Part 133 Setelah dua jam perjalanan dengan kecepatan di atas delapan puluh kilo meter per jam, mobil yang dikendarai Adi sudah mencapai depan pintu UGD rumah sakit Siloam, perawat dan dokter jaga malam itu bergerak dengan gesit memindahkan tubuh Bram ke blankar. Dhea tergopoh-gopoh mengikuti langkah paramedis yang berjalan cepat tersebut. Adi menyusul kemudian karena dia harus memarkirkan mobilnya. "Keluarga pasien?!" panggil seorang perawat "Iya, saya suster." Dhea yang duduk di ruang tunggu depan UGD dengan gelisah itu secepat kilat menemui perawat tersebut, karena di jam dua belas malam ini hanya Bram satu-satunya pasien yang masuk ruang UGD. "Dokter mau berbicara dengan anda, Bu." Perawat itu dengan cepat mengajak Dhea memasuki ruang UGD, di sana Bram sudah berganti pakaian, semua pakaiannya yang berlumuran darah itu sudah diganti. "Ibu siapanya pasien?" tanya dokter muda yang berjaga malam ini. "Saya istrinya, Dok." "Pasien harus dioperasi secepatnya, Bu. Kami harus me
Part 134"Adi, Carikan aku tiket paling cepat ke Jakarta.""Kenapa buru-buru, Pak?""Tadi yang nelpon Papa, dia mengabarkan kalau kakek baru saja meninggal dunia.""Apa?" Fikri, Dhea dan Adi berbarengan terkejut dengan kabar yang dikatakan oleh Arjuna."Innalilahi wa innailaihi rajiun, ya Allah ... Kakek Hanggono meninggal dunia? Semoga diterima amal baiknya." Dhea yang baru saja menggigit roti isinya, segera meletakkan roti dan susu kotak di atas meja. Walaupun Dhea baru sekali bertemu kakek Hanggono, tetapi lelaki tua itu sangat ramah dan menyayanginya dengan tulus. "Baik, Pak. Saya akan Carikan," jawab Adi sambil duduk di ujung sofa mengeluarkan ponselnya."Bagaimana dengan Abang? Dia pasti sangat sedih mendengar ini. Abang sangat menyayangi kakek," bisik Dhea sambil menatap ke arah suaminya Rasa kantuk yang tadi menyerangnya entah kenapa hilang seketika. Dhea Berjalan menghampiri suaminya, melihat lelaki itu masih belum sadar, wanita itu mengelus rambut suaminya yang masih begi
Part 135Pukul sepuluh pagi Dhea, Arjuna dan Adi sudah sampai di kediaman kakek Hanggono, di rumah bernuansa joglo itu sang kakek di semayamkan. Para pelayat sangat banyak sekali, mobil-mobil mewah terparkir di sepanjang jalan menuju kediamannya. Para pejabat teras, Mentri dan gubernur juga turut melayat. Kakek Hanggono Aditama memang salah satu pengusaha pribumi yang cukup sukses dan disegani di kalangan pengusaha dan para pejabat. Kakek Hanggono juga termasuk pembina salah satu partai, di mana ketua umumnya adalah keponakannya, Ridwan Hanafi, ayah dari Siska Maharani. Ridwan Hanafi juga seorang anggota dewan di Senayan.Arjuna dengan percaya diri memasuki rumah sambil menggandeng tangan Dhea. Suasana ramai seperti ini tentu sangat sulit untuk menemui jenazah kakeknya."Jun, sini! Para keluarga berkumpul di sini," ujar Wulandari yang melihat keberadaan Arjuna dan Dhea."Dhea datang juga? Ayo, ayo ke sini."Mereka bertiga mengikuti langkah Wulandari yang membawa mereka ke ruang kelua
