Gisela menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Tapi itu sia-sia, apalagi ketika Eben sudah berdiri di hadapannya, sorot matanya penuh kecurigaan. Dengan keras, pria itu menekan gelasnya ke meja, lalu mencengkram rahang Gisela hingga wanita itu meringis. "Katakan! Kau tidak memancing mereka datang ke sini, kan?" tuntut Eben dengan suara rendah namun mengancam. Sebelum Gisela sempat menjawab, ketukan pintu menginterupsi suasana tegang. Eben melepas cengkeramannya, memandang pintu dengan dahi berkerut. Siapa yang datang di tengah malam seperti ini? "Paket!" seru suara dari balik pintu. Eben menatap Gisela sekilas, mencurigainya lagi. "Apa kau yang memesan sesuatu?" tanyanya geram. Tanpa menunggu jawaban, ia membuka pintu, hanya untuk disergap oleh dua pria bertubuh besar yang langsung mencengkram lengannya. Eben meronta, tapi pegangan mereka terlalu kuat. Di belakang, Gisela muncul, wajahnya tetap tenang. "Jalang sialan! Kau pasti dalang dari semua ini!" teriak Eben, ta
Melihat Eben yang tergeletak tak bernapas, Javier tertegun. Jantungnya berdegup kencang, seolah detik-detik itu menjadi penentu nasibnya. Segera ia memerintahkan anak buahnya membawa Eben ke rumah sakit untuk memastikan apakah masih dapat di selamatkan atau tidak.Pertarungan tadi masih membayang dalam pikirannya. Javier bukan pembunuh, dan kemungkinan bahwa Eben tewas karena ulahnya membuat darahnya berdesir. Di perjalanan, keheningan mencekam menguasai kendaraan. Wajah Eben yang babak belur dan napasnya yang hampir tak ada menjadi pemandangan yang sulit diabaikan.Tiba di rumah sakit, para dokter segera membawa Eben ke ruang gawat darurat. Javier berdiri di luar ruangan, punggungnya bersandar ke dinding. Detak jantungnya terasa seperti bergema di seluruh koridor. Saat seorang dokter keluar dengan ekspresi serius, Javier menahan napas."Dia masih hidup, tapi kondisinya sangat kritis. Peluang bertahannya sangat kecil," kata dokter itu.Mendengar itu, Javier menghela napas berat, menco
Rasa penasaran Javier terhadap sosok Morgan semakin dalam. Tak ada jejak, tak ada nama, seolah pria itu adalah bayangan yang muncul sesaat hanya untuk mengusik pikirannya. Javier telah mengerahkan sumber daya untuk menyelidiki siapa pria itu, namun hasilnya nihil. Morgan tetap menjadi rahasia yang sulit dipecahkan.Di tengah lamunannya, suara lembut Freya membuyarkan pikirannya. "Kau masih memikirkan soal Eben?" tanyanya, menyandarkan tubuh di pintu ruang kerja Javier.Javier mendongak, sedikit terkejut mendapati Freya sudah berdiri di sana. "Kenapa kau belum tidur?"Freya mendekat tanpa ragu, lalu duduk di pangkuannya, merangkul lehernya dengan manja. "Aku tak bisa tidur," ujarnya sambil tersenyum kecil. "Aku pikir besok kita bisa mengunjungi ibumu. Sudah lama kita tidak melihat kondisinya langsung."Javier memeluk pinggang Freya erat, mencium aroma khas yang selalu menenangkan hatinya. "Kau benar. Besok kita akan menjenguknya," jawab Javier, suaranya terdengar lebih lembut.Freya me
Pamela menghela napas panjang setelah Javier akhirnya berhenti bertanya tentang Morgan. Namun, efek dari ketegangan itu masih terasa. Detak jantungnya sempat melonjak tak terkendali, sampai gelang kesehatannya berbunyi sebagai peringatan. Perawat pribadinya, yang selalu siaga, langsung mendekat untuk memastikan semuanya terkendali."Nyonya, tolong kendalikan emosi Anda. Sudah dua kali gelang kesehatan berbunyi dalam waktu berdekatan, itu bisa memperburuk kondisi Anda." ujar perawat itu dengan nada khawatir, sembari memeriksa tanda-tanda vital Pamela.Pamela mengangguk lemah, mencoba mengambil napas dalam dan menghembuskannya perlahan. "Siapa yang datang bersama Javier hari ini?" tanyanya, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya."Tuan datang bersama kekasihnya," jawab perawat tersebut.Mendengar itu, Pamela tampak terdiam sesaat, seolah ada sesuatu yang berkecamuk di pikirannya. "Bawa aku pada mereka," perintahnya akhirnya.Dengan cekatan, perawat mendorong kursi roda Pamela menu
