"Ca...."
"Hem," sahutku sambil menyetrika baju sedangkan Hasan tengah melipat baju yang tidak disetrika.Inilah aku dan Hasan, yang satu mantan ketua BEM MIPA sedangkan yang satu aktivis Pramuka sejati. Tapi sekarang kami hanyalah babu cuci. Ngenes."Awan kayaknya beneran suka sama kamu. Dia sepertinya serius pengen ngelamar kamu. Kamu gimana?""Gimana apanya?""Terima apa enggak?""Menurut kamu, aku harus gimana?""Kamu suka gak?""Enggak.""Cakep. Aku juga enggak.""Kayaknya kalian akrab. Kok gak suka sama dia, kenapa?""Bukan aku yang mengakrabkan diri. Dia aja yang sok akrab. Cih ... Gayaknya sok politikus banget. Emangnya dia aja yang bisa orasi.""Hahaha ... Kan dia gak tahu kalau yang dia ajak ngobrol mantan politikus walau kelas fakultas. Hahaha." Satu lagi, tak ada seorangpun di desa kami bahkan keluarga besar Lik Mirna yang tahu bahwa kami adalah sarjana. Karena Lik Mirna sengaja menyembunyikannya. Orang tahunya kami ini lama mondok dan pengangguran. Pokoknya kalau biasa nonton drama di TV, karakter Lik Mirna sama kedua anaknya tuh kebagian peran antagonis. Aku dan Hasan jadi protagonis."Hahaha. Bener kata kamu, kita kan cuma babu dan ....""Tukang angon sapi," cetusku.Kami tertawa tergelak sedikit mengurangi penat hati.*****"Nak Awan tumben main kesini," tanya Lik Marwan saat Awan datang berkunjung pada malam Minggu."Saya ada perlu sama Pak Marwan.""Ada apa ya?""Ehm ... Begini ... Ehm ... Saya suka sama Caca, Pak. Saya mau ngelamar dia.""Apa?" teriak Ningrum dan Lik Mirna berbarengan."Iya begitu Bu. Saya suka sama Caca. Jadi saya mau melamar dia."Lik Marwan nampak diam sibuk berpikir, kemudian berkata, "Kamu yakin? Apa kedua orang tuamu setuju?""Saya akan bilang pada mereka, Pak. Dan meyakinkan mereka. Tapi sebelumnya saya mau tahu bagaimana tanggapan Caca atas lamaran saya. Gimana Ca?"Aku terdiam kemudian menarik nafas pelan, "Kamu tanyakan dulu kepada orang tuamu baru aku akan memberikan jawaban."Setelah pembicaraan malam itu, Awan tak ada kabar. Aku sih cuek karena aku pun tak ada rasa sama dia. Aku cuma penasaran sama tanggapan kedua orangnya terhadapku si gadis yatim piatu. Sikap Ningrum dan Lik Mirna mirip Bawang Merah serta ibunya. Aku laksana Bawang Putih yang menderita. Weee ... Tapi bohong. Walau aku selalu menuruti setiap perintah mereka tapi dibelakang mereka aku dan Hasan kompak mencaci. Hihihi.*****Aku sedang memijat Eyang Putri di teras belakang. Hari ini Eyang Putri nampak sehat, wajahnya cerah dan senyumnya nampak sumringah."Ca ... Caca ... Keluar kamu!" teriak seseorang membahana.Aku meminta Eyang menunggu dulu, aku akan mencari tahu siapa yang berteriak mencariku. Sebelum aku masuk ke dalam rumah. Bu Laras datang dan langsung berkacak pinggang."Heh ... Kamu. Gadis yatim piatu tukang nunut dan gak punya urat malu. Kamu pikir Awan siapa? Dia itu kerja jadi kaur keuangan desa, lulusan S1. Kamu sih apa? Jauhi Awan! Awan itu pantesnya dapat sarjana dan anak orang kaya bukan orang kayak kamu. Pengangguran lagi. Sudah nunut, pemalas, inget ya, jauhi Awan!" "Kamu sama Hasan bener-bener gak tahu malu. Pake pelet apa kalian