***
Hari ini, tidak ada jadwal persidangan yang menantiku, jadwal selanjutnya akan hadir tepat minggu depan di hari yang sama, karena itulah aku memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan ketiga orang itu tentang rencana melarikan diri tersebut.
“Apa kamu yakin akan melakukannya hari ini?” Abu datang menghampiri dan duduk tepat di sampingku, aku sama sekali tidak terkejut karena wajahnya paling banyak kutemui di antara napi lain di kantin.
“Iya, aku pikir hari ini begitu cerah untuk sesuatu yang cukup gelap,” ungkapku.
Kuteguk minuman terakhir yang tengah berada di dalam genggamanku sembari berdiri dan menatap tajam ke arah gerbang besar pembatas antara kebebasan dengan kurungan. Apa jadinya jika aku berhasil kabur dengan mereka? Apa aku bisa mendapatkan apa yang kuinginkan dengan segera?
“Aku tidak melihatnya? Apa dia benar-benar melakukannya?” tanyaku.
Kulirik dan kuputar mata ini berkeliling mencari
Revan memiliki rencana lain, selain pengumpulan informasi dari Sutan. Apa sebenarnya yang ia inginkan? Simak terus kisahnya, yah. Jangan lupa vote, comment, dan share ke temen-temen kalian. Selamat malam:)
*** Kupikir keadaan jauh lebih baik dengan aku tetap berada di dalam rutan. Namun, sehari selepas kekacauan dan kebakaran terjadi, para sipir dan kepolisian mulai bertindak melakukan investigasi menyeluruh. Setiap napi yang mencurigakan didatangi dan ditanya terkait kekacauan tersebut, tentu mereka akan melakukannya mengingat kejadian kemarin memakan korban tewas sebanyak empat orang napi. Tak hanya sektor B dan C, mereka juga menyasar ke sektor elit seperti Sektor A. Para sipir itu pasti mencurigaiku juga, pasalnya kejadian kekacauan ini terjadi setelah beberapa minggu aku mendekam di sini. Hal itu tentu mengundang banyak pertanyaan bagi para sipir, apa yang sebenarnya terjadi di balik layar penjara ini? “Aku sama sekali tidak tahu tentang kekacauan tersebut, justru akulah korban hampir tewas dari salah satu napi,” balasku. Mereka memanggilku untuk masuk ke sebuah ruangan tertutup yang cukup remang dan senyap, dinding baja yang tebal
*** Seperti dugaanku, pada awalnya tangan ini masih begitu enggan untuk bergerak menusuk perut ini. Namun, kupikirkan lagi bagaimana jika Tiara datang dan ia disekap dengan keji? Aku pasti akan merasa bersalah karena ikut melibatkannya juga. Tapi malam itu, langsung kubulatkan tekad, langsung kutancapkan pisau lipat tersebut, menembus perutku dan merobek secara vertical. Karena kontraksi yang terjadi membuatku muntah darah dan pucat seketika, darah mulai deras keluar dari perutku dan ketika kulihat, ususnya pun ikut keluar bersamaan. Aku berhasil. Aku hanya perlu menunggu Cavid menolongku, kutekan luka tersebut dan menahan pendarahan yang lebih besar sebelum Cavid datang. Namun, pendarahan hebat yang terjadi membuat wajah dan tanganku pucat seketika. Pintu kamar terbuka, dengan pandangan kabur, kulihat seorang pria berpakaian lengkap tengah membereskan sarapan yang berantakan karena kakiku yang memberontak. “Cavid…?” “Tenanglah
***Sudah beberapa dua minggu aku dirawat di rumah sakit ini, mereka merawat dan menjagaku dengan baik.Pengunjung yang datang menbesuk juga dibatasi, mereka tidak ingin hal buruk menimpa mereka lagi. Tentu para pengunjung itu ditemani oleh seorang sipir yang mana otomatis mendengar semua perbincangan antara aku dengannya.Hari itu, Tiara yang berkunjung karena tempo hari aku memintanya untuk datang. Sesuai janji, wanita itu datang tanpa mengenakan seragam detektifnya, hanya setelan kasual kemeja hitam dan celana Panjang berwarna biru navy.