Part 136Capek, sangat capek yang dirasakan Dhea sekarang, semalam kurang tidur, langsung terbang ke Jakarta mengantar jenazah kakek Hanggono juga sempat menjenguk neneknya yang belum siuman di ruang ICU, juga sempet menjenguk ibunya di rumah sakit.Dhea sangat terenyuh melihat kondisi ibunya yang lebih kurus, bahkan sangat kurus dari yang terakhir dilihatnya."Kemoterapi membuat tubuh Bu Paramita menjadi seperti ini, Bu Dhea," ujar Halimah perawat yang merawat ibunya.Ah, lelah sekali ... Tak terasa Dhea tertidur dengan pulas di atas pesawat. Mereka duduk di bangku kelas bisnis, Adi berada di sampingnya yang setiap saat menjaga dan mengawasinya. Sania sendiri ternyata tidak dapat tiket, sehingga akan berangkat dengan penerbangan berikutnya bersama Arjuna.Ketika pesawat sudah mendarat di bandara Mahmud, Dhea masih tidur dengan lelap. Adi yang ingin membangunkan juga tidak tega. Dia masih menunggu beberapa menit hingga seorang pramugari menghampirinya."Bapak belum turun?""Saya sedan
Part 137Sudah dua hari Bram berada di rumah sakit, lelaki itu selalu saja mengomel akan pulang, tetapi pihak rumah sakit belum mengijinkan, pasalnya karena luka berada dipunggung, sering tidak sengaja ditindih ketika tidur, akibatnya luka tersebut kembali berdarah.Walaupun jadi pasien, tetapi Bram tetap kerja via online. Lelaki itu masih saja sibuk di depan laptop atau menelpon atau menerima telpon dari klien atau bawahannya. Rasanya sangat sulit, ketika letih dia tidak bisa bersandar."Abang, ini sudah larut, sebaiknya Abang istirahat," tegur Dhea ketika dia melihat Bram masih juga mengecek email lewat ponselnya ketika jam sudah menunjuk angka sepuluh."Sebentar, Sayang. Ini penting. Pihak pemerintahan kota Tanjung Pinang akan sedang membuka tender, proyek yang ditawarkan juga beragam, harusnya Manunggal Wijaya bisa ikut tender tersebut.""Boleh saja, Abang tinggal mengurus Arjuna untuk ke sana," jawab Dhea."Tidak bisa, Arjuna belum punya pengalaman negosiasi sebesar ini. Ini tend
Part 138 Tak sengaja mata Dhea berserobok dengan seorang pria, pria yang sangat tampan dengan tinggi badan yang proposional. Mata lelaki itu menatapnya tanpa berkedip membuat Dhea sedikit risih dan jengah. Dhea memalingkan pandangannya, kini dia mengambil ponsel dan mulai menggulir aplikasi pesan. Entah kenapa matanya kini mengarah ke pria tadi, kini pria itu berjalan dengan pelan ke arahnya. Tatapan mata pria itu benar-benar melekat pada Dhea membuat wanita benar-benar jengah. Pria itu kini sudah berada di hadapannya. "Assalamualaikum, boleh saya duduk di sini?" sapa lelaki itu. Dhea dan Adi langsung menoleh dan menatap lelaki yang masih berdiri dengan senyum manis itu, mata Adi melebar melihat siapa orang yang ada di hadapannya ini. "Pak Fathan? Silahkan, Pak ... Silahkan." Dengan spontan Adi berdiri dan menyalami lelaki yang dipanggil Fathan itu dengan antusias. "Anda, asistennya pak Bramantyo, kan?" tanya Fathan sambil mengingat-ingat lelaki yang menyalaminya ini. "Iya, be
Part 139 Entah kenapa Dhea juga tidak sungkan lagi berbincang dengan Fathan, walaupun Adi sesekali nimbrung perbincangan mereka, Fathan yang tampak luwes dan cerdas itu tentu saja sangat membuat Dhea nyaman. "Di negara mana Abang studi waktu adik Abang meninggal?" tanya Dhea dengan hati-hati. "Saat itu Abang kuliah di Jerman, langsung dilanjut S2 di Amerika, Harvard university. Abang sempat pulang, tetapi hanya menemukan kuburan Kamelia, Abang sama sekali tidak dikabari ketika Kamelia meninggal, kalau