Vincent tak kuasa menahan keharuannya kala suster mengulurkan bayi lelaki berbobot 3,5 kilogram itu. Bayi berpipi gembul itu menggeliat sejenak dalam balutan bedongnya yang hangat. Vincent menggendong dengan kehati-hatian ekstra dan memeluknya. “Anakku ..., kau tampan sekali, Sayang,” bisiknya dengan tatapan berkaca-kaca. Hatinya berdesir hangat penuh kekaguman dan rasa syukur. Indah sekali ciptaan Tuhan di tangannya ini. Sementara Nuning yang baru saja berjuang melahirkan secara normal, sedang tertidur karena kelelahan. Apalagi beberapa hari ini dia kurang tidur karena kontraksi palsunya. Vincent sangat lega karena istri dan anaknya selamat dan sehat.
“Cucuku! Cucuku ...,” cicit Nyonya Rose yang baru saja tiba dengan begitu ramai. Sepanjang jalan tadi dia mengomeli Pak Suryo alih-alih jengkel menghadapi kemacetan yang membuat perjalanan jadi tersendat-sendat. Padahal ini moment yang sudah sangat ditunggu-tunggunya.
Tangis Nyonya Rose pun pecah
“Permisi, Dok! Tunggu ...,” panggil seorang suster yang tergopoh-gopoh mengejar dokter Jinot yang sedang menelepon. “Bisakah Anda kembali ke OK sekarang, Dok? Tolong, ada hal mendesak yang terjadi,” ujarnya langsung diangguki dokter Jinot. Seketika dokter tampan itu menutup teleponnya dan berjalan cepat, menyamai langkah si suster yang setengah berlari. "Cepat, Dok!" kata si suster dengan nada panik, membuat si dokter berlari mendahului langkahnya. Sementara si suster malah tersandung, lalu ngesot-ngesot sebelum kembali bangkit dan berlari menyusul dokter Jinot.Jaka mengurungkan niatnya untuk bertanya. Menyingkir ke pinggir, memberi jalan bagi si dokter tampan dan si suster ngesot. ‘Bisa jadi yang dimaksud dokter itu adalah Nuning yang lain,’ pikirnya menenangkan diri. Meski rasanya, nama Nuning itu tak terlalu umum di masa kini.Jaka mengembuskan napasnya. “Kenapa aku sampai seperti ini, hanya karena mendengar namamu saja, Ni
Lelaki selalu ingin menghadiahi wanita yang dicintainya dengan barang yang bagus-bagus, mahal pun tak masalah selama ada duitnya. Itulah yang ingin dilakukan Jaka untuk melembutkan kembali hati istrinya yang gampang sekali marah. Pernikahannya sudah mulai terasa tak sehat. Hubungan suami-istri yang mereka lakukan pun hanya sebatas pelepasan kebutuhan biologis semata. Tiada kemesraan, keromantisan kian memudar. Bagaimana mau romantis kalau yang diromantisin saja galaknya amit-amit?Sebelumnya Jaka sudah mulai membiasakan diri memberi hadiah kecil-kecilan setiap hari sebagai wujud perhatiannya. Jaka memberinya coklat, Erna menjawab, “Nggak tahu ya aku lagi diet? Sengaja ya biar aku gendut? Biar ada alasan buat kamu banding-bandingin aku dengan si Nuning yang selalu kurus?” ocehnya. Lalu Jaka memberinya boneka, “Buat apa? Tuh, boneka bekas kadonya Nuning yang kamu kasih ke aku dulu aja masih utuh!” ketus Erna. Jaka pun memberinya bunga, “Kurang kerj
“Ning, bisakah kau mewakili Mama menghadiri ‘Gala Dinner 20 tahun Good Farmer Company’? CEO-nya kan Tante Vanesha, sahabat Mama. Nggak enak kalau nggak ada perwakilan kita yang datang. Helda sedang meluncur ke rumahmu, kau masih punya waktu mempelajari pidato sambutannya. Mama sedang kurang enak badan. Jangan lupa, sampaikan salam Mama untuknya,” ujar Nyonya Rose di telepon.“Baik, Ma. Selamat beristirahat, semoga Mama lekas pulih,” jawab Nuning tak mungkin berkata tidak. Sebab itu bukanlah sebuah permohonan, melainkan perintah secara halus. Dia sudah sangat mengenali bahasa sang mertua.“Vin,” panggil Nuning kepada Vincent yang sedang asyik bermain ring donat bersama Dennis. Saking asyiknya, suaminya sampai tak mendengarkan panggilannya. Nuning pun tersenyum seraya melipat kedua tangannya di perut, memperhatikan aktivitas kedua makhluk terindah dalam hidupnya itu.Saat melihat ring donat, Dennis aktif bergerak men
