Ini adalah cerita asal usul Setan Kebaya Merah. Menurut mitos yang beredar setan itu dulunya adalah seorang ratu yang bernama Ratu Anggini yang hidup beberapa ribu tahun yang lalu. Sebelum Indonesia menjadi seperti sekarang.
Tiga ribu tahun yang lalu nusantara terpecah menjadi ratusan kerajaan kecil, sedang dan besar. Periode makhluk Tuhan paling sempurna saling berperang untuk merampas tanah dan menjarah sesama.
Hormon testosteron berlebih membuat kaum prianya lebih brutal dari binatang. Mereka haus mengorek hayat dari tubuh lawan-lawannya, seperti tiga hari tanpa air di Gurun Sahara yang terik. Nyawa bagai tak ada harga, padahal sampah saja masih bisa jadi uang. Membunuh selazim bernafas. Hukum rimba berlaku, yang lebih kuat menguasai yang lebih lemah.
Di antara gelombang lautan testosteron, berd
Sumber alam Kerajaan Serdiapada melimpah. Tanahnya subur. Sesubur wanita beranak sebelas. Sawah-sawah tak henti-hentinya menguning. Lumbung-lumbung padi selalu terisi penuh sepanjang tahun. Hasil tambang, emas, perak dan logam lainnya mengalir seperti sungai tak habis tergali. Tangan para raja berhati Tuca jadi gatal ingin menguasainya. Segatal gigitan segerombolan tungau di sela-sela jari. Tuccha, golongan manusia yang selalu merugikan orang lain, senang mengambil hak orang lain.Raja Borate dari negeri Jayabapura sudah lama melirik negeri Serdiapada. Hatinya birahi ingin menggauli negeri itu, maka datanglah ia bersama pasukannya mengepung kota itu.Sang raja mengirimkan ultimatum kepada Ratu Anggini. Menyerah dalam waktu tiga rembulan atau Serdiapada akan serata tanah dan penduduknya akan bernasib mengerikan. Raja Borate juga meminta kesediaan sang ratu, menjadi selirnya sebagai tanda itikad baik.Sungguh suatu bentuk pelecehan. Dengan kata lain Ra
Keesokan pagi Raja Borate mengatur pertukaran tawanan. Ratu Anggini setuju menukar Jenderal Bima dengan seluruh prajuritnya yang tertangkap.Mereka melakukan pertukaran di luar tembok kota. Pasukan dari kedua kubu saling berhadapan dengan anak panah siap terbang dari busur meregang. Masing-masing berjaga-jaga bila ada pihak yang berbuat curang.Untung, proses pertukaran berjalan lancar.Ratu Anggini merasa senang mendapatkan tangan kanannya kembali. Demikian juga dengan Raja Borate. Namun ia senang bukan karena kembalinya para prajurit, melainkan ia telah mempersiapkan rencana licik.Pada malam hari saat semua penduduk Kerajaan Serdiapada sedang terlelap. Raja Borate duduk di atas kudanya memandang ke kota Serdiapada dari atas bukit bersama pasukannya. Ia sedang menanti sesuatu.Tak lama kemudian terlihat sebuah titik kuning yang kecil di sudut istana. Dari satu titik bertambah jadi dua. Dari dua jadi tiga, kemudian terus be
Orang yang dimaksud Raja Borate menampakkan dirinya. Ternyata dia tak lain dan tak bukan adalah Jenderal Bima.Bima? Ratu Anggini tidak dapat mempercayainya. Ia sangat kecewa. Jenderal Bima adalah orang yang selama ini paling setia kepada kerajaan. Ia juga cakap dalam melaksanakan tugas. Oleh karenanya ia menjadi tangan kanan sang ratu. Mengapa ia berkhianat?“Anjing kau Jenderal Bima!” maki para petinggi istana. Mereka menyumpah dan mengutukinya.Jenderal Bima menunduk. Alasan yang ia miliki terlalu egois untuk ia katakan.“Ha… ha… ha… Memang benar kata orang. Cinta itu buta. Demi kau, dia rela menukarkan dunia. Dia yang menawarkan kepadaku Serdiapada, sebagai ganti kau, Ratu Anggini untuknya.”“Tidak tahu malu!” maki petinggi istana lagi.Tidak tahu malu? Sebagai seorang jenderal ia sangat malu. Ia telah berkhianat terhadap negerinya. Tetapi sem
