Eben berlari sekuat tenaga, derap langkahnya memecah keheningan malam. Napasnya memburu, tapi dia tak punya waktu untuk berhenti. Dia tahu di belakangnya, tiga bayangan hitam melesat mengejarnya, kaki-kaki mereka menghentak tanah dengan kecepatan yang seakan tak pernah surut.Mereka terus mengejar. Eben mengenal tipe mereka, dingin, terlatih, dan tanpa ampun yang dikendalikan oleh Javier.Javier tidak akan berhenti sebelum menangkapnya, tapi Eben tidak akan menyerah begitu saja.Dengan cepat, dia merogoh ponselnya. Jari-jarinya bergerak cepat, meski tubuhnya terus melaju. "Paman, kirim anak buahmu ke lokasiku. Sekarang!" Hanya itu yang dia ucapkan sebelum kembali fokus pada jalan di depannya.Namun, nasib seakan tidak berpihak pada Eben malam itu. Sebuah pukulan keras dari samping menghantam tubuhnya, membuatnya terpelanting ke tanah dengan keras. Dadanya sesak, nafasnya tersengal-sengal, tapi dia tidak punya waktu untuk mengasihani diri. Dengan sisa tenaga, dia bangkit dan menatap pri
Javier masih beruntung, tembakan yang melukainya tidak sampai membuatnya mati, atau memang pria yang menembaknya semalam sengaja tidak membunuhnya. Entahlah, namun yang jelas Javier penasaran, pria itu seolah seperti mengenalinya jika mendengar dari kalimat yang dia ucapkan.Ia menoleh, asisten pribadinya berdiri tak jauh di sebelahnya setelah luka tembakan Javier diobati. "Kau sudah menjemput anak-anak?" tanyanya.Dengan patuh, asisten pribadinya itu mengangguk. "Sesuai yang Anda katakan, Tuan."Javier bangkit, mengenakan baju yang asistennya berikan. Tanpa sepatah kata, ia pun pulang dan tiba di rumah pada pukul dua belas malam. Rumah dalam kondisi hening, ia pun duduk di ruang tengah dan berbaring di sofa."Sial, aku gagal menangkapnya yang sudah ada di depan mataku." ujarnya lirih.Tubuhnya mulai lelah, matanya pun terpejam sehingga membuat javier ketiduran di sofa ruang tengah rumahnya. Beberapa saat ketika ia tengah tidur, Javier merasa sebuah sentuhan di permukaan dadanya.Awal
Javier mengikat Gisela ke sebuah kursi di salah satu ruang kosong yang ada di rumahnya, Javier perlu memastikan apakah perempuan ini berkaitan dengan Eben atau tidak. Namun, instingnya seolah memberitahunya kalau wanita ini bekerja sama dengan Eben.Saat ini, satu-satunya orang yang sangat terobsesi untuk mencelakainya adalah Eben. Dan beberapa saat lalu, wanita yang mirip dengan Freya ini nyaris menusuknya dengan sebilah pisau."Javier, lepaskan aku! Kenapa kau tega mengikatku seperti ini?!"Pria itu tak mendengarkan seruannya, justru Javier semakin erat melilitkan ikatan di tangan dan kaki Gisela dan memastikan wanita itu tidak bisa kabur."Aku akan melepaskanmu kalau kau memberitahuku dimana Eben tinggal dan siapa yang membantunya selama ini." Gisela memberontak, masih belum mau mengakui kalau dia adalah orang suruhan Eben. "Percuma kamu bertanya seperti itu, aku ini Freya. Kenapa kau melakukan ini padaku, untuk apa aku bekerja sama dengan Eben saat dia sendiri nyaris mencelakai ny