Abang nggak pulang, Abang tidak tahu kalau Kamelia sudah meninggal, dan itu sudah setahun berlalu." "Oh, apakah Abang kenal dengan suami Dhea di sana? Abang Bram juga kuliah di Harvard." "Tidak, Abang saat itu baru mengambil S2, pak Bram kan sudah tamat S2 saat itu, dia senior jauh di atas Abang." "Memang berapa usia Abang sekarang?" "Abang sudah dua puluh sembilan tahun." "Wah, ternyata masih muda, ya? Eh ... Kalau dengan adiknya Bang Bram kenal, nggak? Dia juga kuliah di Harvar
Part 140"Iya nggak apa-apa. Mungkin ini sudah takdir. Kalau dia masih hidup, kini dia sudah berusia dua puluh enam tahun. Mungkin dia sudah nikah juga."Fathan menatap ke arah depan dengan pandangan kosong, mungkin dia teringat pada mendiang adiknya. Dhea sendiri juga pernah merasa kehilangan adik-adiknya, walaupun sampai saat ini ingatannya belum kembali, tetapi mendengar dua orang adiknya dan juga ayah kandungnya menjadi korban kecelakaan, tak urung dia merasa sedih. Apalagi jika sosok mereka teringat dengan jelas di kepala seperti yang dialami oleh Fathan."Bu Dhea, saya sudah mendaftar. Ini jadwal presentasi kita. Dia hari lagi di Batam." Tiba-tiba keheningan diantara mereka terpecah oleh suara Ilham yang sudah mendekat pada mereka."Oh, sudah ya, Bang? Dua hari lagi?"Walaupun Ilham sudah mengetahui status Dhea, tetapi Dhea tetap memanggilnya Abang seperti sebelumnya. Ilham sendiri sebenarnya merasa canggung, tetapi dia juga tidak mau keakraban diantara mereka menjadi memudar ha
"Berhenti kau betina jalang!" "Dasar perempuan sialan! Mau lari ke mana lagi kau, ha?" "Mau kabur? Kamu pikir bisa, ha?" "Arrhg! Lepaskan! Lepaskan!" "Bang, jangan sakiti perempuan itu." "Diaam kamu Rais!" Penggalan dialog-dialog itu terlintas di kepala Dhea membuat kepalanya sangat sakit. Tetapi tekadnya yang kuat membuatnya terus berlari Jangan sampai tertangkap oleh penculik itu. DOR!!! Suara tembakan itu terdengar jelas. "ABANG, JANGAN TINGGALKAN DHEA, BANG!" teriak Dhea berbalik memeluk suaminya dengan tubuh gemetar dan air mata yang menetes deras. "Abang, Abang ...." "Dhea, Abang tidak apa-apa." Bram merasakan betapa istrinya ini sangat ketakutan, wanita ini memeluk tubuhnya erat dan meraba punggungnya dengan gerakan acak dan gemetar. "Abang nggak apa-apa," bisik Bram memenangkan istrinya. "Terdengar suara tembakan, punggung Abang tertembak." "Tidak, punggung Abang tidak tertembak." "Aku melihatnya sendiri orang itu menembak punggung Abang! Abang, Abang
"Akh!" Bram memekik tertahan mana kala kakinya kesandung akar pohon membuatnya terjatuh, Dhea yang memegang tangannya otomatis juga ikut terjatuh. "Bang, Abang nggak apa-apa? ada yang terluka? sakit?" tanya wanita itu dengan kuatir. Ponsel yang dipegang Dhea dipakai sebagai senter terjatuh. wanita itu segera bangkit dan mengambil ponselnya dan mengarahkan senter pada suaminya yang tengah berusaha bangkit. "Nggak apa-apa. Hanya tersandung saja," lelaki itu berjalan meraba-raba. Dhea segera meraih tangan suaminya, lelaki itu hanya bisa mempercayai Dhea pada saat seperti ini. "Pegang tangan Dhea erat-erat, Bang. Dhea akan menjadi mata Abang. Jalan yang Dhea tempuh ini sedikit sulit karena masih semak belukar. Kalau kita melewati jalan setapak, para penjahat itu pasti bisa dengan mudah menyusul kita." "Iya, Dhea tidak perlu mengkuatirkan Abang. Sekarang ayo cepat kita jalan." Walaupun langkah mereka terseok-seok, tetapi mereka berusaha berjalan dengan cepat, untuk berlari tentu s
