Azzam sangat kesal. Baru saja turun dari mobil sudah disuguhi pemandangan menyebalkan. Adik Gus Furqon yang tak tahu malu langsung menghampirinya dan mengekori Azzam menuju ke dalam rumah. Sepintas Azzam melihat Caca tengah keluar sambil menunduk. Terlihat raut sedih pada mukanya. Andai tak ada Ning Asyifa pasti Azzam sudah menghampirinya. Mengajaknya ribut seperti biasa. Jangan salah, bagi orang lain keromantisan dilihat dari perlakuan bucin nan lebay. Tapi bagi Gus Singa Garang dan Gadis Juteknya, romantis itu kalau bertengkar gak kelar-kelar.
"Asalamua’alaikum.""Wa’alaikumsalam.""Umi ...." Ning Asyifa langsung bermanja-manja pada uminya. Azzam menyalami Umi dan menangkupkan tangannya kepada Bu Nyai Nur."Baru pulang Zam?" tanya Umi Aisyah."Nggih Umi.""Sudah sana bersih-bersih lalu istirahat kamu pasti capek.""Nanti kesini lagi ya Gus, ngobrol sama Asyifa. Hihihi.""Hush." Bu Nyai Nur menghardik putrinya.Azzam memilih*Cahaya Mustika*"Umi sama Abah mau ziarah Wali Songo dengan para jamaah kami. Umi nitip pondok sama sekolah ya Nduk. Kalau butuh apa-apa bilang sama Azzam.""Nggih Umi. Beres pokoknya.""Ya sudah. Eh, kamu mau minta didoain apa?""Didoain dapat jodoh yang baik, ganteng, rajin menabung, sayang keluarga, dan menerima Caca apa adanya.""Baik. Nanti Umi doakan semoga dapat Singa Garang yang tampan rupawan rajin menabung dan penyayang," celetuk Umi."Amin Ya Rabb. Eh ... siapa tadi Umi, Singa Garang?""Memangnya Umi tadi ngomong apa?""I-tu kriteria suami Caca. Singa Garang?""Kayaknya Umi bilang penyayang deh.""Sebelumnya Umi?" antara yakin dan tak yakin dengan yang kudengar."Apa sih Ca. Umi lupa bilang apa."Aku tak berani mendesak Umi lagi. Jadi kuputuskan lebih baik membantu Umi berkemas.*****"Ustazah, besok acara kelulusan santri wajib memakai kebaya loh, kan seminggu lagi lulusan pondoknya." Usta
Hiruk pikuk suasana pelepasan santri pondok tengah berlangsung. Acara yang begitu menguras tenaga dan pikiran akhirnya selesai juga. Setelah sesi foto-foto selesai, aku memilih duduk menikmati nasi kotak yang dibagikan.Sempat terjadi kehebohan dimana salah satu kang pondok yaitu Kang Hasbi melamar salah satu lulusan bernama Iffah. Rupanya Kang Hasbi memilih move on dari Syarifah karena berulang kali ditolak.Aku curiga Syarifah sedang mengharapkan seseorang. Dan seseorang yang diharapkan Syarifah itu tengah duduk manis menikmati nasi kotaknya di barisan laki-laki. Dia memakai koko warna biru.Selesai makan, aku melanjutkan berkeliling. Ingin mengecek keadaan regu Srikandi dan The Owl.Aku bertemu dengan Ustazah Shafa yang tengah menggendong putrinya."Sofia cantik sekali Us?" pujiku."Iyalah kayak emaknya," sahut Ustazah Shafa."Mirip bapaknya kok bukan mirip njenengan," ledekku."Ish ... sebel, aku yang hamil malah semua orang bilang m
*Azzam Dafa Al Kaivan*"JAMAL," teriak kedua gadisku.Aku menatap heran kearah Jamal, Nada dan Caca."Jamal. Kamu disini. Kok bisa?" tanya Caca."Bisalah Oryza sativa, aku kan lagi punya misi rahasia hihihi," sahut Jamal.Aku sebal melihat interaksi mereka yang begitu akrab. Kalau tahu akan begini aku tak akan menerimanya. Alasanku mau menerimanya karena melihat CV-nya juga ancang-ancang untuk menghadang Ning Zulaikha. Karena Mas Fadil sudah kembali ke rumahnya lagi. Tapi kok ada yang aneh, kulirik adik sepupuku yang menjadi pendiam bahkan cenderung gugup. Hah ... aku melongo. Ya ampun bukan Nada banget kalau jadi putri malu begini.Kucoba perhatikan lagi interaksi mereka, terlihat Ustaz Hilman yang selalu mencoba mengajak adikku ngobrol. Apa jangan-jangan yang dikatakannya padaku waktu itu adalah Nada. Dia mau move on dan pedekate sama Nada.Dan Jamal, dia memang dari tadi asik ngobrol dengan Caca, tapi sesekali kulihat dia melirik kep