Di meja makan, suasana terasa tenang dan damai. Beberapa menu makanan tersaji diatas meja, Dylan dan Felix juga hari ini tidak membuat banyak keributan. Mereka jauh lebih tenang dari biasanya, bahkan hari ini kedua anak itu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Pamela.Freya menoleh ke arah Javier, kembali teringat kalau ulang tahun Javier tinggal sebentar lagi. Sementara Freya tidak tau hadiah apa yang cocok untuk ia berikan pada pria ini, karena Javier sudah memiliki begitu banyak hal."Makanlah lebih banyak," ucap Pamela tiba-tiba, membuyarkan lamunan Freya.Freya mengangguk sambil menyuap makanannya. Keheningan kembali menyelimuti meja makan, sampai akhirnya Pamela berkata sesuatu yang membuat semua orang tertegun."Javier, bukankah ini sudah waktunya?"Uhuk! Javier langsung tersedak. Freya buru-buru menyerahkan segelas air untuknya. Setelah meneguknya, Javier menatap ibunya dengan bingung. "Waktunya apa, Bu?"Pamela mendengus pelan, seolah kesabaran adalah sesuatu yang perlu ia
Langit malam telah sepenuhnya berselimut gelap, dengan udara dingin musim semi yang menusuk lembut kulit. Freya berdiri di tepi kolam renang, tangannya mengeratkan cardigan yang membalut tubuhnya. Mata coklatnya memandang hening pada gelombang air kolam yang memantulkan cahaya temaram lampu di sekitarnya. Sesekali, ia menghela napas panjang, menikmati damainya malam ini."Apa yang kau lakukan disini sendirian?" Suara Javier yang dalam namun lembut memecah keheningan.Freya menoleh, menyambut kehadiran pria itu dengan senyum hangat. "Aku hanya ingin bersantai sejenak. Malam ini terasa begitu tenang." Jawabannya diiringi hembusan angin yang lembut, membuat rambut panjangnya tergerai indah.Javier mendekat, matanya menatap Freya dengan penuh kekaguman. Ada sesuatu dalam cara angin menerbangkan rambut Freya, atau bagaimana senyumnya tampak begitu tulus, yang membuat Javier tenggelam dalam perasaan bersalah. Wanita ini telah memberinya dua putra, tapi ia tidak ada di sisinya saat ia membut
Siang itu mobil telah melaju pergi dari kediaman Pamela, tapi masih ada yang membuat Freya tidak tenang. Sesuatu yang berusaha untuk Pamela sembunyikan dan juga rahasia besar yang mungkin Javier tidak ketahui.Sepanjang perjalanan, suasana hening begitu terasa. Di belakang, Dylan dan Felix sudah tidur. Tanpa sadar, Freya menghela nafas panjang setiap ingat wajah panik Pamela yang memperingatinya begitu tajam."Apa yang kamu pikirkan? Kau melupakan sesuatu di rumah ibu?" tanya Javier.Freya menggeleng, "Tidak ada, aku hanya terlalu senang karena ibumu menjadi begitu baik padaku." jawabnya.Javier tersenyum lembut, akhirnya setelah hampir dua jam perjalanan, mereka tiba di rumah pribadi Javier yang baru. Di sana, dengan lembut Javier membangunkan Dylan dan Fe
Javier menunggu di ruang tamu dengan sabar, tangannya memegang ponsel, tapi pikirannya melayang pada sosok yang tengah bersiap di dalam kamar. Suara hentakan sepatu heels di lantai kayu menarik perhatiannya. Javier mendongak, dan saat pintu kamar terbuka, dunia seolah melambat.Freya muncul dengan anggun, rambutnya tertata sempurna, membingkai wajah cantiknya yang dihiasi senyuman tipis. Gaun biru laut yang ia kenakan memeluk tubuh rampingnya dengan indah, memperlihatkan elegansi tanpa kehilangan kesan sederhana yang menjadi cirinya.Javier berdiri, matanya tak berpaling sedetik pun. "Kau terlihat luar biasa," katanya, suaranya rendah tapi penuh kekaguman.Ia mendekat, merangkul pinggang Freya dengan lembut. "Aku harus menahan diri untuk tidak menciummu sekarang," bisiknya dengan senyuman menggoda.
