Setelah Diana pergi, Ainsley mulai merasa jenuh. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi keluar.Di luar, ia melihat sebuah sedan hitam terparkir di driveway. Seorang laki-laki berpakaian rapi sedang duduk di depan garasi.Ia langsung berdiri setelah menyadari kehadiran Ainsley."Mau pergi, nona?" tanyanya."Iya," jawab Ainsley. Laki-laki itu berjalan mendahului Ainsley dan langsung membukakan pintu mobil untuknya. Sepertinya ia sopir yang di maksud Austin.Setelah Ainsley duduk dan ia menutup pintu belakang mobil, sopir itu duduk di belakang kemudi. Umurnya terlihat cukup muda di pertengahan dua puluhan. Wajahnya sangat bule, membuat perbedaan antara Ainsley yang sangat Asia itu dan sih bule terlihat jelas."Anda mau ke mana, Miss Hugo?" tanya sopir itu."Ke pantai saja," jawab Ainsley.Sopir itu menurut. Ainsley menatap keluar jendela. Daerah rumah Austin berada bukan di daerah ramai, tapi sepertinya termasuk kawasan elit. Lihat saja bangunan rumahnya yang terkesan sangat mewah itu.Sepa
"Aku malas ikut makan malam dengan orang yang tidak ku kenal." ujar Ainsley secara tidak langsung menolak dengan halus. Ia merasa jengkel dengan Austin. Kalau tahu diri sendiri super sibuk begitu, kenapa malah membawanya liburan segala. Jadi percuma kan mereka datang ke negara ini."Kau harus ikut, ini perintah." balas Austin dengan nada dingin.Ainsley menatap pria itu bingung. Kenapa Austin tiba-tiba dingin? Apa ia tidak senang dengan perkataan Ainsley tadi? Kan dia berhak memilih. Lagipula mereka pasti akan berbicara tentang pekerjaan. Tidak ada gunanya dia ikut kan."Tapi," gumam Ainsley. Ia merasa ngeri juga dengan perubahan Austin.Bola mata Ainsley membesar ketika tangannya tiba-tiba di tarik oleh Austin."Ayo pulang dan bersiap." kata Austin membuat Ainsley melotot menatapnya."Tapi aku belum bilang ia Austin,""Sudah kubilang ini perintahkan? Kau harus patuh pada suamimu Ainsley."Ainsley memutar bola matanya malas. Dasar pria sinting. Lebih bodohnya lagi ia tidak bisa memban
"Siapa ini, apa dia pacarmu Austin?" tanya Sam menatap Ainsley kemudian Austin. Ia tahu Austin tidak punya adik perempuan, jadi menurutnya kemungkinan besar gadis yang di bawah rekan bisnisnya itu adalah pacar. Namun ia tetap bertanya untuk memastikan."Bukan, ini istriku. Namanya Ainsley ," jawab Austin lalu mengecup bibir Ainsley sekilas membuat gadis itu kaget dan menatapnya tajam. Yang benar saja, Austin sengaja mengambil kesempatan.Ainsley tahu ia sekarang berada di negara yang pergaulannya sangat bebas. Berciuman di depan umum mungkin sudah biasa bagi orang-orang itu, tapi tidak buat Ainsley. Ia tidak biasa dan lebih menjunjung tinggi kesopanan.Ainsley menatap ke depan. Ia tanpa sengaja melihat tatapan Clara padanya. Dahinya Ainsley berkerut, ada dengan wanita itu? Kalau tidak senang padanya tidak perlu di perjelas juga kan."Hai Ainsley," sapa Luke dan Sam mengulurkan tangan mereka secara bergantian ke Ainsley. Walau enggan, Clara juga ikut menerima uluran tangan Ainsley deng
Ainsley tidak berhenti-berhenti menatap Austin. Mereka telah sampai di rumah beberapa menit yang lalu dari makan malam dengan rekan kerja pria itu. Kini keduanya duduk di ruang keluarga.Austin sendiri tahu kenapa gadis itu terus menatapnya, tapi ia memilih cuek. Biar saja gadis itu marah."Kau tidak mau minta maaf padaku?" tanya Ainsley akhirnya. Ia tidak tahan lagi untuk tidak bicara.Austin menoleh ke samping,"Minta maaf untuk apa?" ia balas bertanya. Pura-pura tidak mengerti apa maksud gadis itu.Mata Ainsley membuka lebar. Pria itu jelas-jelas tahu maksudnya tapi pura-pura."Kau lupa? Tadi kau membuatku menyentuh..," Ainsley menunjuk ke bawah, melihat bagian di antara paha Austin namun cepat-cepat memalingkan wajahnya. Mukanya jadi bersemu merah karena malu. Ia tidak lihat wajah Austin yang menyeringai nakal menatapnya."Menyentuh apa?" tanya Austin dengan suara menggoda. Ainsley kembali melirik pria itu."Kau tahu apa maksudku, Austin." kata Ainsley ketus. Austin terkekeh."Ken