“Selamat malam dan selamat datang, Tuan dan Nyonya Vincent,” sapa Deborah, sekretaris Nyonya Vanesha, seraya tersenyum dan mengangguk hormat. “Mari, silakan ...,” katanya sembari berjalan di sisi Nuning, mendampingi sang tamu menuju sebuah meja yang diperuntukkan khusus tamu VIP perusahaan.“Halo, Vincent ...?” sapa Nyonya Vanesha kala Vincent sedang menarik kursi untuk istrinya. “Wah, wah ..., kau semakin tampan saja padahal sudah menjadi ayah!” pujinya seraya memeluk Vincent dengan lembut seperti memeluk puteranya sendiri. Lalu perempuan bersanggul sasak tinggi itu menoleh dan tersenyum ramah kepada Nuning. “Selamat malam, Sayang. Bagaimana kabar Dennis?” sapanya sembari memeluk lalu saling menempelkan pipi.“Dennis sehat dan sangat baik, Tante,” jawab Nuning dengan tersenyum. “Oya, Tante, maaf ..., Mama sangat menyesal nggak bisa turut hadir karena sedang kurang enak badan. Beliau menitipk
“Ayo kita pulang, kasihan Dennis kalau ditinggal lama-lama,” ajak Vincent di tengah-tengah acara, padahal acara belum sampai pada puncaknya.Melihat suaminya sudah begitu gelisah, mau tak mau Nuning mengangguk. Apalagi ASI-nya sudah terasa penuh dan perlu diperah secepatnya. Toh tugasnya menggantikan Nyonya Rose pidato sudah selesai. “Baiklah, ayo ...,” jawabnya.Keduanya pun beranjak dari kursinya dan bergandengan menuju pintu keluar. Helda pun buru-buru berjalan mendekat, dan Nuning lekas berkata, “Sampaikan salam kami kepada Nyonya Vanesha. Kami pulang duluan, kasihan Dennis kalau ditinggal lama-lama,” katanya yang diangguki wanita tangan kanan Nyonya Rose itu. Lalu Helda menelepon Pak Suryo agar lekas bersiap di lobi.Erna berdecak sinis melihat Nuning. Dia pun lekas berdiri dan setengah mengejar Nuning, ingin pura-pura menyapa, penasaran ingin melihat reaksinya semata. ‘Kalau kau melihat aku di sini bersama Jaka, ma
Jaka memandangi foto yang terlipat di tangannya, yang selama ini terselip rapi dalam dompetnya. Foto Jaka sedang berdua dengan ibunya. Lalu dia membuka lipatannya, sehingga kini menampakkan sosok Nuning yang tersenyum lebar di sebelah ibunya. “Andai saja aku tak menyembunyikan perasaanku yang terdalam padamu selama itu, Ning ...,” sesalnya sungguh tiada berguna.‘Ternyata ..., kau menikahi seorang cucu dari Daniel Sutomo, sosok yang sangat kuhormati. Pengusaha sukses yang sangat rendah hati. Kurasa, suamimu juga menuruni kebaikan hati beliau, Ning. Bisa kulihat dari caranya memperlakukanmu semalam. Begitulah seharusnya seorang pria memperlakukan wanitanya yang berharga. Hal yang belum sempat kutunjukkan padamu sejak dulu. Dia ... jauh lebih baik dariku, Ning. Berbahagialah..., kau layak mendapatkannya,’ batinnya antara turut bahagia sekaligus merasa nelangsa.Untuk sejenak, ingatannya melayang kembali ke masa kuliahnya dulu, dalam sebuah acara k
Perlahan, Doni mengusap sisa-sisa air mata di wajah Erna. “Maaf, aku baru mengetahuinya. Pasti ini berat buatmu, Er,” ucapnya begitu lirih. Masih ada rasa yang tiba-tiba menyembul lagi dalam hatinya demi memandangi wanita yang sudah lama ia kagumi dalam diam. Namun ia pilih merelakan Erna begitu mengenal sosok Jaka yang baik dan bertanggung jawab di matanya. Meski ada rasa sakit kala dulu Erna memperkenalkan pria itu sebagai kekasihnya. Terlebih pantulan cinta di mata Erna begitu ramai tiap memandangi Jaka. Saat itulah Doni tersadar, tiada tempat lagi baginya.Doni menepuk-nepuk lembut pipi Erna yang sembab. “Er, kau masih punya aku. Datanglah padaku jika kau butuh teman bicara. Jangan lagi kau simpan sendirian semuanya, dan jangan lagi kau lampiaskan kesedihanmu dengan meneguk minuman keras. Itu hanya akan merusakmu,” bisiknya seraya menatap Erna dengan sorot kelembutan.Menerima kepedulian yang ia butuhkan, Erna pun menyurukkan wajahnya ke pel
