnya."Hahaha. Makanya Mas ajak muncak. Gunung Prau pas bu
*Cahaya Mustika*Aku dan Mas Azzam tengah menuju Jepara untuk menghadiri pernikahan Gus Arsyad. Besok dia akan menikah dengan wanita yang dipilihkan oleh sang Umi. Mas Azzam bercerita jika Gus Arsyad kehilangan Abahnya karena serangan jantung. Abah Gus Arsyad meninggal karena kaget mengetahui anaknya yang pendiam sampai berkelahi bahkan hampir saja membunuh orang.Kesalahpahaman menjadi awal penyebab retaknya persahabatan antara Gus Fatah dan Gus Arsyad dan semua ini dikarenakan ulah Ning Zulaikha. Ya ampun. Ngomong-ngomong tentang Ning Zulaikha, kami hanya tahu jika Gus Fadil membawanya berobat. Ning Farida sendiri telah resmi bercerai dengan Gus Fadil."Suka gak naik motor?""Sukalah kan jadi romantis, bisa sambil peluk kayak gini." Aku memeluk erat perut suamiku. Selama perjalanan kami terkadang mengobrol. Hampir setiap jam kami berhenti untuk istirahat sambil selfi-selfi.Apalagi kalau kami menemukan pemandangan indah seperti hamparan sawah atau al
"Masya Allah lucu sekali Mbak Na?" ucap Caca ketika melihat bayi kembar Reihan-Royyan yang kini berusia 5 bulan."Kamu juga bisa kok," ucap Nasha."Hah, beneran Mbak? Tapi Caca kayaknya gak punya saudara yang anaknya kembar deh." ."Halah sekarang dunia kedokteran kan canggih, coba kamu konsultasi sama temennya Mas Rayyan namanya dr. Prita. Nanti aku kasih nomernya.""Oke Mbak." Caca pun kembali mengajak main si kembar yang menggemaskan."Halo ... Ciluk ba ... Ciluk ba ... Astaga Mbak, Reihan kok mirip suamiku sih. Irit senyum. Dari tadi aku godain gak ada senyum babar blas.""Hahaha. Ya gitu deh. Ni anak kopiannya Mas Rayyan plek jiplek pokoknya. Ati-ati loh Ca. Suamimu sama suamiku setipe. Pasti salah satu anakmu bakalan mirip Gus Azzam.""Hahaha. Iya sih Mbak. Gak papa dingin-dingin romantis kok.""Kalau sama pawangnya." Kompak Caca dan Nasha lalu kedua wanita itu tertawa bersama.Sementara itu, para suami tengah ngopi tak jauh dari pa
*Azzam Daffa Al Kaivan*Aku tengah mengelus-elus punggung istriku. Aku tahu dia sangat ketakutan. Aku juga takut. Tapi aku berusaha tegar.Sungguh suatu keajaiban. Rupanya Allah meridhai usaha Caca yang ingin punya anak kembar. Bahkan Allah langsung kasih tiga. Wow ... mau tak mau aku harus ektra menjaganya apalagi selama hamil Caca tetap saja pecicilan.Masih kuingat saat perpisahan kelas dua belas dimana dengan santainya Caca ikut naik ke panggung bersama anak-anak Pramuka melakukan dance cover. Saat itu usia kandungannya sudah tujuh bulan. Aku dan para penonton yang berada di bawah dibuat senam jantung takut terjadi apa-apa. Empat nyawa soalnya yang harus dijaga. Tapi istriku justru cuek dan tetep saja joget. Ckckck.Untuk ngidam, justru akulah yang ngidam. Sedangkan Caca luar biasa ngebo. Apa saja dimakan. Gak pernah menyusahkan, duh pokoknya makin cinta deh."Mas.""Hem.""Mas yakin mau dampingi Caca.""Insya Allah, lagian sud
*Azzam Daffa Al Kaivan*"Kamu udah selesai, Dek.""Udah Mas, baru aja.""Gimana ada kendala gak?""Gak ada, Aslan triplet gimana Mas?""Tenang, ada Abah Aslan semua beres."Terdengar suara tawa Umi Aslan di seberang sana. Duh, baru juga ditinggal sehari udah kangen akunya."Mas Azzam mau oleh-oleh apa?""Apa aja yang penting nanti makannya disuapin sama Dek Caca yang cantik, bidadarinya Mas Azzam di dunia dan akhirat. Amin.""Amin. Ya Allah Mas, Adek kenyang di gombalin mulu sama Mas Azzam.""Hahaha. Soalnya Mas kan cinta banget sama Adek. Makanya pengin selalu memberimu kebahagiaan biar kamu selalu kenyang dan gak mau berpaling dari Mas," sahutku. Caca hanya tertawa."Ya udah, Caca tutup dulu ya Mas, mau cari makan.""Iya. Hati-hati ya Umi ... Aslan Kuartet kangen banget sama Uminya.""Oke. Assalamu’alaikum.""Wa’alaikumsalam."Klik.Caca sedang berada di UPI Bandung. Dia b
