“Rosalyn … a-aku.” Kevin mengembuskan napas panjang dan menatap dalam pada paras manis wanita berperut buncit di depannya.
Pria itu mengayunkan kaki semakin dekat lalu meraih kedua tangan dan menggenggam dengan erat. Ada sensasi hangat menjalar seketika pada kulit Rosalyn. Ibu dua anak itu dapat merasakan ketulusan Kevin, tetapi lubuk hatinya menjadi tak tenang.
Sentuhan antar kakak dan adik menimbulkan darah seorang pria mendidih. Sosok itu tak rela pujaan hati berpegangan tangan bersama orang lain. Atmosfer ruangan pun tambah dingin serta mencekam.
“Aku belum memiliki bukti apa pun,” lirih Kevin.
Rosalyn terkekeh-kekeh sambil menghapus lelehan hangat yang membasahi pipi putih kemerahannya. Gegas ia mengempaskan tangan Kevin dan menjauhkan diri dari sang kakak. Bagaimanapun, ia telah bertemu banyak orang, sehingga mengetahui bahwa ucapan Kevin saat ini bertolak belakangan dengan ekspresi wajah serta tatapan memancarkan dust
“Kenapa kalian masih mengurungku di sini, hah? Lepaskan aku!” teriak wanita paruh baya.Tadi, setelah memastikan perut Rosalyn tidak sakit lagi serta tidur dengan lelap, Dewa bersama Fabian mengunjungi Vila Meyer. Dua pria itu kembali menekan Mathilda agar mengungkap kebenaran.“Perbuatan Bibi sangat menjijikkan!” geram Dewa seraya menatap tajam pada ibu sambung Rosalyn.“Memangnya apa yang kulakukan, Dewa?! Aku ini hanya korban, tahu tidak?” teriak Mathilda sambil melotot.“Teganya Bibi menodai gadis selugu Lily, menjadikan perempuan itu alat mengeruk uang perusahaan istriku. Lebih gilanya lagi memerintah Kevin merusak masa depannya, bahkan mental dia tergangggu!” ucap Dewa diikuti kilat pada mata abu-abunya.Mathilda mendengkus kasar dan membuang wajah ke sisi lain. Wanita paruh baya bersikukuh tidak terlibat secuil pun. Nyalinya sangatlah besar menutupi kejahatan. Entahlah bagaimana lagi caranya me
“Itu tidak mungkin, Sayang.” Tawa Dewa berderai-derai memenuhi ruang kamar ini. Sebenarnya dalam hati ia merasa miris sebab Rosalyn belum memercayainya 100%. Padahal sudah tinggal satu atap hampir setahun pascaberpisah lima tahun sebelumnya.“Bisa saja bukan. Dulu juga kamu lebih mementingkan perempuan lain. Kamu tidak peduli aku kesusahan, sekalinya memberi uang dengan syarat dan ketentuan yang sulit. Kamu menyebalkan, Dewa!” cecar Rosalyn.Kemudian ibu hamil beranjak dari duduknya, lalu pergi dari kamar. Ia menemui Arimbi dan Brahma yang sedang sibuk bermain lego.“Mama mau main lego? Seru, loh,” ucap Arimbi sambil mengangsurkan kotak boks besar mendekati Rosalyn.“Boleh. Ajari Mama, ya.”“Siap, Ma. Ayo, kita bersatu mengalahkan Kakak. Aku sebal, selalu kalah cepat dari Kakak, huh.” Bibir Arimbi mengerucut.“Sampai kapan pun kamu tidak bisa mengalahkan aku,” sambar bocah laki-laki, lalu menjulurkan lidah.Pada akhirnya permainan lego terhenti, bocah kembar itu bertengkar dan berlari
Pukul tujuh pagi, Kevin telah menginjakkan kakinya di gedung Bma. Suasana bangunan ini masih tampak sepi, hanya petugas kebersihan yang sibuk merapikan seluruh penjuru kantor. Pria itu tersentak ketika lengannya ditarik oleh seorang pria berseragam keamanan.“Ada apa, Pak?” Alis Kevin mengerut.“Memangnya Pak Kevin belum tahu kalau mulai hari ini dipindahtugaskan ke bagian gudang? Dan menurut rumor, Bma mau diakuisisi Cwell Grup, Pak. Karena Bu Lily mendadak mengundurkan diri.”Seketika hati Kevin bagai dihantam palu beton karena ulah sang ibu, sekarang dirinya dan Lily disingkirkan oleh adik ipar. Namun, ia mengikhlaskan diri, tanpa banyak bicara merapikan seluruh barangnya di ruang divisi pemasaran. Gegas Kevin memasukan beberapa kotak ke dalam bagasi mobil.Sehingga ketika seluruh karyawan lain datang, ia telah meninggalkan gedung Bma.“Yang penting aku masih punya pekerjaan untuk menghidupi Janeta,” gumam pri
“Kamu benar. Aku mimisan,” ucap Dewa begitu enteng. Alih-alih merasa khawatir pada diri sendiri sebab mimisan ini terjadi untuk pertama kalinya, justru Dewa masih tertawa lepas seolah bukanlah masalah serius. “Jangan pergi! Ayo, ke rumah sakit!” ajak Rosalyn dengan ekspresi cemas luar biasa. “Tenang saja, Sayang. Ini bukan masalah besar,” sanggah Dewa. Ia mengecup kening sang istri, lantas segera pergi dari vila. Pria itu enggan ditanya lebih lanjut tentang mimisan ini. Dewa melajukan kendaraannya dengan cepat menuju Vila Meyer. Tiba di sana, ia disambut oleh Fabian yang tesenyum lebar. “Sayang sekali kamu tidak melihat drama seru yang diperankan Bibi Mathilda.” Fabian menykut lengan Dewa. “Rosalyn menahanku. Sudahlah, aku ingin tahu apa cara ini berhasil atau tidak.” Dewa berjalan mendahului Fabian. Keduanya pun berhenti di depan pintu kamar yang tidak tertutup sempurna. Sayup-sayup mereka mendengar percakapan Felix dan Mathilda. “Jadi kamu mau menceraikan aku gara-gara masala
