Hallo selamat datang di storyku yang ke empat dengan judul Partner Life. Semoga kalian menyukai ceritanya.
HAPPY READING
Catharina berjalan begitu cepat. Langkah kakinya menapaki trotoar kota Bremen. Gadis ceria yang baru berusia 20 tahun itu mempunyai senyuman yang menawan, bermata biru, berambut pirang, berkulit putih mulut serta memiliki tubuh yang sangat indah.
Cat, begitulah dia sering dipanggil. Dia bekerja sebagai pemandu karaoke. Namun demikian, dia merahasiakannya pada ibunya dan sang adik serta sahabat dekatnya sendiri.
Binar bahagia terus terpancar di wajahnya, tidak henti-hentinya dia menatap bungkusan yang dia bawa. Ya, hari itu adalah hari di mana Catharina menerima upah pertamanya sebagai pemandu karaoke.
"Aku bisa membelikan Ibu nasi bungkus," senyumnya.
Catharina berasal dari keluarga yang bisa dibilang serba kekurangan, bahkan dirinya sering kali dicemooh. Tapi Cat bukanlah gadis yang cengeng dan mudah menyerah begitu saja. Ayahnya sendiri adalah seorang pemabuk berat. Dia sering memukuli Ibunya dan bahkan sempat hampir akan memperkosa Catharina.
"Ibu … Ibu ..," panggilnya.
Sayup-sayup Cat mendengar suara orang terbatuk-batuk. Dia pun mencari asal suara tersebut. Ternyata sang ibu sedang duduk di belakang rumah. Wanita itu duduk di sebuah kursi kayu.
"Ibu …." Cat mendekatinya. Paula Berntsen itulah namanya, wanita itu menoleh dan tersenyum.
"Kau sudah pulang," senyumnya mengembang ketika melihat sang anak pulang.
"Aku membawakan ini untuk ibu." Catharina mengangkat tangan kanannya, dia menunjukan sesuatu pada Paula.
"Apa itu?" tanya Paula.
"Ini nasi bungkus, bu," jawabnya.
"Dari mana kau mendapatkan uang?" tanya Paula.
"Apakah ibu lupa kalau aku ini sudah bekerja," imbuh Catharina.
"Ah, ibu lupa. Ibu harap kau bisa memakluminya." Paula bangkit dari duduknya. Catharina segera membantunya dan membawa Paula masuk ke dalam rumah.
Catharina membuka bungkusan nasi dan memberikannya pada sang ibu. Namun, sesaat setelah itu Catharina menarik lagi bungkusan tersebut.
"Aku ingin menyuapi ibu, jadi biarkan aku melakukannya." Catharina meraih sendok dan menyuapi Paula dengan telaten. Tangan Paula terulur dan membelai lembut rambut Catharina.
"Ibu berharap, kelak kau mendapatkan seorang pendamping yang akan menjaga dan melindungimu," ucapnya tersenyum dan mencolek hidung mancung Catharina.
"Terima kasih atas doanya, Bu." Catharina menoleh kanan dan kiri mencari sesuatu. "Di mana Celine?" tanyanya.
"Celine belum pulang sekolah," jawab Paula. "Apa kau hanya membeli satu bungkus saja?" lanjut Paula bertanya.
Catharina menggelengkan kepala, "tidak. Aku membeli empat bungkus nasi."
"Empat?" Paula mengulang satu kata dan menatap bungkusan yang dikeluarkan Catharina dari kantung plastik. "Kenapa kau membeli empat bungkus?"
"Empat bungkus. Untuk Ibu, Celine, aku, dan Ayah," balasnya.
"Kenapa kau membelikan dia nasi bungkus? Padahal dia selalu berbuat jahat padamu, Nak."
"Ibu, aku memang membencinya, tapi—" Catharina menggantungkan kalimatnya.
"Sudah … jangan diteruskan lagi," potong Paula. "Ayo kita makan," ajaknya.
"Ibu saja dulu yang makan. Aku menunggu Celine pulang," tutur Catharina.
