“Bagaimana?” Fatimah terjingkat saat mendengar suara barinton dari belakang.
“Mas Rizal!” pekiknya tertahan karena tangan kekar itu buru-buru membekap mulutnya.
“Jangan keras-keras, Ayo masuk,” bisik Rizal lembut. Perasaan yang tidak terkendali yang membuat Fatimah hanya mengangguk dan mengikuti langkah Rizal masuk ke dalam rumah kosong itu.
Fatimah salah tingkah. Mana mungkin dia bisa bersikap normal jika dihadapkan dengan Rizal, terlebih Fatimah sempat merasakan badan yang tercetak kokoh menempel dipunggungnya. Darahnya mengalir dengan cepat. Fantasinya kemana-mana.
Fatimah dituntun untuk duduk di sofa. Sementara, Rizal menempatkan diri di seberangnya. Sosok gagah itu membungkukkan badannnya hingga condong ke arah Fatimah. Wajah merah tersipu tak mampu Fatimah sembunyikan.
“Bagaimana? Kamu mau jadi pacarku?” tanyanya. Fatimah yang
“Sudah berapa kali kamu melakukannya dengan Siswanto?” cecar Dewi sambil menahan sesak di dada.“Hanya sekali, Bu.”“Bohong! Jawab yang jujur!” pekik Dewi histeris. Suara ibunya cukup melengking. Akan sangat berbahaya kalau sampai didengar oleh tetangga. Fatimah tidak punya pilihan lain selain mengatakannya sejujurnya.“Hampir setiap pagi, Bu, kalau rumah sepi.”Dewi menggeleng tidak percaya. Iblis apa yang merasuki anaknya sampai berani melakukan percintaan terlarang seperti itu.“Maafkan aku, Bu. Aku khilaf,” elak Fatimah. Bagaimana bisa dikatakan khilaf kalau dia sendiri menikmati setiap kedatangan Siswanto di rumahnya. Meski ada sesal, namun libido lebih mendominasi.“Saya bingung mau bicara apa, Fatimah. Yang jelas ibu sangat kecewa denganmu. Terlebih jika suaminya tahu…” kata-kata Dewi terjeda saat tubuhnya dihantam pelukan.“Fatimah mohon
“Woi! Mau ngapain kalian!” pekik suara barinton dari balik helm full face yang menggedor sisi dari angkutan. Siswanto mendecak kesal. Disaat dia sudah tidak sabar ingin melampiaskan hasrat, justru datang penganggu. Dia pun beranjak dari Fatimah untuk menghadap pria misterius itu. “Heh! Siapa kamu! Berani mengusik kesenangan saya,” ucap Siswanto sambil berkacak pinggang. Namun, beberapa saat kemudian dia tersungkur karena hantaman yang bertubi-tubi mengenai tubuhnya. Siswanto gelagapan, tidak mampu untuk membalas. Pria dihadapannya terlalu kuat. “Masih untung baru aku yang memergoki. Bagaimana kalau satu kampung. Bisa mampus kamu Siswanto!” bentak Pria itu yang sepertinya familiar bagi Fatimah. Dia pun segera turun sebelum Siswanto mati konyol di tangannya. “Stop! Jangan hajar Mas Siswanto!” Fatimah dengan sigap memegang tangan pria itu yang kemudian menatapnya seperti terkesiap. Sekarang Fatimah bisa tahu melalui sorot matanya, siapa pria itu.
