“Letakkan itu di bagasi belakang,” ucap Keenan mengurungkan niatnya untuk membawa keranjang yang ada di tangan sang istri.Lily mengangguk. Lantas segera berjalan menuju tempat yang dimaksud Keenan. Belum sempat membuka bagasi, sopir sudah membantunya dengan cepat.“Makasih, Pak,” kata Lily yang dijawab dengan anggukan pelan. Dia pun menoleh ke arah Farel yang masih belum masuk ke mobil. “Ayo, Sayang!”“Aku duduk di depan ya, Ma.”“Jangan dong. Pak sopir nanti terganggu,” larang Lily kemudian.Namun, Farel malah menggeleng. “Aku sudah besar.”Lily hendak bersuara lagi, tetapi batal karena Keenan mengatakan, “Jangan terlalu banyak melarangnya. Beri kepercayaan penuh. Dia akan banyak belajar.” Ya. Lily tak punya alasan untuk menolak karena apa yang diucapkan oleh sang suami barusan ada benarnya. Jadilah dia duduk di kabin belakang. Sepanjang perjalanan Farel mendominasi obrolan. Bocah tak tampak bersemangat sembari bertanya apa saja yang ia temui di sekitarny
Tidak lama memang. Hanya berlangsung selama beberapa detik. Namun, membuat seorang Keenan hampir lupa caranya bernapas. Beruntung Lily segera melepaskan diri.“Ma-maaf,” cicitnya sembari menunduk takut. Dia melirik ke arah belakang lalu bernapas lega. “Tadi ada dua orang karyawan Alexa Bakery di sini. Sepertinya mereka sudah pergi.”“Kenapa memangnya? Kau takut?” tanya Keenan straight to the point.Lily meringis lalu menjawab, “Bagaimana kalau kita terlihat bersama tadi? Di pabrik pasti heboh dengan beritaku. Hah. Jangan sampai begitu.” Barulah Keenan tahu alasannya. Dia pun mengangguk paham. Lagi. Niat untuk meminta maaf jadi buyar seketika. Terlebih ketika melihat Farel sedang berjalan ke arah mereka.“Gimana, hemm? Kita pulang yuk,&rdquo
“Mama keren!” pekik Farel sambil bertepuk tangan. Sama sekali tak menghiraukan bagaimana dua orang dewasa itu tampak salah tingkah. Dia pun kemudian melirik ke arah sang papa. “Papa bisa berenang sejago mama juga?”“Tentu saja.” Keenan segera mengalihkan wajahnya dari Lily. Tersenyum penuh pada sang anak sambung. Dia duduk di kursi panjang yang ada tak jauh dari kolam. Sementara Lily lekas menyambar handuk dan melilitkannya ke bagian pinggang. Merasa malu karena tubuh berpakaian ketat seperti sekarang.“Kami hanya sarapan kue pukis ini. Ada susu almond juga,” kata Lily setelah berdiri di hadapan suaminya. “Abang mau apa? Hemmm … aku akan ganti pakaian sebentar.”“Tapi kita belum selesai, Ma,” protes Farel cepat.Keenan yang paham dengan situasi sekarang tak mau dinilai egois. “Tidak usah ke mana-mana. Cukup ini saja.”“Baiklah aku ambilkan …” ucapan tadi terjeda begitu melihat Keenan yang langsung menuangkan teko kaca berisi susu ke gelas milik Lily. Meneguk wadah panjan
Napas keduanya memburu ketika tubuh mereka sama sekali tak berjarak sekarang. Terlebih Keenan yang merasakan bagaimana dua gundukan kenyal milik sang istri menyentuh dadanya. Dia pun melepaskan rengkuhan tadi karena tidak mau tersengar aliran listrik yang menggelitik berkat keadaan tersebut.“A-aku sudah selesai,” gumam Lily yang segera menepi. Lantas dia pun mengeringkan tubuh sekenanya lalu memasang jubah mandi. Meninggalkan Keenan yang masih berada di kolam. Jangan tanyakan bagaimana perasaan Lily sekarang. Jantungnya sudah atak aman mengingat bagaimana tadi tangan besar Keenan menyapu area perut lalu berakhir di pinggannya. Meskipun masih beralaskan pakaian renang, tetapi sangat membahayakan. Sial. Lily lupa membawa baju atasannya. Mana mungkin dia ke luar dari kamar mandi hanya menggunakan bra saja. Alhasil dia kembali menggunakan handuk untuk menutupi bagian tubuh yang penting tersebut.“Farel tadi pesan kalau …,” suara tad
