Ternyata Helda tak mengurus surat pengunduran dirinya dari kampus. Nuning merasa bodoh karena meminta tolong kepadanya. Dia kan tangan kanan mertuanya! Jelas saja tak akan memihaknya.
Menjelang tidur, Nuning minta tolong Vincent agar membujuk Nyonya Rose, tapi Vincent justru berkata, “Percayalah pada mamaku, semua arahannya memang terlihat menyebalkan di masa kini, tapi di masa depan kamu pasti akan memetik hasilnya. Ayo, belajarlah yang rajin. Kamu pasti bisa! Tak ada alasan untuk tak kuliah. Soal pekerjaan rumah tangga, sudah ada Rumi dan Puji. Soal Dennis, sudah ada dua baby sitter dan asisten pribadi yang mengurusnya. Aku, sudah dengan pekerjaanku. Nah, kamu? Mau apa lagi kalau bukan meningkatkan kualitas diri? Bukankah kamu ingin melakukan itu agar pantas untukku?”
“Aku nggak ingin jadi direktur, Vin. Apalagi CEO. Itu bukan aku banget! Aku nggak menyukai posisi itu.”
Vincent tersenyum, tanpa mengalihkan tatapannya dari lapto
Sejak Nuning mendengar ucapan Vincent yang menyakitkan, seminggu berikutnya bukanlah hari-hari yang mudah untuk dilaluinya. Saat Vincent melontarkan lelucon ringan, dia tak bisa tertawa. Kala Vincent mencoba merapatkan jarak yang mulai terbentang antara mereka, perasaan yang melingkupi Nuning jutru sedingin cerita badai salju di Devon. Mungkin karena telepon-telepon Vincent yang tak kunjung usai menginterupsi waktu kebersamaan mereka yang semakin tipis, dan di antara telepon itu tentu saja terselip Carla, Carla, dan Carla.Nuning mencoba mengabaikan suara Vincent yang sedang berbincang dengan Carla saat mereka berlibur di sebuah villa pribadi di Bandung. Sementara berbincang, Vincent memang selalu menggenggam erat tangannya, tak melepaskan Nuning barang sekejap sampai dia benar-benar selesai menelepon. “Kau dengar kan, tak ada hal pribadi yang kubicarakan dengannya. Jadi berhentilah bersikap cemburu. Memangnya kau tak lelah menekuk wajahmu terus-terusan seperti itu, hmm
Vincent tersenyum puas menatap Nuning muncul memakai gaun satin biru kelasi yang dibelinya dari sebuah butik di Milan. Vincent jatuh cinta sejak pandangan pertama begitu melihat gaun itu dan membayangkan betapa cantiknya jika dipakai sang istri. Ternyata memang benar, Nuning muncul dengan pesona yang memenuhi ekspektasinya. Hebat, ukuran tubuh Nuning tak pernah berubah sejak dulu sampai sekarang, hingga Vincent tak repot-repot lagi memastikan ukurannya saat membeli. Ia ingat di luar kepala berapa ukuran dada, pinggang, dan pinggulnya.Vincent mendekatinya dan melingkarkan lengannya ke pinggul Nuning, lalu menunduk dan berkata kala Nuning mendongak menatapnya, “Andai saja kita belum terlambat untuk menuju jamuan makan malam Opa Daniel sekarang, aku pasti sudah mengunci kamar kita dan langsung bercinta denganmu.” Lalu lelaki itu tersenyum dengan tatapan yang menyorotkan kekaguman.Nuning tertawa kecut dalam hatinya. Dia juga ingin menerima tatapan seperti itu
Melihat orang-orang berbaris menyelamati Vincent dan Nuning, hati Carla semakin mendidih. Dia pun menyelinap keluar ruangan, berjalan membabi buta menuju lift, ingin kembali ke kamarnya. Dia tak ingin orang-orang melihatnya menjatuhkan air mata, terlebih dia sempat menangkap mata indah Vincent yang sempat mencuri-curi tatap kepadanya kala Carla berjalan melewatinya tanpa memberi selamat.Carla tak ingin menangisi pria beristri. Tidak boleh! Tapi air matanya berkhianat, justru mengalir deras sesampainya di kamar. Hatinya tercubit-cubit oleh rasa mendamba sekaligus melarang di detik yang sama. ‘Jangan, Carla! Dia sudah beristri,’ tegur nuraninya. Carla pun memeluk dirinya sendiri, sambil membayangkan Vincentlah yang sedang memeluknya saat ini.Sementara Vincent yang sibuk menerima ucapan selamat di sisi Nuning, mengutuk pelan dalam hatinya,‘Ke mana perginya si Carla?’ Diam-diam Vincent merasa cemas, jangan sampai wanita itu iri kepada Nuning. Vinc
