*Cahaya Mustika*
Aku tengah membantu Umi melipat baju keluarga ndalem. Begitu statusku menjadi calon mantu, Umi sudah tak segan meminta tolong padaku. Aku pun sudah terbiasa dengan benda pribadi milik calon suamiku ini. Soalnya Umi seperti sengaja kalau pakaian milik Singa Garang pasti jatuhnya kebagian jatah lipatanku. "Kayaknya udah kewes banget ya Ca."Aku menoleh ke arah Umi kemudian tertawa."Habis Umi kayak sengaja sih ya sudahlah. Lagian nanti juga jadi tugas Caca.""Sengaja. Itu tadi jurus dari Ibu mertua dulu sebelum Umi jadi mantu beliau.""Hahaha. Besok Caca juga gitu lah sama calon menantu Caca.""Hahaha. Boleh Ca, biar calon mantumu gak syok nantinya."Kami pun tertawa sambil melanjutkan acara melipat baju. Setelah selesai, aku segera mengambil setrika dan menyetrika satu per satu baju yang harus disetrika terutama bajunya Gus Azzam.Sedangkan baju Gus Azmi dan Abah yang harus disetrika hanya sedikit.Umi membawa p*Azzam Daffa Al Kaivan*Sejak tadi Arsyad menghubungiku lewat chat WA, mengabarkan kalau dia akan menjalani ta'aruf dengan gadis pilihan uminya. Katanya dia sudah pasrah. Kasihan dia, luka yang diakibatkan oleh Ning Zulaikha ternyata membuat dia trauma kepada wanita. Arsyad memang yang paling pemalu diantara kami berenam sedangkan Fatah adalah yang paling mudah tersulut amarah.Aku yang berniat membeli barang pribadiku akhirnya ijin pada Umi untuk membelinya. Umi, Azmi dan Kang Bimo sedang sibuk sendiri-sendiri. Azmi dan Kang Bimo di arena permainan sedangkan Umi berada di stand kerudung. Kalau sudah disitu dijamin Azmi dan Umi lupa waktu. Saat akan membayar, ternyata malah bareng dengan Caca. Daripada harus antri ya sudahlah ikut sekalian biar aku yang bayar, eh dari tadi kan aku juga yang bayarin.Aku sedikit melirik ke arah belanjaan Caca, loh kok kacamatanya ada dua nomer. Oh aku baru ingat dia kan pergi sama Syarifah.Entah karena terlalu sibuk dengan HP-ku
*Cahaya Mustika*"Ning, ngapain disini?" Aku kaget karena Ning Zulaikha berada di kawasan ruang ustazah. Mana kondisi tengah sepi lagi."Ning ngapain?" tanyaku sekali lagi, curiga."Suka-suka akulah," jawabnya sinis lalu pergi begitu saja.Semenjak kabar pernikahanku dengan Gus Azzam mencuat, sikap Bu Nyai Laila dan Ning Zulaikha sungguh menyebalkan sekali. Untung hidupku biasa ditempa dengan drama layaknya sinetron. Aku sudah terbiasa melakoni peran protagonis tapi NO jadi melankolis."Kenapa Us?" tanya Ustazah Yuni menepuk bahuku.Aku kaget. "Oh itu, Ning Zulaikha, ngapain kesini ya Us?""Halah paling disuruh sama Ibu mertuanya. Sekarang kan Ning Farida berubah jadi kalem sejak Gus Fadil punya istri kedua. Biasanya kan dia yang nyelonong kesana kemari. Sekarang gantian," ucap Ustazah Yuni sambil tertawa.Aku memiliki firasat buruk dengan kedatangan Ning Zulaikha dan firasatku terbukti ketika selesai mengajar jam terakhir.