Lily berpikir sejenak lalu akhirnya bersuara. “Sebentar ya. Aku panggilkan pelayan dulu.”Kebetulan sekali Mbok Jum lewat dan segera menghampiri Lily yang hendak bergerak. “Nyonya ingin saya panggilkan Tuan Keenan?”“Iya, Mbok. Tolong ya,” jawab Lily sambil tersenyum. Setelah kepala pelayan itu mengangguk dan pergi, barulah dia kembali melirik Lisna. “Silakan menunggu. Aku pergi dulu.”“Begitu caramu menyambut tamu?” gumam Lisna dengan tatapan sinisnya. “Apa kau tidak tahu caranya bersopan santun?”“Maaf kalau kamu tersinggung. Aku yakin sebentar lagi ada pelayan yang menyuguhimu minuman. Tenanglah. Sebentar lagi Bang Keenan juga datang.” Benar. Tak lama kemudian seorang pelayan muncul membawa nampan. Pun Keenan yang sedang berjalan menuruni anak tangga. Lily menatap suaminya sejenak lalu segera memberi kode kalau dia pamit undur diri detik itu juga.“Ada apa?” tanya Keenan langsung pada intinya.Lisna pun berdecak pelan. “Seharusnya aku yang bertanya. Dulu kau tidak sep
Lily tak merespon apa-apa. Dia kemudian melepaskan diri lalu menggamit tangan putranya.“Mandi dulu ya, Sayang. Sudah jam empat lewat.” Setelahnya dia tersenyum pada Lisna dan Keenan lalu mengajak Farel ke kamar. Berusaha untuk tidak terpengaruh dengan ucapan tadi.“Ma, legonya belum selesai. Aku tertidur. Jadi kepalanya belum terbentuk,” rengek Farel kemudian.“Nanti ya, Sayang. Mandi dulu baru dilanjutkan.”CUP! Kecupan yang merupakan sogokan tersebut membuat Lily mengembuskan napas pelan. Lantas duduk di atas ranjang dengan posisi kedua tangan bersidekap. Dia menatap Farel yang tersenyum menggoda lalu mengambil ancang-ancang untuk menyelesaikan permainan legonya.“Hanya lima menit. Aku janji,” cengir Farel yang ditanggapi sang mama dengan satu alis yang terangkat sedikit.“Mama buatkan timer-nya dulu agar kamu tidak ingkar janji.” Farel mendengkus pelan lalu kembali fokus pada mainannya. Membuat bentuk sedemikan rupa hingga ro
“Abang enggak usah—”“Duduklah,” potong Keenan cepat. Lily pun menurut dengan duduk di kursi rias, sedangkan suaminya itu memilih ranjang untuk tempat melabuhkan bokong. Masih belum ada sofa pengganti di kamar tersebut karena mungkin memang Keenan sama sekali tak berniat untuk membelinya.“Bicara saja,” ucap Lily.“Aku memang pria brengsek, maksudku … pernah mengencani banyak wanita sebelumnya.” Keenan berhenti sejenak demi melihat raut wajah istrinya. Masih tidak menampakkan ekspresi seperti sedia kala. “Semua yang kau dengar memang benar. Apalagi yang diucapkan soal aku dan … ya Lisna. Itu tidak disengaja. Kami melakukannya tanpa sadar. Hanya sebuah kesalahan dan terjadi jauh beberapa bulan sebelum kita menikah.”“Hmmm,” respon Lily dengan anggukan kepala.“Seperti kesepakatan kita. Aku akan berusaha menjadi papa yang baik untuk Farel. Jadi sebisa mungkin membatasi pergaulan agar tidak sejahat dulu,” tutur Keenan lagi. Setelahnya pria itu terdiam cukup la