Tuan Rain tersenyum mengamati foto-foto kebersamaan Vincent dan Carla yang diam-diam kian intim saja. Orang-orang yang ditugasinya menguntit mereka kali ini betulan profesional rupanya, tak rugi Tuan Rain membayar mahal atas jasanya. “Mereka lihai mengambil gambar dengan sudut-sudut yang tepat, sehingga semua foto ini sanggup menjelaskan setiap kejadian dengan begitu gamblang,” gumamnya, kemudian menyeringai puas.“Permisi Pak, Nyonya Vincent sudah tiba,” lapor sekretaris yang sudah mengatur jadwal pertemuannya dengan Nuning di sela-sela kesibukannya. Tapi bagi Tuan Rain, pertemuan ini begitu penting hingga dia sengaja mengalahkan satu urusan lain demi mewujudkan pertemuan ini.Dengan sekali anggukan, sekretarisnya pun undur diri dan tak lama kemudian muncul sosok menantunya dari balik pintu.“Halo, Ning? Apa kabar?” sapa Tuan Rain dengan senyum kebapakan.Nuning balas tersenyum dengan tak kalah hangat lalu menjawab kab
“Semoga kau menyukainya, Ning.”“Pa, apa ini tidak berlebihan?” Nuning masih belum percaya Tuan Rain memberinya sertifikat tanah seluas 1.200 meter persegi di Bali atas nama dirinya. Dan sudah dibangunkan pula sebuah rumah cantik dengan arsitektur yang artistik. Kolam renangnya pasti disukai Dennis. Halamannya yang luas pun terlihat menyenangkan untuk menerbangkan layangannya. Nuning mengetahuinya melalui foto-foto di tangannya. “Cantik sekali,” pujinya kagum. Pasti ini sangat mahal mengingat gilanya harga properti di sana. Tapi, Tuan Rain dengan suka cita menghadiahkannya untuknya?“Itu ucapan terima kasihku, sebab kau sudah membantu puteraku sesukses sekarang. Tanpa dukunganmu, Vincent pasti tetap berada dalam kepompongnya, kelamaan nyaman bekerja santai di rumah saja. Padahal lihat, dia sebenarnya sangat mampu melakukan lebih dari itu.”‘Tapi, aku justru merindukan Vincent yang dulu,’ batin Nuning se
Carla memainkan jemarinya dalam kelebatan rambut ikal Vincent. Sambil tak lepas memandangi wajah lelap lelaki yang teramat ia puja sekembalinya dari Devon. Mereka sudah begitu lama berteman, bisa-bisanya Carla terjatuh begitu dalam ke lubang cinta yang dibuatnya sendiri. Mestinya hubungan ‘teman tapi mesra’ itu berakhir setibanya mereka di Milan pada tanggal 26 Desember. Namun kebersamaan mereka selama dua malam di hotel kumuh itu seperti bulan madu yang tak penah ia impikan, tapi justu terasa sangat manis.“Aku mencintaimu, Vin,” bisik Carla usai mengecup bibir lelaki itu.“Jangan. Aku sudah beristri.” Tiba-tiba saja Vincent membuka mata dan membuat Carla terkejut. Ternyata lelaki itu sudah bangun dari tidurnya setelah percintaan liar yang cukup menguras tenaga. Terlihat dari pakaian mereka yang bertebaran di mana-mana, di sofa ruang tengah, di sepanjang lorong menuju kamar, dan berakhir di kaki ranjang.“Kau tahu
Nyonya Rose gemetar begitu Helda melaporkan kegagalannya mencegah kejadian di vila itu. Helda buru-buru memegangi nyonya besarnya. “Tenanglah dulu, Nyonya. Anda harus tetap sehat,” ujarnya sambil memapahnya ke sebuah sofa. Lalu Helda menelepon dapur dan meminta koki untuk membuatkan teh chamomile untuk sang nyonya.“Kau tak pernah gagal sebelumnya, Helda. Kenapa justru kau gagal untuk masalah sepenting ini?”“Maaf, Nyonya. Tuan Rain diam-diam menyingkirkan orang-orang saya, sehingga saya tak mengetahui apapun rencana beliau. Penyadap yang saya pasang di beberapa titik strategis pun tak ada yang bekerja, sepertinya Tuan Rain mencurigai kita. Untungnya masih ada satu penyadap yang masih aktif, dari situlah saya tahu jika Tuan Rain sedang menggiring Nyonya Vincent ke vila. Sementara Tuan Rain pun menyuruh Tuan Vincent untuk ke sana lebih dulu, sepertinya Tuan Rain bisa membaca jika Tuan Vincent bakal membawa serta Nona Carla ke sana.
