“Abang?” Lily mengembuskan napas pelan karena panggilannya tadi direspon oleh Keenan. Wanita itu berjalan cepat lalu menyentuh lengan sang suami.“Kau?”“Iyalah. Memangnya siapa lagi?” tanya Lily yang sudah cemberut. “Aku tadi manggil Abang. Lihatin apa sih?” Dia bahkan ikut memandang ke berbagai arah. Tak ada apapun yang mencolok di sana.“Tidak ada apapun, Sayang. Aku hanya ingin membalas pesanmu yang tadi. Bagaimana kalau dengan bahasa tubuh saja, hemm?” Keenan berdalih lalu menyatukan bibir mereka dengan cepat. Memagutnya mesra hingga berakhir dalam beberapa detik. Dalam hati dia masih memikirkan kenapa Adrian dan Lisna bisa saling mengenal. Namun, atensinya buyar saat melihat jejak cinta yang sengaja ia lihat di dada sang istri.“Kenapa dilihatin terus?” rajuk Lily yang kembali menarik kaus kebesarannya. “Tadi tuh aku enggak nyaman loh harus tegak posisinya. Karena kalau bungkuk jadinya kelihatan. Menyebalkan memang Abang.”“Kau seksi, Sayang.” Keenan mendesah pela
“Dimas, jaga sikapmu! Jangan memancing emosi Keenan!” bisik Lisna yang lekas mencubit gemas pinggang pria di sampingnya itu.Dimas pun terkekeh. Terlebih saat melihat wajah Keenan yang mulai memerah. “Aku hanya bercanda.” Dia mengerdip cepat lalu segera kabur dengan hati yang senang karena selalu berhasil mengerjai sahabat masa kecilnya itu. Sementara Lily menghela napas pelan lalu mengusap-usap lengan kiri suaminya.“Suami aku ini pemarah banget ya. Jangan gitu dong. Nanti cepat tua.”“Salahmu sendiri,” tukas Keenan dengan wajah masamnya. “Kau sangat cantik. Jadi sainganku ada di mana-mana.”Lily pun membalas, “Abang juga. Lihat para wanita di sana! Semua terlihat iri. Mereka kesal karena pria tampan ini sudah beristri.” Keduanya terkekeh lalu kembali dalam posisi siaga ketika hendak menyapa para tamu yang lain. Sesekali Lily menanyakan keadaan Farel pada Bagas yang saat ini ditugaskan khusus menjadi penjaga sang anak. Banyak ucapan selamat d
Sontak sang mommy tersentak kaget dan menarik tangannya. Lily pun terkesiap lalu menoleh ke arah Keenan yang kini berjalan mendekati mereka.“Kaki aku lecet, Bang. Jadi mommy olesin salep biar mendingan,” ringis Lily yang juga ngeri sendiri melihat wajah garang suaminya.“Iya, Nak. Mommy cuma mau bantuin istri kamu aja kok.” Keenan mengangguk cepat. Sadar bahwa dia sudah salah paham. Setelahnya sang mommy melanjutkan pemberian salepnya di kaki Lily yang lain.“Makasih ya, Mom,” ucap Lily yang langsung diangguki wanita paruh baya yang sudah berwajah sendu itu. Dia lantas melirik sang suami. “Abang belum minta maaf ke mommy. Abang ‘kan sudah salah sangka.”“Maaf,” ujar Keenan dengan suara datarnya.Lily pun berdecak pelan usai mendengar pernyataan maaf yang sepertinya tidak tulus barusan. “Masa gitu sih, Bang?”“Ck. Kau mau aku bagaimana lagi? Ini sudah malam. Sebaiknya kita istirahat,” tukas Keenan yang hanya melirik sekilas sang mommy.Lily hendak menyangka