Suasana makan malam itu dipenuhi kehangatan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Lilin di atas meja makan memancarkan cahaya temaram, memantulkan kilau lembut di permukaan piring dan gelas kristal. Aroma masakan rumahan yang menggugah selera menyatu dengan tawa dan percakapan ringan yang mengalir begitu alami, menciptakan momen yang terasa seperti potongan kecil kebahagiaan.Freya duduk di bersebelahan dengan Javier, matanya menelusuri wajah-wajah yang dicintainya. Sesekali, pandangannya tertuju pada pasangan anak-anaknya yang duduk berdampingan, menikmati hidangan yang ia siapkan dengan sepenuh hati. Ada senyum kecil di sudut bibir Freya, senyum penuh kebanggaan dan rasa syukur yang sulit disembunyikan.Mereka berbicara dalam nada lembut, berbagi cerita tentang hari mereka, sementara suara denting garpu dan sendok sesekali terdengar, menambah harmoni pada suasana. Freya memperhatikan cara anak-anaknya saling bertukar pandang, tertawa pada lelucon sederhana, dan berbagi piring kecil
Kediaman rumah Javier hari ini seperti panggung pertunjukan yang dipenuhi dengan aktivitas yang tak pernah berhenti. Para pelayan berlarian ke sana kemari, menyiapkan meja, kursi, dan dekorasi untuk makan malam keluarga yang spesial malam ini. Suasana riuh rendah terdengar dari halaman belakang, di mana meja panjang sudah mulai diatur dengan taplakan putih bersih dan peralatan makan yang berkilauan. Bunga-bunga segar yang dipesan Freya tiba tepat waktu, menambah sentuhan keanggunan di tengah keramaian.Freya sendiri tampak bersemangat, tangannya tak pernah berhenti bergerak. Dari memeriksa bahan masakan hingga memastikan setiap detail dekorasi sempurna, ia ingin semuanya berjalan lancar untuk menyambut Eloise, anggota baru keluarga mereka."Jangan lupa hiasan bunga di tengah meja," pesannya pada salah satu pelayan sambil tersenyum. "Aku ingin semuanya terlihat istimewa."Rumah yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan energi yang menggebu-gebu. Meski anak-anaknya belum datang, Freya s
Hari itu cerah, dan sinar matahari menembus jendela apartemen Felix, memantulkan kilau halus di dasi sutra yang baru saja ia kenakan. Dengan gerakan cekatan, ia meraih kunci mobil dari meja, lalu melangkah keluar, meninggalkan aroma kopi pagi yang masih hangat di udara.Pukul sembilan tepat, mobil sport hitamnya meluncur mulus ke arah gedung agensi. Dunia kerja menyambutnya dengan hiruk-pikuk yang biasa, tapi hari ini terasa berbeda. Waktunya di agensi hanya sebentar karena jadwalnya padat, penuh dengan pertemuan penting bersama mitra-mitra bisnis.Namun, satu hal yang terus mengganggu pikirannya adalah ponsel di saku jasnya. Setiap getaran kecil membuat jantungnya berdetak lebih cepat, ia menunggu telepon dari Katie. Jawaban atas tawaran yang ia berikan semalam menjadi satu-satunya hal yang benar-benar ingin ia dengar hari ini."Ada kemajuan pesat sejak kau mengambil alih hotel. Aku senang melihat bagaimana kau mengelolanya dengan baik," ucap Javier, dengan suara yang penuh kebanggaa
Pintu tertutup rapat dengan dentuman keras setelah Felix mendorongnya dengan kasar. Ia berbalik, nafasnya memburu, dan langsung bertemu dengan tatapan Katie.Namun berbeda dari yang ia bayangkan, perempuan itu tampak santai, terlalu santai, seolah situasi ini bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan. Tak ada jejak ketakutan atau khawatir di wajahnya, hanya ekspresi datar yang sulit diterjemahkan."Aku sudah memberitahumu kalau aku hamil," kata Katie, suaranya ringan namun menusuk. "Dan kau juga pasti sudah tahu siapa ayah dari bayi ini."Felix mengepalkan tangannya."Aku hanya berpikir," lanjut Katie sambil memainkan melipat tangan di depan dada. "Janin ini masih sangat kecil. Jika aku mengeluarkannya sekarang, resikonya tidak terlalu besar."Felix merasa dadanya menghantam batu."Kau gila?!" serunya, langkahnya maju mendekat.Dengan frustasi, ia menyisir rambutnya ke belakang, mencoba mengendalikan emosinya. "Aku tidak akan mengizinkanmu menggugurkan bayi itu!"Katie mendesah pelan,
Pesta masih berlangsung meriah, meski tak diadakan di gedung mewah dengan lampu kristal berkilauan. Sebaliknya, halaman belakang kediaman baru Dylan dan Eloise yang luas menjadi saksi kebahagiaan malam itu. Suara tawa, denting gelas sampanye yang saling beradu, serta alunan musik yang mengiringi tarian para tamu menciptakan suasana hangat dan intim.Namun, seiring waktu berlalu dan malam semakin larut, satu per satu tamu mulai berpamitan. Udara yang tadinya penuh dengan euforia perlahan berubah menjadi kehangatan yang lebih tenang."Selamat sekali lagi untuk pernikahan kalian," ujar Freya, merangkul Eloise dengan penuh kasih sayang. "Selamat bergabung di keluarga kami, Eoise." tambahnya dengan senyum tulus.Eloise membalas senyum itu dengan mata berbinar. Kebahagiaan yang ia rasakan malam ini begitu sempurna. Tak lama kemudian, Javier mendekat, menyampaikan ucapan serupa dengan sedikit canggung, namun tetap tulus.Di tengah percakapan, Daniel dan Avery ikut bergabung. Daniel menatap Ja
