Setelah meninggalkan rumah, Quella menyewa sebuah gubuk kosong yang tidak terpakai lagi untuk ia tinggali. Uangnya tidak sampai untuk menyewa kos-kosan. Namun bagi Quella tidak apa-apa. Gubuk itu jauh lebih baik dari rumah keluarga kandungnya.
Quella akhirnya bingung apa yang harus dia lakukan nanti, bagaimana dengan masa depannya? Teman-teman sekelasnya sudah tahu bahwa dia bukanlah putri kandung keluarga Pratama yang kaya raya.Quella tidak bisa menghadapi pandangan aneh dari teman-teman sekelasnya, akhirnya dia pun memutuskan untuk berhenti sekolah, lalu bekerja untuk mencari nafkah.Namun karena dia adalah gadis yang hidup dari keluarga kaya sejak dulu, Quella tidak dapat melakukan apapun dengan baik, tidak ada pilihan lain untuknya selain bekerja sebagai pelayan di sebuah bar yang penuh dengan berbagai jenis orang.Disinilah Quella sekarang. Bar kecil yang dipenuhi manusia-manusia tidak dikenalnya. Sudah hampir seminggu ia bekerja di sini. Lagi-lagi suasana yang hingar bingar membuat Quella mengernyitkan matanya. Dia tidak suka suasana ramai dan menyesakkan seperti ini. Tapi apa boleh buat, dirinya tidak ada pilihan lain. Ia harus membiasakan diri.Quella mencoba menarik turun rok hitam pendeknya yang terasatidak nyaman. Seragam waiters yang ia kenakan ini amat sangat tidak nyaman, dengan belahan dada yang begitu rendah dan rok yang begitu pendek, Quella seperti dipaksa berubah menjadi orang yang tidak dia kenal. Sekali lagi, ia tidak punya pilihan lain.Ketika gadis itu menuangkan alkohol di salah satu meja pelanggan, seorang pria dengan sengaja menyentuh bokongnya. Quella kaget bukan main, ia melotot lebar dengan raut wajah marah ke pria brengsek itu."Kamu cantik, berapa hargamu satu malam?" Quella makin geram. Ia ingin melaporkan kejadian tidak senonoh itu pada sang pemilik bar, tapi salah satu teman dari pria yang melecehkannya tadi tiba-tiba menariknya hingga Quella terduduk di pangkuannya. Laki-laki yang tadi menyentuh bokongnya ikut berdiri.Quella panik. Tapi ia kesulitan melawan. Ada tiga pria yang menahannya. Ya Tuhan, apakah dia akan di perkosa ramai-ramai oleh mereka di sini? Ia menatap rekan-rekan kerjanya, berharap mereka akan membantu. Tapi orang-orang itu malah melihatnya dengan tatapan merendahkan, tak ada niat membantu sama sekali.Lalu Quella merasa dadanya disentuh. Gadis itu meronta sekuat tenaga, mencakar, menggigit lengan yang tetap terasa sekeras batu itu.Napasnya terengah-engah dan wajahnya merah padam menahanamarah dan ketakutan. Yang paling miris adalah, tidak ada satupun orang-orang di ruangan itu yang berniat menolongnya. Ia dikucilkan, diperlakukan seperti perempuan murahan. Bahkan ketika ia berhasil menggigit lengan salah satu pria yang menahannya, pria itu balas menamparnya dengan keras."Brengsek!" Maki pria itu marah. Keadaan berubah hening sesaat.Quella tidak bisa menahan diri dan akhirnya terisak. Kecantikannya tidak membawa keberuntungan baginya. Malah hanya mengundang niat jahat para lelaki hidung belang itu. Untung manajer bar cepat datang dan menariknya pergi dari situ."Maaf tuan-tuan, wanita ini hanya pelayan kecil di sini dan masih baru. Dia tidak ada pengalaman sama sekali. Kalau kalian tidak keberatan, aku akan