hah? Kinan keponakanku saja sampe kesengsem, keblinger sama dia. Cuma tukang angon sapi. Cih ... Gak mutu. Awas kalian!" Bu Laras segera masuk kembali kedalam rumah. Walau aku tahu kalau reaksi keluarga Awan akan seperti ini. Tapi, tetap saja ada rasa sakit di dadaku. Mataku yang jarang menangis tampak berkaca-kaca. Aku segera mengusapnya dan berbalik untuk menemani Eyang lagi.Deg.Aku melihat lilikku. Dengan tangan gemetar dia memegang cangkul ditangannya. Bisa kulihat wajah terluka dari sorot matanya. Wajah yang sangat mirip dengan almarhum Bapak. Sayangnya hanya wajah yang mirip tapi sikap ketegasan dan mengayomi sama sekali tak dimiliki oleh adik bapakku ini.Aku tahu dia mendengar semua omongan Bu Laras yang menghinaku dan ... Putranya.Gedebuk ....Kami tersentak kaget."Eyang!" "Mbok!" *******Eyang Putri dibawa ke rumah sakit, kondisinya drop. Bersyukur aku dan Hasan dulu berinisiatif membuatkan BPJS walau hanya bisa kelas tiga. Aku dan Hasan menunggu dengan was-was. Lik Marwan tampak diam. Tak banyak bicara."Bagaimana keadaan Nenek saya, Dok?" tanya Hasan."Kondisi tubuhnya drop. Untuk saat ini kita hanya bisa pasrah. Kita serahkan pada Sang Pemberi Hidup."Kami segera masuk ke ruang HCU. Disana kami melihat tubuh rentanya. Ya Allah, aku tahu aku harus ikhlas dengan segala kemungkinan hanya saja rasanya kami tak sanggup."Bapak pulang saja, lagi pula Bapak juga punya hipertensi. Gak boleh capek. Biar aku sama Caca yang nunggu Eyang," tutur Hasan."Iya."Semalaman, aku dan Hasan menjaga Eyang Putri secara bergantian. Saat aku terbangun, Hasan tidur dan sebaliknya.*****"Sepi ya Ca." Hasan memulai obrolan.Aku sendiri tengah menyandarkan kepalaku di bahu Hasan. Sudah dua hari dua malam Eyang dirawat. Kami selalu setia menunggu. Jangan tanyakan Lik Mirna dan kedua anaknya mereka sama sekali tak peduli."Iya. Mungkin karena masih pagi," kulirik jam di tanganku masih pukul enam pagi."Semalam aku mimpi ketemu Ibu. Ibuku cantik ya Ca. Aku biasanya cuma lihat di foto. Tapi tadi malam aku bener-bener lihat. Ibu tersenyum Ca.""Kok sama. Aku semalem juga mimpi ketemu Bapak Ibuku. Mereka juga tersenyum ke arahku. Bapak malah membelai kepalaku.""Ca ... Hasan." Sebuah suara memanggil nama kami. Awan.*****"Maafin Ibuku ya Ca, aku udah denger dari Husna katanya Ibu melabrak kamu. Gara-gara Ibu juga Eyang kamu sampai masuk rumah sakit.""Gak papa memang sudah takdirnya Eyang masuk rumah sakit.""Tapi aku merasa bersalah Ca, gara-gara Ibuku ....""Sudahlah Wan. Jangan dibahas."Hening."Ca ... Aku akan berusaha meyakinkan kedua orangtuaku. Aku akan ....""Wan ... Bukankah aku pernah bilang bahwa jawabanku akan lamaranmu setelah aku tahu tanggapan Ibumu. Dan sekarang aku akan menjawabnya. Maaf mungkin lebih baik kamu cari wanita yang lain.""Ca ....""Sudahlah Awan. Percuma. Kedua orangtuamu tidak akan pernah menerimaku.""Tapi aku yakin, kalau kita berusaha mereka akan merestui kita.""Hehehe. Yakin kamu? Bahkan Ibumu saja tanpa melihat adab kesopanan memakiku. Untung hanya di rumah lilikku. Kalau ditempat umum bagaimana?" aku menyerangnya telak, sengaja."Kita