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Tiara, aku mengangguk dengan senyum terulas di ujung bibirku.“Aku baik. Aku bisa makan makanan berat mulai kemarin” jawabku.Tiara tampak lebih menawan dari biasanya, berpakaian sederhana dengan setelan kemeja dan celana panjang membuatnya lebih ramping dari yang kuduga.“Syukurlah kalau begitu, aku selalu mencemaskanmu setiap malam,&rdquo
*** Nathan dan Violet ternyata datang lebih awal dari yang kuduga, tepatnya pukul tujuh malam. Mataku beradu pandang dengan mereka, tersirat kalau keduanya sudah paham terkait tugas mereka masing-masing sesuai rencana. “Kenapa dia tidak pulang?” tanya Nathan. Pria itu dengan spontan menunjuk seorang wanita yang tengah tertidur di atas sofa, dia tak lain adalah Tiara sendiri. Selepas makan risotto yang enak, ia malah mengantuk dan aku tidak tega jika menyuruhnya pulang dalam keadan seperti itu. Oleh karena itu, ia tertidur begitu terlelap di atas sofa. “Apa kamu tidak takut kalau dia terbangun dan melihat kita kabur?” tanya Nathan, cemas. “Tenang, dia tidak akan,” jelasku sambil berjalan mendekati Nathan. “Apa kamu yakin? Jangan dasarkan semua ini pada prasangka perasaanmu saja,” kecam Nathan. Kutepuk pelan pundak Nathan sambil tersenyum, aku tidak bisa memarahi atau membantah ucapan darinya mengingat apa yang dikatakann
*** Cukup mudah aku menghindari mereka, para antek jaksa tidak pernah tahu kalau aku berada di dalam perjalanan menuju bandara. Mereka akan mengetahuinya esok pagi ketika mendapati pasien yang ada di atas ranjang bukanlah aku. “Kamu akan melintas dengan identitas baru,” jelas Nathan. Kedua tangannya terkunci di kemudi mobil dan matanya masih fokus melihat jalanan di depannya. Sesekali ia melirik kearahku dan tak lama pria itu menunjuk lemari mobil di depanku. “Bukalah,” pinta Nathan, aku mengangguk dan ternyata di sana sudah muncul paspor dan kartu nama warga Filipina-ku. “Rodrigo Fellos?” tanyaku, kugenggam id card tersebut seraya menunjukannya kearah Nathan. Aku merasa tidak asing dengan nama Rodrigo, nama itu bahkan begitu umum di Filipina yang mana mereka adalah negara penganut agama Katolik terbesar di Asia. “Nama barumu, jangan khawatir, tidak ada seorang pun yang memilikinya selain dirimu,” balas Nathan, ia mengambil bel
***Hari pertama di kediaman Missa. Pagi itu, aku mendapati tubuhku benar-benar polos tak berbusana, hanya selimut kasur yang hangat dan menutup seluruh tubuhku semalaman itu.Sinar surya menerangi ruang kamarku, masuk melalui celah jendela dan pintu balkon yang terbuka. Masih samar dalam pandanganku, seorang wanita berbalutkan jubah mandi dengan rambut hitam basah berdiri tepat di balkon yang menghadap ke kompleks perumahan mewah Misa.Kufokuskan pandanganku dan melihat wanita itu tak lain adalah sang pemiliki rumah, Missa. Lekukan tubuhnya begitu ramping membuat siapa pun pria pasti jatuh hati dalam pandangan pertama mereka.“Apa yang kulakukan semalam?” tanyaku, memecah keheningan di ruangan tersebut.Tubuh Misa tersentak, ia segera berbalik dan menatapku dengan penuh nafsu. Apa hormonnya sedang meninggi pagi ini?“Kamu tidak mengingatnya? Itu momen paling menyenangkan yang pernah kurasakan.”