*Cahaya Mustika*Boleh aku mengisi ruang hatimu?"Deg.Mataku ikut melebar karena ucapannya."M-maksud Gus Azzam, apa?" tanyaku gugup."Aku ingin menjadi orang yang mengisi hatimu. Boleh?" jawabnya. Kudengar nada ketulusan dari suaranya."Ta-tapi ke-kenapa?""Karena satu alasan," jawabnya tegas."Apa?" lirihku."I LOVE YOU," jawaban lembut tapi membuat jantungku berdetak tak karuan.Aku hanya menatapnya dengan tatapan polos. Apa ini? Gus Azzam nembak aku gitu? Ini beneran kan? Ini sungguhan kan?Waktu untuk seperkian detik berhenti. Hening. Kami hanya saling menatap, berusaha menyelami isi hati masing-masing lewat tatapan mata.Klontang .... Suara benda terjatuh.Baik aku dan Gus Azzam melirik ke sumber suara. Mataku tambah melebar."Hehehe. Maaf ya ... Umi lagi nyari kacamata Abah. Kayaknya tadi disini tapi gak ada. Ya sudah lanjutin gih. Umi pergi dulu ya."Sepintas kulihat Umi mengedipkan matan
Keesokan harinya secara tak sengaja kedua sejoli yang sudah mulai merasakan permainan hati alias jatuh cinta tak sengaja bertemu saat akan menjalankan sholat subuh di Masjid.Mereka saling memalingkan muka, malu jika teringat akan peristiwa semalam. Terlebih lagi penampilan mereka sungguh menyedihkan. Gus Azzam dengan mata pandanya sedangkan Caca dengan mata sembabnya.Semalaman Caca menangis merutuki perasaannya yang datang untuk gus garangnya. Gus Azzam pusing bin pening-pening karena semalaman berolahraga malam untuk menghilangkan gejolak kelelakiannya. Kompak kan mereka."Gus ... njenengan kenapa? Kok kucel banget?" tanya Kang Bimo."Gak papa Kang Bim. Cuma semaleman gak bisa tidur aja.""Owalah. Lembur ya Gus, banyak kerjaan."Iya. Lembur olahraga malam biar gak nganggur jadi punya kerjaan. Kerjaan menghilangkan sinyal kelelakian, batin Gus Azzam ngenes."Gus, ini giliran njenengan isi pengajian subuh loh." Kang Bimo mengingatkan."
* Cahaya Mustika *Hari minggu ini aku hanya rebahan saja. Aku banyak pikiran. Maju mundur cantik, galau gak berkesudahan. Duh Gusti, apa yang harus aku lakukan? Aku melamun, mengingat si pencuri waktu. Haish ... soalnya semua waktuku habis buat mikirin dia.Aku memandang pergelangan tangan kiriku. Tersenyum mengingat semua kejadian dua hari yang lalu."Ca." Aku yang tengah membuat sarapan bersama Ipeh tertegun."Bisa kita bicara sebentar, Mbak Syarifah tunggu di luar ya, pintunya dibuka gak papa."Syarifah melakukan apa yang diminta Gus Azzam walaupun raut kebingungan terpampang nyata pada wajahnya."Ca.""N-nggih Gus. Pripun?""Apa yang aku ucapkan tadi saat ceramah subuh beneran. Aku serius sama kamu. Aku menerima kamu apa adanya.""T-tapi Gus, Abah dan Umi ....""Aku sudah bicara dengan mereka. Mereka setuju saja. Sekarang hanya tinggal kamu, kamu mau menerimaku? Menerima segala kekurangan dan kelebihanku?""Caca gak tahu Gu