"Menurut kamu Jamal gimana?""Dia baik. Kamu juga sudah tahu kan? Jangan sok jadi amnesia kamu? Kita kan udah sahabatan lama sejak jaman kuliah."Nada cuma tertawa tanpa dosa mendengar pernyataanku. Astaga ini anak."Kalau Ustaz Hilman?"Aku mengernyit kemudian menjawab, "Baik juga kok. Kenapa?""Aku bingung.""Istikharah.""Sudah.""Terus?""Belum ada titik terang.""Udah berapa lama istikharahnya?""Baru tadi malam," jawab Nada tanpa dosa.Astaghfirullah temanku yang satu ini. Gemes aku dibuatnya. Oh iya, sekarang Nada lebih sering tinggal di rumah Gus Azzam soalnya tinggal tesis. Malas di kost katanya, buang-buang duit. Mending disini gratis. Hahaha."Panteslah belum ada jawaban. Orang baru sekali sholatnya."Dia cuma nyengir tanpa dosa. Nada baru saja menemaniku ke puskesmas untuk melakukan suntik sebelum menikah kemudian mengikuti penyuluhan pra pernikahan. Dua minggu lagi kan aku nikah. Suasana n
*Azzam Daffa Al Kaivan*Harus aku gitu? Ya Allah ... seminggu lagi aku mau nikah Guntur," kesalku."Maaf Zam, habisnya kamu yang paling pinter dan pengalaman. Lagian sejak awal kamu yang bimbing semua mahasiswa kan?" terang Guntur sambil cengengesan.Ya Allah, sabar Azzam hidup itu ujian. Mau nikah pun diuji dulu. Aku hanya bisa beristighfar agar amarahku gak naik keubun-ubun.Akhirnya aku memilih pulang. Mungkin kalau sudah di rumah pikiranku bisa sedikit tenang.*****"Kusut amat Mas. Mau nikah kok malah merengut," ucap Azmi sambil bermain game di ponselnya."Iya Zam. Mukanya kok kucel bener," sambung Umi."Azzam lagi kesel, besok Azzam harus ikut mendampingi lomba desain untuk mahasiswa arsitektur di Jogja. Padahal Azzam sudah mengajukan cuti Umi." Aku menyandar lemas."Sabar. Memang kamu yang sekarang sedang dibutuhkan oleh semua orang. Harusnya kamu bersyukur karena kamu masih dipercaya. Besok ajak Bimo biar kamu gak kecapean," ucap
*Cahaya Mustika*Ini hari terakhir Gus Azzam berada di Jogja, semalaman dia meneleponku. Dih, dasar Gus Garang. Aku baru tahu sifat manja dan bucinnya gak ketulungan. Bener kata Umi, cowok itu akan takluk kalau udah ketemu pawangnya. Eeeaaakkk.Aku tengah berjalan menuju ndalem setelah melaksanakan sholat ashar di masjid pondok. Saat memasuki halaman ndalem kulihat Ning Farida dan Gus Fadil tergesa-gesa kearahku."Us ... hubungi Azzam!" perintah Gus Fadil. Aku mengernyit heran. Kenapa mereka tampak panik?Dengan cemas aku segera mengambil HP-ku. Kuhubungi beliau berkali-kali juga Kang Bimo. Tapi tak ada satupun yang menjawab.Aku bertanya ada apa? Dan Ning Farida menceritakan kepergian Ning Zulaikha tadi pagi yang katanya tergesa-gesa. Puji mengatakan kalau Ning Zulaikha pergi bersama 4 orang pria karena dia yang mengantarkan Ning Zulaikha sampai terminal.Puji yang dasarnya kepo mencoba menguping diam-diam dan kaget karena mereka membicarak
*Azzam Daffa Al Kaivan*Aku membuka mataku, pemandangan pertama yang kulihat adalah langit berwarna putih. Aku dimana? Aku merasakan rasa perih pada kedua punggung tanganku. Kuangkat tangan kananku. Perban dan ada jarum infus juga. Aku di rumah sakit rupanya.Aku mengedarkan pandang mataku, pandangan mataku tertuju pada seseorang yang meringkuk di atas sofa. Caca. Jadi ini bukan mimpi. Ternyata memang itu suara Caca. Kupandangi calon bidadari dunia dan surgaku dengan penuh kerinduan. Ingatanku berputar pada kejadian di kamar hotel. Hampir saja."Percuma Gus, saya akan tunggu sampai efeknya terasa. Sebentar lagi hahaha. Kuncinya ada pada saya Gus. Silakan buka handuk saya. Hahaha."Allah ... Allah ... Allah. Aku menatap Ning Zulaikha lalu melirik ke sebelah kirinya. Kamar mandi. Tak mungkin mengambil kunci juga, Ning Zulaikha sengaja menyembunyikannya disana. Walau aku bisa saja memaksa tapi aku tak sudi. Aku tak mau merasakan panasnya api neraka karena menyentuh
*Cahaya Mustika*Huwaaaa .... Aku segera berlari keluar ruangan. Ya Allah, kamu kok bisa seagresif itu sih Ca, mana main peluk aja. Ya Allah, malunya. Dimana harga diri kamu? Huhuhu ... mana nyaman lagi.Daripada pikiran kotor berseliweran aku memutuskan sholat dhuhur di masjid rumah sakit.Selesai sholat, aku berjalan kembali ke ruangan Gus Azzam. Di depan pintu aku galau memilih masuk atau enggak."Masuk enggak masuk enggak duh masuk apa enggak ya?" lirihku."Ca.""Eh ... iya." Aku sedikit kaget. Ternyata Kang Bimo."Kamu udah bangun? Kirain masih molor. Yuk makan, ini aku udah beliin buat kamu juga sekalian buat Guse."Mau tak mau aku akhirnya ikut masuk. Aku menunduk karena malu. Kulirik Gus Azzam sedang duduk di ranjang."Gus, kok gak tidur lagi?" tanya Kang Bimo."Udah gak ngantuk Kang Bim," jawabnya."Ayuk Ca, kita makan dulu," ajak Kang Bimo."Beli apa Kang?" tanya Gus Azzam."Nasi padang Gus?"