“Momen? M
Tak terasa, setelah kami puas berkeliling Kota Manila dalam satu hari, kami memutuskan untuk mampir sejenak ke Manila Bay untuk kedua kali setelah siang tadi. Bianca bilang tempat ini akan sangat indah jika didatangi ketika malam tiba.Aku tidak bisa menemukan kemiripan Manila Bay dengan sesuatu di Jakarta, suasananya cukup tenang, tiang-tiang tinggi dihiasi lampu terang berwarna warni.Yang menarik perhatianku, mayoritas pengunjung Manila Bay ketika malam hari tak lain adalah sepasang kekasih. Mereka berpegangan tangan, saling rangkul satu sama lain dan mungkin hanya aku dan Bianca yang tidak melakukannya.“Terima kasih untuk hari ini, kupikir perjalanannya cukup menyenangkan,” ucapku.Kami berdua duduk di sebuah kursi kosong dekat dengan pohon rindang, angin dari laut sungguh kencang dan kurasakan lebih dingin dari pada hawa di Jakarta.Bianca tersenyum, ia masih berekspresi sama seperti yang kulihat di dalam mobil, kuat dan mencoba m
*** Hari ini, Misa tidak pergi ke mana pun. Ia tetap berada di kediamannya sampai tengah hari. Sedangkan aku masih menyimak pemberitaan di Indonesia melalui laptop milik Misa. Mayoritas membahas terkait politik, perdagangan dan hukum. Salah satunya terkait denganku, kulihat salah satu media ikut memberitakan kalau aku kabur dari rumah sakit. “Sayang, apa kamu sedang sibuk?” tanya Misa, wanita itu dengan percaya diri mulai memanggilku dengan panggilan romantis, mungkin ia hanya ingin dilihat mesra oleh orang lain. Kuputar kursi tersebut dan menghadap kearah Misa, kugelengkan kepala sembari menutup layar laptop ketika ia berjalan menghampiriku. “Apa yang sedang kamu tonton?” tanya Misa, matanya sesekali melirik ke laptopnya yang tertutup. “Bukan apa-apa, aku hanya sedang menyimak pemberitaan di Indonesia.” “Oh, bukankah terlalu dini untuk kembali pulang?” tanya Misa. Seperti biasa, jika tidak ada orang, maka Misa akan ber
Kamis, 21 Oktober 2021 Setelah menghabiskan kurang lebih lima bulan menulis –terkendala tugas perkuliahan dan sebagainya. Serial PARTNER IN CRIME resmi tamat kemarin malam, rasanya begitu lega dan menyenangkan bisa memberikan hasil akhir yang sesuai dengan keinginanku. Namun, cerita ini masih menyimpan beberapa kekurangan dan plothole di berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis meminta maaf sebesar-besarnya jika ada cerita atau scene yang tidak dijelaskan secara detail. Tentu hal ini berkaitan dengan alur cerita agar tidak melenceng dan tetap di jalur utama kisah Revan dan Tiara. Dasar dari ide saya membuat cerita perselisihan ditambah dengan romansa antara Mafia dan Polisi tak lain adalah nuansa yang baru, menciptakan kisah baru yang segar dan anti mainstream di kalangan pembaca yang banyak didominasi oleh cerita-cerita CEO, silat, dan sebagainya. Saya memang tipikal orang yang menyukai perbedaan dalam suatu perkumpulan, platform membaca online adalah perkum
*** Satu minggu kemudian Pergantian kepemimpinan di Cincin Hitam terjadi. Tanpa hadirnya aku, dewan komite yang sudah kubentuk mengesahkan Violet sebagai penerus organisasi Cincin Hitam yang terselubung sebagai organisasi masyarakat pembela rakyat kecil. Mereka katanya menyambut dengan baik pergantian kepemimpinan tersebut, bersuka cita dan membuat pesta meriah untuk merayakannya. Itulah yang kudengar dari Nathan yang belakangan sering mengunjungiku, lebih sering ketimbang Violet. “Baguslah. Keadaan pemerintah juga semakin membaik, meski Yudha tidak naik menjadi Plt Presiden, tetapi ia