Pertengkaran pagi buta itu berbuntut panjang sampai berminggu-minggu kemudian. Jaka sampai memutuskan pindah kamar, tanpa menunggu Erna mengusirnya lebih dulu dari kamar mereka. Sementara Erna pun menjaga jarak ketat-ketat dari suaminya sendiri. Namun diam-diam, hatinya kerap tertusuk setiap kali mendapati Jaka melengos darinya. Meski Erna sedang memakai lingerie, tapi Jaka seperti sedang melihat babi yang haram disentuh apalagi dicicipinya. Membuat Erna merasa frustrasi. Padahal biasanya, tubuh indahnyalah yang kerap mengembalikan Jaka dalam pelukannya. Dan Jaka selalu sanggup mengubah segala makian dan ocehannya menjadi desahan erotis yang berakhir dengan pekik kepuasan. Ya, kenikmatan yang diberikan Jaka padanya, ... memang begitu sempurna!Kini, Jaka berubah menjadi pangeran es di mata Erna. Ketampanan dan kesempurnaan fisiknya, menjadi hal yang cuma bisa dilihat Erna tanpa bisa disentuh. Tatapannya yang dingin pun sanggup membekukan kepongahannya selama ini, seh
Jaka menyematkan cincin, yang dikeluarkannya dari kotak Tiffany Blue, ke jari manis Nuning. Kemudian keduanya saling memandang penuh cinta. “Menikahlah denganku, Ning?” pinta Jaka. Nuning mengangguk cepat. Tiada keraguan lagi yang menggelayuti hatinya. Segala kegalauannya tentang pernikahan pupus sudah. Tak perlu menunduk takut menghadapi pernikahannya yang ketiga kali ini. Dia siap menikahi Jaka, pria yang sejak kecil sudah menunjukkan loyalitas persahabatannya pada Nuning. Lelaki itu menyenangkan dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Nuning sudah memahaminya luar-dalam, demikian pula sebaliknya, Jaka pun memahami Nuning. Mereka hanya perlu mengikat lebih erat hatinya dengan saling percaya. Kenyamanan dan kedamaian dalam jiwa yang tenang, adalah wujud nyata dari cinta sejati yang mereka rasakan. Tuan Rain dan Nyonya Rose yang mendengar rencana pernikahan mereka, berbesar hati menerimanya. Nyonya Rose menjadikan momen itu sebagai latihan
Akhirnya Nuning dapat tertidur pulas. Kesedihan, duka, dan tangis telah menguras energinya sejak kemarin. Tidur akan sangat membantu proses pemulihannya nanti.Dan ditengah tidur lelapnya, Nuning memimpikan sosok Jaka. Lelaki itu duduk di tepi ranjangnya sambil tersenyum. Mengamati dirinya sambil membelai-belai wajahnya yang bersimbah tangis.Dia masih sesosok Jaka yang tampan, tiada sedikitpun luka yang tampak dalam dirinya. Jaka tampak sehat dan baik-baik saja.“Ning? Sudah bangun?” sapanya dengan teramat lirih. Senyum tak lepas dari wajah indahnya.Nuning terdiam dan menatap lelaki itu cukup lama. Dan dalam mimpinya ini, Nuning teringat Jaka sudah mati.Nuning mengulurkan tangan. “Jak?” panggilnya. Kemudian Lelaki itu menundukkan wajahnya.Nuning membelai-belai ketampanan yang terpampang di depannya. Nuning tak peduli ini nyata atau bukan. Tak peduli lelaki itu mati atau tidak. Dia hanya ingin tetap bisa menyentuhn