*Cahaya Mustika*Semalaman aku tidur nyenyak sekali. Rasanya semua beban beratku terlepas seketika. Aku hanya duduk-duduk di dalam kamarku. Mau keluar sungkan karena gak boleh bantu-bantu."Mbak Caca, sabar ya. Namanya juga lagi di pingit. Hihihi," tutur Ipeh.Aku menatap sebal ke arah Ipeh dan Nada. Soalnya sejak tadi mereka berdua senang sekali menggodaku."Gak usah jutek kali Ca. Namanya calon pengantin ya harus dipingit. Gak boleh ketemu. Ora Ilok ... Pamali. Hahaha.""Masa aku gak boleh bantu-bantu sih Nada. Bosen tahu," keluhku."Namanya calon penganten ya disayang-sayang Caca. Udah dari pada bingung sini aku lulurin.""Gak. Enak aja!" sahutku galak."Astaga Ca, beneran deh. Gak kamu gak Masku galak semua. Heran nanti rumah tangga kalian kayak apa?" cerocos Nada."Ya gak usah dibayanginlah. Mending kamu mbayangin kehidupan kamu aja. Mau sama Ustaz Hilman atau Crustaceae Jamal," sahutku dengan seringai jahil."Ih ... Caca!" seru
Hamdan menatap istrinya dengan sorot kemarahan, sementara Saroh hanya bisa menunduk. Safina sendiri sudah gemetar ketakutan. Sementara Nida menatap ketiganya dengan ekspresi datar. Nida baru saja ada urusan. Berhubung dia melewati sebuah mall, dia memutuskan mampir karena mau membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang sudah habis. Tak menyangka dia bertemu dengan Saroh dan Safina. Seperti biasa Saroh akan mendesak Nida untuk menerima Safina jadi madu. Safina sendiri bertekad untuk berani jadi dia pun mengemis-ngemis kepada Nida agar menerimanya. Namun hal yang tidak diketahui Saroh adalah Hamdan ayah Hilman tidak sengaja berada di tempat yang sama dengan mereka. Hamdan baru saja berceramah di sebuah masjid yang berada dekat dengan mall. Dia yang melihat keberadaan ketiga orang yang dikasihinya, mendekat. Namun saat mendekati ketiganya, Hamdan sempat berhenti mendekat ketika mendengar kalimat Saroh yang meminta Nida menerima Safina menjadi madu. Nida yang menghadap ke arah Hamdan,
Hilman memeluk istrinya penuh dengan sayang. Sesekali mencium kepalanya."Maafkan Umi Saroh ya?"Nida hanya diam dan lebih mengetatkan pelukannya pada sang suami. Sungguh dia merasa lelah sekali. Hasil tespeck yang lagi-lagi gagal. Omongan julit orang-orang yang selalu mempertanyakan kenapa dia belum hamil sementara Nada sudah punya sepasang putra dan putri. Ditambah rongrongan dari Saroh membuat mentalnya down. "Gimana kalau kapan-kapan kita pergi. Kemana gitu. Mau ke pantai atau muncak? Refreshing biar pikiran adem.""Gampang lah Mas, kalau Abah sama Umi atau Nada udah balik. Gak tenang aku kalau ninggalin pondok tanpa ada yang jaga.""Ya udah. Kamu ada agenda ngajar kan jam sebelas?""Iya, Mas juga kan?""Iya.""Ya udah, yuk kita siap-siap Mas."Kedua pasangan suami istri berdiri, kemudian berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap mengajar di sekolah.Selama seharian keduanya sibuk dengan tugas di sekolah. Pun Nida. Sejak tadi dia seperti tak ada waktu untuk duduk atau makan karena