Langit masih gelap, namun suasana kamar terasa hangat. Freya berbaring di dada Javier, merasakan detak jantung pria itu yang perlahan kembali teratur setelah momen intens yang baru saja mereka lewati. Tangan Javier membelai lembut bahu Freya, gerakan kecil yang memberikan kenyamanan di tengah keheningan."Apa yang kau lakukan pada wanita itu?" tanya Freya tiba-tiba, memecah sunyi.Javier menghela napas panjang sebelum menjawab. "Dia masih di rumah. Aku mengikatnya, memastikan dia tidak akan kabur sebelum aku mendapatkan jawaban siapa dia sebenarnya."Freya menutup mata sejenak, membiarkan pikirannya mencerna jawaban itu. Saat suasana hening kembali menyelimuti, tatapannya teralihkan pada luka di bahu Javier yang terbalut perban. Dengan lembut, ia menyentuhnya."Bagaimana kau bisa terluka seperti ini?" tanyanya, nada suaranya memancarkan kekhawatiran.Javier menunduk, menatapnya dengan intens di bawah redupnya cahaya kamar. "Aku mengejar Eben tadi malam," jelasnya. "Sedikit lagi aku bi
"Bagaimana ini bisa terjadi?" Javier bertanya panik. Ia segera mengangkat Dylan yang meringkuk di ujung tangga, tubuh kecilnya bergetar menahan tangis. Wajahnya tampak kesakitan, dan di kening kanannya, darah mengalir pelan dari luka kecil.Tanpa berpikir dua kali, Javier membawanya ke sofa. Freya, yang tampak sama cemasnya, segera berlari ke dapur untuk mengambil kotak obat. Ketika ia kembali, ia berlutut di depan Dylan, menarik tangan kecil putranya dengan lembut.“Kakiku terpeleset waktu turun tangga, Bu,” Dylan menjelaskan dengan suara gemetar. Air matanya menggenang, tetapi ia berusaha keras untuk tidak menangis.Freya mengusap pipinya pelan. “Tidak apa-apa, Nak. Ibu akan merawat lukamu. Tapi lain kali hati-hati, ya,” ucapnya lembut sambil membersihkan luka di kening Dylan dengan kapas yang dibasahi antiseptik.Javier mengalihkan pandangannya ke Felix, yang berdiri di samping dengan kepala tertunduk. “Felix, beritahu ayah. Seberapa tinggi Dylan terjatuh tadi?”Felix mengangkat waj
Wajah Eben yang penuh luka memar tampak tegang saat ia sibuk mengobatinya. Di depannya, Morgan, pria bertubuh besar dengan wajah tegas yang menyeramkan, duduk santai sambil menghisap rokoknya, mengamati Eben dengan tatapan dingin.“Kau terlalu lemah untuk menghadapi Javier Bennett,” ucap Morgan, suaranya berat dan penuh sindiran.Eben meliriknya tajam, tapi tak membalas. Ia terus fokus mengobati lukanya, seolah tak ingin terlihat semakin kalah di depan pria itu. Morgan mematikan ujung rokoknya di asbak, kemudian bersandar santai dengan tangan terentang di atas sofa.“Kalau kau terus melawannya dengan cara setengah hati seperti ini, bukan Javier yang akan celaka. Kau yang akan menyerahkan nyawamu padanya tanpa perlawanan,” lanjut Morgan.Eben menghela napas panjang, menahan amarah. “Kalau begitu, kenapa kau tidak menyuruh anak buahmu untuk membantuku menangkapnya? Aku tidak ingin dia mati dengan mudah, Paman. Aku ingin dia merasakan penderitaan yang panjang sebelum ajalnya tiba,” ucapn
Gisela menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Tapi itu sia-sia, apalagi ketika Eben sudah berdiri di hadapannya, sorot matanya penuh kecurigaan. Dengan keras, pria itu menekan gelasnya ke meja, lalu mencengkram rahang Gisela hingga wanita itu meringis. "Katakan! Kau tidak memancing mereka datang ke sini, kan?" tuntut Eben dengan suara rendah namun mengancam. Sebelum Gisela sempat menjawab, ketukan pintu menginterupsi suasana tegang. Eben melepas cengkeramannya, memandang pintu dengan dahi berkerut. Siapa yang datang di tengah malam seperti ini? "Paket!" seru suara dari balik pintu. Eben menatap Gisela sekilas, mencurigainya lagi. "Apa kau yang memesan sesuatu?" tanyanya geram. Tanpa menunggu jawaban, ia membuka pintu, hanya untuk disergap oleh dua pria bertubuh besar yang langsung mencengkram lengannya. Eben meronta, tapi pegangan mereka terlalu kuat. Di belakang, Gisela muncul, wajahnya tetap tenang. "Jalang sialan! Kau pasti dalang dari semua ini!" teriak Eben, ta