Pria itu membawanya ke sebuah bangunan yang tinggi menjulang. Bisa dibilang khawasan elit karena di sekitarnya begitu banyak bangunan pencakar langit yang menjadi pusat bisnis dan perbelanjaan. Cukup strategis untuk area perkotaan. Fatimah tidak mampu membantah tatkala Pria itu memintanya untuk turun dari mobil. Sejenak, dia tercenung melihat area parkir itu di mana terdapat begitu banyak mobil mewah. Menandakan penghuni apartemen ini bukan kaleng-kaleng. Seketika Fatimah teringat dengan apartemen Andrew dan Manto yang dulu pernah direbutnya. Sebenernya, bisa saja dia berlaku jahat bagai mafia. Tetapi, dia lebih memilih menahannya. Ingin tahu seberapa kejam pria ini akan memperlakukannya. “Melamun saja, ayo ikut aku!” hardik Pria itu yang sudah berada beberapa meter di depan mobil. Fatimah yang terhenyak segera mendekatinya. Dia memegang erat tas jinjing dengan kedua tangannya. Hanya berisi perlengkapan sehari-sehari seadan
“Ini kamar kamu!” ketus Lily di depan sebuah kamar. Fatimah melihat wanita setengah baya itu yang terlihat membuang wajahnya, seperti jijik walau hanya sekedar bersitatap. “Makasih Bu,” Fatimah memutar gagang pintu dan membukanya. “Apa Ibu? Sejak kapan saya nikah sama bapak kamu. Panggil saya Kak, Kak Lily,” protes Lily dengan suara meninggi. Menyentak Fatimah yang akan masuk ke kamar. “Baik, K-kak Lily,” jawab Fatimah jengah. Sabar-sabar, kalau bukan dalam kondisi terdesak dan juga Lily yang lebih tua, sudah dia jahit mulut nenek lampir itu. “Kamu enggak ada pakaian yang lebih mendingan?” tanya Lily saat Fatimah meletakan tas jinjingnya di atas kasur. Baru saja dia akan menganggumi kamarnya yang luas dan cantik, suara cempreng itu kembali mengusik telinganya. Fatimah mencibir sambil menyudutkan matanya ke atas, baru kemudian dia berbalik arah sambil tersenyum yang dipaksa manis. “Enggak ada, Kak Lily. Yang saya pakai ini sud
Fatimah tidak berkutik. Dia tidak pernah tahu apa yang akan dilakukan pria ini nantinya. Kalau sampai dia mengelak, bagaimana dengan dirinya? Apakah dia akan selamat? Kancing baju sudah terlepas semua. Fatimah menariknya sampai baju tersebut melayang ke lantai. Giliran celana jeansnya. Tidak berlama-lama dia melepaskannya karena tidak mau Arya melakukan hal yang nekad. Tekanan benda tajam itu semakin terasa di nadinya. “Wow! Sexi!” gumamnya penuh kekaguman. Fatimah sekarang terpaku dengan pakaian dalam yang masih menempel ketat. Arya melepas benda tajam itu. Dia melangkah mundur. Menyaksikan keseksian Fatimah dengan lebih seksama. Fatimah tahu dari mata liar yang berbinar itu sepertinya dia sudah ingin sekali melahapnya, Namun Fatimah mencari cara supaya Arya tidak melakukan itu. “Tolong, Pak Arya ingat dengan perkataan Bapak tadi, bahwa Bapak tidak akan menyentuh saya.” Wajahnya berubah geram. Namun, dia sepertinya menimbang apa yang dikatakannya tad
“T-tuan,” ucap Fatimah terbata. Bagaimana dia bisa berkata dengan jelas kalau Arya menyerangnya dengan sentuhan tepat di daerah sensitivenya, Mulai dari belakang telinga, lehernya yang jenjang, sampai ke pangkal kaki. Fatimah merasakan sensasi luar biasa, bahkan Siswanto saja tidak mampu melakukan foreplay sampai sedemikian kasar dan menyeluruh.“Akan kubuat kamu melayang Fatimah, kamu tidak tahu cara main saya.” Fatimah menjawab dengan lenguhan. Pegangan tangan Fatimah yang berusaha mengelak justru membuat Arya semakin beringas. Pria itu sepertinya sudah sangat kehausan sekali.Tiba-tiba terdengar pintu terbuka, diiringi dengan suara gerabah yang jatuh. Fatimah yang terkesiap melihat ke arah Fatimah yang terperanjat melihat adegan panas itu. Matanya terbelalak sambil menutup mulut.“Tuan, ada Fatimah.” Seakan sudah terbawa nafsu, Arya tidak menggubrisnya. Baginya sekarang tubuh aduhai Fatimah lebih penting dari sekedar menghi