Paula pun menuruti apa kata anak sulungnya. Dia tidak ingin membuat hati Catharina sakit. Paula sangat tahu, jika Catharina begitu sangat tersiksa. Di umurnya yang baru menginjak 20 tahun, dia sudah bekerja keras menjadi tulang punggung keluarga. Catharina melakukannya karena sang ayah selalu lepas tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Tentu saja Catharina-lah yang harus menggantikannya. Namun, gadis cantik itu tidak pernah mengeluh. Dia melakukannya dengan ikhlas dan sabar, karena pada saat itu mencari pekerjaan yang basically tidak punya pengalaman sangat susah. Apa yang Catharina dapat saat itu dia terima dan dia jalankan.
Paula melahap makanan yang ada di depannya sampai habis dan Catharina sangat senang melihatnya. Bagi Catharina, Ibunya adalah sumber kekuatan dan semangatnya.
"Setelah ini, ibu harus minum obat." Catharina sibuk membuka botol dan mengeluarkan sebutir pil. "Ibu harus minum secara rutin obat ini." Memberikannya pada Paula. Setelah menelan obat itu, Catharina memberikan segelas air putih.
"Terima kasih, Nak. Oh iya, tadi Aaric datang ke rumah. Dia mencarimu," ujar Paula.
Aaric Fischer adalah sahabat dekat di masa Catharina masih sekolah. Pemuda tampan itu begitu setia menemani Catharina, bahkan dia tidak sungkan mendengarkan curhatan Catharina tentang kehidupannya. Aaric memang bukan anak orang kaya, tapi dia adalah seorang pemuda baik hati dan suka menolong.
"Ada apa dia mencariku, Bu?" tanya Catharina.
"Ibu juga tidak tahu. Dia bilang akan berkunjung lagi nanti."
"Ibu, aku pulang!" teriak seseorang yang tidak lain adalah Celine, adik kandung Catharina.
Celine masih sekolah menengah atas, dia berusia 17 tahun. Celine tidak kalah cantik dari kakaknya. Celine menaruh tasnya di sofa dan duduk di samping ibunya.
"Kau pasti lapar. Ini makanlah." Paula membukakan bungkusan nasi pada Celine.
"Wah, kelihatannya enak," ujar Celine. "Apa Kak Catharina sudah menerima upah kerjanya?"
Catharina mengangguk dan tersenyum.
"Iya, hari ini kakak sudah menerima upah kerja. Walaupun tidak seberapa tapi cukup untuk biaya hidup," balasnya.
"Kak Catharina belum makan?" tanya Celine yang melihat masih ada dua bungkus nasi.
"Ini juga akan makan. Kakak memang sengaja menunggumu pulang."
"Lalu ibu?"
"Ibu sudah makan, bahkan sudah minum obat," kata Catharina.
"Lalu itu buat siapa?" tanya Celine.
"Itu buat ayah," jawab Catharina. Celine langsung diam.
"Kenapa kakak masih peduli sama orang itu!" kesal Celine.
"Bagaimana pun juga dia adalah ayah kita."
"Aku tidak suka, kak. Apa kakak tidak ingat perlakuan dia pada kita dan pada ibu?"
"Iya, kakak paham itu. Tapi untuk saat ini lebih baik kita makan dulu," ujar Catharina meredakan emosi dalam diri Celine.
Hal itu tentu saja itu membuat Paula tampak semakin sedih, tapi Paula bersyukur mempunyai anak seperti Catharina dan Celine.
Catharina pun memahami adiknya. Celine begitu benci ayahnya karena dari dia-lah Celine menjadi anak yang sangat pendendam. Tidak hanya itu, Catharina juga banyak berjasa dalam membantu mendidik Celine. Dengan demikian, Celine bisa pelan-pelan menerima keadaan hidupnya.
Catharina memegang tangan Celine. Gadis 17 tahun itu membalas menatap wajah sang kakak. Catharina menggelengkan kepalanya, dia memberi kode pada Celine untuk menjaga sikap. Dia tidak ingin terjadi apa-apa pada Ibunya. Celine kembali melanjutkan menyantap makanannya.