kawin lari."Aku terkekeh, " Tapi sayangnya akalku ada pada kepalaku bukan dengkulku. Seperti apapun Ibumu dia surgamu berbeda denganku. Kalau kamu lakukan itu kamu akan menjerumuskan dirimu sendiri dan aku ke neraka. Maaf aku tak mau. Aku mungkin bukan siapa-siapa. Tapi aku punya perasaan, sakit jika dilukai, patah jika dipatahkan.""Ca ....""Sudahlah ... hentikan. Percuma."Aku memilih kembali ke ruang perawatan Eyang. Tak kupedulikan Awan yang memanggilku. Bagiku semua sudah jelas.*****Hari ketiga Eyang dirawat, Eyang siuman. Saat itu ada aku, Hasan dan Lik Marwan. Entah sesuatu firasat atau apa hatiku tak tenang. Walau kondisi Eyang terlihat bugar dan wajahnya tampak cerah sekali. Bahkan senyum tak pernah lepas dari bibirnya, tapi jujur aku merasa takut. Takut akan kehilangan lagi untuk kesekian kalinya."Marwan.""Iya Mbok.""Aku mau pulang, aku harus kamu anter ke Kebumen ya?" ucap Eyang Putri."Mbok masih sakit. Sudah disini saja," sahut Lik Marwan."Enggak. Pokoknya Simbok harus pulang ke Kebumen. Gak masalah rumahnya reot tapi itu rumahnya Simbok. Inget ya Wan, aku pokoknya harus balik ke Kebumen," tegas Eyang putri."Iya Mbok," akhirnya Lik Marwan menyerah."Putuku. Caca sama Hasan. Kalian putuku yang paling baik, paling sayang sama Eyang. Kalau Eyang sudah balik ke Kebumen, maka kalian berdua terbanglah. Kepakkan sayap kalian yang sudah lama terikat. Jadilah seperti merpati yang bisa terbang tapi tahu kapan, dimana serta pada siapa dia akan kembali," ucap Eyang Putri sambil tersenyum manis padaku dan Hasan.Aku menangis, begitupun Hasan. Kami berdua sadar ini bukanlah sekedar ucapan tapi wasiat terakhir dari Eyang Putri untuk kami.*****Eyang Putri menghembuskan nafas terakhirnya pada malam keempat setelah dirawat. Kami sudah rembugan. Eyang Putri langsung dimandikan oleh pihak rumah sakit dan malam harinya kami akan membawanya ke Kebumen.Hanya aku, Hasan dan Lik Marwan yang ikut. Kami ikut mobil ambulance dengan jasad Eyang Putri juga. Lik Mirna dan kedua anaknya tak mau ikut dengan alasan jauh dan menghemat biaya. Tak masalah bagiku dan Hasan karena tanpa mereka jauh lebih baik.Kami disambut tangis haru oleh keluarga dan tetangga. Bahkan beberapa sanak keluarga ada yang menangis histeris bahkan pingsan.Kata-kata penghibur menyertai kami, namun aku kurang begitu antusias dan hanya menanggapi dengan anggukan atau senyum lemah.Selanjutnya Eyang langsung di sholati dan dimakamkan. Eyang sudah dimandikan ketika di rumah sakit. Aku, Hasan dan Lik Marwan bahkan ikut memandikan jenazah Eyang saat masih di rumah sakit."Kamu yang sabar ya Ca," ucap salah satu kerabat, entah siapa aku tak tahu."Nggih."Hasan dan Lik Marwan ikut masuk ke liang lahat untuk membantu memakamkan Eyang. Terakhir Hasan mengazani Eyang untuk terakhir kalinya.********"Tempat ini nyaman ya Ca, adem."Aku menoleh ke arah Hasan dan tersenyum membenarkan perkataannya."Iya."Aku dan Hasan tengah duduk menikmati hamparan sawah di depan rumah Eyang. Hari ini adalah hari ketiga kematian Eyang."Ca.""Iya.""Eyang udah