*Farida Almeera*Aku membuka amplop yang berisikan akta ceraiku. Seminggu semenjak kejadian Zulaikha yang berusaha menjerat Gus Azzam, aku dan Gus Fadil memutuskan berpisah. Karena mau dipaksa pun percuma. Kami tak pernah saling mencintai.Abah dan Umi sangat sedih dan merasa bersalah kepadaku. Tapi aku berusaha memberikan pengertian bahwa ini sudah menjadi garis takdirku. Alhamdulillah mereka menyadari kekhilafan mereka dan tak lagi memaksaku dalam hal apapun.Sudah tiga bulan aku menyandang status janda dan aku sangat menikmatinya. Saat ini kesibukanku adalah mengajar di pondok Abah dan aktif dalam komunitas bakti sosial yang bergerak untuk membantu para anak jalanan agar bisa membaca dan menulis. Dan aku sangat bahagia.Saat aku menuju ke tempat anak-anak asuhku, aku melihat seorang wanita yang tengah berjalan tertatih dengan perut membesar. Aku meminta Kang Darno menghentikan mobilnya."Kang stop Kang, lihat ada ibu-ibu yang butuh bantuan kita."
Hamdan menatap istrinya dengan sorot kemarahan, sementara Saroh hanya bisa menunduk. Safina sendiri sudah gemetar ketakutan. Sementara Nida menatap ketiganya dengan ekspresi datar. Nida baru saja ada urusan. Berhubung dia melewati sebuah mall, dia memutuskan mampir karena mau membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang sudah habis. Tak menyangka dia bertemu dengan Saroh dan Safina. Seperti biasa Saroh akan mendesak Nida untuk menerima Safina jadi madu. Safina sendiri bertekad untuk berani jadi dia pun mengemis-ngemis kepada Nida agar menerimanya. Namun hal yang tidak diketahui Saroh adalah Hamdan ayah Hilman tidak sengaja berada di tempat yang sama dengan mereka. Hamdan baru saja berceramah di sebuah masjid yang berada dekat dengan mall. Dia yang melihat keberadaan ketiga orang yang dikasihinya, mendekat. Namun saat mendekati ketiganya, Hamdan sempat berhenti mendekat ketika mendengar kalimat Saroh yang meminta Nida menerima Safina menjadi madu. Nida yang menghadap ke arah Hamdan,
Hilman memeluk istrinya penuh dengan sayang. Sesekali mencium kepalanya."Maafkan Umi Saroh ya?"Nida hanya diam dan lebih mengetatkan pelukannya pada sang suami. Sungguh dia merasa lelah sekali. Hasil tespeck yang lagi-lagi gagal. Omongan julit orang-orang yang selalu mempertanyakan kenapa dia belum hamil sementara Nada sudah punya sepasang putra dan putri. Ditambah rongrongan dari Saroh membuat mentalnya down. "Gimana kalau kapan-kapan kita pergi. Kemana gitu. Mau ke pantai atau muncak? Refreshing biar pikiran adem.""Gampang lah Mas, kalau Abah sama Umi atau Nada udah balik. Gak tenang aku kalau ninggalin pondok tanpa ada yang jaga.""Ya udah. Kamu ada agenda ngajar kan jam sebelas?""Iya, Mas juga kan?""Iya.""Ya udah, yuk kita siap-siap Mas."Kedua pasangan suami istri berdiri, kemudian berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap mengajar di sekolah.Selama seharian keduanya sibuk dengan tugas di sekolah. Pun Nida. Sejak tadi dia seperti tak ada waktu untuk duduk atau makan karena