"Aku minta sekali ini saja kakak peduli sama dia. Sekarang fokus kita hanya pada ibu!" seru Celine dengan tiba-tiba. Catharina pun mengangguk. "Setelah selesai sekolah, aku juga ingin langsung bekerja. Jadi Kak Cat tidak perlu mencari biaya untuk memasukkanku ke perguruan tinggi," ujar Celine memakan satu sendok terakhirnya.
Catharina tidak merespon sama sekali, pasalnya dia tahu bagaimana sifat Celine. Dibilang keras kepala mungkin iya menurut dari sang ayahnya. Dibilang penurut juga bisa.
"Apapun keputusanmu, kakak dan ibu pasti mendukung." Catharina tersenyum dan memegang tangan adiknya.
Tiba-tiba mereka dikejutkan sesuatu dan apakah itu?
TO BE CONTINUE
Maaf kalau agak gaje, tapi aku berharap kalian suka (^^,)
Pintu berkali-kali digedor-gedor membuat pintu tersebut hampir saja ambruk. Buru-buru Catharina melangkah membukakan pintu. Tampak sosok pria terlihat mabuk berat. Pria tersebut terus marah-marah tidak jelas. Damian melangkah gontai dengan keseimbangan tubuh yang tidak normal seakan dia akan jatuh, bahkan hampir menabrak Catharina. Damian berdiri tepat di samping Catharina dan meliriknya. "Kau sudah pulang? Apa kau membawa uang banyak?" tanyanya dengan ciri khas orang mabuk. Catharina hanya diam seribu bahasa. Melihat anak gadisnya tidak merespon, Damian menarik lengan Catharina dengan kasar. Gadis itu menjerit kesakitan. "Ahh … sakit, Ayah!" teriak Catharina mengerang. Teriakan Catharina membuat Paula dan Celine menghampiri mereka berdua. Paula berusaha melepaskan cengkraman tangan Damian, sedangkan Celine
Catharina duduk terdiam di sebuah bangku halte bus. Dia duduk menunggu bus lewat sambil memainkan kedua kakinya. Dia terlihat sangat menikmati musik yang sedang didengarkan lewat headset. Dari kejauhan Aaric tampak memperhatikan Catharina sambil tersenyum."Aku penasaran dia kerja di mana? Apa aku ikuti saja dia?" gumam Aaric. Sedangkan Catharina, dia masih duduk termenung di sana."Apa yang harus aku lakukan? Aku terus berbohong pada Ibu. Aku benar-benar sangat berdosa padanya," cicit-nya pelan. "Tapi kalau tidak seperti ini bagaimana aku, Ibu, dan Celine bisa bertahan hidup?" Lamunan Catharina buyar saat sebuah bus berhenti di depannya. Namun, sebelum Catharina hendak naik ke atas bus. Seseorang dengan cepat merebut tas milik Catharina. Setelah mendapatkan tas tersebut, dia
Bar tempat karaoke yang terletak di ujung jalan. Tempat itu selalu ramai dikunjungi oleh pelanggan-pelanggan yang kebanyakan pria. Ya, pria-pria berhidung belang yang selalu sesuka hati memegang atau meraba tubuh pemandu karaoke.Catharina bekerja di Heaven on Earth sudah lebih dari enam bulan. Catharina menerima pekerjaan itu karena dia sudah kepepet. Mau tidak mau dan demi sesuap nasi, Cat harus menjalaninya.Hari yang panas, sepanas berada di ruangan karaoke. Catharina dan Merlyn mendapat tugas untuk menemani dua pria sekitar umur empat puluh lima tahun. Tidak ada yang perlu dicurigai karena dua pria itu tidak berbuat yang aneh-aneh. Mereka berdua hanya datang untuk berkaraoke setelah seharian bekerja. Hari memang sudah memasuki sore, akan tetapi rasa panas masih dir
Catharina terkejut saat seseorang merebut paksa uang yang ada dalam genggaman tangannya. Sempat terjadi tarik-menarik antara Cat dan pria tersebut. Namun, akhirnya Cat memilih melepaskannya."Cat, are you okay?" Paman Deff mendekati Catharina. "Kenapa kau lepaskan?" lanjutnya bertanya. Cat terus menatap pria yang berdiri tidak jauh darinya."Well, tiap hari kalau kau seperti ini sudah pasti kau akan dapat uang banyak. Ah—ternyata type-mu itu adalah pria-pria setengah tua, ya?" ocehnya tidak karuan."Jaga bicaramu, hah!" Deff terlihat marah.