“Aku ingin bertemu dengan Lily!” tegas Kevin. Sudah dua minggu ini, setiap menjelang senja Kevin berusaha menemui Lily di apartemen milik Dewa. Sayang, pria itu tidak dapat menembus ketatnya keamanan. Lagi pula unit ini bukan sembarangan yang bisa dimasuki oleh semua orang. Pria itu terus memohon kepada petugas. Kevin tidak lelah bolak-balik dari Milan ke Zurich menggunakan jalur darat. Semua itu, ia lakukan lantaran memiliki rasa bersalah teramat dalam kepada Lily. “Maafkan aku, Lily,” lirih Kevin di lobi apartemen. Tekad Kevin tidak luntur begitu saja. Hingga minggu ketiga pascapenangkapan Mathilda, ia mengunjungi apartemen secara diam-diam. Kevin menyogok petugas kebersihan supaya mudah masuk ke unit. Nahas, ketika upayanya sudah maksimal dan bertaruh nyawa karena menyusup. Ternyata ia sempat mendengar percakapan antar pengawal tentang Lily dipindahkan ke rumah sakit jiwa. Pria itu mengepalkan tangan dan memaki diri, akibat ulahnya menimbulkan efek domino terhadap kehidupan g
Setelah susah payah menenangkan Lily, Pandu meninggalkan rumah sakit jiwa. Ia bergegas kembali ke kantor. Pria itu juga meragu untuk melaporkan kondisi terbaru Lily. Apalagi, semenjak pagi hari atasannya tidak dapat dihubungi.Kala Pandu sedang melamun sambil menghadap layar laptop, mendadak ponselnya berdering di atas meja. Ia terperanjat, lantas melirik siapa penelepon itu.“Pak Dewa,” gumamnya.Buru-buru Pandu menerima panggilan suara, mungkin ini sudah saatnya ia bicara mengenai keadaan temannya.“Bagaimana kabar gadis itu? Kamu masih di rumah sakit atau kantor?” berondong Dewa setelah Pandu menggulir ikon hijau pada layar.“Pak … Nona Lily sedang hamil,” bisik Pandu benar-benar pelan.“Apa?!” sembur Dewa, membuat Pandu langsung menjauhkan telepon seketika. “Kamu serius?” katanya lagi.“Iya Pak,” balas Pandu tanpa keraguan sedikit pun.Pria itu m
“Sakit? Apa maksudnya, Sayang?” Dewa mengerutkan alis menatap gulungan tisu dengan noda darah.Dalam hati, pria itu memaki diri sebab sembarangan membuang sampah. Ia benar-benar lupa melenyapkan barang bukti itu.“Iya kamu sakit apa, Dewa? Kamu mimisan lagi?” desak ibu hamil.“Rosalyn aku—”“Jangan membohongiku lagi, Dewa. Kamu sudah janji tidak ada rahasia di antara kita,” sela bibir merah muda nan tipis.Tiba-tiba aura kamar ini berubah mencekam, Dewa berdiri dan menyambar gulungan tisu dari tangan Rosalyn lalu melemparnya. Pria itu meluapkan kekesalan yang menumpuk akibat permasalahan belakangan ini membuat kepalanya pusing.“Apa kamu tahu apa penyebabnya? Ini karena aku mengurusi keluargamu itu, Rosalyn!” Intonasi Dewa meninggi menjadikan Rosalyn tergugu dan tubuh agak berisinya bergetar hebat lantaran mendengar bentakan. “Salahmu berbaik hati kepada Bibi Mathilda da
“Hubungi ambulan sekarang!” teriak Pandu dari dalam ruang presdir. Sekretaris yang berada di depan ruangan pun mengangguk dan gelagapan, sebab inilah pertama kali atasan mereka tidak sadarkan diri. Pengacara dan Pandu menjadi panik. Mereka merapikan berkas dengan cepat lantas menunggu ambulan datang.Beberapaa saat kemudian tubuh atletis Dewa terbaring lemah di atas brankar. Ditemani Pandu dalam ambulan, Dewa sempat membuka mata dan menggerakkan tangan dengan lemah.“Iya, Pak?” Pandu menunduk mendekati mulut atasannya.“Jangan beritahu istriku!” perintah Dewa.Meskipun terdengar lirih, tetap saja pria itu mengucapkannya dengan nada tak terbantahkan.“Baik, Pak.” Pandu mengangguk diliputi perasaan gundah gulana.Sesampainya di pusat medis, Dewa dilarikan ke IGD. Di sana ia menerima penanganan selama dua jam. Barulah setelah hasil laboratorium diketahui, Dewa diizinkan menempati kamar rawat. Menurut dokter, Dewa harus menjalani observasi selama dua hari. Sekarang ia sedang kebingunga
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh