Vincent membeku di tempatnya. Tangisan Nuning terasa begitu menyakitinya. Tangannya terkepal erat, membayangkan dirinya sedang berhadapan dengan Jaka. Jika pria pengecut itu tak bisa menikahinya, kenapa harus menghamilinya?! Ingin sekali Vincent meninjunya. Bahkan rasanya, pukulan saja tak akan cukup untuk membalas seluruh rasa sakit yang diderita Nuning akibat ulahnya.
Tiba-tiba, Vincent direjam rasa bersalah yang mencekik. Teringat akan sikapnya yang sudah tak adil kepada Nuning. Yang terang-terangan memperlihatkan sikap ketus dan rasa jijiknya begitu mendengar berita kehamilannya. Padahal, Nuning pun tak mengharap dirinya seperti itu. Masih teringat olehnya, tatapan sedih sekaligus tegar wanita itu kala memohon kepadanya, "Vin, maafin aku. Aku nggak tahu tentang ini, sungguh. Apa kau akan mengusirku? Kumohon jangan, demi bayi ini. Izinkan aku tinggal. Aku, ... tidak punya tempat lain lagi."
‘Demi bayinya’ ..., bahkan wanita itu tak lagi memikirk
Tiada pesta meriah untuk merayakan pernikahan itu. Sebab kedua mempelainya sendiri menolak. Namun Nyonya Rose tetap saja menggelar pesta kecil-kecilan bagi keluarga inti saja, yang diadakan di rumah Vincent. Yuna turut hadir bersama Alex dan ketiga anaknya, jauh-jauh datang dari New Zealand demi memberi ucapan secara langsung kepada adik semata wayangnya. Bagi Nyonya Rose, hal ini sudah lebih dari cukup."Ini menjadi mewah karena Alex sendiri yang memasak semua hidangan ini. Kurang spesial apa lagi coba, yang memasak seorang International Chef," ujar Nyonya Rose dengan senyum bahagia lahir batin. Terlebih melihat pertumbuhan ketiga cucu perempuannya yang terlihat semakin besar dan cantik-cantik, juga pintar."Ayo, Ning ... dimakan, biasanya kan kamu lahap banget? Mama kangen meihat kamu makan," tegur Nyonya Rose melihat Nuning kalem-kalem saja memandangi meja yang dipenuhi aneka makanan yang menggiurkan. Tapi, tentu saja menggiurkan bagi orang norm
Bu Parmi tersenyum melihat Nuning dan suaminya terlihat begitu mesra, lengket seperti amplop dan perangko. Vincent merangkul pundak Nuning bagai memberi perlindungan, sementara satu tangannya diletakkan di perut istrinya sambil mengusapinya dengan sayang. Untuk sejenak, jantung Bu Parmi berdetak lebih cepat. Curiga kalau anaknya sudah hamil duluan. Lalu menyipit memandangi perut Nuning yang sejak kemarin selalu memakai baju model baby doll sehingga menyamarkan bentuk perutnya. Kemudian ia menggelengkan kepala, tak ingin berpikir rumit lagi. Toh mereka sudah resmi menikah. Cuma agak heran, kok bisa-bisanya puterinya menikah secepat ini setelah baru putus dari Jaka? Benarkah Nuning mencintai suaminya ..., atau hanya memanfaatkan kesempatan yang kebetulan lewat saja sebagai pelarian dari patah hatinya?"Nak Vincent nggak kepingin ikut jalan-jalan ke pantai sama yang lain?" tegurnya sambil berjalan mendekat dengan membawa baki berisi secangir kopi untuk menantunya dan se
Nyonya Rose tersenyum puas usai menengok ketiga cucunya yang tertidur pulas di sebuah kamar hotel terbaik di Bandar Lampung. "Kayaknya mereka capek banget, tapi puas dan senang," katanya kepada Yuna."Iyalah, Ma. Sudah lama banget mereka nggak main ke pantai, apalagi pantainya masih terasa alami. Ternyata pantai di sini cantik-cantik juga ya, Ma? Sayang sekali masih minim fasilitasnya. Suruh aja Papa bikin resort di sini, Ma. Selain untuk investasi, bisa buat destinasi kita juga tiap liburan ke sini.""Tadi Mama juga udah sempat ngobrol soal itu ke papamu. Katanya, ada beberapa aspek yang yang masih jadi pertimbangan. Infrastruktur misalnya.""Sayang sekali," sahut Yuna sambil manyun. "Oya, Ma. Jadi, Vincent nggak ikut menginap di hotel nih?""Biarin aja, biar dia merasakan hidup di kampung sama Nuning." Lalu Nyonya Rose tiba-tiba tertawa. "Tapi, barusan Mama dengar dari Helda," Nyonya Rose menyebut nama asisten pribadinya, "katanya Vincent minta di
Nuning menguap panjang sambil menggeliat di ranjangnya yang empuk. Sekembalinya ke Jakarta semalam, tidur malamnya kembali nyenyak. Selama tiga hari menginap di kampung, Nuning susah tidur karena ketiadaan AC dan banyak nyamuk. Vincent juga tampaknya demikian, pria itu baru bisa terlelap setelah membuka piyamanya dan tidur bertelanjang dada karena tak tahan gerah. Membuat Nuning semakin susah tidur karena diam-diam mengagumi otot-otot yang membentuk lekukan maskulin di tubuh Vincent.Nuning berguling ke samping dan terkejut mendapati Vincent sedang tertidur pulas di sampingnya, tetap dengan bertelanjang dada. Padahal kamarnya sudah ber-AC. Seketika Nuning memalingkan mukanya yang memerah. 'Kenapa tiba-tiba jantungku berdetak segila ini?' pikirnya panik. Padahal ini bukan kali pertamanya Nuning melihatnya seperti itu. Bahkan mereka sudah beberapa kali berciuman.Nuning buru-buru memejamkan mata kala Vincent mulai menggeliat dan mulai mengedipkan mata."Ning?" pan
Kabar tentang pernikahan Nuning sampai juga ke telinga Jaka. Tentu saja Parman si Ember Bocor yang heboh mengabarinya, "Jak, tahu nggak kalau Nuning udah nikah?" ujarnya tanpa babibu, membuat Jaka dilanda syok seketika. Jaka sampai harus memegangi pinggiran meja untuk menahan keterkejutannya."Gosip dari mana kamu?""Kok gosip tho ..., ini fakta loh, Jak! Fakta ..., akurat dan terpercaya! Kampung kita lagi ramai ini, pada ngomongin pernikahan Nuning. Suaminya ganteng banget, Jak! Kayak bukan manusia, titisan Nabi Yunus kali ya? Bentar kalau ngak percaya, aku kirim fotonya. Kebetulan ada anak-anak yang sempat ngeliat Nuning lagi jalan-jalan sama suaminya. Saking gantengnya, mereka sampai nyolong fotonya, dikiranya artis. Wah, kayaknya anak-anak itu cocok kujadiin paparazi deh!"Jaka memijiti kepalanya yang mendadak pening. Bukan karena lelah usai berpikir banyak selama rapat penting bersama timnya sejam yang lalu, tapi karena mendengar kabar ini. Mesk
Nuning menginjak setiap anak tangga dengan hati-hati, satu tangannya memegangi perut dan satu tangannya lagi memegang pagar tangga sambil melangkah turun. Tersenyum melihat Vincent sedang menonton berita berbahasa Inggris sambil menyesap kopinya di sofa ruang tengah.Merasa diamati, Vincent pun menoleh dan menemukan istrinya tengah tersenyum menatapnya dari tangga. Senyumnya seketika turut mengembang, lalu ia berdiri dan menyusulnya. Mengulurkan tangan seraya berkata, "Sarapan Anda sudah siap, Nyonya Vincent." Membuat istrinya tertawa sembari menuruni anak tangga terakhir. Tawa ringan dan riang Nuning itu, menjadi musik penyemangat hari-harinya. Bagai healing tersendiri bagi jiwanya.Vincent menggenggam erat-erat begitu telapak tangan Nuning menyentuh tangannya yang sejak tadi tengadah menunggunya. Lalu merangkulnya menuju ruang makan. "Duduklah," ujarnya setelah menarik sebuah kursi."Apa ini?" tanya Nuning kala Vincent menyodorinya menu sarapan baru.