Perjalanan dari Jogja menuju Purwokerto kutempuh dengan kereta. Selama perjalanan aku hanya sibuk menatap pemandangan di luar. Sesekali aku menarik nafasku, entah kenapa dadaku sesak sekali. Ada banyak ketakutan yang kurasakan. Salah satunya apa mungkin aku bisa beradaptasi dengan lingkungan pondok."Sudahlah Ca, mengalir saja. Ingat kamu sudah berjanji akan menjalankan wasiat ibumu. Bismillah," ucapku lirih.Sampai di stasiun Purwokerto aku segera mencari taksi."Taksi Mbak." Salah satu supir taksi menawariku."Iya Mas.""Mau ke mana?""Pondok Al Hikam Purwokerto, Mas.""Yang kompleks putri ya?"Aku hanya mengangguk saja."Mari Mbak."Aku segera masuk ke dalam taksi. Perjalanan dari stasiun menuju Al Hikam hanya sekitar lima belas menit.Asampai di gerbang pesantren Al-Hikam pukul tujuh malam dengan menumpang taksi. Setelah membayar dan menurunkan barangku yang hanya berupa tas punggung dan tas jinjing tanggung, aku mengamati g
Aku terbangun saat mendengar suara orang mengaji. Setelah membereskan tempat tidur, aku segera keluar kamar untuk mandi. Saat membuka pintu kulihat kedua rekanku sudah berada di depan pintu kamar. Mereka melongo menatap horor kearahku."Kenapa?" tanyaku."Mbak Caca bisa tidur nyenyak?" tanya Mbak Syarifah."Nyenyak banget. Kenapa emangnya?""Gak ada yang gangguin?" sekarang Mbak Nurul yang bertanya."Hahaha. Gak ada tuh." Aku langsung berlalu menuju kamar mandi.Sedangkan kedua rekanku masih nampak tak percaya. Ya Allah muka mereka lucu sekali. Sehabis mandi aku langsung berganti gamis katun dan segera menuju ndalem (rumah Kyai).*****Aku tengah membantu Nurul dan Ipeh alias Syarifah memasak di dapur ndalem. Mereka menolak dipanggil Mbak karena usia mereka dibawahku. Karena usia kami boleh dikatakan sebaya makanya kami cepat sekali akrab.Kata Ipeh, dapur ndalem dan dapur khusus santri terpisah. Dapur santri khusus digunakan oleh para sa
"Hai kamu!" Aku yang tengah sibuk mengiris wortel mendongak menatap si cowok angkuh.Seminggu semenjak kejadian salah ndusel praktis kami saling menghindar. Malu iya, marah iya tapi seneng juga iya. Aku sih yang seneng. Halah ...."Apa!" jawabku jutek."Kamu itu niat kesini mau ngapain sih?""Mbabu (jadi pembantu)," jawabku ngasal."Ckckck ... Katanya mau ngaji.""Gus. Ini kan masih jam 7 pagi, gak ada jadwal ngaji. Kalau ada jadwal ngaji aku ya ngaji."Dia bersidekap. "Memangnya kamu mau fokus ngaji kitab apa?""Kitab apa saja yang penting ngaji. Kenapa Gus Azzam repot sih?" Aku mengeluarkan sisi jutekku."Aku gak repot cuma jengah sama tingkah kamu, santri lain itu gak kayak kamu tahu." Dia menjawab tak kalah dingin.Aku memandangnya tajam. Kami bertatapan dengan waktu yang lama hingga saling membuang pandangan. Astaga. Ada yang tidak beres ini dengan jantungku. Jangan sampai kalah Ca. Akhirnya aku bertanya lebih dahulu sekaligus u