Nida melemparkan hasil tespeck yang untuk kesekian kalinya hanya menunjukkan garis satu ke dalam tong sampah yang ada di dalam kamar mandinya. Setelah itu menarik napas secara dalam dan mengembuskannya secara kasar. Dia memilih jongkok lalu menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya yang tertekuk.Tangisnya muncul. Meski berusaha tegar, Nida tetaplah manusia biasa wanita biasa. Dia bisa saja terluka, dia bisa sedih dan butuh menangis. Cukup lama, Nida berada di kamar mandi. Setelah puas menumpahkan air matanya. Nida segera mencuci muka untuk menyamarkan bekas air matanya.Nida kemudian melihat ke arah kaca berukuran kecil. Begitu mata sembabnya sudah tak terlihat, Nida segera keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.Nida melirik ke dalam kamar, kemudian tatapannya tertuju pada jam dinding. Ternyata masih setengah enam, itu berarti suaminya masih berada di masjid kompleks pondok putra. Nida segera menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kebetulan keluarga Nada sedang
POV JamalAku masih duduk di dekat sebuah pusara. Sesekali kubelai nisan yang terbuat dari kayu. Atau mengambil butiran tanah dan kutaruh lagi pada gundukan yang masih basah. Bau beberapa macam bunga yang tersebar di atas makam begitu menyengat di indera penciumanku.Pandangan mataku mencoba menelusuri sekeliling tanah perkuburan yang terlihat sejuk dan rimbun dengan beberapa pohon Kamboja maupun beringin yang terlihat gagah dan tinggi."Mas."Sebuah usapan pada bahu kananku menyadarkanku pada sosok wanita yang sudah sepuluh tahun ini menemaniku dalam suka dan duka. "Sudah mulai sore. Ayok pulang. Kasihan juga Umi."Aku melirik ke arah Umi yang kini sedang menyandarkan kepalanya di atas bahu Mas Jalal. Terlihat sekali kesedihan di mata Umi. Meski Umi terlihat tidak menangis lagi, tapi aku tahu Umi adalah orang yang paling terpukul dengan kematian Abah.Aku bangkit lalu menuju ke arah Umi. Kuusap lembut kedua tangannya. "Kita pulang yuk Umi. Kasihan Abah. Kita harus ikhlas."Umi hany
POV NadaAku masih bergelung malas di atas kasur. Setelah sholat subuh harusnya gak tidur lagi, tapi beneran deh ngantuk. Capek juga. Sebuah kecupan hangat mampir di keningku. Aku tersenyum pada sosok pria berkulit eksotis dengan senyum sangat menawan."Capek?" tanyanya."Iya.""Mau jalan-jalan lagi gak?"Aku menggeleng. "Capek, mager juga.""Mau makan?"Aku menggeleng. "Kan tadi habis makan roti, masih kenyang.""Hehehe. Ya udah."Jamal ikut rebahan dan memelukku. Namun, kedua tangan dan bibirnya seperti biasa tidak suka nganggur. Suka sekali bikin tubuhku merinding disko."Mas! Aku udah mandi dua kali loh sepagi ini," rengekku. Semenjak menikah, aku menambahkan embel-embel 'mas' saat menyebut nama Jamal."Ya nanti mandi lagi. Mandi bareng sama aku," ucapnya genit."Mas! Astaga!"Akhirnya aku hanya bisa pasrah akan kelakuan suamiku. Ya sudahlah, toh kewajibanku juga sebagai istri.Selesai mandi untuk ketiga kalinya, aku dan Jamal segera melaksanakan sholat dhuhur kemudian kami seger