*Azzam Daffa Al Kaivan*"Gus."Aku menghentikan langkahku karena panggilan dari Caca"Iya," sahutku."Saya terima."Hah? Terima apa ya?"Maksudnya.""Saya terima. Tapi saya minta jangan poligami saya. Hanya itu. Assalamu’alaikum""Ca ... wa’alaikumsalam." Aku melongo kemudian geleng-geleng kepala. Bingung dengan maksud Caca.Aku memutuskan menaiki mobilku karena hari ini ada reuni dengan para sahabatku saat mondok dulu. Kami janjian bertemu di kompleks GOR biar mudah kalau mau mencari makanan.Saat di perempatan lampu lalu lintas aku berhenti karena lampu sedang mode merah. Purwokerto kota kecil tapi sangat ramai. Saat tengah asik menatap sekelilingku, mataku tertuju pada sebuah mobil Kilang yang dipasangi stiker nyeleneh.'Aku Ini Lelaki Setia, No Selingkuh No Poligami'Aku terkekeh membacanya. Ya jelaslah semua wanita gak mau diselingkuhi dan gak mau dipoligami. Aku juga pengin jadi cowok sejati yang hanya set
*Cahaya Mustika*Assalamu’alaikum." Aku memasuki ruang guru dan agak tercengang karena semua ustazah menatapku.Aku menilik penampilanku, tak ada yang aneh."Kenapa?" tanyaku.Hening."Ustazah Shafa?" tanyaku.Hening.Loh, kok pada diam. Kemudian ada beberapa siswi yang datang. Mereka juga menatapku dengan bersedekap. Aku jadi bingung? Apa aku melakukan kesalahan ya? Ustazah Shafa menatapku dingin, aku sedikit gemetar."Surprise," teriak Ustazah Shafa.Tepukan heboh, tiupan balon, dan nyanyian lagu selamat ulang tahun membahana di seluruh ruang guru.Aku terharu, mataku berkaca-kaca. Baik ustazah dan para siswi memelukku mengucapkan doa. Dan aku hanya mengamini."Ustazah Caca selamat ulang tahun ya? Ditunggu nikahannya sama Gus Singa Garang?" celetuk Olif."Hahaha. Ternyata calonmu Gus Azzam. Pantes dideketin sama siapa aja gak mau nengok, lah orang yang diincer Gus Azzam." Ustazah Shafa berkata heboh.
Hamdan menatap istrinya dengan sorot kemarahan, sementara Saroh hanya bisa menunduk. Safina sendiri sudah gemetar ketakutan. Sementara Nida menatap ketiganya dengan ekspresi datar. Nida baru saja ada urusan. Berhubung dia melewati sebuah mall, dia memutuskan mampir karena mau membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang sudah habis. Tak menyangka dia bertemu dengan Saroh dan Safina. Seperti biasa Saroh akan mendesak Nida untuk menerima Safina jadi madu. Safina sendiri bertekad untuk berani jadi dia pun mengemis-ngemis kepada Nida agar menerimanya. Namun hal yang tidak diketahui Saroh adalah Hamdan ayah Hilman tidak sengaja berada di tempat yang sama dengan mereka. Hamdan baru saja berceramah di sebuah masjid yang berada dekat dengan mall. Dia yang melihat keberadaan ketiga orang yang dikasihinya, mendekat. Namun saat mendekati ketiganya, Hamdan sempat berhenti mendekat ketika mendengar kalimat Saroh yang meminta Nida menerima Safina menjadi madu. Nida yang menghadap ke arah Hamdan,
Hilman memeluk istrinya penuh dengan sayang. Sesekali mencium kepalanya."Maafkan Umi Saroh ya?"Nida hanya diam dan lebih mengetatkan pelukannya pada sang suami. Sungguh dia merasa lelah sekali. Hasil tespeck yang lagi-lagi gagal. Omongan julit orang-orang yang selalu mempertanyakan kenapa dia belum hamil sementara Nada sudah punya sepasang putra dan putri. Ditambah rongrongan dari Saroh membuat mentalnya down. "Gimana kalau kapan-kapan kita pergi. Kemana gitu. Mau ke pantai atau muncak? Refreshing biar pikiran adem.""Gampang lah Mas, kalau Abah sama Umi atau Nada udah balik. Gak tenang aku kalau ninggalin pondok tanpa ada yang jaga.""Ya udah. Kamu ada agenda ngajar kan jam sebelas?""Iya, Mas juga kan?""Iya.""Ya udah, yuk kita siap-siap Mas."Kedua pasangan suami istri berdiri, kemudian berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap mengajar di sekolah.Selama seharian keduanya sibuk dengan tugas di sekolah. Pun Nida. Sejak tadi dia seperti tak ada waktu untuk duduk atau makan karena