*Azzam Dafa Al Kaivan*Gadis itu benar-benar berisik sekali, suka cari muka dan menggangu. Aku tahu dia anak sahabat Umi yang bernama Fatimah. Dan saat ini dia yatim piatu. Tapi sungguh kehadirannya membuatku terganggu.Aku dikenal sebagai sosok Gus yang dingin, cuek, galak dan mungkin angkuh. Tapi jangan salah, sikapku akan berbeda jika bersama Umi, aku justru sangat manja padanya. Maklum saja 12 tahun aku baru dikasih adik. Jadi, jangan salahkan kalau aku menjadi anak manja hanya ketika bersama Umi.Aku pertama jumpa dengannya di pintu gerbang pesantren, kuakui dia sangat cantik. Tapi bagiku biasa saja, karena aku sudah terbiasa lihat cewek cantik. Bahkan mantan calon Ning yang gagal ta'aruf denganku juga cantik. Tapi cantikan Caca sih. Astaghfirullah.Walau begitu bukan berarti aku suka sama Caca ya. Aku nyari istri itu harus seperti Umi. Kalem, lembut, perhatian dan penurut. Dan semua itu tidak ada di Caca.Aku sulung dari dua bersaudara. Jarak kelahiran
*Cahaya Mustika*Tak terasa sudah dua bulan aku mondok plus jadi khadamah disini. Awalnya, aku kesusahan beradaptasi. Terutama masalah ngajinya, tapi alhamdulillah akhirnya terbiasa. Berhubung dulu aku dan Hasan hanya punya satu HP milik bersama dan jadul pula, praktis komunikasi kami lewat sosmed. Dan itupun hanya bisa kulakukan saat hari Minggu saja dimana kami boleh keluar itupun hanya di area dekat pondok.Syukurlah Hasan nampak bahagia dan menikmati kuliahnya. Aku lost kontak dengan keluarga Jepara. Paling Hasan yang rajin menghubungi Husna untuk menanyakan keadaan bapaknya."Kamu betah Ca?" tanya Kang Bimo kepadaku saat membantuku mengupas kelapa sedangkan aku bertugas memarutnya."Betah Kang." Aku memanggilnya sesuai panggilannya disini."Syukurlah, Hasan kayaknya juga betah disana. Senangnya dengar dia lagi kuliah." Kang Bimo menghembuskan nafasnya."Kenapa Kang?""Gak papa. Aku cuma nyesel dulu jadi anak badung. Sekolah gak tamat hid
Kali ini aku menemani Abah, Umi, dan Gus Azmi ke Bandung dengan disopiri oleh Kang Bimo. Gus Azzam sendiri satu minggu yang lalu sudah ada di Bandung. Besok adalah hari wisuda Gus Azzam untuk program magisternya. Kami menginap di hotel yang cukup dekat dengan kampus."Kampusnya keren ya Umi, besok Azmi mau disini juga," celoteh Gus Azmi saat mobil kami memasuki pelataran parkir hotel."Memangnya Azmi mau jadi apa?""Gamer Umi, pokoknya bisa pegang komputer sama HP. Hehehe.""Dasar kamu itu ya?"Semua tertawa termasuk aku. Selanjutnya aku lebih banyak diam, karena menikmati perjalanan. Wow, aku jadi rindu kampus. Aku rindu belajar. Aku menghembuskan nafasku pelan. Semoga suatu hari nanti aku bisa kuliah lagi dan semoga aku segera punya uang. Syukur dibiayai suami. Dan pertanyaan yang muncul emangnya suamiku siapa?*****Mataku terpana menatap objek di depanku. Perawakannya yang tinggi menjulang, kulit putih dengan seraut wajah nan rupawan tengah ber
"Mbak Caca dipanggil Umi ke ndalem," seru Fauziah salah satu khadamah yang masih kelas 12 SMA."Oh ... makasih Dek." Aku menemui umi di ruang keluarga."Umi manggil Caca? Wonten nopo nggih Umi.""Gini, kata Azzam kamu itu lulusan pendidikan Biologi benar kan?""Nggih Umi, pripun?""Guru Biologi kita mau ikut suaminya ke Malang, jadi kita butuh gantinya. Daripada kita bikin loker kan mending memberdayakan SDM yang sudah ada. Bener kan?""Nggih Umi.""Mau ya bantuin ngajar di SMA.""Tapi, Caca sudah lama gak ngajar Umi. Takutnya nanti pas dihadapan siswa malah kayak patung Umi.""Ya dicoba dulu makanya.""Nanti kalau nervous gimana Umi.""Ya makanya latihan.""Nanti kalau ....""Kalau gak sanggup ya nolak. Gak usah banyak alasan. Percuma katanya sarjana terbaik tapi disuruh ngajar aja banyak alasan," sinis Gus Azzam.Aku melotot kearahnya, dia malah memiringkan senyumnya. Dasar kurang garam ini orang. Awas ya! Aku b