Setelah semua penduduk kerajaan Serdiapada habis Ratu Anggini dipaksa menjadi selir Raja Borate. Pria itu menghampirinya hampir setiap malam, tetapi Selir Anggini selalu menolak melayaninya. Namun ranting kering bisa apa? Diinjak sedikit patah. Wanita karang itu sudah tak menjulang keras seperti dulu. Raja Borate bertenaga besar, mudah baginya untuk menzalimi sang ratu. Laki-laki itu mengoyak-ngoyak martabatnya, melanggar tubuhnya, menggerus kemanusiaannya jadi lebih rendah dari binatang, setingkat sampah dapur. Selir Anggini sudah muak. Mati lebih baik. Tapi ia tak ingin pergi tanpa memuaskan dahaga dendam di hati. Ia memutuskan untuk mengubah suratan nasib yang ceritanya selalu sama setiap malam. Ia menyiapkan sebuah kayu tajam yang dia peroleh dari pecahan kaki tempat tidurnya. Ia menyembunyikan senjata itu di bawah bantalnya. Malam itu Raja Borate sedang mabuk dan menghampiri Selir Anggini. Kala sang raja sedang menodainya, ia mengambil kayu itu dar
Melihat kejadian itu para tamu lain langsung kaget, ketakutan, menuntut uang mereka kembali. Kejadian tersebut membuat Gatuk sangat marah. Ia masuk ke dalam kamar dan menemukan Anggini yang sedang berkumur dan membuang airnya keluar jendela. Mulutnya masih belepot darah dan matanya berkaca-kaca. “Kau!” Dengan sangat marah Gatuk menjambak kasar rambut Anggini dan menyeretnya keluar. Anggini terseok-seok, terbungkuk-bungkuk saat ia ditarik. Ia meringis, memegangi kepalanya. Kulit kepalanya seakan-akan lepas tak lama lagi.
“Ka… Kamu siapa?” tanya Anggini ngeri.“Aku Zanna,” jawabnya heran. Karena wanita di depannya merespon sedemikian rupa.Zanna? Anggini menarik nafas lega sambil mengamati anak gadis itu. Wajahnya sungguh mirip almarhum putri sulungnya. Andai kata anak itu menyebut namana seperti nama putrinya pasti ia akan tambah panik.“Kamu tinggal dimana?” tanya Anggini setelah dapat menenangkan dirinya. “Saya tinggal di Rumah Bordi
Hari istimewa tiba. Zanna berulang tahun. Anggini telah menyiapkan sebuah kejutan kecil untuknya. Dua buah gelang tembaga berbentuk Bunga Gladiol. Gladiol berasal dari kata Latin, Gladius yang berarti pedang. Umumnya dikenal sebagai Bunga Bakung. Bermakna ketulusan, kemurahan hati, serta pendirianteguh. Anggini sengaja memilih bunga itu sebagai simbol asa Zanna meraih mimpi, menembus segala rintangan yang ada dengan kedua tangannya, diiringi kerendahan hati dan tetap setia pada jati dirinya. Selain itu bunga itu biasanya mekar di bulan Agustus. Pas dengan bulan kelahiran Zanna.Anggini sudah tak sabar untuk menghadiahkan gelang itu, tapi ia menunggu waktu selesai bekerja. Agar ia, Nenek Min dan Zanna benar-benar dapat menikmati momen bersama itu dan membu
Anggini tanpa daya diseret-seret ke rumah penyiksaan Patah Arang.“Jangan, jangan bawa saya ke sana!” mohon Anggini ketakutan. Ia meronta-ronta, melawan, menahan sebisanya. Ia tak ingin kembali ke tempat itu. Rasa ngeri membuatnya gemetar.Tapi ia tak berdaya diseret dua laki-laki kekar ke sana. Rasa takutnya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Setibanya mereka di rumah penyiksaan. Gatuk membuka sebuah kotak yang berukuran kecil, kurang lebih setengah badan wanita rata-rata. Terakhir kali Anggini melihat seorang wanita disiksa dan meninggal di dalamnya.“Masukkan dia ke dalam situ!”Anak buah Gatuk memaksa Anggini untuk menekuk tubuhnya, meringkuk seperti bayi dalam rahim agar ia bisa dimasukkan ke dalamnya. Baru setelah itu peti itu ditutup dan dikunci. Cahaya obor menembus sebuah lubang kecil yang berfungsi sebagai saluran udara. Tubuh Anggini hampir sama sekali tak bisa bergerak. Nafas terasa tidak nya
Kedua bibir Mbah Moen mengatup rapat, alisnya mengernyit, matanya menatap lekat mayat istrinya yang hancur untuk terakhir kali. Suami mana yang tak pedih melihat tubuh istrinya dikoyak-koyak tanpa hormat. Keparat! Akhirnya ia berbalik dan pergi. Tak ada yang bisa ia lakukan. “Hei! Mau kemana kau!?” hardik si Janggut melihat Mbah Moen melarikan diri. “Jangan pergi sebelum kau kasih tahu rahasiamu!” Amarah Mbah Moen berkobar seperti hutan rimba kebakaran akibat terik. Ia menyalahkan dirinya atas ketidakmampuan menyelamatkan istrinya. Semua itu harus ia tebus dengan penghukuman diri. Berlari Mbah Moen ke atas gunung secepat mungkin. Tapi langkahnya berat seperti tergandul bola besi. Nafasnya terengah-engah tak seperti biasa. Akibat perkara dunia memenuhi relung hatinya.
Meskipun dalam keadaan sekarat Mbah Asih masih bisa mengenali ekspresi suaminya. Mata yang teralih ke sana kemari, berfokus hanya kepada pendengarannya seakan ada suara datang dari berbagai arah. Setan laknat itu pasti sedang menggoda suaminya. Setan terkuat Gunung Wijen dikunci di dalam kerajaan gaibnya sendiri oleh Mbah Moen. Bukan karena Mbah Moen lebih kuat darinya melainkan makhluk itu telah salah langkah hingga terjebak. Sejak itu sosoknya tak dapat pergi meninggalkan kerajaannya sendiri. Namun demikian ia masih bisa melakukan kontak batin dari kejauhan dan kekuatannya masih bisa sedikit menggapai keluar. Itu alasan Mbah Moen mencegah orang-orang untuk naik ke gunung ini. Agar tidak ada manusia terjebak jeratan tipu muslihatnya yang sehalus jaring laba-laba dan menggoda hati manusia yang lemah. Hati yang haus dengan keinginan-keinginan yang tak tergapai. Selayak air menggoda kerongkongan yang kering. Bertetangga dengan makhluk astral semacam itu
“Selamatkan bayiku,” mohon ibu itu, mengangkat anaknya kepada Mbah Moen dengan gemetar. Kengerian tergurat di wajahnya, mengetahui kemungkinan anaknya tak kan hidup sampai esok hari. Ia tak peduli lagi dengan nyawanya. Asal buah hatinya selamat. Mbah Moen memandang bayi yang tak berdaya itu. Ia mengernyit, menghela nafas. Tak tega, tapi ia tidak mau turut campur dengan prahara dunia yang fana. Ia tak suka hatinya mendapat beban dilema seperti ini. “Anak yang tampan,” kata si Janggut dari belakang. Suara itu membuat adrenalin ibu itu banjir deras, matanya melotot lebar, alisnya mengernyit, jantungnya berdebar keras melihat tangan “malaikat pencabut nyawa” itu perlahan mencengkram kepala anaknya. Raut wajahnya semakin jelek melipat, seperti orang dipaksa meminum sesuatu yang sangat pahit. Air matanya berurai.
Mbah Moen, seorang juru kunci Gunung Merapi Wijen. Tubuhnya kurus kering. Tulang pipinya menonjol. Tingginya sudah menyusut lantaran usia. Bibirnya selalu tersenyum, seperti orang yang sudah tak memiliki beban hidup. Pekerjaan sehari-hari Mbah Moen menutup portal-portal gaib yang sering terbuka sebagai jalan masuk makhluk astral negatif ke gunung tersebut. Bila ada makhluk yang berhasil lolos, Mbah Moen akan menangkapnya dan menguncinya di satu tempat hingga tak bisa kemana-mana mengganggu. Mbah Moen sebagai seorang ahli kebatinan yang sensitif dapat merasakan energi negatif dari Hutan Terlarang yang melalang buana ke seluruh penjuru. Ia memukul-mukul tengkuknya yang terasa penat. Badannya kaku tidak enak akhir-akhir ini. Padahal sudah bertahun-tahun dia tidak pernah sakit. “Sini aku pijitin,” kata Mbah Asih, istrinya. Jari-jari tua keriput dengan ruas tulang jari menonj
Setan Kebaya Merah kembali bersemayam di Hutan Terlarang. Dari sana ia mengirimkan sinyal ke seluruh penjuru nusantara, mengundang orang-orang untuk datang. Mereka yang mengolah ilmu kebatinan pasti dapat merasakan denyut panggilan misterius yang menjalar di alam raya. Terasa begitu menggairahkan bagi mereka pencari kekuatan, namun meresahkan bagi mereka yang menginginkan kedamaian. Bencana gonjang-ganjing akan datang tak lama lagi. Hutan Terlarang. Hutan rimba misterius mistis. Hutan yang memiliki kesadaran. Siapa pun yang masuk akan tersesat berhari-hari. Kiri jadi kanan, kanan jadi kiri, depan jadi belakang, belakang jadi depan. Jauh dekat semua serba terbalik. Segala sensasi indera menipu. Tidak ada satu pun yang bisa dijadikan petunjuk di hutan itu. Masuk ke sana sama saja mati. Datang berombongan juga tak berguna. Hutan itu akan mencerai-beraikan. Teman
Di luar telah gelap. Rembulan enggan keluar. Nenek Min sedang berduka di rumah petaknya. Hanya suara jangkrik yang menemani di luar jendela. Ia duduk di depan meja. Di atasnya terdapat sebuah celupak — alat penerangan dari tanah liat berbahan bakar minyak kelapa dan minyak jarak. Api menyala di ujung sumbunya yang berbaring di cerat. Cahaya kuningnya menerangi ruangan remang-remang. Lidah api itu sedikit menari-nari, seakan mencoba menghibur wanita tua di hadapannya. Mata Nenek Min memandang ke api, cahaya itu menariknya dalam lamunan.Dua hari lalu rombongan Gatuk kembali dari pengejaran. Di belakang kudanya tergeletak tubuh Anggini yang diseret pakai tali. Kebaya merahnya compang-camping, kotor dengan darah dan debu. Wajah dan tubuhnya penuh luka beset dan baret. Rambutnya acak-acakan. Bahkan batang hidungnya sudah tak ada. Sama sekali tak terlihat, kalau dulunya ia seorang ratu sebuah negeri. Hati Nenek Min hancur melihat kondisi Anggini. Gatuk dengan bangga memperto
Pada tengah malam, Anggini dan Nenek Min menggali kuburan Zanna yang masih basah. Mereka masuk ke dalam liang, membongkar papan-papan penutupnya. Mayat anak itu sudah membengkak dan mengeluarkan bau busuk dari dalam kain kafan. Tubuhnya melunak. Darah dan cairan lain keluar dari tubuhnya. Anggini menutup hidung dan mulutnya dengan kain untuk mengurangi bau. Kemudian ia membungkus Zanna dengan kain pelapis tambahan. Kemudian Nenek Min membantu meletakkan mayat Zanna ke punggung Anggini, sambil Anggini mengikatnya ke tubuhnya dengan tali. “Aku akan pergi ke rumah orang tuanya, mempertemukan Zanna dengan keluarganya, dan menyerahkan obat ini.” “Ini gila, Anggini” Anggini memeluk Nenek Min, “Aku akan mewujudkan impian anak ini. Doakan agar aku berhasil.”
Anggini tanpa daya diseret-seret ke rumah penyiksaan Patah Arang.“Jangan, jangan bawa saya ke sana!” mohon Anggini ketakutan. Ia meronta-ronta, melawan, menahan sebisanya. Ia tak ingin kembali ke tempat itu. Rasa ngeri membuatnya gemetar.Tapi ia tak berdaya diseret dua laki-laki kekar ke sana. Rasa takutnya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Setibanya mereka di rumah penyiksaan. Gatuk membuka sebuah kotak yang berukuran kecil, kurang lebih setengah badan wanita rata-rata. Terakhir kali Anggini melihat seorang wanita disiksa dan meninggal di dalamnya.“Masukkan dia ke dalam situ!”Anak buah Gatuk memaksa Anggini untuk menekuk tubuhnya, meringkuk seperti bayi dalam rahim agar ia bisa dimasukkan ke dalamnya. Baru setelah itu peti itu ditutup dan dikunci. Cahaya obor menembus sebuah lubang kecil yang berfungsi sebagai saluran udara. Tubuh Anggini hampir sama sekali tak bisa bergerak. Nafas terasa tidak nya
Hari istimewa tiba. Zanna berulang tahun. Anggini telah menyiapkan sebuah kejutan kecil untuknya. Dua buah gelang tembaga berbentuk Bunga Gladiol. Gladiol berasal dari kata Latin, Gladius yang berarti pedang. Umumnya dikenal sebagai Bunga Bakung. Bermakna ketulusan, kemurahan hati, serta pendirianteguh. Anggini sengaja memilih bunga itu sebagai simbol asa Zanna meraih mimpi, menembus segala rintangan yang ada dengan kedua tangannya, diiringi kerendahan hati dan tetap setia pada jati dirinya. Selain itu bunga itu biasanya mekar di bulan Agustus. Pas dengan bulan kelahiran Zanna.Anggini sudah tak sabar untuk menghadiahkan gelang itu, tapi ia menunggu waktu selesai bekerja. Agar ia, Nenek Min dan Zanna benar-benar dapat menikmati momen bersama itu dan membu