menggantinya dengan perempuan yang jauh berpengalaman. Aku yakin kalian tidak akan menyesal." kata manajer itu lalu pandangannya berpindah ke salah satu perempuan lebih dewasa dari Quella yang berdiri dekat situ kemudian memberi perintah dengan gerakan kepalanya. Wanita itu menatap sinis Quella sebentar, kemudian melangkah mendekat dan langsung duduk dipangkuan salah satu dari ketiga pria tadi. Tangannya mulai bergerak lihai, dia terlihat sangat berpengalaman. Quella ditarik manajer itu dan dimarahi habis-habisan dibelakang. "Dasar perempuan tidak becus. Kau pikir kau bisa bekerja di sini semaumu hah? Lain kali kalau kau berani melawan pelanggan lagi kau akan langsung di pecat. Paham?" tukas manajer itu kasar. Quella tersentak kaget namun hanya bisa mengangguk. Ia butuh uang untuk hidup sekarang. Jadi ia tidak boleh di pecat. "Sekarang
Narrel keluar dari ruangan itu, membiarkan Austin dan Ainsley bicara berdua. Ainsley yang menyadari pria itu berjalan keluar pintu, buru-buru menghentikannya."Hei, kau mau kemana?" Langkah Narrel terhenti. Ia berbalik menatap Ainsley dan Austin bergantian."Jangan kemana-mana, kau itu saksi kalau pria ini berani macam-macam padaku."Austin tertawa kemudian bangkit dari kursi putarnya dan melangkah mendekati Ainsley. Narrel tetap menatap keduanya, dia jadi bingung sendiri. Ainsley kaget ketika Austin tiba-tiba menarik pinggangnya."Jadi kau ingin sahabatku melihat bagaimana aku melucuti pakaianmu di sini?" Bisiknya di telinga Ainsley lalu menyesap pelan daun telinga gadis itu, mulutnya kemudian turun ke leher jenjang Ainsley dan tanpa ijin memberikan tanda kepemilikannya di sana.Ainsley melotot dan mendorong kuat dada pria itu tapi tenaganya kalah kuat. Austin kembali memberikan tanda kedua kalinya pada bagian yang lain di leher Ainsley. Narrel di ujung sana melongo tidak percaya. Be
Selama seminggu berjalan ini Ainsley merasa sangat tidak tenang. Pikirannya merembes kemana-mana. Sahabat-sahabatnya tidak ada yang kaya, yang bisa meminjamkan uang lima belas milyar padanya dalam kurun waktu satu minggu. Semakin berjalannya hari Ainsley makin tidak dapat berpikir. Ia tidak punya jalan keluar. Andai saja lima belas milyar itu tiba-tiba jatuh begitu saja dari langit, ia akan sangat berterimakasih pada Tuhan. Sayangnya itu hanya khayalan semata yang tidak mungkin terjadi.Ainsley ingat saat pulang ke rumah habis dari menemui Austin. Ia marah besar pada papanya karena tidak pernah cerita padanya tentang perjodohan gila itu. Tapi apa boleh buat, semuanya sudah terjadi. Sebenarnya sudah beberapa kali gadis itu mencoba kabur dari kota itu untuk menghindari pernikahan. Ia tahu tidak mungkin baginya mendapatkan lima belas milyar karena itu ia hanya bisa kabur. Sayangnya, sih Austin terlalu pintar. Pria itu sudah menyuruh anak buahnya untuk terus mengamati gerak-geriknya. Ains