Hamdan menatap istrinya dengan sorot kemarahan, sementara Saroh hanya bisa menunduk. Safina sendiri sudah gemetar ketakutan. Sementara Nida menatap ketiganya dengan ekspresi datar. Nida baru saja ada urusan. Berhubung dia melewati sebuah mall, dia memutuskan mampir karena mau membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang sudah habis. Tak menyangka dia bertemu dengan Saroh dan Safina. Seperti biasa Saroh akan mendesak Nida untuk menerima Safina jadi madu. Safina sendiri bertekad untuk berani jadi dia pun mengemis-ngemis kepada Nida agar menerimanya. Namun hal yang tidak diketahui Saroh adalah Hamdan ayah Hilman tidak sengaja berada di tempat yang sama dengan mereka. Hamdan baru saja berceramah di sebuah masjid yang berada dekat dengan mall. Dia yang melihat keberadaan ketiga orang yang dikasihinya, mendekat. Namun saat mendekati ketiganya, Hamdan sempat berhenti mendekat ketika mendengar kalimat Saroh yang meminta Nida menerima Safina menjadi madu. Nida yang menghadap ke arah Hamdan,
Hilman memeluk istrinya penuh dengan sayang. Sesekali mencium kepalanya."Maafkan Umi Saroh ya?"Nida hanya diam dan lebih mengetatkan pelukannya pada sang suami. Sungguh dia merasa lelah sekali. Hasil tespeck yang lagi-lagi gagal. Omongan julit orang-orang yang selalu mempertanyakan kenapa dia belum hamil sementara Nada sudah punya sepasang putra dan putri. Ditambah rongrongan dari Saroh membuat mentalnya down. "Gimana kalau kapan-kapan kita pergi. Kemana gitu. Mau ke pantai atau muncak? Refreshing biar pikiran adem.""Gampang lah Mas, kalau Abah sama Umi atau Nada udah balik. Gak tenang aku kalau ninggalin pondok tanpa ada yang jaga.""Ya udah. Kamu ada agenda ngajar kan jam sebelas?""Iya, Mas juga kan?""Iya.""Ya udah, yuk kita siap-siap Mas."Kedua pasangan suami istri berdiri, kemudian berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap mengajar di sekolah.Selama seharian keduanya sibuk dengan tugas di sekolah. Pun Nida. Sejak tadi dia seperti tak ada waktu untuk duduk atau makan karena
Nida melemparkan hasil tespeck yang untuk kesekian kalinya hanya menunjukkan garis satu ke dalam tong sampah yang ada di dalam kamar mandinya. Setelah itu menarik napas secara dalam dan mengembuskannya secara kasar. Dia memilih jongkok lalu menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya yang tertekuk.Tangisnya muncul. Meski berusaha tegar, Nida tetaplah manusia biasa wanita biasa. Dia bisa saja terluka, dia bisa sedih dan butuh menangis. Cukup lama, Nida berada di kamar mandi. Setelah puas menumpahkan air matanya. Nida segera mencuci muka untuk menyamarkan bekas air matanya.Nida kemudian melihat ke arah kaca berukuran kecil. Begitu mata sembabnya sudah tak terlihat, Nida segera keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.Nida melirik ke dalam kamar, kemudian tatapannya tertuju pada jam dinding. Ternyata masih setengah enam, itu berarti suaminya masih berada di masjid kompleks pondok putra. Nida segera menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kebetulan keluarga Nada sedang