Nyonya Lance terus-menerus memikirkan siapa yang dimaksud oleh Tuan Wagner itu. Perlahan dia mengingat satu-persatu anak-anak yang ada di Bar itu. Nyonya Lance langsung teringat gadis yang dimasukkan oleh Deff. "Mungkinkah Catharina?" Nyonya Lance sudah bisa menduganya. Di hari berikutnya, Nyonya Lance memanggil Catharina ke ruangannya. Gadis cantik itu tampak bingung. Dia mengetuk pintu dengan pelan. Setelah terdengar sahutan suara dari dalam sana, Catharina pun membuka pintu dan masuk. "Duduklah!" perintah Nyonya Lance. Catharina menuruti perintah Nyonya Lance yang terkenal galak. Cat duduk berhadapan dengan Nyonya Lance dan dibatasi oleh sebuah meja. Catharina begitu takut dan gugup, dia bertanya-tanya dalam hatinya. Nyonya Lance menarik napas dan menatap Catharin
"Bagaimana bisa dia tertidur, sedangkan aku belum melakukan apa-apa," keluh Mischa yang melihat Catharina sudah tertidur lelap. "Ya sudah, mungkin dia lelah menungguku." Mischa melangkah masuk ke dalam kamar dan keluar membawa selimut, kemudian menutupi tubuh Catharina. Empat jam sebelumnya. Getaran ponsel milik Mischa menghentikan aktivitasnya yang hendak mencumbu Catharina. Pemuda itu segera meraih ponsel yang tergeletak di atas lemari dan melangkah sedikit menjauh dari Catharina. Mischa segera menjawab panggilan masuk tersebut. Dia begitu sangat serius mendengarkan suara dari seberang sana. Lantas setelah menutup sambungan telepon tersebut, Mischa menatap Catharina yang sedang duduk. "Malam ini sepertinya aku harus meninggalkanmu," ucap Mischa. "Tidak masalah!" jawab Catharina singkat. "Aku pergi dulu. Selesai menyelesaikan urusan kantor aku
Pertama tiba dan sampai detik ini juga, belum terjadi apa-apa dengan Catharina. Dia belum sama sekali disentuh oleh si penyewanya yang tidak lain adalah Mischa Wagner. Ya, Catharina masih perawan. Selama bekerja menjadi pemandu karaoke, Catharina masih terlindungi. Untung saja Nyonya Lance jarang melirik Catharina. Mungkin Nyonya Lance tidak begitu memperhatikan bentuk tubuh Catharina, bahkan Nyonya Lance terkejut saat seorang pengusaha muda justru menolak tawaran wanita pilihan darinya. Justru pria itu memilih pilihannya sendiri. Catharina Berntsen dipilih sendiri oleh Mischa Wagner untuk menjadi partner bayarannya. Mischa menyewa Catharina selama beberapa hari. Dihari pertama Catharina belum disentuh sedikit pun oleh Mischa. Malam itu tiba, Mischa yang pulang lebih awal dari kantornya tampak sedang santai duduk di balkon membaca sebuah buku ditemani dengan secangkir teh hangat. Catharina yang saat itu baru selesai man
Suasana kian panas, walaupun di luar sana hujan turun dengan lebat. AC tidak bisa menandingi panasnya cuaca saat itu. Gemuruh rintik hujan terdengar dari dalam ruangan. Mischa memang sengaja membuka tirai yang menutupi pintu balkon apartemennya. Pria yang menyewa Catharina menatap intens, begitu dalam dan begitu lekat menusuk hati Catharina. Mischa menyibakkan anak rambut yang menutupi mata sebelah kiri Catharina. Perlahan Mischa menggendong tubuh Catharina ala Bridal Style dan membaringkannya di atas ranjang. Tangan Mischa aktif bergerilya menjamah tubuh putih milik Catharina. Catharina memang mempunyai kulit yang halus hingga membuat Mischa betah menjamah tubuhnya. Jantung Catharina berdegup sangat cepat saat Mischa merangkak di atas tubuhnya dan berhenti tepat di atas wajahnya. "Santai saja. Jangan terlalu gugup." Mischa Melanjutkan aktivitasnya. Dia mendekatkan wajahnya pada daun telinga Catharina. "Kau ben