Mata Austin dan Ainsley saling beradu. Tidak ada yang mau kalah diantara keduanya. Sementara Deisy yang berada diantara mereka berdeham pelan. Ia tidak suka diabaikan seperti ini.Ainsley yang pertama memutuskan kontak matanya dengan lelaki yang duduk dengan gaya angkuhnya didepan mereka itu. Ia memberengut kesal karena tidak bisa tahan dengan tatapan mata Austin. Lihat saja sekarang, Austin tampaknya senang sekali dengan kemenangannya."Cih," gadis itu berdecih membuang muka tak mau menatap Austin. Lelaki itu menyeringai kemudian mengubah ekspresinya menjadi serius lagi. Ia kini menatap Deisy dan Ainsley bergantian."Jelaskan, kenapa kau ingin kakakmu menggantikanmu menikah denganku?" suara itu terdengar rendah dan tegas.Ainsley kembali mengangkat wajahnya menatap kedepan. Ekspresinya tampak bingung. Ia melirik Deisy sebentar. Kapan dirinya bilang mau Deisy menggantikannya menikah dengan lelaki menyebalkan itu?Sial. Pasti kakak tirinya itu yang mengajukan dirinya sendiri. Deisy kan
Meeting dadakan yang diadakan Austin siang ini sudah usai. Beberapa karyawan telah keluar dari ruangan Austin, sedang Narrel duduk diam di ujung sofa, mengamati Austin yang masih sibuk mempelajari berkas-berkas di tangannya.Austin bukanlah lelaki yang bisa membaur, lelaki ini penyendiri, dan wataknya yang terkenal keras itu membuat orang-orang segan mendekatinya. Narrel sudah mengenalnya sejak lama, namun yang kebanyakan mereka bicarakan semuanya tentang bisnis. Austin jarang sekali berbicara tentang wanita yang disukainya atau hal lain di luar bisnis.Dan apabila menyangkut bisnis, Austin sangat kooperatif. Kerjasama mereka dengan perusahaan-perusahaan lain telah membuahkan banyak keuntungan bagi perusahaan mereka.Sesaat Narrel ragu untuk bertanya, namun ia benar-benar ingin tahu perasaan Austin sebenarnya terhadap gadis yang ingin dinikahinya. Ia tahu pernikahan itu bukanlah masalah kecil dan bukan main-main. Butuh perasaan saling suka di antara pasangan yang mau menikah. Namun Na
"Auww, pelan-pelan!" Pekik Ainsley meringis kesakitan, sesekali ia menatap tidak senang pada Austin yang kini sibuk mengobati luka kecil dan beberapa memar di tangan dan wajahnya.Tidak butuh waktu lama bagi pria berkuasa seperti Austin untuk membawanya pergi dari kantor polisi. Dara yang bersamanya tadi sudah pulang pakai taksi, hanya Ainsley seorang yang sekarang berada dalam mobil Austin.Ainsley yakin lelaki itu pasti sengaja mengobatinya dengan kasar. Apalagi Austin terus-terusan mengomelinya sejak keluar dari kantor polisi tadi. Lihat wajahnya sekarang. Seperti mau memakannya hidup-hidup saja.Austin terus menatap lekat gadis didepannya itu setelah selesai mengoleskan salep di beberapa bagian tubuhnya yang lebam. Sekarang ini mereka sedang berada di jalan dekat apotik."Kenapa berkelahi?" tanya Austin menuntut penjelasan.Ainsley menarik nafas jengah. Ia tidak suka menjelaskan karena menurutnya tidak penting. Lagipula ini masalah pribadinya. Menurutnya lelaki disampingnya ini ti
Besoknya di kampus,"Gimana, gimana? Jadi Austin Hugo datang sendiri ke penjara demi Ainsley?" tanya Mira antusias. Mereka kini berkumpul di kantin kampus itu dan mendengar cerita Dara yang membangkitkan rasa ketertarikan mereka untuk bergosip.Ketiga gadis itu tidak peduli sama sekali walau ada Ainsley disitu. Gadis yang tengah mereka gosipkan sekarang ini bersama Austin Hugo, sih pengusaha kejam namun tampan didepan mereka itu.Ainsley menatap jengah ketiga sahabatnya yang kini sibuk sendiri. Ya ampun, kenapa dirinya bisa bergaul dengan para gadis tukang gosip itu sih. Ia masih tidak habis pikir sampai sekarang kenapa bisa tergabung dalam kelompok itu."Kalian tahu, semalam itu kedatangan Austin sukses membuat semua gadis yang berselisih dengan kami terkagum-kagum. Aku senang sekali melihat tampang mereka yang iri berat pada Ainsley," cerita Dara. Ia sendiri saja yang teman Ainsley merasa iri. Apalagi setelah itu Austin dan Ainsley pergi berdua. Lebih tepat Austin yang membawa Ainsl
