"Bagaimana ini bisa terjadi?" Javier bertanya panik. Ia segera mengangkat Dylan yang meringkuk di ujung tangga, tubuh kecilnya bergetar menahan tangis. Wajahnya tampak kesakitan, dan di kening kanannya, darah mengalir pelan dari luka kecil.Tanpa berpikir dua kali, Javier membawanya ke sofa. Freya, yang tampak sama cemasnya, segera berlari ke dapur untuk mengambil kotak obat. Ketika ia kembali, ia berlutut di depan Dylan, menarik tangan kecil putranya dengan lembut.“Kakiku terpeleset waktu turun tangga, Bu,” Dylan menjelaskan dengan suara gemetar. Air matanya menggenang, tetapi ia berusaha keras untuk tidak menangis.Freya mengusap pipinya pelan. “Tidak apa-apa, Nak. Ibu akan merawat lukamu. Tapi lain kali hati-hati, ya,” ucapnya lembut sambil membersihkan luka di kening Dylan dengan kapas yang dibasahi antiseptik.Javier mengalihkan pandangannya ke Felix, yang berdiri di samping dengan kepala tertunduk. “Felix, beritahu ayah. Seberapa tinggi Dylan terjatuh tadi?”Felix mengangkat waj
Wajah Eben yang penuh luka memar tampak tegang saat ia sibuk mengobatinya. Di depannya, Morgan, pria bertubuh besar dengan wajah tegas yang menyeramkan, duduk santai sambil menghisap rokoknya, mengamati Eben dengan tatapan dingin.“Kau terlalu lemah untuk menghadapi Javier Bennett,” ucap Morgan, suaranya berat dan penuh sindiran.Eben meliriknya tajam, tapi tak membalas. Ia terus fokus mengobati lukanya, seolah tak ingin terlihat semakin kalah di depan pria itu. Morgan mematikan ujung rokoknya di asbak, kemudian bersandar santai dengan tangan terentang di atas sofa.“Kalau kau terus melawannya dengan cara setengah hati seperti ini, bukan Javier yang akan celaka. Kau yang akan menyerahkan nyawamu padanya tanpa perlawanan,” lanjut Morgan.Eben menghela napas panjang, menahan amarah. “Kalau begitu, kenapa kau tidak menyuruh anak buahmu untuk membantuku menangkapnya? Aku tidak ingin dia mati dengan mudah, Paman. Aku ingin dia merasakan penderitaan yang panjang sebelum ajalnya tiba,” ucapn
Gisela menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Tapi itu sia-sia, apalagi ketika Eben sudah berdiri di hadapannya, sorot matanya penuh kecurigaan. Dengan keras, pria itu menekan gelasnya ke meja, lalu mencengkram rahang Gisela hingga wanita itu meringis. "Katakan! Kau tidak memancing mereka datang ke sini, kan?" tuntut Eben dengan suara rendah namun mengancam. Sebelum Gisela sempat menjawab, ketukan pintu menginterupsi suasana tegang. Eben melepas cengkeramannya, memandang pintu dengan dahi berkerut. Siapa yang datang di tengah malam seperti ini? "Paket!" seru suara dari balik pintu. Eben menatap Gisela sekilas, mencurigainya lagi. "Apa kau yang memesan sesuatu?" tanyanya geram. Tanpa menunggu jawaban, ia membuka pintu, hanya untuk disergap oleh dua pria bertubuh besar yang langsung mencengkram lengannya. Eben meronta, tapi pegangan mereka terlalu kuat. Di belakang, Gisela muncul, wajahnya tetap tenang. "Jalang sialan! Kau pasti dalang dari semua ini!" teriak Eben, ta