Vincent memasuki kamarnya dan melihat Nuning tengah berbaring dengan selang infus terpasang di salah satu lengannya. Melihat kedatangan Vincent, perawat yang sudah selesai mengganti cairan infusnya pun lekas pamit undur diri.Vincent bergerak mendekati Nuning, lalu duduk di sisi ranjang dan memandanginya cukup lama. Namun Nuning tak jua mengubah arah tatapannya, ia tetap memandang ke luar jendela kaca kamarnya dengan tatapan kosong. Vincent pun membuang napasnya dan memecah keheningan yang sejak tadi tercipta antara mereka. “Bagaimana kondisimu, Sayang? Sudah enakan?” tanyanya sambil mengulurkan tangan, membelai pipi istrinya yang tampak tirus. Lalu tersenyum tipis saat Nuning melengos, menolak sentuhannya.Pertanyaan Vincent justru kian mencabik perasaan Nuning dengan kekecewaan. Padahal dulu, kata-kata Vincent yang seperti ini terasa cepat menyembuhkan segala rasa sakit yang sedang menderanya. Tapi sejak melihat sendiri pengkhianatan lelaki itu, Nuning ju
Jaka menyematkan cincin, yang dikeluarkannya dari kotak Tiffany Blue, ke jari manis Nuning. Kemudian keduanya saling memandang penuh cinta. “Menikahlah denganku, Ning?” pinta Jaka. Nuning mengangguk cepat. Tiada keraguan lagi yang menggelayuti hatinya. Segala kegalauannya tentang pernikahan pupus sudah. Tak perlu menunduk takut menghadapi pernikahannya yang ketiga kali ini. Dia siap menikahi Jaka, pria yang sejak kecil sudah menunjukkan loyalitas persahabatannya pada Nuning. Lelaki itu menyenangkan dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Nuning sudah memahaminya luar-dalam, demikian pula sebaliknya, Jaka pun memahami Nuning. Mereka hanya perlu mengikat lebih erat hatinya dengan saling percaya. Kenyamanan dan kedamaian dalam jiwa yang tenang, adalah wujud nyata dari cinta sejati yang mereka rasakan. Tuan Rain dan Nyonya Rose yang mendengar rencana pernikahan mereka, berbesar hati menerimanya. Nyonya Rose menjadikan momen itu sebagai latihan
Akhirnya Nuning dapat tertidur pulas. Kesedihan, duka, dan tangis telah menguras energinya sejak kemarin. Tidur akan sangat membantu proses pemulihannya nanti.Dan ditengah tidur lelapnya, Nuning memimpikan sosok Jaka. Lelaki itu duduk di tepi ranjangnya sambil tersenyum. Mengamati dirinya sambil membelai-belai wajahnya yang bersimbah tangis.Dia masih sesosok Jaka yang tampan, tiada sedikitpun luka yang tampak dalam dirinya. Jaka tampak sehat dan baik-baik saja.“Ning? Sudah bangun?” sapanya dengan teramat lirih. Senyum tak lepas dari wajah indahnya.Nuning terdiam dan menatap lelaki itu cukup lama. Dan dalam mimpinya ini, Nuning teringat Jaka sudah mati.Nuning mengulurkan tangan. “Jak?” panggilnya. Kemudian Lelaki itu menundukkan wajahnya.Nuning membelai-belai ketampanan yang terpampang di depannya. Nuning tak peduli ini nyata atau bukan. Tak peduli lelaki itu mati atau tidak. Dia hanya ingin tetap bisa menyentuhn
Jaka meninggal.Cuma dua kata. Tapi butuh waktu dua puluh jam bagi Nuning untuk sanggup mencerna maknanya, di sela-sela pingsannya yang tak berkesudahan.Wanita itu mengedarkan pandang di saat sadarnya, dia menemukan Vincent yang tak lepas menggenggam tangannya. “Dennis lagi sama opa dan omanya. Mereka sedang menenangkan Dennis. Papa dan Mama langsung terbang ke sini begitu mengetahui kabar itu dari berita. Mereka mencemaskanmu dan Dennis. Mereka turut berduka sedalam-dalamnya, termasuk Opa Daniel,” bisik Vincent dengan kelembutan yang biasanya menenangkan, tetapi tidak dalam situasi Nuning saat ini.Ungkapan belasungkawa itu justru menambah luka dalam dada Nuning yang kian menganga lebar. Tentu semua orang bisa begitu mudah menerima kematian Jaka. Karena mereka tak terlibat emosi sedalam ini dengan lelaki yang teramat berarti baginya.Nuning menggeleng. Tidak. Dia belum siap dengan ini!Akan tetapi, siapa yang betul-betul siap menghada