Jaka meninggal.Cuma dua kata. Tapi butuh waktu dua puluh jam bagi Nuning untuk sanggup mencerna maknanya, di sela-sela pingsannya yang tak berkesudahan.Wanita itu mengedarkan pandang di saat sadarnya, dia menemukan Vincent yang tak lepas menggenggam tangannya. “Dennis lagi sama opa dan omanya. Mereka sedang menenangkan Dennis. Papa dan Mama langsung terbang ke sini begitu mengetahui kabar itu dari berita. Mereka mencemaskanmu dan Dennis. Mereka turut berduka sedalam-dalamnya, termasuk Opa Daniel,” bisik Vincent dengan kelembutan yang biasanya menenangkan, tetapi tidak dalam situasi Nuning saat ini.Ungkapan belasungkawa itu justru menambah luka dalam dada Nuning yang kian menganga lebar. Tentu semua orang bisa begitu mudah menerima kematian Jaka. Karena mereka tak terlibat emosi sedalam ini dengan lelaki yang teramat berarti baginya.Nuning menggeleng. Tidak. Dia belum siap dengan ini!Akan tetapi, siapa yang betul-betul siap menghada
“Kamu nggak mau nungguin Dennis pulang dulu nih, Jak?”Jaka menggeleng sambil memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya. Dia enggan bertemu dan berbasa-basi dengan Vincent saat suasana hatinya sedang seburuk ini. Dia masih merasa kesal dan kecewa lelaki itu menggeser posisinya di acara Father Day hari ini, momen pentingnya bersama Dennis, darah dagingnya. Meskipun dia juga paham, Vincent berhak berada di sana.Bagaimanapun Vincent juga ayah Dennis. Vincent juga malaikat mereka. Jaka tak sanggup membayangkan apa jadinya jika Nuning menghadapi kehamilannya seorang diri dengan segala kesulitannya kala itu, tanpa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas janin yang tengah dikandungnya, yaitu dirinya!Berkat kebaikan Vincent pula Nuning dan Dennis bisa merasakan hidup yang lebih dari sekadar layak. Lelaki itulah yang telah memuliakan wanita yang dicintainya ini. Vincent mengangkat status sosial Nuning setinggi langit, sesuatu yang tak dapat J
“Ayah, besok ada acara Father Day. Ayah mau ikut nggak?” tanya Dennis disela-sela makan siangnya di sebuah hotel bersama Nuning dan Vincent yang baru saja tiba dari Jakarta.“Ayah kan masih capek, Sayang. Dennis ajak Uncle Jack aja, ya?” sahut Nuning sambil mengusap-usap sayang rambut Dennis.“Tapi kan Ayah belum pernah ikut acara Father Day sama Dennis?” bocah tampan itu tampak merajuk.Vincent terlihat ingin mengalah dan menjawab ‘baiklah’. Namun Nuning dengan cepat menangkap kelelahan yang memenuhi wajah tampan pria itu.“Dennis, Uncle Jack pasti sedih kalau Dennis menggantikan posisinya dengan tiba-tiba kayak gini. Padahal Dennis sudah jauh-jauh hari bikin janji sama Uncle tentang acara ini. Uncle pasti sudah bersiap-siap sekarang. Dennis tega bikin Uncle Jack kecewa?”Namun Vincent dengan cepat menyanggahnya, “Nggak apa-apa, Ning. Dennis benar, kok. Aku perlu ikut acara itu seka
Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak
Hari ini, Jaka sedang mewujudkan kado permintaan Dennis. Bocah itu rupanya sedang belajar mendesain layangannya sendiri, tapi dia belum bisa mengeksekusi idenya tersebut menjadi sebuah layangan seperti harapannya. Kemudian meminta Jaka menciptakan untuknya sebagai kado spesial. Tentu dengan senang hati Jaka mengabulkannya.Mereka berdua pun membuat layangan di teras belakang rumah Jaka, di dekat area kolam renang pribadinya. Sebab studionya sedang dipenuhi para pekerja yang sedang memproduksi layangan untuk dijual, maupun untuk memenuhi pesanan para pelanggan.Ayah dan anak itu merakit layangan sambil berbincang santai.“Memangnya, apa sih kado yang Dennis minta dari Ayah Vincent kemarin?” selidik Jaka penasaran.“Cincin.”“Cincin?” Jaka mengerutkan kening. Permintaan yang tak lumrah.“Bukan buat Dennis kok, tapi buat Bunda.”“Loh, kok buat Bunda?”Dennis tertawa kecil
Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Dua tahun yang lalu,Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m