Melihat Eben yang tergeletak tak bernapas, Javier tertegun. Jantungnya berdegup kencang, seolah detik-detik itu menjadi penentu nasibnya. Segera ia memerintahkan anak buahnya membawa Eben ke rumah sakit untuk memastikan apakah masih dapat di selamatkan atau tidak.Pertarungan tadi masih membayang dalam pikirannya. Javier bukan pembunuh, dan kemungkinan bahwa Eben tewas karena ulahnya membuat darahnya berdesir. Di perjalanan, keheningan mencekam menguasai kendaraan. Wajah Eben yang babak belur dan napasnya yang hampir tak ada menjadi pemandangan yang sulit diabaikan.Tiba di rumah sakit, para dokter segera membawa Eben ke ruang gawat darurat. Javier berdiri di luar ruangan, punggungnya bersandar ke dinding. Detak jantungnya terasa seperti bergema di seluruh koridor. Saat seorang dokter keluar dengan ekspresi serius, Javier menahan napas."Dia masih hidup, tapi kondisinya sangat kritis. Peluang bertahannya sangat kecil," kata dokter itu.Mendengar itu, Javier menghela napas berat, menco
Rasa penasaran Javier terhadap sosok Morgan semakin dalam. Tak ada jejak, tak ada nama, seolah pria itu adalah bayangan yang muncul sesaat hanya untuk mengusik pikirannya. Javier telah mengerahkan sumber daya untuk menyelidiki siapa pria itu, namun hasilnya nihil. Morgan tetap menjadi rahasia yang sulit dipecahkan.Di tengah lamunannya, suara lembut Freya membuyarkan pikirannya. "Kau masih memikirkan soal Eben?" tanyanya, menyandarkan tubuh di pintu ruang kerja Javier.Javier mendongak, sedikit terkejut mendapati Freya sudah berdiri di sana. "Kenapa kau belum tidur?"Freya mendekat tanpa ragu, lalu duduk di pangkuannya, merangkul lehernya dengan manja. "Aku tak bisa tidur," ujarnya sambil tersenyum kecil. "Aku pikir besok kita bisa mengunjungi ibumu. Sudah lama kita tidak melihat kondisinya langsung."Javier memeluk pinggang Freya erat, mencium aroma khas yang selalu menenangkan hatinya. "Kau benar. Besok kita akan menjenguknya," jawab Javier, suaranya terdengar lebih lembut.Freya me
Pamela menghela napas panjang setelah Javier akhirnya berhenti bertanya tentang Morgan. Namun, efek dari ketegangan itu masih terasa. Detak jantungnya sempat melonjak tak terkendali, sampai gelang kesehatannya berbunyi sebagai peringatan. Perawat pribadinya, yang selalu siaga, langsung mendekat untuk memastikan semuanya terkendali."Nyonya, tolong kendalikan emosi Anda. Sudah dua kali gelang kesehatan berbunyi dalam waktu berdekatan, itu bisa memperburuk kondisi Anda." ujar perawat itu dengan nada khawatir, sembari memeriksa tanda-tanda vital Pamela.Pamela mengangguk lemah, mencoba mengambil napas dalam dan menghembuskannya perlahan. "Siapa yang datang bersama Javier hari ini?" tanyanya, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya."Tuan datang bersama kekasihnya," jawab perawat tersebut.Mendengar itu, Pamela tampak terdiam sesaat, seolah ada sesuatu yang berkecamuk di pikirannya. "Bawa aku pada mereka," perintahnya akhirnya.Dengan cekatan, perawat mendorong kursi roda Pamela menu
Di meja makan, suasana terasa tenang dan damai. Beberapa menu makanan tersaji diatas meja, Dylan dan Felix juga hari ini tidak membuat banyak keributan. Mereka jauh lebih tenang dari biasanya, bahkan hari ini kedua anak itu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Pamela.Freya menoleh ke arah Javier, kembali teringat kalau ulang tahun Javier tinggal sebentar lagi. Sementara Freya tidak tau hadiah apa yang cocok untuk ia berikan pada pria ini, karena Javier sudah memiliki begitu banyak hal."Makanlah lebih banyak," ucap Pamela tiba-tiba, membuyarkan lamunan Freya.Freya mengangguk sambil menyuap makanannya. Keheningan kembali menyelimuti meja makan, sampai akhirnya Pamela berkata sesuatu yang membuat semua orang tertegun."Javier, bukankah ini sudah waktunya?"Uhuk! Javier langsung tersedak. Freya buru-buru menyerahkan segelas air untuknya. Setelah meneguknya, Javier menatap ibunya dengan bingung. "Waktunya apa, Bu?"Pamela mendengus pelan, seolah kesabaran adalah sesuatu yang perlu ia
