Ternyata kita tidak seperti yang dibayangkan. Tidak pula bahagia. Tidak juga kecewa. Namun, bergantung pada sebuah penjelasan yang tak kunjung datang.
Arga meringis pelan bersamaan itu matanya juga terpejam rapat, sesekali mengintip cewek yang tengah bersimpuh membersihkan lukanya menggunakan kapas dengan penuh kehati-hatian.
Posisi mereka berbeda, Arga duduk di sofa. Sedangkan cewek itu bersimpuh di depan kakinya yang jenjang. Tak luput dari pandangan Arga, Aileen sesekali tercyduk, senyum-senyum nggak jelas seperti orang gila.
"Pelan-pelan, goblok! Sakit!" Arga berucap kesal. Senyum Aileen memudar seketika. Arga sengaja melakukan semua itu, ia tahu Aileen sedang
5 Tahun kemudian...New York, Amerika Serikat. Seorang gadis cantik berpakaian serba putih, berdiri sembari memandangi sebuah foto berbingkai yang terpajang di nakas. Kebiasaan gadis itu jika hendak berangkat kerja atau bepergian meninggalkan apartemennya.Gadis itu adalah Mery Thevania. Setelah akhirnya Lima tahun menempuh pendidikan kedokteran di Amerika, Mery telah resmi menjadi dokter umum. Dan kini, Mery bekerja di salah satu rumah sakit terbesar di kota tersebut.Jika kalian bertanya-tanya, foto siapa yang tadi dipandangi gadis itu, jawabannya tentu saja Dian Sharga Aldizar.Ya, itu Arganya. Mery telah bertahun-tahun memendam rasa rindu pada cowok itu. Namun, ia tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Ia tidak ingin tersakiti kedua kali. Usai lima tahun lalu sering mendapat b
"Tenang, Aileen! Aku mohon tenangg. Kamu nggak sendiri, ada aku di sini..." Dirga berdiri di hadapan Aileen dengan was-was, akan menghindar jika Aileen nekat melempar barang yang menyakiti.Kini, depresi Aileen kambuh lagi. Menyebabkan emosinya sulit dikontrol. Kamar yang tadinya susah payah Dirga rapikan dibuat berantakan lagi oleh gadis itu."Bohong! Kamu pasti juga pergi! Kamu pasti ninggalin aku! Sama kaya mereka! Papa, Mama, Arga. Kalian semua pembohong!" teriak Aileen frustasi. Tangan gadis itu memegang sebuah vas bunga. Bersiap melemparnya tepat ke arah Dirga."TENANG, AILEEN!"Dirga melotot tajam tapi berusaha tenang. Perlahan maju mendekati Aileen. Matanya sesekali melirik vas bunga di tangan gadis itu. Kakinya dengan hati-hati melangkah agar terhindar dari serpihan kaca yang berserakan di lantai."Berhenti atau aku lempar kamu pakai ini?!" ancam Aileen mengacungkan vas bunganya, karen
"Kontrol, Ga Kontrol. Lo harus tenang, nggak boleh kelepasan," saran Kevin, uring-uringan di kasur Arga."Bacot! Keluar sana lo! Gue pengen sendiri!""Cuma gara-gara gagal sekali lagi nih ye, gimana sih lo?! Nggak gentle tau nggak kalo kata nenek gue?""Banyak omong! Keluar atau gue tendang lo?!" ancam Arga sembari melotot tajam. Cowok itu sedang duduk di sofa sembari menikmati sebotol minuman. Ya, setelah kehilangan jejak Mery tadi emosi Arga kembali memuncak dan tidak bisa di kontrol. Ia pun memilih melampiaskan amarahnya dengan marah-marah kepada Kevin."Ck, au ah. Bosen gue kalo lo udah mode on gini," sahut Kevin malas kemudian bangkit dari kasur Arga. Lebih baik dia ngemil keripik sambil nonton TV di ruang tamu. Daripada jadi bahan pelampiasan amarah cowok itu. Tiba di ambang pintu Kevin menatap Arga, tersenyum jahil. "Jikalau engkau butuh sesuatu, panggilah aku wahai kasih...""G
"Ka-kamu?" Wajah Mery memucat, gadis itu memundurkan langkahnya beberapa saat. Bahkan, mainan yang Mery pegang untuk menghibur Devan langsung terjatuh ke tanah. Mery spontan menutup mulutnya yang bergetar akibat menahan tangis. Perlahan, Arga mendekati Mery, reaksi tubuhnya masih sama seperti dulu. Jantungnya berdebar-debar dan hatinya yang mendadak menghangat. Arga menatap Mery dengan mata berkaca-kaca. Sayangnya, gadis itu menampilkan respon yang tak terduga sebelumnya oleh Arga. Mery malah melihatnya dengan rasa takut yang tidak bisa dimengerti oleh cowok itu.Sedangkan, Della masih menimbang-nimbang apa yang ingin ia lakukan. Wanita itu malah memandang Arga lamat-lamat. Arga tidak asing di matanya. Ia seperti pernah melihat cowok itu. Tapi dimana?