“Kamu nggak mau nungguin Dennis pulang dulu nih, Jak?”Jaka menggeleng sambil memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya. Dia enggan bertemu dan berbasa-basi dengan Vincent saat suasana hatinya sedang seburuk ini. Dia masih merasa kesal dan kecewa lelaki itu menggeser posisinya di acara Father Day hari ini, momen pentingnya bersama Dennis, darah dagingnya. Meskipun dia juga paham, Vincent berhak berada di sana.Bagaimanapun Vincent juga ayah Dennis. Vincent juga malaikat mereka. Jaka tak sanggup membayangkan apa jadinya jika Nuning menghadapi kehamilannya seorang diri dengan segala kesulitannya kala itu, tanpa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas janin yang tengah dikandungnya, yaitu dirinya!Berkat kebaikan Vincent pula Nuning dan Dennis bisa merasakan hidup yang lebih dari sekadar layak. Lelaki itulah yang telah memuliakan wanita yang dicintainya ini. Vincent mengangkat status sosial Nuning setinggi langit, sesuatu yang tak dapat J
“Ayah, besok ada acara Father Day. Ayah mau ikut nggak?” tanya Dennis disela-sela makan siangnya di sebuah hotel bersama Nuning dan Vincent yang baru saja tiba dari Jakarta.“Ayah kan masih capek, Sayang. Dennis ajak Uncle Jack aja, ya?” sahut Nuning sambil mengusap-usap sayang rambut Dennis.“Tapi kan Ayah belum pernah ikut acara Father Day sama Dennis?” bocah tampan itu tampak merajuk.Vincent terlihat ingin mengalah dan menjawab ‘baiklah’. Namun Nuning dengan cepat menangkap kelelahan yang memenuhi wajah tampan pria itu.“Dennis, Uncle Jack pasti sedih kalau Dennis menggantikan posisinya dengan tiba-tiba kayak gini. Padahal Dennis sudah jauh-jauh hari bikin janji sama Uncle tentang acara ini. Uncle pasti sudah bersiap-siap sekarang. Dennis tega bikin Uncle Jack kecewa?”Namun Vincent dengan cepat menyanggahnya, “Nggak apa-apa, Ning. Dennis benar, kok. Aku perlu ikut acara itu seka
Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak
Hari ini, Jaka sedang mewujudkan kado permintaan Dennis. Bocah itu rupanya sedang belajar mendesain layangannya sendiri, tapi dia belum bisa mengeksekusi idenya tersebut menjadi sebuah layangan seperti harapannya. Kemudian meminta Jaka menciptakan untuknya sebagai kado spesial. Tentu dengan senang hati Jaka mengabulkannya.Mereka berdua pun membuat layangan di teras belakang rumah Jaka, di dekat area kolam renang pribadinya. Sebab studionya sedang dipenuhi para pekerja yang sedang memproduksi layangan untuk dijual, maupun untuk memenuhi pesanan para pelanggan.Ayah dan anak itu merakit layangan sambil berbincang santai.“Memangnya, apa sih kado yang Dennis minta dari Ayah Vincent kemarin?” selidik Jaka penasaran.“Cincin.”“Cincin?” Jaka mengerutkan kening. Permintaan yang tak lumrah.“Bukan buat Dennis kok, tapi buat Bunda.”“Loh, kok buat Bunda?”Dennis tertawa kecil
Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Dua tahun yang lalu,Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m