Senyum licik Gilly mulai mengembang. Dia merasa yakin jika rencananya kali ini akan berjalan dengan lancar.Ya, manusia hanya bisa berencana, tapi semua kembali pada sang Pencipta. Karena Marcel merasa ada yang janggal, pria itu memutuskan akan kembali ke rumah dengan cepat. Pria itu bukan khawatir dengan sang ibu, melainkan dia khawatir dengan seseorang.Dalam perjalanan menuju kantor, Marcel tidak tenang. Dia selalu menggigit kukunya saat menyetir bahkan ketika dia berhenti di lampu merah."Ah, ada apa dengan perasaan ini? Kenapa jantung ini berdetak cepat dan rasa itu ...." Marcel dikejutkan dengan suara klakson yang berbunyi nyaring di belakang. Marcel baru sadar jika lampu sudah berganti warna hijau. Marcel segera menjalankan mobilnya.Rasa tenang masih dia rasakan sampai kantor. Di sana pun Marcel berpapasan dengan Mischa. Marcel menundukkan sedikit kepalanya, akan tetapi Mischa sama sekali tidak merespons. Melirik pun juga tidak. Setelah Mischa melewatinya, Marcel menghentikan
Mischa tergeletak di sofa. Botol Black Label yang tidak sengaja jatuh karena senggolan dari tubuh Mischa yang oleng tidak sadarkan diri. Air keluar dari botol sampai titik akhir.Mata itu terbuka dan tangan kanan bergerak memegang kepalanya. "Aahh ..," desah Mischa berusaha mengangkat tubuhnya. "Ke-kenapa kepalaku sakit sekali?" ucapnya lirih dan tak sengaja membangunkan seseorang yang sedang tidur di sampingnya."Ehm, sudah sadar?" ujar Catharina lirih sambil menutup mulutnya karena menguap."Memangnya aku kenapa?" tanya Mischa heran."Aku menemukanmu tergeletak di sofa," tunjuk Catharina."Aahh ...." Mischa kembali mengeluh dan memegangi kepalanya."Apa kau mabuk?" Catharina memberanikan diri untuk bertanya. Dia melihat Mischa menundukkan kepalanya."Buang botol itu, sayang," sahut Mischa.Catharina menoleh ke arah tempat yang ditunjuk oleh Mischa. Di sana ada beberapa botol Black Label. Catharina sempat bingung dengan Mischa, kenapa dia bisa mabuk? Atau memang dia sedang ada masala
Gilly melangkah dengan ringannya menuju ruang tengah. Hatinya merasakan kemenangan tersendiri. Wanita itu berjalan dengan berdendang ria, dia sama sekali tidak melihat ada Mischa di sana.Saat Gilly sadar ada Mischa di sana, wanita itu langsung menutup mulutnya. Mata itu melotot menatap Mischa. Secara reflek Gilly menggeleng-geleng kan kepalanya."Ti-tidak ... tidak, k-kau t-tidak pe-perlu m-mendengarkan ocehan ku. I-itu semua adalah omong kosong," jelas Gilly mencoba membela dirinya sendiri.Mischa berdecak, "Omong kosong katamu? Bagaimana bisa kau melemparkan kesalahanmu pada orang lain, hah? Berani sekali kau melakukan hal itu di rumahku? Apa kau ingin mati?" Mischa berdiri dari duduknya."Bu-bukan b-begitu ma-maksudku. Aku hanya ti-----""Kau tahu tidak, bagaimana rasanya jika benda ini menusuk rongga lehermu?" Mischa mengangkat tangan kanannya dan memperlihatkan sebuah benda kecil.Kedua tangan Gilly langsung memegang lehernya sendiri. Mischa melangkahkan kakinya mendekati Gilly