“Keenan tidak akan setuju, Sayang.” Ucapan mengandung makna penolakan tersebut membuat hati Lily terenyuh. Dia menggeleng lemah lalu berkata, “Mommy bilang kalau dia sangat mencintaiku ‘kan?” Anggukan sang mertua yang begitu cepat membuatnya berucap, “Mari kita buktikan nanti.” Sarapan pagi kali ini benar-benar berbeda karena untuk pertama kalinya Lily menyajikannya untuk keluarga Keenan. Wanita itu terlihat gugup saat melihat ekspresi wajah masing-masing mareka yang mencicipi hasil masakannya.“Bagaimana? Ini enak sekali bukan?” tanya mommy Keenan pada mereka. Sang kakek sebagai orang yang paling sepuh di sana lantas menyendokkan senfeier, yakni makanan berupa telur rebus yang disiram dengan saus mustard. Ditambah dengan kentang rebus yang ditumbuk halus dan taburan kacang polos di atasnya.“Ini lezat. Aku suka,” sahut pria tua itu yang kembali melanjutkan kegiatan makannya.“Semuanya Lily yang masak.”“Eh?” Kini pandangan selur
Sudah ditebak dari tatapan lapar Keenan. Lily sudah paham jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan barusan. Wanita itu terkekeh lalu bersiap akan membuka satu demi satu kancing kemeja suaminya. Melayani dengan sepenuh hati tentu saja. Kali ini dialah yang memimpin pergulatan mereka di atas ranjang. Bahkan sampai membuat seorang Keenan Fero Alexander benar-benar mabuk kepayang karena dirinya. “Kau memang istri yang sempurna sayang,” bisik Keenan tepat di telinga kirinya. Saat ini mereka sedang dalam posisi di mana Lily berada di atas tubuh kekarnya. Masih dalam keadaan yang menyatu sempurna usai melakukan pelepasan bersama. Bahkan dia sengaja memeluk erat wanita cantiknya tersebut. “Bagaimana? Apa bayaran tadi cukup?” tanya Lily yang tersenyum nakal. Dia melirik jam dinding yang berada di belakangnya. “Sebentar lagi waktunya makan siang. Abang belum menjawab.” CUP! CUP! Keenan mendaratkan bibirnya di dahi serta mulut manis Lily. “Terserah kau saja. Apapun yang membua
“Sayang, kamu kenapa?” tanya mommy yang pertama kali melihat menantunya itu duduk kembali. Pertanyaan barusan sontak membuat semuanya menoleh. Terlebih Keenan yang bergerak mendekati istrinya.“Aku enggak pa-pa.” Lily tersenyum samar dan berusaha menenangkan mereka. Namun, dua pria yang ia cintai menggeleng kompak. Siapa lagi kalau bukan Keenan dan Farel orangnya.“Aku akan antar kau ke kamar,” tukas Keenan yang segera memapah tubuh Lily.“Aku juga ikut. Aku pegang tangan mama saja ya? Soalnya masih belum bisa menggendong mama,” kata Farel yang ternyata tak mau ketinggalan.“Iya, Sayang. Boleh.”“Anak pintar. Hati-hati ya.” Mommy Keenan turut membantu menantu cantiknya itu beranjak dari sofa. Setelahnya membiarkan sang anak dan cucu yang memapah Lily. Farel langsung menurut kembali ke bawah usai dibujuk Keenan agar meninggalkan mamanya. Tentu dengan dalih agar bisa beristirahat. Hingga makan siang pun dia bersikeras agar Lily makan di kamar sa
Sementara di sisi yang lain kini Keenan melirik arloji di tangan kanannya. Sudah hampir dua puluh menit istrinya tidak kembali. Jelas dia jadi gelisah. Baru saja hendak melangkah untuk mencari niat tadi urung begitu melihat kedatangan Farel bersama Dimas.“Papa!” Farel lantas berjalan setengah berlari lalu tersenyum lebar di hadapan Keenan. Membuat pria itu mengangguk pelan dan bertanya, “Kau dengan siapa ke sini?”“Om Dimas.”“Kenapa terkejut?” tanya Dimas sambil mengernyit. “Tadi Lisna sudah beri kabar ‘kan? Kami ke sini dengan Farel. Panjang ceritanya. Mobilku tiba-tiba saja mogok. Kebetulan jaraknya dekat dari rumahmu. Jadi sekalian mengajak anak pintar ini. Kau tidak suka?”“Mana mungkin,” sanggah Keenan cepat. Dia mengusap pelan puncak kepala Farel sambil tersenyum. “Di mana Lisna?”“Dia pamit ke toilet sebentar.” Kebetulan sekali. Orang yang barusan mereka bicarakan muncul dari arah belakang. Ya. Dialah Lisna yang sedang berjalan mengha