“Bang Keenan??”Pria yang baru saja dielukan namanya itu mendekat beberapa langkah. Matanya menatap sinis ke arah Lily. “Kenapa? Kau kecewa karena buka Pak Dimas-mu yang berdiri di sini, hemm?”Lily menggeleng pelan. Sama sekali tak menyangka jika sang suami yang berada di hadapannya saat ini. “Maaf, tadi aku pikir …,” ucapan tadi terjeda ketika Keenan memandang ke bagian sekitar mereka. Alisnya langsung naik sebelah. “…, hemmm Abang kenapa kemari?”Bukannya menjawab, Keenan malah balik bertanya, “Apa beban pekerjaanmu sebanyak ini?”“Ti-dak. Maksudnya, kalau lagi awal bulan memang seperti sekarang. Banyak orderan. Jadi ya begitulah.”“Dan kau bekerja di saat jam makan siang?”“Tidak juga sih.” Lily mengaku. “Aku bawa bekal dari rumah. Sedikit menghemat waktu saja.” Pembicaraan tadi segera berhenti lantaran mereka mendengar nama Lily diteriaki dari arah luar. Tak lama kemudian Dimas muncul dengan mata membeliak kaget.“Wah wah. Kau di sini? Tumben sekali tidak ke ruangan
“Maafkan aku karena telah membuatmu hamil.” Pernyataan barusan membuat Lily yang tengah kesakitan sontak tertawa. Tak pelak sopir yang juga ikut mendengarnya terbahak tanpa sadar. “Abang?” rengek Lily di sela-sela kontraksi yang memelan sekejap. “Enggak pa-pa. Aku bisa. Jangan cengeng dong. Anak kita mau lahir. Masa’ papanya nangis.” “Iya, Tuan. Harus semangat supaya Nyonya kuat lahirannya.” Sang sopir juga tak mau kalah memberikan dukungan. “Kalian benar.” Keenan menyeka cepat air matanya yang sudah membasahi pipi. “Aku harus mendampingimu di ruang bersalin nanti. Kalau dokter melihatku lemah, mereka tidak akan mengijinkanku masuk.” Lily tersenyum mendengar ucapan suaminya. Tak berapa lama mobil pun tiba di tempat tujuan. Keenan pun memekik dari arah luar agar para petugas menyiapkan kursi roda untuk istri tercintanya. Seorang bidan yang kebetulan bertugas shift sore memeriksa jalan lahir Lily. Lantas mengatakan, “Ini masih pembukaan sembilan lebih. Sebentar lagi waktunya ber
“Hai, Tante!” sapa Farel sembari melambaikan tangannyan ke arah Lisna. Bocah polos itu bahkan sudah bergerak untuk salim pada wanita yang ada di depan mereka. Lisna pun mengangguk sambil tersenyum. “Kau sudah semakin besar ya.” “Iya dong,” sahut Farel cepat. “Aku juga mau punya adik.” “Ya.” Lagi-lagi Lisna hanya bisa mengangguk saja. Dia pun menoleh pada Lily lalu berkata, “Selamat ya atas kehamilannya.” “Terimakasih.” Kali ini Keenan yang menjawab dengan sorot mata tidak bersahabat. Dia masih menyimpan amarah atas perbuatan Lisna kala itu. “Maafkan aku.” “Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi,” kata Lily yang kini sudah tersenyum manis. “Kamu apa kabar?” “Aku … baik.” Tak lama setelah itu mereka mendengar nama Lisna yang dielukan oleh seseorang. Semuanya sontak menoleh. “Sayang, kamu di sini?” Dimas. Pria tersebut terlonjak kaget begitu melihat tiga orang yang sekarang bersama Lisna. Dia pun jadi salah tingkah. “A-aku dan Dimas —” “Bulan depan kami akan tunangan,” potong Dima