Langit malam telah sepenuhnya berselimut gelap, dengan udara dingin musim semi yang menusuk lembut kulit. Freya berdiri di tepi kolam renang, tangannya mengeratkan cardigan yang membalut tubuhnya. Mata coklatnya memandang hening pada gelombang air kolam yang memantulkan cahaya temaram lampu di sekitarnya. Sesekali, ia menghela napas panjang, menikmati damainya malam ini."Apa yang kau lakukan disini sendirian?" Suara Javier yang dalam namun lembut memecah keheningan.Freya menoleh, menyambut kehadiran pria itu dengan senyum hangat. "Aku hanya ingin bersantai sejenak. Malam ini terasa begitu tenang." Jawabannya diiringi hembusan angin yang lembut, membuat rambut panjangnya tergerai indah.Javier mendekat, matanya menatap Freya dengan penuh kekaguman. Ada sesuatu dalam cara angin menerbangkan rambut Freya, atau bagaimana senyumnya tampak begitu tulus, yang membuat Javier tenggelam dalam perasaan bersalah. Wanita ini telah memberinya dua putra, tapi ia tidak ada di sisinya saat ia membut
Felix menatap ke arah Katie yang tertidur pulas setelah apa yang mereka lakukan beberapa saat lalu, pakaian yang berserakan kembali Felix ambil dan ia pakai kembali. Di luar, langit sudah mulai terang dan ia harus kembali ke penginapan karena pukul delapan nanti, ia dan keluarganya akan menuju bandara.Sebelum ia benar-benar pergi, sekali lagi Felix melihat ke arah Katie. Perempuan itu sudah memberinya sebuah pengalaman yang tampaknya akan sulit untuk Felix lupakan, tapi cukup kali ini saja karena setelahnya ia dan Katie kemungkinan tidak akan bertemu lagi.Sekilas Felix menghembuskan nafas dan keluar dari rumah itu, langkahnya berjalan santai hingga tiba di bibir pantai. Dari kejauhan terlihat Dylan dan Eloise bermain air di pinggiran, sebenarnya melihat keromantisan mereka membuatnya sedikit iri, apalagi semalam, Felix melihat Dylan melamar Eloise."Semoga kalian lebih bahagia setelah hari pernikahan itu dilakukan," batinnya, ia menyunggingkan senyum tipis kemudian menuju ke pengina
Suasana rumah tampak hening, sementara Felix dengan santai bersandar mengatur nafasnya setelah apa yang dia dan Katie lakukan. Sementara Katie, perempuan itu mengenakan kembali pakaian berwarna maroon miliknya sebelum menatap ke arah Felix."Apa yang membawamu kemari? Aku pikir kau tidak akan datang karena suatu hal, cukup mengejutkan karena kedatanganmu di luar prediksiku." ucap Katie sambil menatap Felix yang kini meliriknya.Tapi Felix tak langsung menjawab, pria itu menghembuskan nafas panjang dan menyentuh keningnya. Ia tak mengerti ada apa dengannya, ia tadi hanya melihat kalau Dylan melamar Eloise yang artinya mereka akan menikah.Sialnya hal itu membuat emosi aneh dalam dirinya bangkit, ia butuh sebuah kesenangan dan orang yang bisa membantunya mendapatkan hal itu adalah Katie. Toh, besok Felix dan keluarganya juga akan meninggalkan tempat tersebut."Anggap saja sebagai salam perpisahan," ujar Felix dengan nada acuh tak acuh.Katie menyeringai, ia berdiri dan berjalan menuju se