Begitu mendengar sebuah teriakan Mischa berlari masuk ke dalam rumah dan menaiki anak tangga menuju lantai atas. Mischa berdiri di ambang pintu dan melihat seorang gadis terduduk sambil menangis."Ada apa ini?" tanyanya mendekati gadis itu. Namun, justru gadis itu menangis semakin menjadi-jadi. Di dalam ruangan itu ada sekitar lima orang dan semuanya terdiam tidak menjawab pertanyaan dari Mischa."Kenapa tidak ada yang menjawab, hah!" Mischa menyebarkan pandangannya mencari seseorang."Ada apa ini? Kenapa kalian semua berkumpul di kamar ini?" tanya seseorang yang tiba-tiba muncul dari belakang Mischa.Mischa membalikkan badannya dan menatap gadis itu. "Dari mana saja kau ini?" Memegang kedua bahu gadis tersebut."Auw ... a-aku dari taman. Tadi aku melihat mobilmu masuk, makanya aku menyusulmu naik. Tolong, lepaskan cengkeraman tanganmu. Itu menyakitiku," rintis Catharina.Mischa pun melepaskan cengkeraman kedua tangannya. "Kau tahu apa yang terjadi di kamar ini?"Catharina menggeleng
Tautan itu terlepas. Mischa memandang lekat bola mata Catharina. Mata itu seperti memberi kode sesuatu pada Mischa. Pria tampan itu serasa menangkap sesuatu."Kau ingin memberitahu sesuatu padaku?" "Bukannya tadi aku sudah bilang padamu.""Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Aku akan selalu melindungimu," hibur Mischa.Namun, Catharina tidak seratus persen mempercayai ucapan Mischa. Gadis itu tahu betul Mischa seperti apa. Kadang baik, kadang juga bersikap dingin. Catharina kurang yakin dengan Mischa."Kenapa? Apa kau tidak percaya padaku?" lanjut Mischa.Catharina hanya menatap Mischa dan Catharina pun menggelengkan kepalanya. Akan tetapi mata itu tidak bisa membohongi. Sebenarnya Mischa sudah memahami itu, tapi dia memilih diam.Mischa menarik napas panjang dan mengembuskan pelan. Embusan napas Mischa menerpa halus wajah cantik Catharina. Gadis itu memejamkan matanya saat embusan napas itu mengenainya."Sudahlah. Jangan terlalu kau pikirkan. Lama-lama kau bisa keriput karena terlalu
Adegan romantis yang begitu panas antara Mischa dan Catharina membuat seseorang menjadi panas. Seseorang itu tampak resah gelisah dibuatnya. Dia terlihat seperti orang bingung. Memainkan jari jemarinya dan menggigit bibir bawahnya. Sesekali membuang muka dan akhirnya meremas rambutnya sendiri, lalu pergi meninggalkan tempat tersebut.'Sial. Aku ini kenapa? Apakah aku ini ... ah, tidak ... tidak ... tapi,' batinnya dalam hati terhenti seketika saat berdiri di depan sebuah jendela. Mata itu kembali menatap ke arah sana dan kedua tangan itu mengepal sangat kuat. Kembali dia membuang muka dan melangkahkan lagi kakinya dengan kuat. Namun, langkah itu kembali berhenti."Apa kau menyukainya?" Sebuah suara melontarkan pertanyaan yang membuat hatinya mendadak berdetak tidak karuan."Tidak!" jawabnya dengan pasti."Apakah kau yakin dengan ucapanmu itu?" Kembali dia bertanya.Pemuda itu membalikkan badannya dan menatap wanita yang berdiri tidak jauh darinya. Tatapan tegas terlihat dari sorot mata