“Kamu yakin, sanggup mengikuti semua jadwal yang sudah dibuat Mama ini? Jangan sampai kamu tertekan dengan progam yang dibuat mamaku. Aku bisa berbicara lagi soal ini dengannya. Sayang ..., aku nggak mau kamu nanti jadi stres. Jalani pilatesnya saja, selebihnya bisa dilakukan nanti setelah kamu melahirkan,” tegur Vincent setelah Nyonya Rose pamit pulang.“Apa salahnya mencoba dulu? Kalau ternyata nggak asyik dan bikin stres tinggal stop. Gitu aja kok repot,” sahut Nuning santai. “Bukannya kamu juga dulu begitu? Seenaknya bikin program kursus buat aku tanpa kompromi? Aku masih simpan tuh jadwal yang dulu kamu titipin ke Pak Suryo! Dasar ..., ternyata kamu tuh emang Mama banget! Nggak nyadar ya?” omel Nuning lalu mencebik.Vincent terkekeh gemas dan mencubit pipinya. “Saat itu kan aku nggak tahu kamu sedang hamil,” sanggahnya sembari merangkul istrinya dengan sayang. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. “Maaf, waktu itu ..
Vincent tak kuasa menahan keharuannya kala suster mengulurkan bayi lelaki berbobot 3,5 kilogram itu. Bayi berpipi gembul itu menggeliat sejenak dalam balutan bedongnya yang hangat. Vincent menggendong dengan kehati-hatian ekstra dan memeluknya. “Anakku ..., kau tampan sekali, Sayang,” bisiknya dengan tatapan berkaca-kaca. Hatinya berdesir hangat penuh kekaguman dan rasa syukur. Indah sekali ciptaan Tuhan di tangannya ini. Sementara Nuning yang baru saja berjuang melahirkan secara normal, sedang tertidur karena kelelahan. Apalagi beberapa hari ini dia kurang tidur karena kontraksi palsunya. Vincent sangat lega karena istri dan anaknya selamat dan sehat.“Cucuku! Cucuku ...,” cicit Nyonya Rose yang baru saja tiba dengan begitu ramai. Sepanjang jalan tadi dia mengomeli Pak Suryo alih-alih jengkel menghadapi kemacetan yang membuat perjalanan jadi tersendat-sendat. Padahal ini moment yang sudah sangat ditunggu-tunggunya.Tangis Nyonya Rose pun pecah
Jaka menyematkan cincin, yang dikeluarkannya dari kotak Tiffany Blue, ke jari manis Nuning. Kemudian keduanya saling memandang penuh cinta. “Menikahlah denganku, Ning?” pinta Jaka. Nuning mengangguk cepat. Tiada keraguan lagi yang menggelayuti hatinya. Segala kegalauannya tentang pernikahan pupus sudah. Tak perlu menunduk takut menghadapi pernikahannya yang ketiga kali ini. Dia siap menikahi Jaka, pria yang sejak kecil sudah menunjukkan loyalitas persahabatannya pada Nuning. Lelaki itu menyenangkan dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Nuning sudah memahaminya luar-dalam, demikian pula sebaliknya, Jaka pun memahami Nuning. Mereka hanya perlu mengikat lebih erat hatinya dengan saling percaya. Kenyamanan dan kedamaian dalam jiwa yang tenang, adalah wujud nyata dari cinta sejati yang mereka rasakan. Tuan Rain dan Nyonya Rose yang mendengar rencana pernikahan mereka, berbesar hati menerimanya. Nyonya Rose menjadikan momen itu sebagai latihan
Akhirnya Nuning dapat tertidur pulas. Kesedihan, duka, dan tangis telah menguras energinya sejak kemarin. Tidur akan sangat membantu proses pemulihannya nanti.Dan ditengah tidur lelapnya, Nuning memimpikan sosok Jaka. Lelaki itu duduk di tepi ranjangnya sambil tersenyum. Mengamati dirinya sambil membelai-belai wajahnya yang bersimbah tangis.Dia masih sesosok Jaka yang tampan, tiada sedikitpun luka yang tampak dalam dirinya. Jaka tampak sehat dan baik-baik saja.“Ning? Sudah bangun?” sapanya dengan teramat lirih. Senyum tak lepas dari wajah indahnya.Nuning terdiam dan menatap lelaki itu cukup lama. Dan dalam mimpinya ini, Nuning teringat Jaka sudah mati.Nuning mengulurkan tangan. “Jak?” panggilnya. Kemudian Lelaki itu menundukkan wajahnya.Nuning membelai-belai ketampanan yang terpampang di depannya. Nuning tak peduli ini nyata atau bukan. Tak peduli lelaki itu mati atau tidak. Dia hanya ingin tetap bisa menyentuhn