Nida melemparkan hasil tespeck yang untuk kesekian kalinya hanya menunjukkan garis satu ke dalam tong sampah yang ada di dalam kamar mandinya. Setelah itu menarik napas secara dalam dan mengembuskannya secara kasar. Dia memilih jongkok lalu menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya yang tertekuk.Tangisnya muncul. Meski berusaha tegar, Nida tetaplah manusia biasa wanita biasa. Dia bisa saja terluka, dia bisa sedih dan butuh menangis. Cukup lama, Nida berada di kamar mandi. Setelah puas menumpahkan air matanya. Nida segera mencuci muka untuk menyamarkan bekas air matanya.Nida kemudian melihat ke arah kaca berukuran kecil. Begitu mata sembabnya sudah tak terlihat, Nida segera keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.Nida melirik ke dalam kamar, kemudian tatapannya tertuju pada jam dinding. Ternyata masih setengah enam, itu berarti suaminya masih berada di masjid kompleks pondok putra. Nida segera menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kebetulan keluarga Nada sedang
POV JamalAku masih duduk di dekat sebuah pusara. Sesekali kubelai nisan yang terbuat dari kayu. Atau mengambil butiran tanah dan kutaruh lagi pada gundukan yang masih basah. Bau beberapa macam bunga yang tersebar di atas makam begitu menyengat di indera penciumanku.Pandangan mataku mencoba menelusuri sekeliling tanah perkuburan yang terlihat sejuk dan rimbun dengan beberapa pohon Kamboja maupun beringin yang terlihat gagah dan tinggi."Mas."Sebuah usapan pada bahu kananku menyadarkanku pada sosok wanita yang sudah sepuluh tahun ini menemaniku dalam suka dan duka. "Sudah mulai sore. Ayok pulang. Kasihan juga Umi."Aku melirik ke arah Umi yang kini sedang menyandarkan kepalanya di atas bahu Mas Jalal. Terlihat sekali kesedihan di mata Umi. Meski Umi terlihat tidak menangis lagi, tapi aku tahu Umi adalah orang yang paling terpukul dengan kematian Abah.Aku bangkit lalu menuju ke arah Umi. Kuusap lembut kedua tangannya. "Kita pulang yuk Umi. Kasihan Abah. Kita harus ikhlas."Umi hany
POV NadaAku masih bergelung malas di atas kasur. Setelah sholat subuh harusnya gak tidur lagi, tapi beneran deh ngantuk. Capek juga. Sebuah kecupan hangat mampir di keningku. Aku tersenyum pada sosok pria berkulit eksotis dengan senyum sangat menawan."Capek?" tanyanya."Iya.""Mau jalan-jalan lagi gak?"Aku menggeleng. "Capek, mager juga.""Mau makan?"Aku menggeleng. "Kan tadi habis makan roti, masih kenyang.""Hehehe. Ya udah."Jamal ikut rebahan dan memelukku. Namun, kedua tangan dan bibirnya seperti biasa tidak suka nganggur. Suka sekali bikin tubuhku merinding disko."Mas! Aku udah mandi dua kali loh sepagi ini," rengekku. Semenjak menikah, aku menambahkan embel-embel 'mas' saat menyebut nama Jamal."Ya nanti mandi lagi. Mandi bareng sama aku," ucapnya genit."Mas! Astaga!"Akhirnya aku hanya bisa pasrah akan kelakuan suamiku. Ya sudahlah, toh kewajibanku juga sebagai istri.Selesai mandi untuk ketiga kalinya, aku dan Jamal segera melaksanakan sholat dhuhur kemudian kami seger