Ada pepatah yang berbunyi 'Lempar batu, sembunyi tangan'. Mungkin pepatah itu cocok untuk Gilly. Sejak Mischa tinggal di rumah itu, ruang gerak Gilly berkurang bahkan wanita itu tidak leluasa berbuat semaunya sendiri di rumah itu dan pada akhirnya Gilly memilih melakukan rencananya secara diam-diam. Mau bagaimana lagi tidak ada yang membantunya, bahkan putra kandungnya pun menentang.Seperti kejadian di ruang makan pagi itu. Gilly memang berniat untuk menaruh sesuatu ke dalam makanan dan minuman pria tua itu. Setelah Gilly mengambil dan menaburkan sesuatu di dalam makanan dan minumannya. Gilly membawanya ke ruang makan dan menaruh nampan berisi bubu, sup, dan susu hangat di sisi pinggir meja makan. Lalu Gilly meninggalkannya karena ingin membantu Barren. Namun, saat Gilly sedang membantu Barren, nampan itu jatuh dan isinya berserakan di lantai. Dua mangkuk dan satu gelas pecah berhamburan.Gilly yang melihat hal itu sempat histeris dan memegang kepalanya dengan ke dua tangannya. "Aaah,
Mendekati suaminya sendiri Gilly harus menerima jadwal dari Mischa. Gilly mengepalkan tangannya. Posisinya sudah tidak seleluasa seperti sebelum Mischa tinggal di rumah itu. Tentunya hal itu menghambat rencana yang telah disusun oleh Gilly untuk Baren.Gilly memang sudah menyusun rencana untuk membuat Baren sakit parah. Namun, rencana itu sudah diketahui oleh Marsya. Itulah kenapa Marsya meminta Mischa untuk kembali dan tinggal di rumah. Tak hanya itu yang membuat Gilly geram dan kesal, akan tetapi sekembalinya Mischa ke rumah itu justru membawa seorang gadis yang dikenalkan ke penghuni rumah dengan sebutan calon istri. Sudah pasti bisa ditebak Gilly akan kebakaran jenggot mendengarnya. Wanita itu memang sudah memilih seseorang yang akan dikenalkan pada Mischa.Kenapa Gilly kekeh mengenalkan gadis itu pada Mischa bukan pada Marcel yang merupakan anak kandungnya sendiri? Pastinya Gilly mempunyai maksud lain untuk hal itu."Kenapa dia harus membawa pulang perempuan asing?" Gilly terdiam
Memang menjadi momok tersendiri untuk Gilly. Semua jadi terbatasi dan semuanya harus atas persetujuan Mischa. Gilly, wanita yang terobsesi ingin menguasai harta kekayaan Baren Wagner dan ingin menjadikan Marcel sebagai pewaris tunggal dari perusahaan Wagner. Kini wanita itu harus kembali memutar otak untuk merencanakan semua dari awal. Terlebih lagi sekarang dirinya harus tidur sendirian karena Mischa meminta maid kepercayaan keluarga Wagner untuk memindahkan semua keperluan sang ayah ke kamar Marsya. Hal itu membuat Gilly semakin geram. Antara terima dan tidak terima dengan keputusan itu.Pagi itu Gilly baru saja bangun dan dia merasa sangat haus. Gilly melirik gelas yang ada di nakas kecil di samping ranjang, gelas itu sudah kosong. Jam masih menunjukkan pukul lima pagi. Namun, di luar sana langit masih gelap gulita dan cuaca begitu sangat dingin. Dengan terpaksa Gilly harus mengambil air minum di dapur.Gilly berjalan menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitarnya. Masih sepi, be