Selesai bicara dengan orangtuanya Ainsley masuk ke kamar. Gadis itu terus berjalan mondar-mandir seperti cacing kepanasan sambil meremas ponselnya kuat-kuat. Aduh bagaimana ini. Ia ingin menelpon Austin tapi ia takut pria itu akan besar kepala kalau dia menelpon lebih dulu dan meminta bertemu.Disisi lain, memang ia perlu bicara dengan Austin untuk meminta bantuan. Bagaimana ini? Ia malu dan merasa berat hati harus meminta bantuan lelaki itu namun tidak ada nama lain yang terpikir di otaknya.Para sahabatnya mana ada uang sebanyak itu. Ayolah, satu milyar saja ia yakin sekali mereka tidak ada. Kalau ada sudah dari lama Ainsley meminjam uang pada sahabat-sahabatnya dan diberikan ke Austin untuk memutuskan perjodohan mereka.Ainsley menghentikan gerakan mondar mandirnya, dan mengangguk kuat. Tekadnya sudah bulat. Ia harus segera menelpon Austin sekarang juga. Lalu diangkatnya ponselnya dan mencari nomor Austin di daftar panggilan.Austin yang tengah sibuk berkutat dengan berkas-berkas
"Dia kenapa?"Narrel berjalan cepat pada Austin yang masuk ke dalam Villa dengan menggendong Ainsley. Pria itu menatap penampilan keduanya yang basah dan kotor dengan lumpur."Jatuh di air," sahut Austin terus melanjutkan langkah menuju kamar. Narrel hanya termangu melihat mereka sampai keduanya menghilang dari hadapannya.Ada-ada saja. Pikir Narrel. Apa yang mereka lakukan sampai jatuh ke dalam air. Jangan bilang kalau mereka berdebat lagi. Lelaki itu menggeleng tidak habis pikir."Tuan Austin dan istrinya kenapa?"pandangan Narrel berpindah pada Iren yang sudah berdiri di belakangnya. Entah muncul darimana. Bukannya wanita itu tadi ada di taman belakang, lagi sibuk menyiapkan perayaan ulang tahun kecil-kecilan untuk pacarnya bersama yang lain."Jatuh di air katanya," sahut Narrel."Persiapan buat nanti malam sudah selesai?" tanya pria itu. Iren menggeleng."Hampir," jawabnya."Anda istirahat dulu saja, tua
Entah sudah berapa lama mereka di atas perahu. Ainsley mulai merasa panas tak karuan. Ia mengelap kening dengan saputangan milik Austin. "Aku bisa mendayung ke tepi sungai yang teduh. Kau mau?" tawar Austin. Ainsley mengangguk. Ia memang merasa kepanasan karena berada langsung di bawah matahari. Angin yang bertiup tadi mulai berkurang jadi tidak mampu menghadang matahari terik untuknya. "Apa yang kau suka ketika naik perahu?" tanya Austin sambil mengangkat dayung dari air dan membiarkan mereka meluncur ke bawah bayang-bayang teduh. "Aku tak tahu, hanya suka saja." sahut Ainsley mengangkat bahu. Tangannya menelusuri permukaan air dan melirik Austin lagi. "Kau tidak kepanasan dengan setelanmu itu?" tanyanya. Austin melirik sebentar penampilannya yang memakai kemeja panjang biru dan menatap Ainsley. "Bukannya kau yang menyiapkan pakaian ini untukku?" katanya dengan senyum menggoda.