Melihat Eben yang tergeletak tak bernapas, Javier tertegun. Jantungnya berdegup kencang, seolah detik-detik itu menjadi penentu nasibnya. Segera ia memerintahkan anak buahnya membawa Eben ke rumah sakit untuk memastikan apakah masih dapat di selamatkan atau tidak.Pertarungan tadi masih membayang dalam pikirannya. Javier bukan pembunuh, dan kemungkinan bahwa Eben tewas karena ulahnya membuat darahnya berdesir. Di perjalanan, keheningan mencekam menguasai kendaraan. Wajah Eben yang babak belur dan napasnya yang hampir tak ada menjadi pemandangan yang sulit diabaikan.Tiba di rumah sakit, para dokter segera membawa Eben ke ruang gawat darurat. Javier berdiri di luar ruangan, punggungnya bersandar ke dinding. Detak jantungnya terasa seperti bergema di seluruh koridor. Saat seorang dokter keluar dengan ekspresi serius, Javier menahan napas."Dia masih hidup, tapi kondisinya sangat kritis. Peluang bertahannya sangat kecil," kata dokter itu.Mendengar itu, Javier menghela napas berat, menco
Pesta pernikahan itu berlangsung singkat, tetapi meninggalkan jejak kenangan manis yang mendalam. Semuanya terasa seperti mimpi yang indah, mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan setelah perjalanan panjang yang telah mereka lalui bersama.Kini, Freya dan Javier resmi menjadi suami istri, sebuah status yang melambangkan cinta mereka yang akhirnya menemukan tempatnya.Beberapa hari telah berlalu sejak hari pernikahan. Pagi itu, Freya melangkah keluar dari kamar menuju ruang tamu dengan langkah ringan. Namun, pandangannya segera terpaku pada sesuatu yang baru di dinding. Sebuah foto pernikahan mereka, berukuran besar dan menonjol, tergantung megah di tengah ruangan. Cahaya pagi yang lembut menyinari bingkai foto itu, mempertegas keindahan momen yang diabadikan di sana.Freya terkejut sekaligus terpesona. Foto itu begitu besar, hampir setinggi tubuhnya, memancarkan aura kebahagiaan dari senyuman mereka di hari spesial tersebut. Sebelum ia bisa berkata apa-apa, langkah Javier terdengar mend
Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Udara pagi itu terasa segar, namun bagi Javier, udara seolah dipenuhi dengan ketegangan yang manis. Berdiri di ruang gantinya, ia merapikan tuksedo putih bersih yang melekat sempurna di tubuhnya. Setiap detail tampak serasi, memberikan kesan bahwa ia adalah pria yang siap memulai kembali kehidupan baru dalam hidupnya, sebagai suami dari wanita yang ia cintai.Javier menatap cermin di depannya, memperhatikan bayangan dirinya. Ada sedikit senyum puas di wajahnya, namun tatapannya segera berubah lembut ketika ia membayangkan sosok Freya."Aku ingin melihat seperti apa dia sekarang," gumamnya pelan.Namun, ketika ia berbalik untuk pergi, langkahnya di hadang oleh David yang tiba-tiba muncul di pintu."Hei, hei! Kau mau kemana, Dude?" David bertanya dengan nada menggoda, tangannya terangkat seolah ingin menghentikan langkah Javier."Bertemu istriku," jawab Javier tanpa ragu, alisnya sedikit terangkat.David tertawa kecil, melipat tangannya di dada. "Di