Liburan keluarga Bennett tinggal satu hari lagi, mereka kembali ke penginapan sebelumnya dan sebelum meninggalkan pulau, Avery sempat melihat ke arah Daniel yang berdiri cukup jauh dari dermaga.Pria itu berdiri tegap, tangan dimasukkan ke dalam saku celana, tatapannya sulit dibaca. Ada sesuatu tentang Daniel yang terus membuat Avery berpikir, seolah pria itu memancarkan aura yang tak terjangkau. Namun, perlu diakui, Daniel adalah tipe pria yang ia dambakan. Hanya saja, entah mengapa, ada jarak tak terlihat yang membuat Avery yakin bahwa pria itu tidak menyukainya.Avery memalingkan wajah, mengusir pikiran itu. Dengan langkah mantap, ia naik ke atas yacht bersama kedua saudaranya. Mesin kapal mulai bergetar halus, memecah permukaan air yang tenang saat mereka meninggalkan dermaga.“Nona Katie, apa kau setiap hari menyediakan jasa penyewaan antar-jemput menggunakan yacht?” tanya Dylan, memecah keheningan yang sempat terasa di kapal.Katie, yang duduk dibalik kemudi, menoleh sambil ters
Malam semakin larut, suara deburan ombak sesekali terdengar tak jauh dari posisi mereka. Di bawah pohon yang rindang dan nyaris gelap tanpa cahaya, Katie masih terikat dalam keadaan tergantung, namun kakinya masih menapak di pasir.Erangannya sesekali tak dapat ditahan, kehangatan lidah dari seorang pria yang menjelajahi tubuhnya membuat ia meremang. Setengah pakaiannya sudah terbuka, sementara bibir seorang pria menyesap dadanya bergantian. Gelenyar aneh menguasai tubuhnya, membuat pikirannya kacau hingga tak dapat berpikir secara rasional.Sesekali tubuhnya tersentak saat Felix memukulnya, alih-laih kesakitan, semua itu justru terasa menyenangkan. Di sisa kesadaran yang masih ada, Katie perlu menjaga suaranya untuk tidak memekik terlalu keras karena penghuni penginapan lain bisa saja mendengar hal itu."Felix, apa hanya itu yang bisa kau lakukan, ukh!" Katie langsung bungkam, satu tangan Felix mencengkramnya, kali ini lebih kuat.Tidak ada kalimat dari pria itu, hanya sentuhan-sentu
Suasana menjadi terasa ganjil bagi Eloise. Setelah menyadari pria di depannya adalah Dylan, bukan Felix seperti yang ia duga sebelumnya, pikirannya dipenuhi kebingungan dan kesal. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apakah kedua pria ini telah bersekongkol untuk mengujinya? Betapa menyebalkannya situasi seperti ini, seolah-olah ia sedang dipermainkan.“Tunggu,” Eloise menyipitkan matanya, menatap Dylan dengan curiga. “Bukankah kau tadi masih tidur saat aku keluar dari kamar? Bagaimana mungkin secepat ini kau sudah ada di luar?”Dylan tersenyum samar, sorot matanya lembut namun penuh arti. “Aku dan Felix sudah bertukar posisi sejak makan malam tadi,” ujarnya tenang. “Dan lihat, kau sama sekali tidak bisa membedakan aku dengan Felix. Tapi sekarang aku merasa jauh lebih lega. Kau tetap setia padaku meskipun kami memiliki wajah yang sama. Itu cukup membuktikan segalanya.”Eloise tercengang mendengar pengakuan itu. Rasa marah dan kesal sempat berkecamuk dalam dirinya, tapi sebelum ia sempa
Dua hari sebelumnya...Setelah mereka tiba di tempat liburan, Felix memilih lebih banyak diam untuk berperang dengan pikirannya sendiri. Ia adalah orang yang cukup keras pada pilihannya, tapi untuk keinginan yang selalu mengganggu pikirannya terhadap mendekati Eloise, itu selalu ia tahan.Terkadang, sisi egoisnya menyuruh Felix untuk melakukan tindakan yang jahat. Tapi tidak, sekali lagi tidak. Dylan tumbuh dan besar bersamanya, seorang wanita tak boleh merusak hubungan yang sudah mereka jalin sejak kecil. Kesalahan sepele saja bisa membuat benteng yang besar bisa rusak, dan Felix tak mau melakukan kesalahan itu. Sekitar pukul tiga sore, Felix mengirim pesan pada Dylan untuk menemuinya.“Hai, Dude. Ada apa?” Dylan bertanya santai, meski nada suaranya mengandung sedikit kekhawatiran.Felix menoleh perlahan, menatap saudara kembarnya dengan ekspresi serius. “Ada hal yang harus aku katakan padamu,” katanya, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.Dylan mengerutkan kening, tapi men