tetap memegang kendali parlemen menggantikan Stefano,” balasku. Perkembangan tubuhku semakin membaik dari hari ke hari, Dokter sudah memperbolehkanku makan-makanan keras dengan syarat harus dikunyah secara halus. Bahkan dengan kondisiku yang seperti ini, dalam beberapa hari ke depan aku mungkin diperbolehkan untuk pulang. Pagi itu, udara hangat m
***Sudah dua hari aku terbaring di kasur rumah sakit. Dokter yang memeriksaku sudah melakukan CT-scan dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan perkiraan dokter pribadi yang kupanggil tempo hari.Tukak lambung, penyakit yang terjadi karena adanya infeksi di dinding lambung akibat bakteri. Ia menjelaskan penyebab terjadinya penyakit tersebut, salah satunya adalah konsumsi minuman beralkohol.Aku sadar. Belakangan ini, aku banyak minum-minuman beralkohol, aku kira aku baik-baik saja hingga kejadian ini terjadi.Untuk menjaga kesehatanku agar semakin membaik, Violet terus menemaniku di ruang perawatan ini, terkadang Nathan yang berjaga menggantikannya.“Parlemen sedang sibuk-sibuknya saat ini,” ucapku tatkala melihat pemberitaan di tv yang banyak mengulas seputar penunjukan Presiden pengganti David.Hingga saat ini, mereka masih belum menemukan keberadaan pria tua itu. Jika pun mereka berhasil, mereka hanya akan menemukan jasadnya y
“Mengorbankan hidup kalian untuk orang lain? Apa semudah itu kalian menyerahkan nyawa pemberian dari tuhan?!” bentakku.Aku benar-benar marah saat ini, tak hanya keluarga David tetapi Tiara juga ikut memohon ampun untuk nyawa pria tua penjahat tersebut.Aku berpikir, apa bagusnya dia dibandingkan dengan nyawanya? Dia juga tidak akan mengingat Tiara yang sudah menyelamatkan nyawanya.Sungguh sia-sia.Tiba-tiba kepalaku begitu pusing, telingaku berdengung dan pandanganku mulai berat. Tanganku bertumpu pada sudut meja untuk menahan agar badanku tidak ikut terjatuh.Sontak aku melepaskan senapan dari genggamanku dan langsung diraih oleh Tiara, wanita yang tadi memohon ampun kepadaku, kini berbalik mengacungkan senapannya padaku, mengancamku atas kejahatan yang jauh lebih banyak dibandingkan David.“Semua kejahatan di negeri ini berawal darimu. Aku tidak akan keberatan membunuhmu saat ini juga,” ancam Tiara.Wanita
“Kenapa aku harus pergi dari sini?” tanya David, bingung.“Aku tidak ingin orang-orang mengira kamu masih hidup. Aku akan memalsukan kematianmu dan kamu bebas hidup dengan identitas yang baru,” balasku. David terdiam mendengar penjelasanku, hanya itu satu-satunya pilihan yang kuberikan padanya jika dia ingin tetap hidup.Aku ajak dirinya keluar dari ruang tersebut dan berjalan menuju meja makan yang berada di lantai dasar. Namun, ketika hendak menuruni tangga, ia menolak ajakanku dan meminta waktu untuk memikirkan itu sendiri.Itu yang ia pinta dan aku menghargai keputusannya, lagi pula aku juga banyak berterima kasih atas pengakuannya di siaran tadi, tidak banyak orang berani yang mampu melakukan dan mengakui kesalahannya sendiri.Ia berjalan ditemani seorang pengawal yang sudah kutugaskan untuk tetap bersama David. Ketika aku tengah fokus memandang pria tua itu dari bawah, Nathan tiba-tiba mengejutkanku dengan ditemani beberapa o