POV JamalAku masih duduk di dekat sebuah pusara. Sesekali kubelai nisan yang terbuat dari kayu. Atau mengambil butiran tanah dan kutaruh lagi pada gundukan yang masih basah. Bau beberapa macam bunga yang tersebar di atas makam begitu menyengat di indera penciumanku.Pandangan mataku mencoba menelusuri sekeliling tanah perkuburan yang terlihat sejuk dan rimbun dengan beberapa pohon Kamboja maupun beringin yang terlihat gagah dan tinggi."Mas."Sebuah usapan pada bahu kananku menyadarkanku pada sosok wanita yang sudah sepuluh tahun ini menemaniku dalam suka dan duka. "Sudah mulai sore. Ayok pulang. Kasihan juga Umi."Aku melirik ke arah Umi yang kini sedang menyandarkan kepalanya di atas bahu Mas Jalal. Terlihat sekali kesedihan di mata Umi. Meski Umi terlihat tidak menangis lagi, tapi aku tahu Umi adalah orang yang paling terpukul dengan kematian Abah.Aku bangkit lalu menuju ke arah Umi. Kuusap lembut kedua tangannya. "Kita pulang yuk Umi. Kasihan Abah. Kita harus ikhlas."Umi hany
POV NadaAku masih bergelung malas di atas kasur. Setelah sholat subuh harusnya gak tidur lagi, tapi beneran deh ngantuk. Capek juga. Sebuah kecupan hangat mampir di keningku. Aku tersenyum pada sosok pria berkulit eksotis dengan senyum sangat menawan."Capek?" tanyanya."Iya.""Mau jalan-jalan lagi gak?"Aku menggeleng. "Capek, mager juga.""Mau makan?"Aku menggeleng. "Kan tadi habis makan roti, masih kenyang.""Hehehe. Ya udah."Jamal ikut rebahan dan memelukku. Namun, kedua tangan dan bibirnya seperti biasa tidak suka nganggur. Suka sekali bikin tubuhku merinding disko."Mas! Aku udah mandi dua kali loh sepagi ini," rengekku. Semenjak menikah, aku menambahkan embel-embel 'mas' saat menyebut nama Jamal."Ya nanti mandi lagi. Mandi bareng sama aku," ucapnya genit."Mas! Astaga!"Akhirnya aku hanya bisa pasrah akan kelakuan suamiku. Ya sudahlah, toh kewajibanku juga sebagai istri.Selesai mandi untuk ketiga kalinya, aku dan Jamal segera melaksanakan sholat dhuhur kemudian kami seger
POV Jamal Senyum tak pernah lepas dari bibirku. Pokoknya kalau ada sutradara yang lagi nyari orang buat casting produk pasta gigi dijamin aku bakalan langsung tanda tangan kontrak. Lah, senyumku kan menawan. Wajahku rupawan lagi. Sesekali kulirik istri cantikku yang pukul sembilan tadi kuucapkan janji sehidup semati di hadapan abahnya, para tamu dan paling penting di hadapan Allah. Senyum pun tak pernah lepas dari bibirnya. Lalu kutolehkan pandanganku pada pelaminan di sisi kanan, terlihat pasangan pengantin lain pun tersenyum semringah. Hari ini, sedang terselenggara pernikahan dengan dua pasangan pengantin. Siapa lagi pengantinnya kalau bukan antara aku dan Nada. Dan di sebelah kanan kami, berdiri pasangan Mbak Nida dan Mas Hilman. Karena mereka udah jadi kakak iparku ya kupanggil dong dengan sebutan mas dan mbak. Aku bersyukur perjuanganku untuk mendapatkan Nada berhasil. Sempat down kemarin-kemarin. Sempat mutung (ngambek) juga. Untung ada Mas Singa Garang sama Si Jutek Caca ya