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pesta pernikahan Dylan dan Eloise diselenggarakan dengan megah di halaman luas sebuah rumah di New Jersey, rumah yang akan mereka tempati setelah resmi menjadi suami istri.Para tamu mulai berdatangan, memenuhi tempat pernikahan dengan senyum bahagia. Di tengah hiruk-pikuk itu, Dylan berdiri dengan perasaan campur aduk antara gugup dan bahagia. Dylan sudah merasa berdebar debar karena hari ini ia akan memiliki Eloise sepenuhnya. Wanita itu akan menjadi istrinya, ini adalah pilihan yang tepat setelah tiga tahun menjalin hubungan dengan Eloise."Ini cukup mendebarkan," gumam Dylan.Felix yang mendengar itu menoleh, kemudian menepuk pundak saudara kembarnya dengan santai. "Kau bahkan setiap hari bertemu dengan Eloise." katanya.Dylan berdecak, "Kau ini, saat dirimu menikah nanti, aku yakin kau pasti akan merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang." Felix terkekeh, namun tatapan Dylan tiba-tiba beralih ke seorang perempuan berbaju cokelat y
Hari pernikahan Dylan dan Eloise hanya tinggal menghitung waktu. Keluarga Javier begitu menantikan hari bahagia ini, merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka.Semua persiapan telah rampung. Gaun pengantin sudah siap, dekorasi telah disempurnakan, dan undangan telah tersebar. Dalam dua hari, Dylan dan Eloise akan mengucapkan janji suci mereka.Di sisi lain kota, Avery tengah sibuk di dalam butik milik Daniel. Pria itu dengan ketelitian seorang seniman, membantu Avery memilih dan menyesuaikan gaun terbaik untuk dikenakannya di hari pernikahan Dylan nanti.Avery menatap bayangannya di cermin besar yang memantulkan dirinya dalam gaun elegan yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Senyum puas terukir di bibirnya."Kau sangat berbakat," ujarnya, mengagumi hasil karya Daniel. "Gaunku jadi terlihat luar biasa."Daniel tersenyum tipis. "Aku hanya memastikan kau akan terlihat paling memukau setelah pengantin perempuan nanti."Avery tertawa kecil, kemudian menoleh pada Daniel denga
Pesta masih berlangsung meriah, lantunan musik memenuhi ruangan, dan para tamu menikmati malam dengan penuh semangat. Avery dan Daniel turut larut dalam suasana, melangkah mengikuti irama dalam tarian perdana mereka. Mata mereka saling bertaut, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Namun, kehangatan itu perlahan bergeser saat acara utama tiba, yaitu pengumuman King dan Queen malam ini.Seorang pembawa acara naik ke panggung, memegang mikrofon dengan percaya diri. "Hadirin sekalian, saat yang kita tunggu-tunggu akhirnya tiba!" suaranya menggema, membuat semua mata tertuju padanya.Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang hampir terasa di udara, sebelum akhirnya satu nama disebut dengan lantang."Dan pemenang King tahun ini adalah… Gabriel!"Sorak-sorai memenuhi ruangan. Beberapa orang bertepuk tangan, sementara yang lain bersiul riang. Gabriel melangkah ke panggung dengan senyum percaya diri, menerima mahkota yang diberikan kepadanya.Tak lama, nama sang Queen pun diumumkan."Dan
Beberapa waktu telah berlalu, dan pagi ini Avery tampak lebih sibuk dari biasanya. Ia berjalan cepat menuju pintu, memeriksa kembali tasnya, memastikan semua peralatan ujian sudah lengkap. Hari ini adalah hari yang menentukan, ujian masuk Universitas New York. Semua persiapan telah ia lakukan jauh-jauh hari, namun tetap saja, perasaan gugup tak bisa ia hindari.Saat membuka pintu, ia mendapati Daniel sudah menunggu di dalam mobilnya, bersandar santai dengan satu tangan di kemudi. Begitu melihat Avery, pria itu langsung tersenyum tipis."Kau sudah siap?" tanyanya begitu Avery masuk ke dalam mobil.Avery mengangguk, meskipun kedua tangannya mencengkeram erat tali tasnya. "Sedikit gugup," jawabnya.Daniel tertawa kecil, lalu mulai menjalankan mobilnya. "Itu hal yang wajar. Tapi aku yakin kau akan melakukannya dengan baik."Selama perjalanan, Avery mencoba mengatur nafasnya, sementara Daniel terus berusaha membuatnya rileks dengan beberapa obrolan ringan. Namun, saat mereka tiba di depan