POV Jamal Senyum tak pernah lepas dari bibirku. Pokoknya kalau ada sutradara yang lagi nyari orang buat casting produk pasta gigi dijamin aku bakalan langsung tanda tangan kontrak. Lah, senyumku kan menawan. Wajahku rupawan lagi. Sesekali kulirik istri cantikku yang pukul sembilan tadi kuucapkan janji sehidup semati di hadapan abahnya, para tamu dan paling penting di hadapan Allah. Senyum pun tak pernah lepas dari bibirnya. Lalu kutolehkan pandanganku pada pelaminan di sisi kanan, terlihat pasangan pengantin lain pun tersenyum semringah. Hari ini, sedang terselenggara pernikahan dengan dua pasangan pengantin. Siapa lagi pengantinnya kalau bukan antara aku dan Nada. Dan di sebelah kanan kami, berdiri pasangan Mbak Nida dan Mas Hilman. Karena mereka udah jadi kakak iparku ya kupanggil dong dengan sebutan mas dan mbak. Aku bersyukur perjuanganku untuk mendapatkan Nada berhasil. Sempat down kemarin-kemarin. Sempat mutung (ngambek) juga. Untung ada Mas Singa Garang sama Si Jutek Caca ya
Begitu menginjakkan kaki di halaman rumah Jamal, aku tertegun. Tampak sosok Jamal yang berada di teras rumah. Di belakangnya ada Kamal dan sosok remaja lelaki yang begitu asing. Ketiganya kaget melihatku. Tapi aku justru senang. Itu artinya Jamal gak jadi pergi ke Mesir. Namun kesenanganku hilang saat melihat koper besar yang berada di tangan Jamal. Aku panik. Jangan-jangan Jamal beneran mau pergi ke Mesir."Jamal." Aku langsung menghampiri Jamal."Kamu mau ke Mesir?""Iya. Mau pindah ke sana, nyari cewek sana. Kan cantik-cantik." Suara Jamal terdengar ketus."Jamal. Aku minta maaf. Jangan pergi!""Buat apa di sini, cewek yang aku perjuangin gak mau nerima aku. Dia pasti malu. Aku kan gak tinggi-tinggi amat, kulitku eksotik, cuma penjual udang. Kalah sama cowok-cowok diluaran sana."Jamal menarik kopernya, dia berjalan melewatiku. Tentu saja aku mengekori langkahnya."Mal." Aku menekan pintu bagasi yang baru saja dia buka. Mataku menatapnya sendu."Mal, jangan pergi.""Minggir, Nad.
Aku hanya bisa tertunduk. Semua orang sedang menatapku dengan pandangan beraneka macam. Ada yang terlihat prihatin, sedih, kesal bahkan marah. "Sekarang maunya Ning apa? Minta Jamal menikahi Hana? Percuma Ning. Jamal udah pergi. Tadi malam dia minta ijin sama Abah, katanya mau ke Mesir aja. Katanya dia mau mengobati luka hati sambil usaha nyari istri, orang sana. Jamal bilang, siapa tahu di sana ada yang cinta sama dia. Menerima dia apa adanya. Ckckck. Jangankan di Mesir, orang di Indonesia saja ditolak mulu." Gus Jalal salah satu kakak Jamal bicara dengan nada biasa. Bahkan suaranya terdengar lembut. Sayang, bagiku ini seperti sindirian telak untukku. Abah dan uminya Jamal sendiri hanya diam. Tak ada satu pun kata terucap dari bibir keduanya. Tapi dari tatapan matanya, aku tahu. Mereka berdua begitu kecewa padaku."Maaf." Akhirnya hanya itu saja kata yang bisa keluar dari mulutku.Aku melirik ke arah Mas Azzam. Sayang, Mas Azzam sejak tadi tak bersuara. Dia hanya diam. Namun, tatap
POV NadaAku sedang merenung di salah satu kamar yang ada di pondok putri. Banyak hal yang sedang aku pikirkan. Salah satunya, percakapanku dengan Hana dan ibunya waktu itu.Flashback."Ning Nada kan?" Seorang wanita paruh baya menghampiriku yang baru saja selesai melaksanakan sholat duha."Iya, siapa?""Herlin. Mamahnya Hana.""Oh."Kami bersalaman. Bu Herlin tersenyum ramah padaku dan tentu kubalas senyumnya walau aku sedikit merasa kikuk."Boleh kita bicara?""Mau bicara apa, Bu?""Tentang Hana. Ayok ikut saya."Mau tak mau aku mengikuti langkah Bu Herlin menuju kamar Hana. Sampai di sana, aku kaget menemukan Hana yang kondisinya menyedihkan. Aku ingat, Mas Gino bilang jika Hana tak bisa berjalan lagi. Dia lumpuh. Ya Allah, kasihan sekali dia."Nada." Hana memanggilku dengan suara parau. Tangannya terulur padaku, dia menangis.Aku merasa tak tega melihat keadaannya, hingga kuputuskan