Nida melemparkan hasil tespeck yang untuk kesekian kalinya hanya menunjukkan garis satu ke dalam tong sampah yang ada di dalam kamar mandinya. Setelah itu menarik napas secara dalam dan mengembuskannya secara kasar. Dia memilih jongkok lalu menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya yang tertekuk.Tangisnya muncul. Meski berusaha tegar, Nida tetaplah manusia biasa wanita biasa. Dia bisa saja terluka, dia bisa sedih dan butuh menangis. Cukup lama, Nida berada di kamar mandi. Setelah puas menumpahkan air matanya. Nida segera mencuci muka untuk menyamarkan bekas air matanya.Nida kemudian melihat ke arah kaca berukuran kecil. Begitu mata sembabnya sudah tak terlihat, Nida segera keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.Nida melirik ke dalam kamar, kemudian tatapannya tertuju pada jam dinding. Ternyata masih setengah enam, itu berarti suaminya masih berada di masjid kompleks pondok putra. Nida segera menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kebetulan keluarga Nada sedang
POV JamalAku masih duduk di dekat sebuah pusara. Sesekali kubelai nisan yang terbuat dari kayu. Atau mengambil butiran tanah dan kutaruh lagi pada gundukan yang masih basah. Bau beberapa macam bunga yang tersebar di atas makam begitu menyengat di indera penciumanku.Pandangan mataku mencoba menelusuri sekeliling tanah perkuburan yang terlihat sejuk dan rimbun dengan beberapa pohon Kamboja maupun beringin yang terlihat gagah dan tinggi."Mas."Sebuah usapan pada bahu kananku menyadarkanku pada sosok wanita yang sudah sepuluh tahun ini menemaniku dalam suka dan duka. "Sudah mulai sore. Ayok pulang. Kasihan juga Umi."Aku melirik ke arah Umi yang kini sedang menyandarkan kepalanya di atas bahu Mas Jalal. Terlihat sekali kesedihan di mata Umi. Meski Umi terlihat tidak menangis lagi, tapi aku tahu Umi adalah orang yang paling terpukul dengan kematian Abah.Aku bangkit lalu menuju ke arah Umi. Kuusap lembut kedua tangannya. "Kita pulang yuk Umi. Kasihan Abah. Kita harus ikhlas."Umi hany
POV NadaAku masih bergelung malas di atas kasur. Setelah sholat subuh harusnya gak tidur lagi, tapi beneran deh ngantuk. Capek juga. Sebuah kecupan hangat mampir di keningku. Aku tersenyum pada sosok pria berkulit eksotis dengan senyum sangat menawan."Capek?" tanyanya."Iya.""Mau jalan-jalan lagi gak?"Aku menggeleng. "Capek, mager juga.""Mau makan?"Aku menggeleng. "Kan tadi habis makan roti, masih kenyang.""Hehehe. Ya udah."Jamal ikut rebahan dan memelukku. Namun, kedua tangan dan bibirnya seperti biasa tidak suka nganggur. Suka sekali bikin tubuhku merinding disko."Mas! Aku udah mandi dua kali loh sepagi ini," rengekku. Semenjak menikah, aku menambahkan embel-embel 'mas' saat menyebut nama Jamal."Ya nanti mandi lagi. Mandi bareng sama aku," ucapnya genit."Mas! Astaga!"Akhirnya aku hanya bisa pasrah akan kelakuan suamiku. Ya sudahlah, toh kewajibanku juga sebagai istri.Selesai mandi untuk ketiga kalinya, aku dan Jamal segera melaksanakan sholat dhuhur kemudian kami seger
POV Jamal Senyum tak pernah lepas dari bibirku. Pokoknya kalau ada sutradara yang lagi nyari orang buat casting produk pasta gigi dijamin aku bakalan langsung tanda tangan kontrak. Lah, senyumku kan menawan. Wajahku rupawan lagi. Sesekali kulirik istri cantikku yang pukul sembilan tadi kuucapkan janji sehidup semati di hadapan abahnya, para tamu dan paling penting di hadapan Allah. Senyum pun tak pernah lepas dari bibirnya. Lalu kutolehkan pandanganku pada pelaminan di sisi kanan, terlihat pasangan pengantin lain pun tersenyum semringah. Hari ini, sedang terselenggara pernikahan dengan dua pasangan pengantin. Siapa lagi pengantinnya kalau bukan antara aku dan Nada. Dan di sebelah kanan kami, berdiri pasangan Mbak Nida dan Mas Hilman. Karena mereka udah jadi kakak iparku ya kupanggil dong dengan sebutan mas dan mbak. Aku bersyukur perjuanganku untuk mendapatkan Nada berhasil. Sempat down kemarin-kemarin. Sempat mutung (ngambek) juga. Untung ada Mas Singa Garang sama Si Jutek Caca ya