***Pagi itu, terpaksa aku harus membawa Tiara ikut bersamaku. Ia tidak bisa memberikanku jaminan pasti kalau dia tidak akan memberikan pernyataan tersebut. Alhasil, semua rencana yang sudah kususun sejak awal tak berjalan lancar.“Kamu membawa lagi orang kemari?” tanya Nathan, pria itu datang menghampiri tatkala melihatku berjalan seraya menggendong seorang wanita, Tiara di dekapanku.“Kamu pasti mengenalnya,” ujarku.Pria itu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, wajahnya menegang dan kedua bola matanya membulat tajam. Ia melihat kehadiran Tiara yang tak sadarkan diri di hadapan wajahnya, ia mengingat betul kalau aku tidak ingin bertemu dengan Tiara secara langsung.“Apa dia mengetahui identitasmu?” tanya Nathan, kesal menatapku tajam.“Ya begitulah, aku perlu melakukannya untuk membungkan mulut Tiara,” jawabku, lirih.“Apa kamu gila?! Dia bisa saja membocorkan keberadaan Pres
***Kedua mata Tiara membelalak tajam, mulutnya tak henti menutup tatkala mendapati aku muncul hidup-hidup di depan matanya. Kucoba raih lengan Violet dan membantu wanita itu untuk kembali bangkit dan berdiri.“R-Revan … apakah itu kamu?” tanya Tiara, ia menjatuhkan selang air yang sedari tadi ia genggam dan menumpahkan aliran air itu terbuang sia-sia.“Aku senang bisa melihatmu lagi, Tiara,” ungkapku.Kudekati pagar rumah Tiara, wanita itu tersentak kaget dan segera mengambil sebuah sapu untuk membela diri. Melihat responnya yang demikian, membuat diriku kebingungan, apakah dia benar-benar merindukanku atau tidak?“Jangan sekali-kali mencoba membodohiku! Aku tidak akan tertipu dengan wajah palsunya,” erang Violet, ia bersikap aneh menganggap aku adalah orang lain yang memakai wajah palsu di mukanya.Tidak pernah terpikirkan aku akan melakukan hal seperti itu, bahkan aku sendiri tidak memiliki alat
“Bawa mereka menjauh dari sini.” Aku langsung memerintahkan beberapa anggotaku untuk membawa mereka berpisah, wajah David sudah dipenuhi oleh lebam, begitu juga sama dengan Jayakarta.Mereka, kedua orang yang sudah bekerja sama selama beberapa tahun, hancur seketika oleh sebuah kepercayaan yang terkhianati. Mereka bertengkar, bergaduh layaknya anak kecil yang memperebutkan layangan.Keluarga Jayakarta, istri dan anak-anaknya begitu ketakutan dan sedih melihat suami dan ayah bagi anak-anaknya babak belur dihajar secara brutal oleh David, yang notabene mereka kenal sebagai rekan kerja Jayakarta.“Apa yang akan kamu lakukan pada suami saya?” tanya istri Jayakarta, menangis tersedu-sedu dalam dekapanku.Kulepaskan wanita paruh baya tersebut dan menyuruhnya untuk tidak ikut campur. Nasib mereka bergantung pada sikap dan ucapan Jayakarta, jika Jayakarta mati, maka mereka juga demikian.“Jika begitu, kalian juga harus menangk
***David terus terdiam, terus menatap lurus ke arah jalanan dengan pandangan yang kosong. Sikapnya berubah tepat ketika aku sudah menjelaskan tentang ambisi tersembunyi dari Jayakarta, David mungkin masih syok mendengarnya.“Apa dia baik-baik saja?” tanya Nathan, ia kini memegang kendali kemudi dan aku duduk tepat di sebelahnya.“Sebelum dia mati, aku pikir dia baik-baik saja.”“Pasti mengejutkan baginya, orang yang bersama-sama sejak dulu malah mengkhianatinya,” jelas Nathan, aku hanya berdeham seraya terus memerhatikan jalanan di depanku.Setengah perjalanan menuju Ibukota sudah terlewati. Mobil kami melaju dengan kecepatan stabil di ruas jalan tol yang cukup lengang malam itu, kuperhatikan melalui kaca spion depan, Larissa dan anggota lain yang duduk di belakang sudah tertidur dengan pulas.Begitu juga dengan David, ia tak lagi termenung dalam pikirannya yang kalut. Matanya terpejam dan kepalanya bersa