Lily tersentak saat melihat Fatimah yang baru saja keluar dari kamar Arya, seketika dia memicingkan mata,“Berani-beraninya kamu merebut posisiku.” Lily menggulurkan kedua tangannya, berusaha untuk mencekik Fatimah. Fatimah yang panik tidak kehilangan akal. Dia mengambil selangkah di depan pintu sambil berteriak.“Tuan Arya, tolong. Lily mau mencekik saya!”Pekikan Fatimah membuat Arya tergeragap. Dia langsung melompat dari ranjang. Dengan tubuh yang tanpa sehelai benang pun, dia melangkah menuju pintu. Langsung memasang wajah murka kepada pembantu yang sudah berumur itu.“Jangan usik dia Lily! Kamu mau saya pecat hah!” bentaknya, Fatimah yang bersembunyi di balik punggung Arya, tersenyum sinis.Lily yang seakan tidak percaya melihat perlakukan kasar Arya. Untuk pertama kalinya dia bekerja di sini, tidak pernah Arya membentaknya bahkan sampai mengancam akan memecatnya. Dia tahu selain mengurus segala keperluan di
Pagi berikutnya,Fatimah terbangun dari tidur lelapnya. Menyadari kalau berada di sebuah ranjang mewah, dia langsung tergeragap. Di sampingnya, terlihat postur yang tengah tengkurap. Terlihat sangat kelelahan karena tidak mampu menandingi Fatimah. Bagi Fatimah permainan Arya sangat payah, namun dia harus berpura-pura puas supaya, tuan muda itu tidak marah.Semalam setelah selesai bercinta, dia berniat untuk kembali ke kamarnya. Namun, Arya menariknya kembali. Meminta untuk ditemani tidur. Alhasil, semalaman dia menjadi guling hidup Arya. Aroma maskulin pria itu menempel di tubuhnya.Fatimah ingin beranjak dari tempat tidur, tetapi dia mengurungkan niatnya. Takut kalau Arya marah besar karena dirinya menghilang. Akhirnya dia masih berada di posisinya. Menunggu sampai Tuan muda itu bangun.Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Kemudian, terlihat Lily yang sedang membuka pintu sambil membawa nampan berisi air putih. Mungkin permintaan dari Arya yang
Sekarang aku berada di dalam sebuah ruangan pribadi di Mansion itu. Ruangan itu sangat megah dan mewah. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa kagumku. Pemilik Mansion ini jelas orang yang sangat kaya raya. Mungkin selain bisnis hotel, dia juga memiliki bisnis-bisnis lain.Pria yang membawaku tadi menyuruhku untuk tinggal di dalamnya. Menunggu sampai Bosnya datang. Entah apa alasannya. Apa aku akan dijadikan sebagai pembantu atau gimana? Tapi justru di dalam ruangan pribadi itu ada pelayan Pribadi yang dengan sigap melayaniku.Aku benar-benar dalam kebingungan. Sampai tidak terasa dua bulan sudah aku berada di dalam mansion itu.Dalam kebingunganku, beberapa kali pria berbadan besar dan tampan datang ke dalam ruangan itu. Mereka seperti berusaha untuk menarik perhatianku. Tanpa ragu mereka terang-terangan memintaku untuk melayani mereka. Tapi tunggu dulu, kenapa pria-pria itu diizinkan untuk masuk ke ruangan ini? apa memang tugasku disini untuk melayani mereka
Aku terisak di sisi Naili yang terbaring di brangkar rumah sakit. Dokter menyatakan bahwa kondisi Naili semakin memburuk karena kepalanya yang terbentur lantai dengan sangat keras sehingga membuat tubuh bagian kanannya juga lumpuh. Itu artinya dia lumpuh total sekarang!Duh Gusti, kasihan sekali Naili. Seandainya aku tidak tergiur dengan tawaran palsu Scott, tentu aku bisa menjaga Naili, sehingga musibah ini tidak sampai terjadi. Tapi apa mau dikata. Nasi sudah menjadi bubur.Tiba-tiba seorang suster datang menghampiriku."Permisi Madam, Madam harus membayar biaya administrasi di kasir ya.""Biayanya kira-kira berapa ya Sus?""Maaf, saya kurang tahu Madam. Silakan ibu datang ke kasir sekarang ya." Dia membalikkan badan untuk keluar dari rumah sakit.Dengan perasaan was-was, aku pun mendatangi kasir. Ikut mengantri di barisan antrian. Aku merogoh dompet dari tasku dan membukanya. Terlihat uang dua ribuan dan lima ribuan yang lusuh terikat den