Tatapan dingin Felix berubah menjadi sesuatu yang lebih mengancam, seolah dia tahu bagaimana caranya membuat Eloise merasa terkunci di tempat itu. Eloise merasa tubuhnya menegang, udara di sekitarnya terasa berat. Setiap langkah mundur yang ia ambil, Felix maju setengah langkah lebih dekat, membuatnya semakin sulit menjaga jarak.“Aku ingin memberitahumu sesuatu,” suara Felix rendah, namun ada nada licik di dalamnya. “Sejak malam itu, kau sudah mengubah caraku melihat dirimu.”Eloise menggeleng pelan, hatinya penuh penyesalan atas kesalahan fatal yang terjadi malam itu. Sebuah malam yang terjadi di bawah pengaruh alkohol, ketika pikirannya kabur dan ia keliru mengira Felix adalah Dylan, kekasihnya. Itu adalah malam yang tak ingin ia kenang, apalagi dibahas oleh pria yang berdiri di depannya sekarang.“Kau tahu aku kekasih Dylan. Mengapa kau terus bersikeras melakukan ini?” tanyanya dengan nada bergetar, sebuah perpaduan antara takut dan marah.Felix menyeringai lebar, tatapan matanya
Freya menunggu di depan penginapan dengan raut wajah setengah cemas. Begitu melihat Avery muncul di kejauhan, Freya segera melangkah mendekat."Kau dari mana?" tanyanya, nadanya terdengar tajam namun penuh perhatian.Avery hanya melirik sekilas, menghela nafas panjang seperti menahan beban yang tak ingin ia ceritakan. "Bu, pulau ini tidak terlalu luas. Memangnya aku bisa pergi kemana?" jawabnya, nada suaranya datar dan tak bersemangat. Tanpa menunggu tanggapan, Avery melanjutkan langkahnya menuju kamarnya, meninggalkan Freya yang berdiri terpaku.Freya menggeleng pelan, rasa penasaran tergambar jelas di wajahnya. Namun, ia memilih untuk tidak memaksa putrinya bercerita. Sebaliknya, matanya beralih ke meja sarapan di luar penginapan, di mana Eloise duduk dengan tenang menikmati pagi. Eloise tampak anggun, sementara Dylan terlihat baru datang dari olahraga paginya. Melihat pemandangan itu, senyum kecil menghiasi wajah Freya. Ia memutuskan untuk mendekat."Kau menikmati liburanmu, Eloise
Matahari mulai menyapa dengan sinar keemasannya, menembus tirai kamar yang setengah terbuka. Katie membuka matanya perlahan, tubuhnya masih terasa hangat dari malam yang penuh gairah. Namun, ketika ia melirik ke samping, yang ia temui hanyalah tempat tidur kosong dan pakaian yang berantakan di lantai.Sebuah senyum kecil terukir di wajah Katie. Ia duduk sambil menarik selimut, membayangkan kembali malam yang penuh intensitas."Pria itu semakin menarik," gumamnya pada dirinya sendiri, nada suaranya mengandung kepuasan atas ingatan menyenangkan bersama Felix tadi malam.Di sisi lain, Felix berjalan kembali ke penginapannya dengan langkah yang cepat. Udara pagi yang segar tidak mampu meredam pikirannya yang penuh dengan kejadian semalam. Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara tiba-tiba menyapa dari belakang."Hei, Dude. Kau membuatku kaget. Kenapa sepagi ini kau buru-buru sekali?" tanya Dylan, muncul entah dari mana.Felix sedikit tersentak, tapi ia cepat menguasai diri. "Aku? Bu