Malam itu, suasana rumah Javier berubah menjadi hidup ketika suara deru mobil terdengar berhenti di halaman. Beberapa saat kemudian, riuh celotehan anak-anak mengisi udara. Dylan dan Felix melompat keluar dari mobil, berlari ke arah Freya dengan semangat yang nyaris meledak-ledak. Mereka berlomba-lomba untuk menceritakan petualangan mereka selama di luar rumah, wajah mereka berseri-seri seperti dua matahari kecil yang membawa keceriaan.Javier yang duduk di ruang tamu menoleh sejenak. Senyumnya tipis, cukup hangat untuk menandakan kebahagiaannya melihat anak-anak begitu bersemangat. Tapi pandangannya segera tertuju ke arah pintu mobil yang masih terbuka. Dari sana, Morgan muncul, langkahnya mantap namun terlihat lelah. Javier meletakkan ponselnya di meja, bangkit dan berjalan menghampirinya."Biasanya anak buahmu yang mengantar mereka pulang," ucap Javier, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.Morgan hanya menatap Javier sekilas, tidak langsung merespons. Ia menyerahkan dua tas milik D
Langkah Javier terdengar ringan ketika memasuki rumah, senyuman tak henti-hentinya menghiasi wajahnya. Di tangannya ada sebuah kotak beludru hitam, kecil namun begitu berharga, isinya adalah cincin pernikahan yang telah ia pesan. Pandangannya menyapu ruangan sesaat, mencari sosok yang sudah memenuhi setiap sudut hidupnya dengan kehangatan.Ia menemukannya di halaman belakang, wanita cantik dengan perut yang mulai membesar itu sedang memetik buah plum dari pohon. Freya terlihat begitu damai dalam kesederhanaannya, meskipun tubuhnya tengah mengandung keajaiban kecil yang sebentar lagi akan hadir di dunia.Javier berjalan perlahan ke arahnya, menikmati setiap detik pemandangan ini. Ada kebahagiaan sederhana yang terpancar dari Freya, meskipun dia tampak sibuk dengan keranjang buah di tangannya.“Hai, kau sedang apa?” tanya Javier sambil menyandarkan tubuhnya pada pintu kaca yang menghubungkan ruang tamu dengan halaman belakang.Freya menoleh, senyuman lembut menghiasi wajahnya. “Memetik b
Hari-hari berlalu dengan cepat, tapi satu hal selalu sama, setiap kali Dylan dan Felix pulang dari pertemuan mereka dengan Morgan, keduanya terlihat kelelahan. Javier sudah mulai terbiasa melihat wajah letih kedua putranya, meski rasa penasarannya terus mengganggu. Setiap kali ia bertanya apa yang mereka lakukan, jawaban mereka selalu singkat, "Bermain dengan Kakek."Namun sore itu berbeda. Wajah Dylan terlihat memerah seperti habis terbakar matahari, dan kulitnya tampak kasar. Freya yang cemas melihat kondisi anaknya, segera mengambil pelembap dan mengoleskannya ke wajah Dylan dengan lembut.Javier yang berdiri di sudut ruangan sambil memperhatikan, "Permainan apa yang kalian lakukan dengan Kakek sampai seperti ini?" tanyanya dengan nada tegas, tatapannya tajam mengarah pada Dylan.Dylan hanya menunduk, sementara Felix yang biasanya lebih blak-blakan, terlihat ragu-ragu. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Dylan buru-buru menutup mulut saudaranya.Alis Javier terangkat tinggi. "Jad
"Kau yakin hanya pesta biasa saja?" tanya Javier, matanya memandang Freya dengan ragu, seolah memastikan dia tidak salah dengar.Freya mengangguk mantap, senyum lembut tersungging di wajahnya. "Aku tidak terlalu menyukai sesuatu yang berlebihan. Lebih baik kita mengadakan pernikahan yang sederhana. Hanya menghadirkan orang-orang terdekat, tanpa kemewahan yang berlebihan. Bagiku yang penting adalah maknanya, bukan pesta besar yang mencuri perhatian."Javier terdiam sejenak, lalu meraih tangan Freya, menggenggamnya erat. Ia menatap mata wanita itu dengan penuh perhatian. "Jangan khawatir soal biaya. Aku bisa memberikan segalanya untukmu. Aku ingin hari itu menjadi sempurna, sesuatu yang tak akan pernah kita lupakan."Freya tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, seolah meyakinkan pria di depannya. "Bukan soal biaya, Javier. Ini tentang apa yang membuatku bahagia. Aku tidak butuh pesta yang megah untuk merasa istimewa. Yang aku butuhkan hanyalah kamu, dan janji yang kita bangun bersama. It