Begitu menginjakkan kaki di halaman rumah Jamal, aku tertegun. Tampak sosok Jamal yang berada di teras rumah. Di belakangnya ada Kamal dan sosok remaja lelaki yang begitu asing. Ketiganya kaget melihatku. Tapi aku justru senang. Itu artinya Jamal gak jadi pergi ke Mesir. Namun kesenanganku hilang saat melihat koper besar yang berada di tangan Jamal. Aku panik. Jangan-jangan Jamal beneran mau pergi ke Mesir."Jamal." Aku langsung menghampiri Jamal."Kamu mau ke Mesir?""Iya. Mau pindah ke sana, nyari cewek sana. Kan cantik-cantik." Suara Jamal terdengar ketus."Jamal. Aku minta maaf. Jangan pergi!""Buat apa di sini, cewek yang aku perjuangin gak mau nerima aku. Dia pasti malu. Aku kan gak tinggi-tinggi amat, kulitku eksotik, cuma penjual udang. Kalah sama cowok-cowok diluaran sana."Jamal menarik kopernya, dia berjalan melewatiku. Tentu saja aku mengekori langkahnya."Mal." Aku menekan pintu bagasi yang baru saja dia buka. Mataku menatapnya sendu."Mal, jangan pergi.""Minggir, Nad.
Aku hanya bisa tertunduk. Semua orang sedang menatapku dengan pandangan beraneka macam. Ada yang terlihat prihatin, sedih, kesal bahkan marah. "Sekarang maunya Ning apa? Minta Jamal menikahi Hana? Percuma Ning. Jamal udah pergi. Tadi malam dia minta ijin sama Abah, katanya mau ke Mesir aja. Katanya dia mau mengobati luka hati sambil usaha nyari istri, orang sana. Jamal bilang, siapa tahu di sana ada yang cinta sama dia. Menerima dia apa adanya. Ckckck. Jangankan di Mesir, orang di Indonesia saja ditolak mulu." Gus Jalal salah satu kakak Jamal bicara dengan nada biasa. Bahkan suaranya terdengar lembut. Sayang, bagiku ini seperti sindirian telak untukku. Abah dan uminya Jamal sendiri hanya diam. Tak ada satu pun kata terucap dari bibir keduanya. Tapi dari tatapan matanya, aku tahu. Mereka berdua begitu kecewa padaku."Maaf." Akhirnya hanya itu saja kata yang bisa keluar dari mulutku.Aku melirik ke arah Mas Azzam. Sayang, Mas Azzam sejak tadi tak bersuara. Dia hanya diam. Namun, tatap
POV NadaAku sedang merenung di salah satu kamar yang ada di pondok putri. Banyak hal yang sedang aku pikirkan. Salah satunya, percakapanku dengan Hana dan ibunya waktu itu.Flashback."Ning Nada kan?" Seorang wanita paruh baya menghampiriku yang baru saja selesai melaksanakan sholat duha."Iya, siapa?""Herlin. Mamahnya Hana.""Oh."Kami bersalaman. Bu Herlin tersenyum ramah padaku dan tentu kubalas senyumnya walau aku sedikit merasa kikuk."Boleh kita bicara?""Mau bicara apa, Bu?""Tentang Hana. Ayok ikut saya."Mau tak mau aku mengikuti langkah Bu Herlin menuju kamar Hana. Sampai di sana, aku kaget menemukan Hana yang kondisinya menyedihkan. Aku ingat, Mas Gino bilang jika Hana tak bisa berjalan lagi. Dia lumpuh. Ya Allah, kasihan sekali dia."Nada." Hana memanggilku dengan suara parau. Tangannya terulur padaku, dia menangis.Aku merasa tak tega melihat keadaannya, hingga kuputuskan