Farel sangat bersemangat bercerita dengan Adrian tentang kabar janin yang dikandung oleh sang mama. Dia bahkan sama sekali tak menggubris kue dan camilan yang disediakan di atas meja. Seperti biasa. Suaranya selalu mendominasi di antara para orang dewasa.“Wah. Papa turut senang karena sebentar lagi kamu mau jadi seorang kakak.” Adrian merespon dengan kuluman senyumnya. Lantas dia menoleh ke arah Lily yang tengah mengusapi perut buncitnya. Jujur kalau memang sampai sekarang rasa cinta itu masih belum memudar.“Ya sudah. Papa antar kau ke atas untuk bersiap-siap ya.” Keenan bangkit dari duduknya lalu menggamit tangan Farel. Meninggalkan Lily bersama Adrian yang masih berada di ruang tengah. Suasana berubah menjadi hening. Hingga kemudian Adrian memilih untuk berbicara terlebih dahulu. Dia tersenyum getir menyaksikan sang mantan istri yang kini sedang berbadan dua.“Selamat ya untuk kehamilan kamu.”“Makasih, Mas.” Lily mengangguk sambil tersenyum. “Jangan lu
“…, ya. Dia laki-laki seperti dirimu.”“Laki-laki?” ucap Farel mengulang pernyataan sang dokter. Pria berjas putih itu mengangguk singkat sambil tersenyum.“Kau senang?” tanya Keenan yang dilangsung diiyakan oleh Farel tanpa jeda.“Aku punya teman. Yeay!!” soraknya lagi. Setelahnya dokter pun menginformasikan pendidikan kesehatan tentang kehamilan pada Lily dan Keenan. Kini pasangan suami istri tersebut saling menggenggam sembari tersenyum penuh.“Usia kehamilan Anda sudah masuk 22 minggu. Semoga prediksi jenis kelamin tetap tidak berubah ya.”“Kalaupun adikku perempuan tidak masalah,” celetuk Farel masih dengan keceriaan yang sama. “Nanti aku bisa minta papa untuk—”“Sayang?” potong Keenan cepat. “Tali sepatumu terlepas.” Atensi bocah usia empat tahunan itu pun teralihkan. Beruntung percakapan tadi tidak berlanjut. Kalau tidak bisa dipastikan bahwa Keenan dan Lily akan merasa malu. Tahu bahwa anak mereka tersebut mengutarakan hal yang menggelikan.“Makanya
“Aku mau adik laki-laki,” ucap Farel ketika keluarga kecil mereka baru saja beristirahat usai berjibaku di dalam kolam renang. Matanya berbinar ketika ikut meletakkan tangan di perut buncit sang mama. “Sepertinya kau yakin sekali,” goda Keenan yang kini sudah menempelkan telinga di bagian sisi perut yang lain. Pria itu mengerjap ketika merasakan sesuatu menendang dari dalam sana. Membuat dia dan Farel terkekeh serempak lalu sibuk berdebat tentang jenis kelamin calon anggota keluarga baru mereka tersebut. “Tuh ‘kan? Dia bilang kalau akan menjadi temanku bermain badminton nanti.” Kali ini Farel justru merasa sangat percaya diri dengan tebakannya. Sementara Lily hanya tersenyum sembari mendengar dua pria beda usia yang dicintainya itu berdebat terus-terusan. Pemandangan indah yang sudah lama ia dambakan sejak jauh hari. Tak lama kemudian dirinya menyingkirkan tangan mereka dan bersiap hendak bangkit dari kursi. “Ma, katakan kalau adikku laki-laki,” rengek Farel yang ham
“Om minta maaf ya.” Namun, Keenan masih membungkam mulutnya. Sama sekali tak menggubris permintaan maaf dari pria paruh baya tersebut. Sementara Lily yang memang gampang sekali kasiha menatap wajahnya dengan iba.“Bang, kasihan sama Dokter Faisal.” Lily meremas lembut telapak tangan suaminya agar respon. Barulah Keenan berdecak pelan lalu menoleh ke arah tamu yang tak diharapkannya itu.“Om tidak salah apa-apa.”“Iya, Nak, tapi Lisna—”“Itu tidak ada sangkut pautnya dengan Om,” tegas Keenan dengan rahang yang sudah mengetat. “Dari dulu Om selalu menutupi kesalahannya. Memanjakannya dan selalu jadi tameng. Lihatlah sekarang! Dia bahkan hampir menjadi seorang pembunuh. Untungnya janin di kandungan istriku bisa selamat.”“Lily hamil?” Dokter Faisal semakin merasa bersalah.“Ya.” Keenan lantas menatap kesal dokter kepercayaan keluarganya itu. “Sebenarnya aku ingin melaporkannya pada polisi, tetapi gagal karena istriku yang mencegah. Jadi sebagai gantinya aku mohon dengan san
Keenan kehilangan suaranya begitu menyadari apa yang terjadi. Pria itu terus memeluk Lily sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Tak pelak melabuhkan kecupan kecil di area wajah wanitanya tersebut. Sementara Bagas sesekali menoleh ke belakang. Berusaha memacu kendaraan yang saat ini ia kemudikan sendiri agar bisa berjalan lebih cepat lagi. Jika dia ada di posisi sang tuan sekarang, mungkin juga akan berlaku sama. “Tuan Keenan??” “Lakukan yang terbaik untuk istriku!!” Semua petugas yang ada di ruangan IGD rumah sakit itu bergerak cepat menangani Lily, sedangkan Keenan sibuk mondar-mandir tak karuan. Dia merasa sesak sekaligus menyesali apa yang telah terjadi. Menyalahkan diri sendiri karena keadaan istrinya sekarang. Dua jam kemudian … &n
“Dua kali dia menemuiku. Mengajakku bekerja sama untuk menghancurkan pernikahan kalian.”“Aku tidak percaya.”“Ck. Itu urusanmu. Aku hanya berharap semoga Lily baik-baik saja karena kalau benar wanita itu yang menculiknya, maka habislah sudah.” Percakapan tadi masih terngiang di telinga Keenan. Sekarang dia sudah tidak sabar untuk kembali ke Medan. Beruntung Bagas bisa menyediakan jet pribadi sehingga memudahkan pergerakan mereka tiba di sana dengan cepat.“Saya sudah menghubungi orang suruhan kita untuk mengawasi Nona Lisna,” kata Bagas yang baru saja memutus panggilan lewat ponselnya sebelum kendaraan pribadi itu terbang. “Kita akan langsung dapat kabar begitu sampai di Medan.”“Good,” gumam Keenan yang segera memasang kaca mata hitamnya. “Bagaimana dengan Dimas? Kau juga suruh orang untuk mengawasinya ‘kan?”“Iya, Tuan.” Keenan mengembuskan napasnya dengan keras. Benar-benar tak sabar ingin membuktikan tudingan Adrian tadi. Kalau memang apa yang dikataka
“Tidak!” tolak Keenan cepat. “Aku yakin dia yang menculik Lily.”“Kau gila ya?” Lisna pun geleng-geleng kepala.Keenan menatap tajam Lisna. “Atau kaulah orangnya! Oh ya. Aku pernah melihatmu berbicara dengan Adrian. Kalian mungkin sudah bekerja sama. Jawab, Lisna!!” Pria yang sudah frustrasi itu hendak melayangkan satu pukulan lagi ke wajah Dimas, tetapi sang daddy dan Bagas lebih dulu menahan tubuh kekarnya. Membuat dia jadi terhalang oleh keduanya.“Hentikan!” sentak daddy-nya lagi. “Bukan begini caranya bertindak. Kamu harus berpikir dengan kepala dingin. Kenapa jadi malah brutal??”“Lily itu istriku, Dad!” tukas Keenan dengan perasaan yang campur aduk. “Aku bisa gila karena kehilangan dia. Apalagi saat ini dia sedang … agh!! Dia lagi sakit. Bagaimana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Tidak ada yang tahu ‘kan?”“Kami mengerti perasaanmu. Tenanglah sebentar,” bujuk daddy-nya. Waktu makan malam sudah lewat sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Keenan ma