Seperti yang Javier harapkan, keesokan paginya, bahkan sebelum cahaya matahari menyentuh cakrawala, suara mesin mobil terdengar memasuki halaman rumah. Javier yang sudah menunggu sejak semalam turun dari lantai dua ke ruang tamu.Saat pintu mobil terbuka, dua pria dengan tubuh tegap keluar, masing-masing menggendong Dylan dan Felix yang tertidur pulas di pelukan mereka. Bocah-bocah itu tampak damai, seolah-olah tak terganggu oleh perjalanan panjang yang baru saja mereka lalui.Javier melangkah keluar, matanya menyapu kendaraan dengan hati-hati, berharap menemukan sosok Morgan. Namun yang ia temui hanyalah seorang supir berdiri kaku di sisi pintu mobil.“Dimana bos kalian?” tanya Javier dengan nada datar, meskipun ada sedikit ketegangan yang terselip dalam suaranya.Supir itu menunduk hormat. “Tuan mempercayakan kami sepenuhnya untuk mengantar putra Anda kembali dengan selamat. Jika tidak ada yang lain, kami permisi.”Tanpa menunggu jawaban, kedua pria yang menggendong Dylan dan Felix
Keduanya menuju mobil terparkir, niat Javier ingin mengajak Freya ke butik hari ini berakhir di tunda. Mereka pulang, perjalanan dari pantai yang Freya kunjungi dari rumah sangat jauh dan mereka tiba di rumah saat langit sudah gelap. Tapi, rumah dalam keadaan sepi. Biasanya saat jam seperti ini, Dylan dan Felix sangat ribut sehingga rumah sepi seperti ini cukup membuat Freya curiga apa yang dilakukan oleh mereka. "Aku akan lihat mereka di kamar," kata Freya. Ketika Freya menghilang menuju lantai atas, Javier menerima panggilan telepon yang datang tiba-tiba. Ia menjawab dengan santai, “Halo?” Suara berat di ujung telepon langsung terdengar tanpa basa-basi. “Aku akan mengembalikan kedua putramu besok.” Belum sempat Javier menjawab, panggilan itu langsung terputus. Ia menatap layar ponselnya yang kembali gelap, lalu mendesah panjang, memijat pelipisnya perlahan. Sementara itu Freya membuka kamar putranya, tapi kosong. Perasaannya mendadak cemas, dengan langkah tergesa-gesa ia kembal
Beberapa hari kemudian, setelah banyak pertimbangan akhirnya Javier dan Freya sepakat untuk menikah sebelum musim dingin tiba. Itu artinya, hanya tersisa kurang dari empat bulan untuk mempersiapkan hari istimewa mereka.Namun, bagi Javier waktu yang singkat itu bukan alasan untuk tergesa-gesa, justru ia ingin memastikan setiap detail sempurna, karena hari itu akan menjadi momen yang mengikat Freya sepenuhnya dalam hidupnya.Pagi itu, tepat pukul sembilan, Javier baru saja keluar dari ruang gym. Tubuhnya masih berkeringat, dan handuk kecil di tangannya ia gunakan untuk menyeka leher dan wajah. Suara dering ponsel memecah kesunyian. Ia melihat layar ponselnya, mendesah pelan, lalu mengangkatnya.Dari ujung telepon, suara berat Morgan terdengar penuh dengan kemarahan yang ia coba tahan.“Kau menguji kesabaranku, Javier!”Javier hanya menyeringai tipis sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding. Ia tidak tampak terintimidasi sedikit pun. “Aku tidak pernah berjanji apapun padamu,” jawabnya da