Ainsley menatap Austin lama lalu menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Keputusannya sudah bulat. Ia lebih baik pulang."Aku harus pulang, Austin. Tugas kampusku sudah menumpuk, dan aku tidak ingin absen terlalu lama. Lagian di sini kau juga sibuk bolak-balik ke kantor. Dan aku sendiri tidak tahu apa yang mau aku lakukan." kata Ainsley panjang lebar.Gadis itu merasakan Austin meraih tangannya dan meremasnya pelan."Aku bisa bicara dengan pemilik kampusmu, kau tidak usah khawatir dan tidak perlu mengumpulkan tugas. Sekarang nikmati saja masa liburanmu di sini." gumam Austin mencoba meyakinkan Ainsley. Sayangnya keputusan Ainsley sudah bulat. Ia lebih tidak senang mendengar Austin akan bicara dengan pemilik kampus.Ainsley dari dulu tidak suka dengan mereka yang berbuat seenaknya hanya karena memiliki kekuasaan. Ia merasa lebih baik berusaha sendiri dengan kemampuannya. Kalau pun harus minta bantuan orang lain, ia akan melakukannya pada waktu dirinya sangat terdesak.Ainsley selal
Clara pamit pergi dengan wajah masamnya tak lama kemudian. Rencananya gagal. Padahal sebelum datang ke rumah Austin, sudah banyak rencana dalam benaknya. Sayangnya semua rencana itu gagal begitu saja.Setelah kepergian Clara, Ainsley menatap Austin tajam."Kenapa, kau masih tidak senang? Bukankah aku sudah setuju kita pulang?" celetuk Austin."Kapan aku memaksa sambil menangis-menangis?" Ainsley memelototkan matanya sambil berkacak pinggang. Posisinya sudah berdiri di hadapan Austin.Austin terkekeh. Oh, jadi gadis itu keberatan dengan perkataannya tadi."Kau tahu Clara itu wanita yang licik, kita harus punya alasan kuat agar dia tidak mencari-cari cara mengganggumu lagi." ucapnya.Ainsley memicingkan matanya. Sebenarnya Clara itu siapa sih? Jangan-jangan mantan pacar Austin lagi. Atau, teman ranjang pria itu dulu. Sebelum menikah dengannya? Huh! Melihat betapa mesumnya seorang Austin, Ainsley jadi berpikir pria itu pasti sudah meniduri banyak sekali wanita."Apa Clara Clara itu manta
Austin memang langsung ke kantor ketika pesawat mendarat. Ia bermaksud untuk menghindari Ainsley sementara. Jujur dirinya masih terluka dengan perkataan Ainsley malam itu.Semua orang boleh memandangnya seperti pria brengsek dan kejam. Namun ia tidak peduli. Tapi, ketika mendengarnya sendiri dari mulut Ainsley perasaannya jadi berkecamuk antara marah dan kecewa.Austin bersumpah seumur hidup ini ia tidak pernah meniduri satu pun wanita. Ia adalah seorang laki-laki yang punya prinsip kuat. Ia lebih memilih menjadi pria yang setia pada satu wanita seumur hidupnya. Harusnya Ainsley senang bisa menjadi istrinya.Austin terus mendengarkan presentasi di ruang rapat tapi ia tidak bisa fokus. Sosok Ainsley memenuhi pikirannya. Bayangan Ainsley tidak mau bilang dalam benaknya.Austin akui, ia sengaja bersikap dingin pada Ainsley bukan hanya karena marah dan merasa kecewa. Tapi ia takut kalau dirinya ikut berdebat dengan gadis itu, mereka berdua akan berakhir di atas tempat tidur. Dan kalau itu
Saat Narrel menawarkan minum pada Austin, pria itu tidak bilang apa-apa, hanya menunduk lesuh.Narrel menghela nafas. Dengan kondisi Austin sekarang ini, ia yakin pria itu butuh minum. Tanpa bertanya lagi Narrel membawa Austin di sebuah bar tak jauh dari kantor mereka.Austin minum banyak. Ia menghabiskan hampir enam botol red wine. Narrel sampai garuk-garuk kepala melihatnya. Ia sendiri tidak berencana untuk minum. Ia takut mabuk. Bagaimana caranya mengantar Austin coba kalau mereka sama-sama mabuk."Kau tahu, baru kali ini aku merasa frustasi karena seorang wanita," racau Austin dengan gaya mabuknya. Pria itu jarang mabuk, jadi Narrel merasa lucu.Ia tiba-tiba terpikir sebuah ide. Pria itu lalu merogoh ponsel di saku Austin, mencari kontak Ainsley kemudian menelpon gadis itu. Membiarkan Ainsley mendengar semua perkataan Austin. Ketika setelah menelpon, Narrel menarik Austin turun dari meja bar dan membawanya ke ruang kedap suara biar suaranya bisa kedengaran di telpon.Di seberang