Begitu menginjakkan kaki di halaman rumah Jamal, aku tertegun. Tampak sosok Jamal yang berada di teras rumah. Di belakangnya ada Kamal dan sosok remaja lelaki yang begitu asing. Ketiganya kaget melihatku. Tapi aku justru senang. Itu artinya Jamal gak jadi pergi ke Mesir. Namun kesenanganku hilang saat melihat koper besar yang berada di tangan Jamal. Aku panik. Jangan-jangan Jamal beneran mau pergi ke Mesir."Jamal." Aku langsung menghampiri Jamal."Kamu mau ke Mesir?""Iya. Mau pindah ke sana, nyari cewek sana. Kan cantik-cantik." Suara Jamal terdengar ketus."Jamal. Aku minta maaf. Jangan pergi!""Buat apa di sini, cewek yang aku perjuangin gak mau nerima aku. Dia pasti malu. Aku kan gak tinggi-tinggi amat, kulitku eksotik, cuma penjual udang. Kalah sama cowok-cowok diluaran sana."Jamal menarik kopernya, dia berjalan melewatiku. Tentu saja aku mengekori langkahnya."Mal." Aku menekan pintu bagasi yang baru saja dia buka. Mataku menatapnya sendu."Mal, jangan pergi.""Minggir, Nad.
Aku hanya bisa tertunduk. Semua orang sedang menatapku dengan pandangan beraneka macam. Ada yang terlihat prihatin, sedih, kesal bahkan marah. "Sekarang maunya Ning apa? Minta Jamal menikahi Hana? Percuma Ning. Jamal udah pergi. Tadi malam dia minta ijin sama Abah, katanya mau ke Mesir aja. Katanya dia mau mengobati luka hati sambil usaha nyari istri, orang sana. Jamal bilang, siapa tahu di sana ada yang cinta sama dia. Menerima dia apa adanya. Ckckck. Jangankan di Mesir, orang di Indonesia saja ditolak mulu." Gus Jalal salah satu kakak Jamal bicara dengan nada biasa. Bahkan suaranya terdengar lembut. Sayang, bagiku ini seperti sindirian telak untukku. Abah dan uminya Jamal sendiri hanya diam. Tak ada satu pun kata terucap dari bibir keduanya. Tapi dari tatapan matanya, aku tahu. Mereka berdua begitu kecewa padaku."Maaf." Akhirnya hanya itu saja kata yang bisa keluar dari mulutku.Aku melirik ke arah Mas Azzam. Sayang, Mas Azzam sejak tadi tak bersuara. Dia hanya diam. Namun, tatap
POV NadaAku sedang merenung di salah satu kamar yang ada di pondok putri. Banyak hal yang sedang aku pikirkan. Salah satunya, percakapanku dengan Hana dan ibunya waktu itu.Flashback."Ning Nada kan?" Seorang wanita paruh baya menghampiriku yang baru saja selesai melaksanakan sholat duha."Iya, siapa?""Herlin. Mamahnya Hana.""Oh."Kami bersalaman. Bu Herlin tersenyum ramah padaku dan tentu kubalas senyumnya walau aku sedikit merasa kikuk."Boleh kita bicara?""Mau bicara apa, Bu?""Tentang Hana. Ayok ikut saya."Mau tak mau aku mengikuti langkah Bu Herlin menuju kamar Hana. Sampai di sana, aku kaget menemukan Hana yang kondisinya menyedihkan. Aku ingat, Mas Gino bilang jika Hana tak bisa berjalan lagi. Dia lumpuh. Ya Allah, kasihan sekali dia."Nada." Hana memanggilku dengan suara parau. Tangannya terulur padaku, dia menangis.Aku merasa tak tega melihat keadaannya, hingga kuputuskan