Dhea dan Bram makan malam di villa itu, Dhea tidak menyangka masakan hari ini dibuat oleh pemuda dua puluhan bernama Soleh ini. Dengan sayang Dhea menyuapi suaminya, hal ini mengingatkan mereka saat Bram pertama datang di kediaman Lia di rumah tepi pantai. Saat itu lelaki ini hanya bisa melamun dan tidak memiliki gairah hidup, akhirnya Kamelia lah yang terus membujuknya makan dan menyuapinya. "Sudah, Abang sudah kenyang," ujar Bram menolak suapan yang sudah berapa kalinya dari tangan Dhea. "Kalau Abang ke Jerman, Dhea tetap di jakarta, ya? menghandle semua bisnis di sini." "Bagimana bisa suami sedang berobat aku malah sibuk mengurusi bisnis." "Ini demi kebaikan kita, Sayang. Kita baru saja memimpin perusahaan, rasanya tidak bertanggung jawab kalau kita tinggalkan." "Bang, bagiku Abang lebih penting dari perusahaan ini. Bagaimana kalau aku resign saja, biar saja perusahaan ini dikelola oleh orang lain. Kita juga tidak kekurangan uang." "Nenek sudah berpesan agar kita yang m
"Adi__" Suara Bram tercekat, lelaki itu menyadari jika seseorang yang datang bukanlah Adi. Adi baru saja datang menyapanya sekitar lima menit yang lalu, karena dia banyak melamun tidak terlalu menanggapi. Lagipula setelah tiga hari ini dia kehilangan penglihatan, pendengaran dan penciumannya jauh lebih sensitif, setiap gerakan dan aroma seseorang akan dikenali dengan mudah. Orang yang berjalan ke arahnya dengan perlahan ini bukan Adi. Dhea yang melihat lelaki itu tampak bingung hanya bisa menahan napas dan perasaannya, tetapi tetap saja air mata lolos ke pipinya, pertahannya juga jebol, Isak tangisnya tidak bisa dia tahan lagi. Mendnegar isakan itu membuat Bram terkejut, mata lelaki itu melebar terbelalak. Otaknya memutar, memindai suara isakan kecil itu, tanpa berpikir lama dia sudah bisa mengenali suara itu. "Dhea ...," panggil lelaki itu lirih. Mendnegar panggilan itu, jebol sudah pertahan Dhea, wanita itu menangis histeris melihat keadaan suaminya seperti ini. Bram y
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak
Dhea datang membawa segelas jus mangga yang masih penuh, belum diminum sama sekali, rencananya setelah dia duduk baru dia akan menikmati jus tersebut. "Minuman ini belum kamu minum kan, Sayang?" tanya Bram. "Belum." "Ayo, kita pulang!" "Ha? kok cepat nian, aku belum makan, belum minum." Dhea terkejut mendengar ajakan suaminya yang tampak terburu-buru, melihat jus mangga yang baru saja dia bawa membuatnya sangat sayang jika tidak diminum. "Jangan meminum jus itu, kita beli di luar saja!" Tanpa menghiraukan tatapan protes istrinya, Bram langsung mengamit tangan istrinya dan beranjak untuk pergi dari lokasi pesta. Dia tidak lupa berpamitan pada semua orang, terutama direksi yang menjadi panitia penyelenggara. "Saya pamit dulu, putra saya sedang kurang sehat dan terpaksa kami tinggal. Istri saya juga harus menyusuinya." Semua orang mengangguk dengan maklum keputusan Bram yang pergi terlebih dahulu meninggalkan lokasi pesta, semntara mendengar alasan suaminya Dhea juga m