Arga duduk merenung di kursi dekat jendela kamar Kevin, yang langsung dihadapkan dengan pemandangan jalanan kota Manhattan. Tatapan cowok itu lurus ke depan, kedua tangannya terlipat di depan dada.Sejak berhasil membawa Mery ke sini, Arga mendadak merasa gundah, seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya tapi Arga tidak tahu apa. Ia merasa takut akan terjadi sesuatu pada hubungan mereka, ia juga takut tidak bisa mengontrol emosinya ketika berhadapan dengan Mery. Takut kelepasan berbuat kasar pada gadis itu.Tadi saja, ia bahkan harus membungkam mulut Mery dengan mulutnya, sebelum tangannya ini berhasil mendarati pipi Mery tanpa disadari. Arga akui, ia memang berubah menjadi pemarah semenjak ditinggal Mery. Namun, ia tidak ingin amarahnya itu sampai menyakiti orang yang ia sayangi.Apalagi Mery. Arga tidak akan pernah memaafkan dirinya, jika sampai gadis itu tersakiti karena emosinya yang sulit dikontrol.
Bukannya istirahat di rumah, Mery malah mengajak Arga jalan-jalan. Banyak cara yang gadis itu lakukan untuk membujuk Arga keluar. Salah satunya dengan merengek sambil bergelayut di lengan cowok itu sekarang. "Ih, boleh yaa. Seharian aku di rumah teruss. Bosen tauuuuu. Kalau jalan-jalan kan bisa lihat pemandangan luar. Main, beli es krim--""Es krim di kulkas aku penuh. Kamu tinggal pilih yang mana," Arga berucap datar. Sambil sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya.Bibir Mery mengerucut. "Nggak mau! Es krim kamu itu-itu aja." "Yaudah. Kita Delivery. Aku beliin semua jenis yang ada di tokonya sekalian," sahut Arga melirik Mery sekilas.
"Nggak jauh dari rumah aku ya ternyata," ungkap Arga saat mereka memasuki lift dan cowok itu menekan tombol 3 dan 0 setelah pintu tertutup.Mery yang sedang lahap memakan donat hanya manggut-manggut, kedua tangan gadis itu dipenuhi sisa selai berbagai rasa. Membuat Arga mengulum senyumnya gemas. Antara pengen nyubit, meluk, atau cium. Oke, lupakan opsi terakhir. Arga mengusapi turun rambut Mery."Makan yang banyak biar tambah gede," gumam Arga yang sayangnya di dengar oleh Mery.Gadis itu langsung cemberut. "Aku udah gede tau! Kamu ish.""Haha. Iya-iya," Mengalah, Arga malah tertawa lalu geleng-geleng kepala mendapati pipi Mery penuh sisa selai. "Harusnya kalau udah gede makannya nggak sampai cemong gitu dong.""Eh, cemong banget ya?" tanya Mery panik.Arga menganggukan kepala. "Banget. Aku jadi nggak mau deket-deket kamu. Jorok!" godanya. Dalam hati Arga tertawa, ia merasa sena
"Arga, jangan hajar dia!"Pekikan Mery terdengar nyaring di telinga Arga, namun cowok itu tetap mengacuhkannya. Pukulan demi pukulan Arga daratkan di wajah cowok tadi, yang tidak lain adalah... Rendi? Mata Mery membulat, buru-buru ia menghampiri Arga yang sedang kalap. Dapat Mery lihat Arga tidak mau sedikitpun memberi waktu bagi Rendi membalas pukulannya. Melayangkan bogeman bertubi-tubi hingga darah segar menetes dari sudut bibir Rendi."Ga, udah! Kamu kenapa tiba-tiba hajar dia sih?! Dia nggak ngapa-ngapain aku, Ga!" lerai Mery sok tau, menarik ujung sweater cowok itu. Tapi, tidak digubris sama sekali.Sebenarnya, Mery bisa saja menyusup di tengah-tengah mereka. Namun ia takut malah jadi korban pukulan."Lo ngomong apa tadi bangsat? Ulang!" gertak Arga di sela pukulannya. Mata cowok itu penuh kilatan emosi menatap Rendi. "Lo sadar ucapan lo barusan itu bikin gue marah?! Lo sa