Narrel mengetuk pintu kamar Austin dan Ainsley. Ia tidak tahu keduanya sedang berbuat apa didalam sana. Kalau pun mereka sedang melakukan sesuatu yang berbau-bau dewasa Narrel akan tetap mengetuk. Meski ia tidak yakin mereka sedang melakukan apa yang dia pikirkan itu di siang hari begini.Ketika pintu terbuka, yang pertama kali dilihat Narrel adalah Ainsley. Ia menatap kedalam kamar tapi tidak melihat Austin."Kemana Austin?" tanyanya."Lagi mandi." jawab Ainsley."Kau perlu sesuatu?" gadis itu balik bertanya. Narrel tersenyum tipis."Aku hanya ingin bilang kalau kalian bersedia aku ingin mengajak kalian naik perahu." ucap pria itu.Ainsley tampak tertarik. Sudah lama dia tidak naik perahu."Baiklah. Aku akan bilang ke Austin nanti." katanya kemudian. Setelah itu Narrel berbalik pergi dan Ainsley kembali mengunci pintu."Siapa?"Ainsley berbalik menatap Austin yang kini berdiri hanya dengan handuk yang
Ainsley turun dari mobil. Mereka sudah sampai. Perjalanan yang mereka tempuh dari Jakarta sampai Bogor kira-kira dua jam setengah. Hanya Austin dan Ainsley berdua dalam mobil. Austin yang menyetir pastinya.Austin sengaja menyetir sendiri hari ini karena seperti yang di katakan oleh Narrel kemarin kalau kemungkinan mereka akan menginap. Pria itu tidak mau merepotkan sopirnya. Ia juga ingin berdua saja di mobil dengan Ainsley.Ketika mereka sampai di Vila, Narrel, Iren dan yang lain belum terlihat sama sekali. Kelihatannya mereka memang belum ada. Meski begitu, penjaga Vila sudah mengenal Austin jadi mudah saja bagi keduanya masuk ke dalam.Ainsley memandang ke sekeliling. Vila itu berada di tempat yang cukup terpencil dekat hutan. Berada di sini suasananya beneran terasa super sunyi.Ainsley pernah datang ke tempat seperti ini sebelumnya tapi tidak semewah tempat milik Narrel ini. Hanya suasananya yang mirip. Kalau malam hari kalau hanya sendirian, yang akan menemanimu hanyalah suara
Setelah selesai makan siang bersama dan berbincang-bincang sambil membicarakan bisnis, Austin kembali ke kantor.Pria itu masuk ke ruang kerjanya dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia merasa sangat lelah. Bagaimana tidak lelah, habis rapat di kantor, ia makan dengan kakek Fu, menemani lelaki tua itu ngobrol. Belum lagi pria itu tambah bad mood karena melihat istrinya makan siang dengan pria lain selain dirinya."Kenapa lagi denganmu?"Suara itu sontak membuat Austin yang hampir ketiduran membuka matanya. Narrel sudah duduk di depannya. Austin menatap sekretarisnya itu yg tanpa bersemangat."Kau tahu, menyukai wanita hanya akan membuatmu merasa lelah." ucap Narrel lagi seolah tahu apa yang ada di pikiran Austin.Ia memang mengakui Ainsley yang bisa membuat sahabatnya itu menyukainya tanpa usaha keras seperti yang di lakukan wanita-wanita yang lain. Tapi kalau ia jadi Austin, ia tidak akan bersikeras mendapatkan gadis itu. Apalagi menikahinya. Belum tentu juga kan Ainsley gadis yang bai
Mereka masuk ke restoran kecil yang sudah sering mereka datangi dulu, waktu keduanya masih sering bersama. Sebelum Alfa bertunangan.Mereka baru saja duduk di meja kosong ketika Ainsley mendengar ponselnya berbunyi. Ia menataplayar ponselnya. Austin yang menelpon. Kenapa pria itu menelpon?"Halo?""Kau di mana?""Tempat makan.""Dengan siapa?"Dalam kebingungan Ainsley menatap ponselnya, lalu menempelkannyakembali di telinga. Kenapa denganLaki-laki itu? Nada suaranya terdengar dingin tidak seperti tadi pagi. Dasar labil."Teman," jawab Ainsley berusaha menetralkan intonasinya. Ia tidak mau Alfa melihatnya berdebat dengan sih penelpon yang adalah suaminya sendiri itu.di ujung sana Austin mendengus kesal."Ada ada menelponku?" tanya Ainsley lagi. Sepi sebentar, lalu suara itu berkata dengan nada datar,"Hanya ingin bertanya saja," setelah berkata begitu telpon langsung terputus. Austin menutupnya sepihak. Tanpa pamit dan bilang-bilang dulu. Ainsley yang kesal sontak mematikan ponse
Austin menuju dapur karena mendengar suara-suara ribut seperti ada yang memasak. Pelayan rumahnya biasanya datang jam tujuh untuk menyiapkan sarapan.Sekarang belum jam tujuh. Austin yakin sekali itu pasti Ainsley. Apa yang di lakukan gadis itu?"Kau bisa masak?"suara Austin yang berat membuat Ainsley hampir melompat. Ia kaget bukan main. Gadis itu menatap Austin yang tengah berdiri di ambang pintu masuk dapur dengan kesal. Ingin sekali ia melempar sendok sop di tangannya ke arah Austin yang sekarang malah menertawainya. Menyebalkan sekali."Kau membuatku kaget, tuan Austin." ucapnya ketus dengan kesal.Austin tertawa. Ia melanjutkan langkahnya ke dekat Ainsley berada."Aku tidak tahu kalau kau bisa masak," ucap pria itu. Matanya melirik ke panci kaldu di atas kompor.Sepertinya istrinya itu memasak sop. Sebuah senyuman tipis terpampang di wajah Austin. Apa Ainsley memasak untuknya? Kan dia semalam mabuk berat.Dulu sebelum menikah dengan Ainsley, ketika ia mabuk berat Narrel akan me
Ainsley kembali ke kamar usai mengantar Narrel di depan. Rumah ini tidak ada pembantu kalau sudah malam begini. Mereka sudah pulang dan akan kembali di jam kerja besok. Hanya ada dua satpam yang berjaga di gerbang depan.Berbeda dengan rumah Austin di Hawaii yang memiliki banyak pelayannya. Mungkin karena rumah itu jarang di tinggali, hanya sesekali kalau Austin datang ke sana dengan urusan pekerjaan.Ainsley sendiri mau tak mau harus mengantar Narrel sampai depan karena ia juga harus mengunci pintu.Setelah semua pintu terkunci ia kembali ke kamar. Mengunci kamar itu juga dan melangkah ke dekat kasur. Menatap pria yang tidur di sana. Bau alkohol yang cukup kuat itu mengganggu Indra penciuman Ainsley. Ia menutup hidungnya sambil terus menatap Austin.Cukup lama Ainsley memandangi wajah Austin. Satu kata yang ada dalam benaknya, tampan. Sudah berkali-kali ia melihat Austin dari jarak dekat, tapi ia tetap mengagumi ketampanan pria itu. Entah apa yang di makannya hingga kulitnya sangat b
Saat Narrel menawarkan minum pada Austin, pria itu tidak bilang apa-apa, hanya menunduk lesuh.Narrel menghela nafas. Dengan kondisi Austin sekarang ini, ia yakin pria itu butuh minum. Tanpa bertanya lagi Narrel membawa Austin di sebuah bar tak jauh dari kantor mereka.Austin minum banyak. Ia menghabiskan hampir enam botol red wine. Narrel sampai garuk-garuk kepala melihatnya. Ia sendiri tidak berencana untuk minum. Ia takut mabuk. Bagaimana caranya mengantar Austin coba kalau mereka sama-sama mabuk."Kau tahu, baru kali ini aku merasa frustasi karena seorang wanita," racau Austin dengan gaya mabuknya. Pria itu jarang mabuk, jadi Narrel merasa lucu.Ia tiba-tiba terpikir sebuah ide. Pria itu lalu merogoh ponsel di saku Austin, mencari kontak Ainsley kemudian menelpon gadis itu. Membiarkan Ainsley mendengar semua perkataan Austin. Ketika setelah menelpon, Narrel menarik Austin turun dari meja bar dan membawanya ke ruang kedap suara biar suaranya bisa kedengaran di telpon.Di seberang