“Tidak!” tolak Keenan cepat. “Aku yakin dia yang menculik Lily.”“Kau gila ya?” Lisna pun geleng-geleng kepala.Keenan menatap tajam Lisna. “Atau kaulah orangnya! Oh ya. Aku pernah melihatmu berbicara dengan Adrian. Kalian mungkin sudah bekerja sama. Jawab, Lisna!!” Pria yang sudah frustrasi itu hendak melayangkan satu pukulan lagi ke wajah Dimas, tetapi sang daddy dan Bagas lebih dulu menahan tubuh kekarnya. Membuat dia jadi terhalang oleh keduanya.“Hentikan!” sentak daddy-nya lagi. “Bukan begini caranya bertindak. Kamu harus berpikir dengan kepala dingin. Kenapa jadi malah brutal??”“Lily itu istriku, Dad!” tukas Keenan dengan perasaan yang campur aduk. “Aku bisa gila karena kehilangan dia. Apalagi saat ini dia sedang … agh!! Dia lagi sakit. Bagaimana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Tidak ada yang tahu ‘kan?”“Kami mengerti perasaanmu. Tenanglah sebentar,” bujuk daddy-nya. Waktu makan malam sudah lewat sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Keenan ma
“Maafkan aku karena telah membuatmu hamil.” Pernyataan barusan membuat Lily yang tengah kesakitan sontak tertawa. Tak pelak sopir yang juga ikut mendengarnya terbahak tanpa sadar. “Abang?” rengek Lily di sela-sela kontraksi yang memelan sekejap. “Enggak pa-pa. Aku bisa. Jangan cengeng dong. Anak kita mau lahir. Masa’ papanya nangis.” “Iya, Tuan. Harus semangat supaya Nyonya kuat lahirannya.” Sang sopir juga tak mau kalah memberikan dukungan. “Kalian benar.” Keenan menyeka cepat air matanya yang sudah membasahi pipi. “Aku harus mendampingimu di ruang bersalin nanti. Kalau dokter melihatku lemah, mereka tidak akan mengijinkanku masuk.” Lily tersenyum mendengar ucapan suaminya. Tak berapa lama mobil pun tiba di tempat tujuan. Keenan pun memekik dari arah luar agar para petugas menyiapkan kursi roda untuk istri tercintanya. Seorang bidan yang kebetulan bertugas shift sore memeriksa jalan lahir Lily. Lantas mengatakan, “Ini masih pembukaan sembilan lebih. Sebentar lagi waktunya ber
“Hai, Tante!” sapa Farel sembari melambaikan tangannyan ke arah Lisna. Bocah polos itu bahkan sudah bergerak untuk salim pada wanita yang ada di depan mereka. Lisna pun mengangguk sambil tersenyum. “Kau sudah semakin besar ya.” “Iya dong,” sahut Farel cepat. “Aku juga mau punya adik.” “Ya.” Lagi-lagi Lisna hanya bisa mengangguk saja. Dia pun menoleh pada Lily lalu berkata, “Selamat ya atas kehamilannya.” “Terimakasih.” Kali ini Keenan yang menjawab dengan sorot mata tidak bersahabat. Dia masih menyimpan amarah atas perbuatan Lisna kala itu. “Maafkan aku.” “Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi,” kata Lily yang kini sudah tersenyum manis. “Kamu apa kabar?” “Aku … baik.” Tak lama setelah itu mereka mendengar nama Lisna yang dielukan oleh seseorang. Semuanya sontak menoleh. “Sayang, kamu di sini?” Dimas. Pria tersebut terlonjak kaget begitu melihat tiga orang yang sekarang bersama Lisna. Dia pun jadi salah tingkah. “A-aku dan Dimas —” “Bulan depan kami akan tunangan,” potong Dima
Farel sangat bersemangat bercerita dengan Adrian tentang kabar janin yang dikandung oleh sang mama. Dia bahkan sama sekali tak menggubris kue dan camilan yang disediakan di atas meja. Seperti biasa. Suaranya selalu mendominasi di antara para orang dewasa.“Wah. Papa turut senang karena sebentar lagi kamu mau jadi seorang kakak.” Adrian merespon dengan kuluman senyumnya. Lantas dia menoleh ke arah Lily yang tengah mengusapi perut buncitnya. Jujur kalau memang sampai sekarang rasa cinta itu masih belum memudar.“Ya sudah. Papa antar kau ke atas untuk bersiap-siap ya.” Keenan bangkit dari duduknya lalu menggamit tangan Farel. Meninggalkan Lily bersama Adrian yang masih berada di ruang tengah. Suasana berubah menjadi hening. Hingga kemudian Adrian memilih untuk berbicara terlebih dahulu. Dia tersenyum getir menyaksikan sang mantan istri yang kini sedang berbadan dua.“Selamat ya untuk kehamilan kamu.”“Makasih, Mas.” Lily mengangguk sambil tersenyum. “Jangan lu
“…, ya. Dia laki-laki seperti dirimu.”“Laki-laki?” ucap Farel mengulang pernyataan sang dokter. Pria berjas putih itu mengangguk singkat sambil tersenyum.“Kau senang?” tanya Keenan yang dilangsung diiyakan oleh Farel tanpa jeda.“Aku punya teman. Yeay!!” soraknya lagi. Setelahnya dokter pun menginformasikan pendidikan kesehatan tentang kehamilan pada Lily dan Keenan. Kini pasangan suami istri tersebut saling menggenggam sembari tersenyum penuh.“Usia kehamilan Anda sudah masuk 22 minggu. Semoga prediksi jenis kelamin tetap tidak berubah ya.”“Kalaupun adikku perempuan tidak masalah,” celetuk Farel masih dengan keceriaan yang sama. “Nanti aku bisa minta papa untuk—”“Sayang?” potong Keenan cepat. “Tali sepatumu terlepas.” Atensi bocah usia empat tahunan itu pun teralihkan. Beruntung percakapan tadi tidak berlanjut. Kalau tidak bisa dipastikan bahwa Keenan dan Lily akan merasa malu. Tahu bahwa anak mereka tersebut mengutarakan hal yang menggelikan.“Makanya
“Aku mau adik laki-laki,” ucap Farel ketika keluarga kecil mereka baru saja beristirahat usai berjibaku di dalam kolam renang. Matanya berbinar ketika ikut meletakkan tangan di perut buncit sang mama. “Sepertinya kau yakin sekali,” goda Keenan yang kini sudah menempelkan telinga di bagian sisi perut yang lain. Pria itu mengerjap ketika merasakan sesuatu menendang dari dalam sana. Membuat dia dan Farel terkekeh serempak lalu sibuk berdebat tentang jenis kelamin calon anggota keluarga baru mereka tersebut. “Tuh ‘kan? Dia bilang kalau akan menjadi temanku bermain badminton nanti.” Kali ini Farel justru merasa sangat percaya diri dengan tebakannya. Sementara Lily hanya tersenyum sembari mendengar dua pria beda usia yang dicintainya itu berdebat terus-terusan. Pemandangan indah yang sudah lama ia dambakan sejak jauh hari. Tak lama kemudian dirinya menyingkirkan tangan mereka dan bersiap hendak bangkit dari kursi. “Ma, katakan kalau adikku laki-laki,” rengek Farel yang ham
“Om minta maaf ya.” Namun, Keenan masih membungkam mulutnya. Sama sekali tak menggubris permintaan maaf dari pria paruh baya tersebut. Sementara Lily yang memang gampang sekali kasiha menatap wajahnya dengan iba.“Bang, kasihan sama Dokter Faisal.” Lily meremas lembut telapak tangan suaminya agar respon. Barulah Keenan berdecak pelan lalu menoleh ke arah tamu yang tak diharapkannya itu.“Om tidak salah apa-apa.”“Iya, Nak, tapi Lisna—”“Itu tidak ada sangkut pautnya dengan Om,” tegas Keenan dengan rahang yang sudah mengetat. “Dari dulu Om selalu menutupi kesalahannya. Memanjakannya dan selalu jadi tameng. Lihatlah sekarang! Dia bahkan hampir menjadi seorang pembunuh. Untungnya janin di kandungan istriku bisa selamat.”“Lily hamil?” Dokter Faisal semakin merasa bersalah.“Ya.” Keenan lantas menatap kesal dokter kepercayaan keluarganya itu. “Sebenarnya aku ingin melaporkannya pada polisi, tetapi gagal karena istriku yang mencegah. Jadi sebagai gantinya aku mohon dengan san
Keenan kehilangan suaranya begitu menyadari apa yang terjadi. Pria itu terus memeluk Lily sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Tak pelak melabuhkan kecupan kecil di area wajah wanitanya tersebut. Sementara Bagas sesekali menoleh ke belakang. Berusaha memacu kendaraan yang saat ini ia kemudikan sendiri agar bisa berjalan lebih cepat lagi. Jika dia ada di posisi sang tuan sekarang, mungkin juga akan berlaku sama. “Tuan Keenan??” “Lakukan yang terbaik untuk istriku!!” Semua petugas yang ada di ruangan IGD rumah sakit itu bergerak cepat menangani Lily, sedangkan Keenan sibuk mondar-mandir tak karuan. Dia merasa sesak sekaligus menyesali apa yang telah terjadi. Menyalahkan diri sendiri karena keadaan istrinya sekarang. Dua jam kemudian … &n
“Dua kali dia menemuiku. Mengajakku bekerja sama untuk menghancurkan pernikahan kalian.”“Aku tidak percaya.”“Ck. Itu urusanmu. Aku hanya berharap semoga Lily baik-baik saja karena kalau benar wanita itu yang menculiknya, maka habislah sudah.” Percakapan tadi masih terngiang di telinga Keenan. Sekarang dia sudah tidak sabar untuk kembali ke Medan. Beruntung Bagas bisa menyediakan jet pribadi sehingga memudahkan pergerakan mereka tiba di sana dengan cepat.“Saya sudah menghubungi orang suruhan kita untuk mengawasi Nona Lisna,” kata Bagas yang baru saja memutus panggilan lewat ponselnya sebelum kendaraan pribadi itu terbang. “Kita akan langsung dapat kabar begitu sampai di Medan.”“Good,” gumam Keenan yang segera memasang kaca mata hitamnya. “Bagaimana dengan Dimas? Kau juga suruh orang untuk mengawasinya ‘kan?”“Iya, Tuan.” Keenan mengembuskan napasnya dengan keras. Benar-benar tak sabar ingin membuktikan tudingan Adrian tadi. Kalau memang apa yang dikataka
“Tidak!” tolak Keenan cepat. “Aku yakin dia yang menculik Lily.”“Kau gila ya?” Lisna pun geleng-geleng kepala.Keenan menatap tajam Lisna. “Atau kaulah orangnya! Oh ya. Aku pernah melihatmu berbicara dengan Adrian. Kalian mungkin sudah bekerja sama. Jawab, Lisna!!” Pria yang sudah frustrasi itu hendak melayangkan satu pukulan lagi ke wajah Dimas, tetapi sang daddy dan Bagas lebih dulu menahan tubuh kekarnya. Membuat dia jadi terhalang oleh keduanya.“Hentikan!” sentak daddy-nya lagi. “Bukan begini caranya bertindak. Kamu harus berpikir dengan kepala dingin. Kenapa jadi malah brutal??”“Lily itu istriku, Dad!” tukas Keenan dengan perasaan yang campur aduk. “Aku bisa gila karena kehilangan dia. Apalagi saat ini dia sedang … agh!! Dia lagi sakit. Bagaimana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Tidak ada yang tahu ‘kan?”“Kami mengerti perasaanmu. Tenanglah sebentar,” bujuk daddy-nya. Waktu makan malam sudah lewat sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Keenan ma