Jaka meninggal.Cuma dua kata. Tapi butuh waktu dua puluh jam bagi Nuning untuk sanggup mencerna maknanya, di sela-sela pingsannya yang tak berkesudahan.Wanita itu mengedarkan pandang di saat sadarnya, dia menemukan Vincent yang tak lepas menggenggam tangannya. “Dennis lagi sama opa dan omanya. Mereka sedang menenangkan Dennis. Papa dan Mama langsung terbang ke sini begitu mengetahui kabar itu dari berita. Mereka mencemaskanmu dan Dennis. Mereka turut berduka sedalam-dalamnya, termasuk Opa Daniel,” bisik Vincent dengan kelembutan yang biasanya menenangkan, tetapi tidak dalam situasi Nuning saat ini.Ungkapan belasungkawa itu justru menambah luka dalam dada Nuning yang kian menganga lebar. Tentu semua orang bisa begitu mudah menerima kematian Jaka. Karena mereka tak terlibat emosi sedalam ini dengan lelaki yang teramat berarti baginya.Nuning menggeleng. Tidak. Dia belum siap dengan ini!Akan tetapi, siapa yang betul-betul siap menghada
“Kamu nggak mau nungguin Dennis pulang dulu nih, Jak?”Jaka menggeleng sambil memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya. Dia enggan bertemu dan berbasa-basi dengan Vincent saat suasana hatinya sedang seburuk ini. Dia masih merasa kesal dan kecewa lelaki itu menggeser posisinya di acara Father Day hari ini, momen pentingnya bersama Dennis, darah dagingnya. Meskipun dia juga paham, Vincent berhak berada di sana.Bagaimanapun Vincent juga ayah Dennis. Vincent juga malaikat mereka. Jaka tak sanggup membayangkan apa jadinya jika Nuning menghadapi kehamilannya seorang diri dengan segala kesulitannya kala itu, tanpa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas janin yang tengah dikandungnya, yaitu dirinya!Berkat kebaikan Vincent pula Nuning dan Dennis bisa merasakan hidup yang lebih dari sekadar layak. Lelaki itulah yang telah memuliakan wanita yang dicintainya ini. Vincent mengangkat status sosial Nuning setinggi langit, sesuatu yang tak dapat J
“Ayah, besok ada acara Father Day. Ayah mau ikut nggak?” tanya Dennis disela-sela makan siangnya di sebuah hotel bersama Nuning dan Vincent yang baru saja tiba dari Jakarta.“Ayah kan masih capek, Sayang. Dennis ajak Uncle Jack aja, ya?” sahut Nuning sambil mengusap-usap sayang rambut Dennis.“Tapi kan Ayah belum pernah ikut acara Father Day sama Dennis?” bocah tampan itu tampak merajuk.Vincent terlihat ingin mengalah dan menjawab ‘baiklah’. Namun Nuning dengan cepat menangkap kelelahan yang memenuhi wajah tampan pria itu.“Dennis, Uncle Jack pasti sedih kalau Dennis menggantikan posisinya dengan tiba-tiba kayak gini. Padahal Dennis sudah jauh-jauh hari bikin janji sama Uncle tentang acara ini. Uncle pasti sudah bersiap-siap sekarang. Dennis tega bikin Uncle Jack kecewa?”Namun Vincent dengan cepat menyanggahnya, “Nggak apa-apa, Ning. Dennis benar, kok. Aku perlu ikut acara itu seka
Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak
Hari ini, Jaka sedang mewujudkan kado permintaan Dennis. Bocah itu rupanya sedang belajar mendesain layangannya sendiri, tapi dia belum bisa mengeksekusi idenya tersebut menjadi sebuah layangan seperti harapannya. Kemudian meminta Jaka menciptakan untuknya sebagai kado spesial. Tentu dengan senang hati Jaka mengabulkannya.Mereka berdua pun membuat layangan di teras belakang rumah Jaka, di dekat area kolam renang pribadinya. Sebab studionya sedang dipenuhi para pekerja yang sedang memproduksi layangan untuk dijual, maupun untuk memenuhi pesanan para pelanggan.Ayah dan anak itu merakit layangan sambil berbincang santai.“Memangnya, apa sih kado yang Dennis minta dari Ayah Vincent kemarin?” selidik Jaka penasaran.“Cincin.”“Cincin?” Jaka mengerutkan kening. Permintaan yang tak lumrah.“Bukan buat Dennis kok, tapi buat Bunda.”“Loh, kok buat Bunda?”Dennis tertawa kecil
Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Dua tahun yang lalu,Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m