"Selamat datang, Ara." sambut Scott dengan hanya menggunakan pakaian kimono saja. Mataku tertuju ke bulu tipis yang memenuhi dadanya yang lumayan bidang. Balutan kimono juga memperlihatkan kakinya yang tampak berotot."Kok bengong?"Aku tersentak dari lamunanku. Bisa dibilang Pria di depanku atletis dengan otot yang tidak terlalu besar. Tapi cukup membuat debaran kencang di dalam dada ini."Eh, Iya." Ucapku tergagap. Aku menghela nafas sejenak. berusaha mengontrol diriku sendiri."Silakan duduk." Pintanya.Aku pun beringsut duduk bersamaan dengannya. Tapi Pria itu terlihat mengendurkan tali handuk kimono itu sehingga sekilas aku tidak sengaja aku melihat pakaian dalamnya yang berwarna hitam. Tapi Pria itu sama sekali tidak merasa risih dalam kondisi setengah telanjang di depan seorang wanita sepertiku."Ini Mas pola desain yang sudah saya persiapkan untuk seragam rumah sakit yang sebelah kanan laki-laki dan sebelah kiri perempuan. Apak
Hari ini aku pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan yang diperlukan untuk menjahit. Saking banyaknya permintaan, sehingga bahan-bahan itu ludes dengan sendirinya.Aku membelinya dengan terburu-buru. Tidak mau meninggalkan Naili lama-lama. Intinya setelah membeli bahan-bahan itu, aku akan segera pulang dan tidak mampir-mampir lagi.Setelah membeli bahan-bahannya, aku segera ke halte untuk menunggu angkutan. Saat sedang asik menunggu, pandanganku tertuju kepada sebuah mobil mewah yang berhenti di seberang jalan. Dari kacanya yang terbuka, terlihat Pria tampan yang kutemui dirumah sakit itu sedang memandangiku di balik kacamatanya yang hitam.Aku memalingkan wajah, berpura-pura tidak melihatnya. Pria di seberang sana malah tersenyum melihatku yang salah tingkah. jangan Maya, kamu jangan sampai kepincut dengannya. Tahan hasratmu Ara tahan. Bisikku di dalam hati.Tidak berselang lama, angkutan berwarna orange pun datang. aku melambaikan tangan sebagai
Kesibukan baruku membuka jalan rezeki bagiku. Terlihat dari beberapa tetangga yang mulai berdatangan untuk meminta di jahitkan. Ada yang sekedar memperbaiki pakaian yang sobek, mengecilkan baju, bahkan ada yang meminta untuk mendesain pakaian baru. Semua kulakukan dengan senang hati tanpa menargetkan penghasilan, karena memang aku suka melakukannya.Lebih dari itu, aku merasa hidupku benar-benar berubah. Tidak lagi memikirkan kehidupan masa lalu yang pahit. Sekarang aku merasa lebih bahagia bersama Naili dengan kesibukanku menjahit. Semua itu lebih dari cukup. Meski tanpa kehadiran lelaki dewasa atau kemewahan yang sering aku dapatkan. Ternyata di perumahan yang kumuh ini aku mendapatkan kebahagiaan.Kondisi Naili juga mengalami perkembangan yang cukup baik. Bahkan dia sekarang sudah mau untuk berbicara dan mulai tersenyum. Mungkin dia melihat keseharianku yang bersemangat, sehingga semangat itu tertular kepadanya. Menunjukan bahwa aku yang sekarang berbeda jauh dengan