POV Jamal Senyum tak pernah lepas dari bibirku. Pokoknya kalau ada sutradara yang lagi nyari orang buat casting produk pasta gigi dijamin aku bakalan langsung tanda tangan kontrak. Lah, senyumku kan menawan. Wajahku rupawan lagi. Sesekali kulirik istri cantikku yang pukul sembilan tadi kuucapkan janji sehidup semati di hadapan abahnya, para tamu dan paling penting di hadapan Allah. Senyum pun tak pernah lepas dari bibirnya. Lalu kutolehkan pandanganku pada pelaminan di sisi kanan, terlihat pasangan pengantin lain pun tersenyum semringah. Hari ini, sedang terselenggara pernikahan dengan dua pasangan pengantin. Siapa lagi pengantinnya kalau bukan antara aku dan Nada. Dan di sebelah kanan kami, berdiri pasangan Mbak Nida dan Mas Hilman. Karena mereka udah jadi kakak iparku ya kupanggil dong dengan sebutan mas dan mbak. Aku bersyukur perjuanganku untuk mendapatkan Nada berhasil. Sempat down kemarin-kemarin. Sempat mutung (ngambek) juga. Untung ada Mas Singa Garang sama Si Jutek Caca ya
Begitu menginjakkan kaki di halaman rumah Jamal, aku tertegun. Tampak sosok Jamal yang berada di teras rumah. Di belakangnya ada Kamal dan sosok remaja lelaki yang begitu asing. Ketiganya kaget melihatku. Tapi aku justru senang. Itu artinya Jamal gak jadi pergi ke Mesir. Namun kesenanganku hilang saat melihat koper besar yang berada di tangan Jamal. Aku panik. Jangan-jangan Jamal beneran mau pergi ke Mesir."Jamal." Aku langsung menghampiri Jamal."Kamu mau ke Mesir?""Iya. Mau pindah ke sana, nyari cewek sana. Kan cantik-cantik." Suara Jamal terdengar ketus."Jamal. Aku minta maaf. Jangan pergi!""Buat apa di sini, cewek yang aku perjuangin gak mau nerima aku. Dia pasti malu. Aku kan gak tinggi-tinggi amat, kulitku eksotik, cuma penjual udang. Kalah sama cowok-cowok diluaran sana."Jamal menarik kopernya, dia berjalan melewatiku. Tentu saja aku mengekori langkahnya."Mal." Aku menekan pintu bagasi yang baru saja dia buka. Mataku menatapnya sendu."Mal, jangan pergi.""Minggir, Nad.
Aku hanya bisa tertunduk. Semua orang sedang menatapku dengan pandangan beraneka macam. Ada yang terlihat prihatin, sedih, kesal bahkan marah. "Sekarang maunya Ning apa? Minta Jamal menikahi Hana? Percuma Ning. Jamal udah pergi. Tadi malam dia minta ijin sama Abah, katanya mau ke Mesir aja. Katanya dia mau mengobati luka hati sambil usaha nyari istri, orang sana. Jamal bilang, siapa tahu di sana ada yang cinta sama dia. Menerima dia apa adanya. Ckckck. Jangankan di Mesir, orang di Indonesia saja ditolak mulu." Gus Jalal salah satu kakak Jamal bicara dengan nada biasa. Bahkan suaranya terdengar lembut. Sayang, bagiku ini seperti sindirian telak untukku. Abah dan uminya Jamal sendiri hanya diam. Tak ada satu pun kata terucap dari bibir keduanya. Tapi dari tatapan matanya, aku tahu. Mereka berdua begitu kecewa padaku."Maaf." Akhirnya hanya itu saja kata yang bisa keluar dari mulutku.Aku melirik ke arah Mas Azzam. Sayang, Mas Azzam sejak tadi tak bersuara. Dia hanya diam. Namun, tatap
POV NadaAku sedang merenung di salah satu kamar yang ada di pondok putri. Banyak hal yang sedang aku pikirkan. Salah satunya, percakapanku dengan Hana dan ibunya waktu itu.Flashback."Ning Nada kan?" Seorang wanita paruh baya menghampiriku yang baru saja selesai melaksanakan sholat duha."Iya, siapa?""Herlin. Mamahnya Hana.""Oh."Kami bersalaman. Bu Herlin tersenyum ramah padaku dan tentu kubalas senyumnya walau aku sedikit merasa kikuk."Boleh kita bicara?""Mau bicara apa, Bu?""Tentang Hana. Ayok ikut saya."Mau tak mau aku mengikuti langkah Bu Herlin menuju kamar Hana. Sampai di sana, aku kaget menemukan Hana yang kondisinya menyedihkan. Aku ingat, Mas Gino bilang jika Hana tak bisa berjalan lagi. Dia lumpuh. Ya Allah, kasihan sekali dia."Nada." Hana memanggilku dengan suara parau. Tangannya terulur padaku, dia menangis.Aku merasa tak tega melihat keadaannya, hingga kuputuskan