"Kok kita berhenti di sini?" tanyaku keheranan ketika mobil itu berhenti tepat di depan gang rumah kumuh. Selain kumuh tempat itu juga terlihat sempit sekali. jadi tidak ada ruang gerak yang leluasa. Terlebih cuacanya yang di dekat pelabuhan yang terasa panas sekali."Sudah jangan banyak bicara. Sekarang ayo turun." titahnya. Aku tidak kuasa untuk menolaknya. Setelah menurunkan koper, aku mengekorinya menuju perumahan kumuh itu."Mulai sekarang kamu tinggal disini." ujarnya sambil menunjuk rumah dengan lebarnya kurang lebih dua setengah meter saja. Enggak kebayang betapa sempitnya di dalam."Enggak ada tempat lain apa? ini sempit sekali." Protesku."Jangan banyak membantah!" ujarnya dengan nada penuh penekanan. Aku hanya tertunduk, aku tahu konsekuensi kalau aku sampai menolak perintahnya."Lagipula, kamu akan sangat betah disini, karena ada seseorang yang special sedang menunggumu di dalam." Orang special? Siapa itu? batinku penasaran. Ace pun segera
Beberapa hari aku dinyatakan sembuh.Aku menyelesaikan tugas-tugas akhirku sebagai guru sebelum pengajuan resign. Iya, semenjak aku pulang dari rumah sakit, aku langsung mengajuan Resign kepada kepala sekolah. Permintaanku di kabulkan asalkan aku harus mengerjakan tugas-tugasku terakhir dulu. Jadi aku harus betah mendengar bisikan pedas dari pada rekan guru dan murid berhari-hari.Imej-ku sebagai guru sudah kacau balau. Kejadian tragis kemarin yang seharusnya salah Pak Gelmar dan Rendy justru menjadi salahku. Menurut pandangan mereka, aku adalah wanita kecentilan sehingga mengundang hasrat para lelaki. Jadi akar permasalahannya ada di aku!Jadi untuk apa aku bertahan di lingkungan yang membenciku? Lebih baik aku pergi dari sini dan memulai kehidupan baru."Ini Pak, semua berkas-berkas yang bapak minta, saya sudah membereskan kewajiban saya sebagai guru." ujarku sambil memberikan berkas-berkas itu kepada kepala sekolah."Akhirnya Madam mengundurkan
"Madam!" seorang Suster mengoyang-goyangkan tubuhku hingga aku tergeragap."Madam mengigau ya." tanyanya sambil tersenyum. Penuh perhatian. Perlakuannya sangat ramah membuatku merasa di 'manusia"kan saat aku menganggap semua orang seperti jijik denganku dan menjauhiku. Atau mungkin ruang yang aku tempati adalah kelas yang elit, sehingga Pelayan Prima di tunjukan oleh suster itu. Untung saja, aku masih punya cukup uang sehingga kupilih ruang yang terbaik di rumah sakit ini."Iya, Maaf." Jawabku kepada suster muda yang mungkin usianya sekitar dua puluhan. sambil mengelus-elus kepalaku yang terasa pusing. Jadi kedatangannya Antonio tadi itu cuma khayalanku Cuma mimpi. Ya Ampun, segitunya aku rindu dengan Antonio sampai dia merasuk dalam mimpiku."Bagaimana kondisi Madam? Apa sudah mendingan?" tanyanya. Ingin sekali ku jawab kalau luka yang ada di liangku itu memang berangsur sembuh, tapi luka batin ini masih mengangga lebar."Sudah agak mendingan. Sudah tidak terasa
Pak Gelmar langsung mencabut sumpalan kain di mulutku. Suaraku yang habis karena teriakan yang ketahan pun sekarang berubah menjadi serak."Rendy, hentikan rendy kumohon." Lirihku dengan suara parau. Sementara dildo makin mengganas memutar di dalam liangku, hingga tubuhku tersentak-sentak."Madam Ara, saya pentokin sampai rahim Madam, Boleh?" kata Rendy yang seolah tidak puas menyiksaku. Pak Gelmar hanya tertawa terbahak-bahak."Hahaha, Bagus rendy. Siksa dia tanpa ampun.""Rendy, kumohon." Entah airmata ke berapa puluh kali yang jatuh, mengiba belas kasihannya. Tapi itu sama sekali tidak membangunkan rasa kemanusiannya."Kok enggak mau? bukannya Madam senang dimasukan seperti ini." ujarnya sambil memaju-mundurkan dildonya hingga membuatku kepayahan. Kurasakan cairanku mengalir di pahaku dengan derasnya. Tidak terhitung lagi berapa kali aku squirt."Banyak banget Madam Ara." Seru Rendy kegirangan. Aku hanya tertunduk lemas. Tenagaku sudah te